Share

Ketika penjahat jatuh cinta
Ketika penjahat jatuh cinta
Author: Miss Konigin

Ikut Merampok

Perkenalkan, nama saya Gogi. Seorang cowok yang numpang hidup di alam liar alias di jalanan. Saya cowok normal yang ingin cepat kaya tanpa "BEKERJA". Kalau kamu semua sepemikiran dengan saya, selamat! Kamu termasuk orang-orang yang bodohnya hakiki. Saya harap kamu segera bertobat, karena tidak ada orang kaya yang tanpa bekerja kecuali korupsi dan memelihara si botak (situyul yang belum diketahui namanya).

Siang ini seperti mencekam bagi saya karena belum ada target selanjutnya yang harus saya rampok. Mata saya memutar ke kanan dan ke kiri melihat semua sudut kamar yang tampak suram. Cat kamar yang saya tempati tiba-tiba berubah warna menjadi kuning kecoklatan, padahal awal catnya berwarna putih. Mengalahkan putihnya kain kafan. Saya tersadar sejenak ketika cat tembok tidak pernah saya rawat dan akhirnya berubah warna, apalagi perasaan orang. Jangan heran ketika saya tetap jomblo, karena saya memang tidak pernah menjaga perasaan orang termasuk tukang parkir, tukang siomay, emak-emak rempong dan seluruh makhluk hidup yang bernafas dengan paru-paru. Sungguh. 

Setelah saya bergulat dengan pikiran saya yang sedang kacau saat ini, akhirnya saya pun bangkit dari tempat tidur. Tak satu pun orang yang menyapa saya seharian. Maklum saja, saya jomblo komplit, ditambah dengan sikap saya yang arogan membuat orang malas berteman dengan saya. Termasuk pembantu saya. Padahal saya arogan di luar rumah, bukan dengan pembantu saya. Semoga pembantu saya segera bertobat dari pikiran suuzannya

Amin. 

Walaupun saya jomblo, handphone saya selalu berdering. Bukan berdering karena ada yang peduli, tetapi karena adanya notifikasi berita gempa, longsor, perceraian artis, dukun cabul, korupsi dan masih banyak lagi yang gak bisa saya jabarkan satu per satu. Dan hal itu membuat saya muak. Muak dengan berita dukun cabulnya. Saya gak habis pikir, masih ada saja orang yang percaya dengan dukun. Hal itu membuat saya bosan dan akhirnya saya mencampakkan handphone ke kasur untuk kesekian kalinya.

Jaket hitam berbau anyir selalu nempel ditubuh saya yang tegap ini. Saya ngak pernah menyangka ketika saya memutuskan untuk menjadi perampok, hidup saya berubah. Rumah yang berdiri kokoh di lahan yang ukuran terbilang besar ini adalah hasil dari merampok.

Eits, tunggu dulu. Saya gak mau kamu semua berpikir kalau saya enggak punya cita-cita seperti anak jaman sekarang. Yang ketika ditanya dengan guru kelasnya begini: "Anak-anak, cita-cita kalian kalau besar nanti mau jadi apa," spontan anak-anak itu berteriak, "mau jadi pilot buk, mau jadi dokter buk." Sumpah, saya merinding mendengar cita-cita mereka yang luar biasa, karena ternyata kenyataan hidup di dunia yang penuh kepalsuan ini tak seenak ketika mereka merengek minta ice cream sambil jungkir balik ditanah agar dibelikan oleh orang tuanya. Dan pada akhirnya si orang tua tersebut membelikan ice creamnya. Cara ini cukup amazing buat anak kecil agar permintaan mereka dituruti.

Sekarang giliran kamu, yang kerjaannya cuma rebahan di atas kasur. Coba kamu  keluar rumah, kamu merengek sekencang-kencangnya pada Tuhan sambil jungkir balik ditanah. Fix, saat itu juga kamu akan digosipi ibu-ibu kompleks. 

So, kalau kamu ingin sesuatu, kamu harus mengejarnya. Dan ketepatan cita-cita saya dulu ingin jadi kepala daerah. Alasannya cuma satu. Saya mau dipandang. Tapi ekspektasi saya dibunuh oleh kenyataan. 

Oke, cukup itu dulu yang saya infokan.

Next... 

Handphone yang saya lempar keatas kasur tadi, tiba-tiba berdering. Ternyata dari teman SMA saya bernama Ivan. 

"Ada apa, Van?" tanya Gogi dengan datar. Maklum saja, semenjak Gogi bergulat di dunia rampok, sikapnya yang dingin makin bertambah. Mengalahkan dinginnya es lilin yang dijual lima ratusan oleh ibu-ibu di depan sekolah dasar(SD) 

"Saya butuh bantuan kamu, " jawab Ivan sembari menyetir mobil di jalan tol. Mendengar hal itu Gogi menanggapinya dengan santai, "Oke, saya tunggu lo ditempat biasa," laki-laki berdarah dingin ini seolah tak ingin berbasa-basi busuk. To the poin adalah ciri khasnya. 

Ivan menginjak gas mobilnya dengan brutal, seolah dia lupa maut bisa saja menjemputnya saat ini. Namun, kepedihan hatinya akibat pemecatan yang dilakukan oleh bosnya membuat ia takut untuk membiayai ibunya yang sedang sakit keras dikampung. Ia tak butuh lama untuk sampai dicafe green yang letaknya tidak jauh dari rumah Gogi. 

Mobil putih milik Ivan parkir secara brutal di depan toko green. Sontak mata pak satpam melirik tajam sembari mengutuk dalam hati, "aku sumpahi mati kau nanti dijalan," ucap pak satpam dalam hati seraya menganggukkan kepalanya untuk mengisyaratkan selamat datang kepada Ivan. Sedangkan Ivan sama sekali tak menggubris sedikitpun. Ia berjalan cepat menghampiri penjaga cafe untuk memesan dua gelas kopi. Setelah menunggu hampir sepuluh menit, membuat ia bosan. Namun hentakan meja yang sengaja Gogi buat mampu membuyarkan lamunannya.

 "Ada apa,Van. Baru kali ini kamu mendesak panggil saya," Raut wajah Gogi datar seperti tembok lapas. Ia berharap tidak ditanya tentang pekerjaannya saat ini. Karena tidak ada seorang pun yang tau profesi merampok adalah cara ia untuk mencari uang selama ini.

"Saya dipecat Gog. Dan saat ini saya ngak ada pekerjaan," getaran suara yang Ivan pancarkan seolah mengisyaratkan kesedihan yang mendalam. Sontak Gogi berfikir sejenak. Pikirannya kacau. Ia mencari cara untuk mengalihkan pembicaraan agar Ivan tidak meminta pekerjaan kepadanya. 

"Kirim aja nomor rekening kamu. Nanti saya bantu," pungkasnya. Gogi merogoh ponsel dari kantong jaketnya.

Ivan menyengir. Selama hidupnya belum pernah sekalipun ia meminta uang kepada siapa pun termasuk Gogi. Ilmu gengsi adalah sifat utama cowok yang mempunyai lesum pipi ini.

"Saya butuh pekerjaan Gog, bukan uang kamu," cetus Ivan.

Lagi-lagi cowok dingin ini memutar isi otaknya dan memainkan rahangnya kekanan dan kekiri untuk mencari alasan agar seseorang tidak mengetahui profesinya sebagai perampok. Namun wajah Ivan yang memelas seolah tak berdaya mampu membuat Gogi akhirnya mengajak Ivan untuk mengikuti jejaknya.

"Oke, saya akan kasih kamu pekerjaan, dengan satu syarat. Kalau kamu sudah tau pekerjaan saya dan kamu enggak mau mengikutinya, saya harap kamu menjaga profesi saya," badan Gogi mencondong kedepan. Tatapan mata yang merah membuat Ivan sedikit penasaran. 

"Emangnya apa pekerjaannya? Sampai kamu seserius ini," tanya Ivan penuh kecurigaan. "Jangan katakan kalau bandar narkoba," nada suara Ivan perlahan mengecil untuk menyelidiki. Kecurigaannya bertambah ketika Gogi memanggil pelayan cafe untuk membayar tagihan minuman yang mereka pesan. Gerak kaki Gogi cepat untuk meninggalkan cafe green hingga Ivan ketinggalan jauh dibelakang.

"Mau kemana,Gog!" teriak Ivan sambil berjalan cepat. Sesampainya didepan mobil, Gogi memberi isyarat untuk mengikutinya dari belakang. Tanpa pikir panjang Ivan mulai menancapkan gas mobil yang tak terduga hingga membuat pak satpam mengutuknya untuk kedua kalinya.

"Dasar gila, mampus kau dijalan," mulut pak satpam mengerucut, mengalahkan ujung Monas. 

Mata Ivan  tertuju kedepan, tiba-tiba melirik kearah kaca mobil. Ivan memundurkan mobilnya secara sadis dan berhenti tepat disamping pak satpam. 

Seketika pak satpam menelan ludah, berharap dirinya jauh dari masalah. Keringatnya mulai timbul dan telapak tangannya sedikit gemetar. Bagaimana tidak, untuk kedua kalinya ia mengutuk Ivan, dan secara tiba-tiba Ivan mundur tepat disampingnya. 

Ivan merasa iba, ia mengambil uang seratus ribu dan memberikannya kepada pak satpam yang umurnya sudah mendekati lima puluh tahun tersebut. Ivan memberikan uangnya melalui sela-sela kaca mobil yang sengaja ia buka sedikit.

"Nih, buat bapak," spontan tangan pak satpam mengambil uangnya tanpa pikir panjang. Kutukan yang ia lontarkan sejak tadi, kini menjadi doa keselamatan. Makanya tak heran jika sifat manusia bisa berubah sesaat hanya karena uang.

"Trimah kasih pak, hati-hati dijalan," balas pak satpam sembari menganggukkan kepalanya. Ivan pun membalasnya dengan suara klekson mobilnya dan kembali menancapkan gas mobilnya secara membabi-buta. Mobil yang ia kendarai melaju kencang. Tak ingin terlalu jauh ketinggalan dibelakang Gogi, ia pun nekat menyelip mobil-mobil yang jalannya sangat lelet, mengalahkan leletnya bemo. Kleksonnya berbunyi kencang menambah kebisingan sekitar jalan raya. Tangannya fokus memutar balikkan setir. Disepanjang jalan raya sinar matahari membuat pandangannya menjadi silau. Tanpa pikir panjang kacamata hitam yang sering ia gunakan kini tertancap dihidungnya yang mancung. Sangkin lajunya, terpaksa ia berhenti secara tiba-tiba tepat disamping lampu merah. Suara hentakkan terasa jelas. Ivan menabrak motor yang berada tepat didepannya. Seketika sorot mata seorang ibu-ibu melirik tajam. Sorot matanya seperti kuda nil yang ingin memangsa seekor ayam. Sungguh sadis.

Ngak mau harga dirinya tercoreng jika berdebat dengan ibu-ibu, Ivan menerobos lampu merah. Untung saja jalan raya yang dilaluinya tidak begitu ramai.

"Sial!" gumamnya sambil memukul setir mobilnya. Sesekali ia melirik kaca mobilnya, namun ia dikagetkan dengan wajah ibu-ibu yang ternyata mengikutinya dari belakang. Motor matic berwarna hitam mencoba mendekat kearah kaca mobil Ivan. Tak ingin kalah dengan wanita itu, Ivan pasang siasat. Akhirnya Ivan menginjak rem mobilnya secara tiba-tiba. Hal itu mengakibatkan motor si ibu berhenti secara tiba-tiba hingga membuat ia terjatuh untuk kedua kalinya. Kecelakaan yang ia alami nyaris membuat lututnya berdarah hingga tidak dapat lagi untuk mengejar Ivan yang keburu laju dan menghilang.

Ivan tersadar, tenyata ia sudah sangat jauh ketinggalan dari Gogi. Sementara Gogi sudah memarkirkan mobilnya tepat di halaman rumahnya yang cukup luas.

"Saya kesasar nih! Coba kamu share lock ya!" Ucap Ivan dengan nada terengah-engah ditelepon. Sesekali ia meraba jantungnya yang sedari tadi mau copot. Ditepi jalan ia berdiri sambil menunggu pesan dari Gogi. Seketika senyumnya terlukis disudut bibirnya yang merah ketika melihat posisi rumah Gogi dari tempatnya berteduh berjarak 300 meter. Ternyata tidak terlalu jauh.  

"Ini yang dinamakan musibah membawa berkah," cetus Ivan sambil mengarahkan mobilnya memakai bantuan aplikasi map. 

Seketika Ivan melotot melihat keadaan rumah Gogi yang selama ini tidak diketahui oleh siapa pun. Berbeda dengan rumah yang sering Gogi tunjukan kepada teman-temannya selama ini. Kaki Ivan melangka cepat seperti memburu sesuatu yang berharga. Pandangannya masih mengedar kesetiap sudut rumah yang dipenuhi bunga. 

"Kamu uda nikah,Gog?" tanya Ivan penasaran. Sementara Gogi langsung mengajaknya ke lantai tiga untuk mengobrol. 

"Saya masih sendiri. Kenapa kamu tanya begitu?"

"Saya ngak nyangka aja ini rumah kamu,"

Gogi tersenyum tipis. Ia mengambil sebatang rokok yang cukup besar berwarna coklat. Mirip seperti rokok yang sering di hisap oleh pemeran bandit-bandit di televisi. Sesekali ia membulatkan asap rokok yang keluar dari mulutnya. Mereka berdua duduk santai di rooftop rumah Gogi. Angin sepoi-sepoi mengarahkan asap rokok Gogi ke arah Ivan hingga membuat Ivan batuk-batuk. 

"Kamu ngak merokok," ucap Gogi sambil menyodorkan rokok kehadapan Ivan. Namun sayang, niat baik nya ditolak oleh Ivan. 

"Sejak saya sudah menjadi embrio dikandungan, saya uda dinasehati oleh ibu saya untuk tidak merokok," tolaknya sembari tersenyum.

Gogi tersenyum jahat."Hebat ibu kamu. Lalu, apa yang bisa saya bantu?"

"Saya mau bekerja. Saya bingung harus membiayai ibu saya. Kan kamu tau kalau saya tulang punggung"

"Tapi saya kurang yakin untuk mengajak kamu. Kerjakan ini sedikit beresiko. Tapi...., kalau kamu mau, saya bisa ajak kamu"

"Saya mau. Jangan-jangan kamu punya perusahaan sendiri ya!"

Gogi menggeleng pelan sambil menikmati kepulan asap rokok.

"Kamu mau minum apa?"

"Air putih aja," Ivan masih penasaran dengan kerjaan yang Gogi tawarkan. Pandangannya masih stay kepada Gogi yang masih menikmati beberapa kepulan asap rokoknya.

"Antar air putih ke atas ya bik," perintah Gogi kepada pembantunya melalui telefon. 

"Kamu tinggal sama pembantu dirumah segede ini?" Mata Ivan membulat lebar serasa tak percaya.

Gogi menggangguk pelan.

"Kenapa?" Tanya Ivan penasaran. Ia tertawa jahat. Sesekali ia berdiri lalu duduk kembali. Gogi yang dulu ia kenal kini berubah menjadi seseorang yang penuh teka-teki. Belum lagi profesi yang Gogi gelutin membuat ia masih penasaran. 

"Ngak apa-apa. Saya cuma bingung aja sama kehidupan aslinya kamu. Yang saya tau, kamu itu tinggal dikontrakan. Dan tiba-tiba saja kamu tinggal di gedung rumah seperti ini. Dan yang paling mencengangkan saya, kamu cuma tinggal dengan pembantu kamu. Jangan-jangan pembantu kamu cantik ya! Atau..., kamu uda nikah sama dia," Mendengar perkataan Ivan membuat Gogi tertawa kecil. Sudah hampir sebulan lebih lelaki bertubuh kekar ini tidak memancarkan senyumnya.

"Saya butuh jawaban, bukan senyuman kamu. Saya masih ngak habis pikir aja! Kamu yang selama ini akrab sama saya, tapi saya merasa tertipu selama ini"

"Kamu duduk tenang aja. Saya janji bantuin kamu"

Tiba-tiba sang pembantu membawa segelas air. Seketika mata Ivan terbelalak. Sorot matanya menjadi tajam kearah pembantu Gogi yang sedang mengantarkan air putih. Mereka saling pandang. Bukan karena naksir, tapi karena mereka berdua pernah berjumpa di lampu merah tiga puluh menit yang lalu. Pembantu tersebut ternyata ibu-ibu yang tadi Ivan tabrak di lampu merah. Yang tidak lain adalah bik Ani.

"Kamu! Ngapain kamu ada disini! Sialan kamu ya! Gara-gara kamu kaki saya jadi lecet," bentak wanita ini sambil menunjuk-nunjuk kewajah Ivan. Sedangkan Ivan berusaha santai sambil meneguk air putih yang di bawa bik Ani. Ivan mencoba tetap tenang walaupun jantungnya mau beranjak. Ia berusaha mencari cara untuk meluluhkan hati wanita ini. Jika tidak, Gogi akan berubah pikiran untuk membantunya. Hal itu menjadi alasan yang kuat untuk tetap diposisi aman.

Gogi berdiri. Ia mencoba untuk menyimak apa yang sebenarnya terjadi antara kedua insan yang bernapas ini. 

"Kalian saling kenal bik?" Tanya Gogi dengan wajah bingung.

"Bukan hanya kenal pak, tapi bibik sudah hafal sekali wajah anak ini," cetusnya kesal.

Tak ingin masalah ini terlalu panjang. Ivan langsung merangkul pundak bik Ani dan meminta maaf dengan wajah yang penuh senyuman, mengalahkan senyuman senja di sore hari.

"Saya minta maaf ya bik..., tadi  saya terburu-buru. Saya tidak bisa konsentrasi. Tapi bibik tenang aja. Nanti saya kasih biaya untuk perobatan bibik"

Si bibik yang mendengar kata "uang" seketika meredam sejenak. Ditambah lagi Gogi yang berusaha menenangkan bik Ani. Membuat bik Ani akhirnya meleleh seperti wanita remaja yang digombali cowok buaya. Wajah lesu bik Ani kini berubah seperti laksana matahari yang memancarkan sinar yang menyengat. Senyum setengah sinis terpatri jelas di wajahnya yang mulai mengkerut ditelan masa. 

"Oke, bibik ngak apa-apa. Lain kali lebih hati-hati kalau dijalan raya," terang bik Ani dengan nada khas Jawa yang sangat kental. Dengan lutut yang masih tergores, bik Ani meninggalkan mereka berdua di rooftop. Seketika nafas Ivan yang sedari tadi tidak normal terdengar menarik kencang dan menghembuskannya dengan sangat tak berdaya.

"Kalau menghadapi cewek yang moodnya suka berubah-ubah ngak jelas, saya pawangnya. Tapi kalau menghadapi ibu-ibu yang seperti ini. Sumpah! Saya deg-degan! Kamu bayangin aja kalau saya berdebat dengan ibu-ibu dijalan raya. Body kayak tronton, jari tangan jempol semua. Belum lagi setiap jarinya dilingkari cincin. Dan yang paling sadisnya, kalau tangannya mendarat sadis di pipi gue, behh .. , itu pedihnya menjalar sampai ke empedu saya," ungkap Ivan dengan nada yang bersemangat. Mendengar celotehan Ivan, Gogi hanya tersenyum pelit. Tenaganya seperti tidak ada untuk berekspresi hari ini. 

"Kamu masih ingin membahas ibu-ibu yang melukai empedu kamu atau pekerjaan?" Pertanyaan Gogi membungkam mulut Ivan seketika. Tawanya berubah semakin menciut. 

"Ehm.., oke. Kita bahas pekerjaan" 

"Kalau kamu mau kerja dengan saya, kamu harus tinggal dirumah saya"

"Oke, saya mau. Apapun yang kamu inginkan, pasti saya turuti. Tapi, jabatan saya sebagai apa di perusahaan tempat kamu bekerja?"

"Saya merampok," ungkap Gogi pelan. Seketika suasana bertambah hening mengalahkan heningnya kuburan. Ivan yang berharap satu kedudukan yang jelas di suatu perusahaan, kini sirna. Hal tak terduga membuat wajahnya tampak syok. Tumit kakinya bergoyang seolah tak tenang. Kerisauan hatinya kian memuncak. Ivan termasuk orang yang tidak pernah melakukan kekerasan, kini ia harus menahan pahitnya kenyataan hidup yang menyelimuti pikirannya.

"Apa? Kamu lagi ngak bercanda kan,Gog?" 

"Sekarang keputusan ada ditangan kamu. Kalau kamu mau dan bersedia, kamu datang aja kerumah saya. Kamu bawa semua baju dan barang- barang kamu kesini, paling lama malam ini. Tapi kalau tidak, saya harap kamu ngak akan menyebarkan profesi saya ke orang lain," ucap Gogi dengan suara tegas. Ia beranjak dari kursinya. Isyarat itu seperti harga mati yang harus dituruti Ivan. Langkah kakinya semakin menjauh dan tak berharap Ivan menyetujui kesepakatan ini. Namun berbeda dengan Ivan. Ia terpaku tanpa kata dan memikirkan ajakan Gogi didalam mobilnya. Pikirannya kacau. Dunianya seperti hancur berkeping-keping. Sesekali ia melihat foto ibunya yang sedang sekarat dikampung. Tidak ada pilihan lain, ia pun menyetujui permintaan Gogi untuk mengikuti jejaknya sebagai perampok. 

Sepertinya hari ini menjadi hari yang sangat bersejarah bagi Ivan. Ia mengumpulkan barang-barang dan seluruh bajunya kedalam koper. Ia bertekad untuk mengikuti jejak Gogi. Dengan rasa percaya diri ia menyusul kerumah Gogi dan menerima tawaran Gogi untuk tinggal bersamanya.

Suara bel terdengar jelas. Bik Ani segera membukakan pintu. Ia dikejutkan dengan keberadaan Ivan dan tiga koper berwarna merah, kuning, dan hijau kini tersusun rapi didepan pintu. Warna ke tiga kopernya seperti warna pelangi dilangit yang biru.

"Kamu? Mau ngapain kesini lagi? Bukannya kamu sudah pulang dari tadi. Pak Gogi lagi mandi," jelas bik Ani. Matanya langsung menyorot koper milik Ivan yang sengaja Ivan susun didepan pintu. 

"Mulai saat ini, saya akan tinggal disini bik," jelas Ivan. 

"Apa! Sampean ini gila ta?" Tanya bik Ani penuh kebingungan. "Sampean sudah menabrak saya hari ini, dan sekarang sampean bilang mau tinggal disini!?" Ucap bik Ani sambil melotot.

Ivan menggangguk lalu menerobos masuk. Ia berteriak kencang agar Gogi mendengar suaranya dari lantai bawah

"Gogi, saya terima tawaran kamu," teriaknya kencang. 

Seketika bik Ani pingsan ditempat. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status