Mag-log inHari itu, suasana ruang rapat dipenuhi aroma kemenangan. Anggota tim tersenyum lega, beberapa bahkan menepuk bahu satu sama lain. Proyek besar yang sempat dianggap mustahil akhirnya rampung tepat waktu. Dan yang paling mengejutkan, proyek itu dipimpin oleh seseorang yang sebelumnya dianggap “tidak punya pengalaman” — aku.
Aku menatap layar laptopku yang menampilkan laporan akhir. Jari-jariku masih sedikit gemetar, bukan karena gugup, tapi karena terlalu lama mengetik dan mengutak-atik detail kecil yang bisa saja menggagalkan seluruh presentasi. Meski lelah, ada kepuasan tersendiri yang tak bisa kujelaskan. “Good job,” salah satu rekan tim menepuk bahuku. Tapi aku bisa melihat, senyumnya hambar, seolah kalimat itu hanya formalitas. Di sudut ruangan, beberapa orang berbisik-bisik, pandangan mereka jelas mengarah padaku. “Kalau bukan karena dia dekat dengan bos, mana mungkin dipilih.” “Iya, semua juga tahu siapa yang sebenarnya ada di balik layar.” Aku berpura-pura tidak mendengar, tapi telingaku terlalu peka hari ini. Aku menarik napas panjang, mencoba menepis rasa perih yang tiba-tiba muncul. Rayyan duduk di kursi ujung meja, jas hitamnya rapi, ekspresinya seperti biasa: dingin dan tak terbaca. Namun, saat aku tanpa sengaja melirik, matanya sempat menatapku sesaat. Tatapan itu datar, tapi ada kilatan singkat yang sulit kuartikan. “Presentasi ini cukup solid,” ucapnya akhirnya, suaranya tegas, menguasai ruangan. “Saya akui tim sudah bekerja keras. Namun, kita tidak berhenti di sini.” Semua mata langsung menoleh padanya. Aku ikut mengangkat wajah, merasa ada firasat buruk dari nada suaranya. “Ada proyek lain yang sudah menunggu. Lebih besar, lebih strategis. Dan saya ingin beberapa orang tetap berada di lingkaran inti.” Ia menatap berkeliling, lalu menambahkan dengan jelas, “Termasuk Aisyah Rahmani.” Darahku seperti berhenti mengalir sesaat. Aku? Lagi? Bisik-bisik segera memenuhi ruangan, kali ini lebih keras daripada sebelumnya. Beberapa pasang mata menatapku dengan jelas, sebagian iri, sebagian mencibir. Aku menelan ludah, mencoba menguasai diri. “Tapi, Pak… bukankah saya baru saja—” kalimatku terputus. Aku sempat ingin membantah, namun cepat-cepat menahan diri. Rasanya tak ada gunanya melawan secara terbuka. Rayyan menoleh ke arahku. Tatapan itu membuatku serba salah. Dingin, tapi entah kenapa seperti sedang menantang. “Ada masalah, Aisyah?” tanyanya datar. Aku menggeleng pelan, menundukkan kepala. “Tidak, Pak.” Suaraku terdengar lebih rendah dari biasanya, tapi aku tahu beberapa orang memperhatikan dengan puas, mungkin berharap aku mempermalukan diri sendiri. “Bagus,” balasnya singkat. Lalu ia mengumumkan bahwa proyek baru akan dikerjakan dengan tim lebih kecil — dan aku ditunjuk langsung untuk bekerja bersamanya. --- Beberapa jam setelah rapat, aku duduk sendirian di meja kerjaku. Laptop sudah tertutup, tapi pikiranku masih penuh. Rasanya perutku mual memikirkan apa yang akan terjadi. Satu proyek sudah cukup membuat gosip bertebaran. Kalau kali ini aku bekerja langsung dengan Rayyan, bisa kubayangkan apa yang akan dibicarakan orang-orang. “Aisyah, selamat ya.” Seorang rekan mendekat, senyumnya tipis. Aku hanya mengangguk, mencoba sopan, meski jelas-jelas ucapan itu terdengar sarkastis. Setelah ia pergi, aku menutup wajah dengan kedua tangan. Ya Allah… kenapa harus begini? Aku tahu ini kesempatan langka. Di atas kertas, ini bisa jadi batu loncatan besar dalam karierku. Tapi di sisi lain, reputasiku di kantor sudah hancur sebelum sempat tumbuh. “Aisyah.” Aku tersentak. Suara itu… dingin tapi familiar. Perlahan aku menurunkan tanganku, menoleh, dan benar saja: Rayyan berdiri di samping meja, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. “Ya, Pak?” tanyaku, cepat-cepat berdiri. “Ada waktu lima menit? Saya ingin membicarakan teknis awal proyek,” katanya singkat. Aku menahan napas. Ingin sekali aku mengatakan tidak, ingin sekali aku menjawab ketus. Tapi kali ini, aku memilih menahan diri. “Baik, Pak,” jawabku singkat. Kami berjalan berdampingan ke ruangannya. Sepanjang jalan, aku bisa merasakan mata-mata yang mengikuti setiap langkahku. Rasanya seperti ada sorotan lampu yang membakar punggungku. Begitu pintu tertutup, Rayyan langsung duduk di kursinya. Ia membuka beberapa dokumen di layar komputer, menjelaskan secara ringkas apa yang akan menjadi tanggung jawabku. Suaranya tetap datar, tapi kali ini aku merasa ada nada berbeda — seolah ia sengaja memberi beban, menguji, tapi bukan lagi untuk menjatuhkan. Aku hanya mendengarkan, sesekali mengangguk, menahan diri untuk tidak membalas dengan nada sarkastis. “Kalau ada keberatan, katakan sekarang,” ujarnya akhirnya, menatapku lurus. Aku menegakkan bahu. “Tidak, Pak. Saya akan berusaha semaksimal mungkin.” Ada sesuatu di matanya yang berubah sesaat. Bukan senyum, bukan juga tatapan ramah, tapi seperti ada pengakuan kecil. Ia hanya mengangguk tipis sebelum kembali menatap layar. Aku menarik napas panjang. Dalam hati aku berjanji: aku tidak akan membiarkan orang-orang menganggapku hanya menumpang nama Rayyan. Aku akan buktikan bahwa aku bisa berdiri di sini dengan caraku sendiri. Meski, entah kenapa… setiap kali bertemu tatap dengannya, dadaku terasa berdesir aneh. Dan aku benci mengakuinya.Siang itu, Hana datang menghampiri mejanya dengan senyum usil.“Aku lihat Pak Rayyan tadi puji kamu lagi di depan tim. Kamu nggak deg-degan?” godanya.Aisyah pura-pura sibuk merapikan kertas. “Itu biasa aja, Han. Pujian kerja, bukan yang lain.”Hana mendekat, berbisik, “Kamu masih nggak sadar juga? Cara dia lihat kamu beda, Sya. Dia mungkin nggak ngomong, tapi aku yakin dia peduli lebih dari sekadar atasan ke bawahan.”Aisyah menghela napas. “Justru itu masalahnya. Dia nggak pernah ngomong. Kalau semua ini cuma aku yang salah paham, aku bisa kewalahan, Han. Dan aku nggak bisa ambil risiko itu.”Hana menepuk tangannya lembut. “Terus kalau Farid?”Pertanyaan itu membuat Aisyah terdiam lama. “Farid… baik. Dia jelas sama perasaannya. Tapi aku nggak tahu, Han. Aku nggak ngerasa deg-degan kayak… kayak kalau sama Pak Rayyan.” suaranya hampir tidak terdengar di akhir kalimat. Ini pertama kalinya ia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya kepada orang lain.Hana tersenyum miris. “Kadang yang
Rayyan duduk di ruang kerjanya malam itu, hanya ditemani lampu meja dan layar laptop yang menyorot berkas-berkas proyek Dubai. Matanya menelusuri angka-angka, grafik, dan catatan rapat, tapi pikirannya sama sekali tidak tenang. Bayangan pertemuannya dengan Farid di kafe terus kembali. Senyum ramah pria itu, kalimat-kalimatnya yang terdengar tulus, seolah menggema di kepalanya. “Saya ingin ada di sisinya. Agar dia tidak merasa sendirian.” Kata-kata itu membuat Rayyan menggenggam erat pulpen di tangannya. Bukan marah—lebih kepada rasa tidak rela yang sulit ia definisikan. Merasa tidak mampu memberikan yang serupa. Ia tahu, kali ini, ia tidak hanya menghadapi kompetitor bisnis, tapi juga kompetitor hati. Dan yang membuatnya semakin sulit: kompetitor ini tidak bisa ia kalahkan dengan angka, kontrak, atau hukum. Rayyan menarik napas panjang, bersandar di kursinya. Ia harus berpikir elegan. Bukan frontal, bukan dengan kekuasaan yang bisa membuat Aisyah merasa terkekang. “Aku harus men
Rayyan pagi itu terlihat lebih serius dari biasanya. Wajahnya tegang, suaranya dingin ketika memberi instruksi.“Aisyah, laporan progress terakhir sudah kamu siapkan?”“Sudah, Pak.” Aisyah menyerahkan berkas dengan hati-hati.Rayyan menerimanya tanpa banyak bicara, tapi tatapannya singgah lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu di balik mata itu—campuran antara ingin bicara, tapi menahan diri.Aisyah merasa tidak nyaman. Ia bisa menebak, mungkin Rayyan melihat dirinya dengan Farid kemarin.Siang hari, saat makan siang bersama Hana, gosip mulai muncul.“Halo, Nona populer,” Hana menyikutnya pelan.Aisyah mengernyit. “Apa lagi, Han?”“Aku lihat kemarin kamu jalan sama cowok ganteng bawa bunga. Siapa tuh? Jangan bilang pacar lama yang tiba-tiba balik.”Aisyah hampir tersedak. “Bukan, bukan. Dia teman kuliah. Namanya Farid.”Hana tertawa kecil. “Teman kuliah yang bawain bunga? Hmm, oke deh.”Aisyah mendesah. “Serius, Han. Jangan mulai gosip. Aku nggak mau ada yang salah paham lagi.”Tapi da
Ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen, presentasi yang berderet di layar besar, dan wajah-wajah tegang dari tim inti. Proyek kerja sama dengan Dubai bukan proyek biasa—ini adalah salah satu kontrak terbesar yang pernah ditangani Alfarizi Corporation. Semua detail, mulai dari teknis, regulasi internasional, hingga negosiasi, harus dipersiapkan tanpa cela.Di tengah ruangan, Aisyah duduk dengan teliti mencatat setiap poin yang disampaikan. Tangannya lincah menandai catatan penting, sementara pandangannya sesekali beralih ke Rayyan yang duduk di ujung meja, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.“Divisi legal harus pastikan semua klausul perjanjian sesuai hukum internasional. Tim marketing siapkan strategi promosi lintas negara. Dan…” Rayyan berhenti sejenak, menoleh ke arah Aisyah. “Koordinasi keseluruhan laporan tetap melalui Aisyah. Saya ingin update setiap hari.”Beberapa kepala menoleh, sedikit terkejut mendengar nama itu disebut secara spesifik. Biasanya Rayyan ja
Hari itu suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Proyek baru sudah memasuki tahap peninjauan ulang dokumen, dan setiap detail harus dicek ulang sebelum diserahkan ke klien. Aisyah duduk di mejanya, laptop terbuka, dokumen-dokumen berjejer, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Nama Rayyan berputar terus di kepalanya. Entah bagaimana, setiap kali mencoba fokus, bayangan tatapan pria itu muncul. Tatapan dingin di ruang rapat tempo hari, kalimat pendek tapi penuh makna, “Kamu tidak sendirian.” Semuanya seperti terpatri.Aisyah menggeleng pelan, menepuk pipinya sendiri. “Fokus, Sya. Fokus.”Tapi semakin ia memaksa, semakin pikirannya justru menjauh dari layar di depannya.Sampai akhirnya, ia tanpa sadar mengirimkan dokumen revisi ke klien… dengan lampiran yang salah.Baru satu jam kemudian ia menyadari. Hana, rekan kerjanya, berbisik panik sambil menunjuk layar: “Sya, ini kamu kirim yang draft awal, bukan yang sudah direvisi. Klien sudah balas email, katanya bingung kenapa data
Udara sore itu terasa lebih padat dari biasanya. Aisyah baru saja kembali dari kampung setelah memastikan kondisi ibunya stabil. Tubuhnya lelah, namun pikirannya jauh lebih sibuk. Sejak duduk di dalam taksi menuju apartemen, bayangan satu nama terus berputar dalam benaknya: Rayyan Alfarizi.Ia sudah tahu. Ia sudah yakin. Semua kemudahan perjalanan ke kampung, tiket pesawat yang tiba-tiba tersedia, bahkan jalur cepat di klinik—semuanya ulah Rayyan.Meski tak pernah diucapkan langsung, Aisyah bisa merasakan betapa pria itu diam-diam menjaga. Tapi justru itulah yang membuatnya resah. Kenapa harus sembunyi? Kenapa tidak bicara terus terang?Keesokan harinya, Aisyah melangkah masuk ke kantor. Beberapa rekan kerja menyapanya hangat. “Hai, Sya! Bagaimana kabar ibumu? Sudah membaik?”Aisyah mengangguk sambil tersenyum tipis. “Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih.”Namun, hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia tahu, hari ini ia harus menghadapi Rayyan. Dan, entah bagaimana, ia ingin







