Share

Bab 11 – Keputusan Baru

last update Last Updated: 2025-09-02 15:13:09

Hari itu, suasana ruang rapat dipenuhi aroma kemenangan. Anggota tim tersenyum lega, beberapa bahkan menepuk bahu satu sama lain. Proyek besar yang sempat dianggap mustahil akhirnya rampung tepat waktu. Dan yang paling mengejutkan, proyek itu dipimpin oleh seseorang yang sebelumnya dianggap “tidak punya pengalaman” — aku.

Aku menatap layar laptopku yang menampilkan laporan akhir. Jari-jariku masih sedikit gemetar, bukan karena gugup, tapi karena terlalu lama mengetik dan mengutak-atik detail kecil yang bisa saja menggagalkan seluruh presentasi. Meski lelah, ada kepuasan tersendiri yang tak bisa kujelaskan.

“Good job,” salah satu rekan tim menepuk bahuku. Tapi aku bisa melihat, senyumnya hambar, seolah kalimat itu hanya formalitas. Di sudut ruangan, beberapa orang berbisik-bisik, pandangan mereka jelas mengarah padaku.

“Kalau bukan karena dia dekat dengan bos, mana mungkin dipilih.”

“Iya, semua juga tahu siapa yang sebenarnya ada di balik layar.”

Aku berpura-pura tidak mendengar, tapi telingaku terlalu peka hari ini. Aku menarik napas panjang, mencoba menepis rasa perih yang tiba-tiba muncul.

Rayyan duduk di kursi ujung meja, jas hitamnya rapi, ekspresinya seperti biasa: dingin dan tak terbaca. Namun, saat aku tanpa sengaja melirik, matanya sempat menatapku sesaat. Tatapan itu datar, tapi ada kilatan singkat yang sulit kuartikan.

“Presentasi ini cukup solid,” ucapnya akhirnya, suaranya tegas, menguasai ruangan. “Saya akui tim sudah bekerja keras. Namun, kita tidak berhenti di sini.”

Semua mata langsung menoleh padanya. Aku ikut mengangkat wajah, merasa ada firasat buruk dari nada suaranya.

“Ada proyek lain yang sudah menunggu. Lebih besar, lebih strategis. Dan saya ingin beberapa orang tetap berada di lingkaran inti.” Ia menatap berkeliling, lalu menambahkan dengan jelas, “Termasuk Aisyah Rahmani.”

Darahku seperti berhenti mengalir sesaat.

Aku? Lagi?

Bisik-bisik segera memenuhi ruangan, kali ini lebih keras daripada sebelumnya. Beberapa pasang mata menatapku dengan jelas, sebagian iri, sebagian mencibir.

Aku menelan ludah, mencoba menguasai diri. “Tapi, Pak… bukankah saya baru saja—” kalimatku terputus. Aku sempat ingin membantah, namun cepat-cepat menahan diri. Rasanya tak ada gunanya melawan secara terbuka.

Rayyan menoleh ke arahku. Tatapan itu membuatku serba salah. Dingin, tapi entah kenapa seperti sedang menantang. “Ada masalah, Aisyah?” tanyanya datar.

Aku menggeleng pelan, menundukkan kepala. “Tidak, Pak.” Suaraku terdengar lebih rendah dari biasanya, tapi aku tahu beberapa orang memperhatikan dengan puas, mungkin berharap aku mempermalukan diri sendiri.

“Bagus,” balasnya singkat. Lalu ia mengumumkan bahwa proyek baru akan dikerjakan dengan tim lebih kecil — dan aku ditunjuk langsung untuk bekerja bersamanya.

---

Beberapa jam setelah rapat, aku duduk sendirian di meja kerjaku. Laptop sudah tertutup, tapi pikiranku masih penuh. Rasanya perutku mual memikirkan apa yang akan terjadi.

Satu proyek sudah cukup membuat gosip bertebaran. Kalau kali ini aku bekerja langsung dengan Rayyan, bisa kubayangkan apa yang akan dibicarakan orang-orang.

“Aisyah, selamat ya.” Seorang rekan mendekat, senyumnya tipis. Aku hanya mengangguk, mencoba sopan, meski jelas-jelas ucapan itu terdengar sarkastis.

Setelah ia pergi, aku menutup wajah dengan kedua tangan. Ya Allah… kenapa harus begini?

Aku tahu ini kesempatan langka. Di atas kertas, ini bisa jadi batu loncatan besar dalam karierku. Tapi di sisi lain, reputasiku di kantor sudah hancur sebelum sempat tumbuh.

“Aisyah.”

Aku tersentak. Suara itu… dingin tapi familiar. Perlahan aku menurunkan tanganku, menoleh, dan benar saja: Rayyan berdiri di samping meja, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana.

“Ya, Pak?” tanyaku, cepat-cepat berdiri.

“Ada waktu lima menit? Saya ingin membicarakan teknis awal proyek,” katanya singkat.

Aku menahan napas. Ingin sekali aku mengatakan tidak, ingin sekali aku menjawab ketus. Tapi kali ini, aku memilih menahan diri.

“Baik, Pak,” jawabku singkat.

Kami berjalan berdampingan ke ruangannya. Sepanjang jalan, aku bisa merasakan mata-mata yang mengikuti setiap langkahku. Rasanya seperti ada sorotan lampu yang membakar punggungku.

Begitu pintu tertutup, Rayyan langsung duduk di kursinya. Ia membuka beberapa dokumen di layar komputer, menjelaskan secara ringkas apa yang akan menjadi tanggung jawabku. Suaranya tetap datar, tapi kali ini aku merasa ada nada berbeda — seolah ia sengaja memberi beban, menguji, tapi bukan lagi untuk menjatuhkan.

Aku hanya mendengarkan, sesekali mengangguk, menahan diri untuk tidak membalas dengan nada sarkastis.

“Kalau ada keberatan, katakan sekarang,” ujarnya akhirnya, menatapku lurus.

Aku menegakkan bahu. “Tidak, Pak. Saya akan berusaha semaksimal mungkin.”

Ada sesuatu di matanya yang berubah sesaat. Bukan senyum, bukan juga tatapan ramah, tapi seperti ada pengakuan kecil. Ia hanya mengangguk tipis sebelum kembali menatap layar.

Aku menarik napas panjang. Dalam hati aku berjanji: aku tidak akan membiarkan orang-orang menganggapku hanya menumpang nama Rayyan. Aku akan buktikan bahwa aku bisa berdiri di sini dengan caraku sendiri.

Meski, entah kenapa… setiap kali bertemu tatap dengannya, dadaku terasa berdesir aneh.

Dan aku benci mengakuinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 49 - Kehadiran yang Mengusik

    Ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen, presentasi yang berderet di layar besar, dan wajah-wajah tegang dari tim inti. Proyek kerja sama dengan Dubai bukan proyek biasa—ini adalah salah satu kontrak terbesar yang pernah ditangani Alfarizi Corporation. Semua detail, mulai dari teknis, regulasi internasional, hingga negosiasi, harus dipersiapkan tanpa cela.Di tengah ruangan, Aisyah duduk dengan teliti mencatat setiap poin yang disampaikan. Tangannya lincah menandai catatan penting, sementara pandangannya sesekali beralih ke Rayyan yang duduk di ujung meja, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.“Divisi legal harus pastikan semua klausul perjanjian sesuai hukum internasional. Tim marketing siapkan strategi promosi lintas negara. Dan…” Rayyan berhenti sejenak, menoleh ke arah Aisyah. “Koordinasi keseluruhan laporan tetap melalui Aisyah. Saya ingin update setiap hari.”Beberapa kepala menoleh, sedikit terkejut mendengar nama itu disebut secara spesifik. Biasanya Rayyan ja

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 48 - Keputusan yang Menentukan

    Hari itu suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Proyek baru sudah memasuki tahap peninjauan ulang dokumen, dan setiap detail harus dicek ulang sebelum diserahkan ke klien. Aisyah duduk di mejanya, laptop terbuka, dokumen-dokumen berjejer, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Nama Rayyan berputar terus di kepalanya. Entah bagaimana, setiap kali mencoba fokus, bayangan tatapan pria itu muncul. Tatapan dingin di ruang rapat tempo hari, kalimat pendek tapi penuh makna, “Kamu tidak sendirian.” Semuanya seperti terpatri.Aisyah menggeleng pelan, menepuk pipinya sendiri. “Fokus, Sya. Fokus.”Tapi semakin ia memaksa, semakin pikirannya justru menjauh dari layar di depannya.Sampai akhirnya, ia tanpa sadar mengirimkan dokumen revisi ke klien… dengan lampiran yang salah.Baru satu jam kemudian ia menyadari. Hana, rekan kerjanya, berbisik panik sambil menunjuk layar: “Sya, ini kamu kirim yang draft awal, bukan yang sudah direvisi. Klien sudah balas email, katanya bingung kenapa data

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku     Bab 47 - Perhatian yang Mengganggu

    Udara sore itu terasa lebih padat dari biasanya. Aisyah baru saja kembali dari kampung setelah memastikan kondisi ibunya stabil. Tubuhnya lelah, namun pikirannya jauh lebih sibuk. Sejak duduk di dalam taksi menuju apartemen, bayangan satu nama terus berputar dalam benaknya: Rayyan Alfarizi.Ia sudah tahu. Ia sudah yakin. Semua kemudahan perjalanan ke kampung, tiket pesawat yang tiba-tiba tersedia, bahkan jalur cepat di klinik—semuanya ulah Rayyan.Meski tak pernah diucapkan langsung, Aisyah bisa merasakan betapa pria itu diam-diam menjaga. Tapi justru itulah yang membuatnya resah. Kenapa harus sembunyi? Kenapa tidak bicara terus terang?Keesokan harinya, Aisyah melangkah masuk ke kantor. Beberapa rekan kerja menyapanya hangat. “Hai, Sya! Bagaimana kabar ibumu? Sudah membaik?”Aisyah mengangguk sambil tersenyum tipis. “Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih.”Namun, hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia tahu, hari ini ia harus menghadapi Rayyan. Dan, entah bagaimana, ia ingin

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 46 - Luka yang Terus Menganga

    Esoknya, setelah memastikan ibunya stabil, Aisyah berdiri di teras rumah sambil menatap sawah yang hijau. Angin sore membawa aroma tanah basah. Namun pikirannya tak bisa lepas dari satu nama: Rayyan Alfarizi.Ia menimbang-nimbang perasaannya. Di satu sisi, ia sangat berterima kasih. Hatinya hangat karena tahu di balik dinginnya sikap Rayyan di kantor, ada perhatian tulus yang ia tunjukkan dengan cara tersembunyi. Tapi di sisi lain, ini membuatnya semakin sulit dan bingung bagaimana harus menyikapi.Aisyah sadar, jika ia membiarkan hatinya terlalu larut, ia bisa terseret ke dalam hubungan yang tidak jelas. “Aku harus tetap waras,” gumamnya.Namun, suara hati itu kian sulit ditekan.Tak lama, ponselnya bergetar. Nama Pak Rayyan muncul di layar.Aisyah menelan ludah sebelum mengangkat. “Halo, Pak.”Suara Rayyan terdengar seperti biasa: datar dan singkat. “Bagaimana kondisi ibu?”“Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih, Pak.”Hening beberapa detik. Aisyah ingin sekali mengucapkan:

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 45: Suara Hati yang Bercabang

    Aisyah duduk lama di pantry kantor, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Pikiran masih berputar—email tawaran luar negeri di satu sisi, surat penugasan dari Rayyan di sisi lain.Hana, yang baru masuk membawa camilan, langsung mendeteksi keganjilan itu. “Hey, kamu dari tadi bengong terus. Ada apa, Sya?”Aisyah mengangkat wajah, tersenyum samar. “Aku lagi bingung, Han. Ada tawaran kerja baru.”Hana duduk di kursi seberang, mencondongkan badan dengan antusias. “Serius? Dari perusahaan luar? Itu kan mimpimu sejak dulu!”Aisyah mengangguk pelan. “Iya. Jonny, yang dulu pernah presentasi bareng Pak Rayyan, mengajakku bergabung. Gajinya besar, fasilitas lengkap. Aku bisa dapat exposure internasional.”“Lalu kenapa bingung? Bukankah itu kesempatan emas?”Aisyah menghela napas panjang. “Karena di saat yang sama, Pak Rayyan memberiku kepercayaan besar juga. Dia menunjukku memimpin tim ekspansi kerja sama dengan firma Dubai. Itu setara, bahkan mungkin lebih menantang… hanya saja, aku tetap

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 44 - Langkah Rayyan

    Hari itu, kantor masih ramai ketika Aisyah baru saja menyelesaikan serangkaian rapat. Tubuhnya lelah, tapi hatinya hangat. Sejak proyek besar terakhir sukses, ia sering mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak.Namun, sore itu berbeda. Seorang tamu dari perusahaan konsultan internasional datang. Namanya Jonny, seorang ekspatriat ramah dengan senyum percaya diri. Ia sengaja menemuinya setelah rapat bersama direksi selesai.“Miss Aisyah, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.Aisyah menoleh, sedikit kaget. “Tentu, Pak.”Mereka pun berbincang di lobi. Jonny langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Kami sudah lama memperhatikan presentasi dan kontribusi Anda. Perusahaan kami sedang mencari konsultan muda untuk proyek besar di Singapura. Anda punya kualifikasi yang cocok.”Kata-kata itu membuat Aisyah terdiam. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tawaran internasional? Itu kesempatan yang sulit ditolak oleh siapa pun di posisinya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status