Home / Romansa / Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku / Bab 10 – Terjebak di Antara Dinding Besi

Share

Bab 10 – Terjebak di Antara Dinding Besi

last update Last Updated: 2025-09-02 15:10:31

Hari itu aku lagi-lagi pulang larut. Proyek baru yang dipercayakan padaku menyedot hampir seluruh energi. Dokumen, revisi, rapat mendadak, semuanya menumpuk hingga aku kehilangan jejak waktu. Jam dinding sudah menunjuk pukul sembilan malam ketika aku akhirnya membereskan meja.

Lantai kantor sunyi. Lampu neon sebagian sudah dipadamkan, hanya tersisa beberapa cahaya di koridor. Aku menekan tombol lift dengan tubuh lelah, ingin segera pulang dan rebah di ranjang.

Ketika pintu lift terbuka, aku mendapati seseorang sudah ada di dalamnya.

Rayyan.

Tentu saja.

Ia berdiri tegap dengan jas masih rapi, padahal jam sudah hampir tengah malam. Aku menghela napas dalam hati. Dari semua kemungkinan, kenapa harus bersamaan dengan dia?

“Masuk atau tidak?” suaranya terdengar dingin.

Aku menahan diri agar tidak mendengus. “Masuk, tentu saja,” jawabku sembari melangkah.

Pintu lift tertutup. Hening. Hanya suara mesin lift yang menderu pelan. Aku berusaha menatap ke depan, menjaga jarak sejauh mungkin. Namun keheningan itu terasa menekan.

---

Lift Berhenti Mendadak

Tiba-tiba, lift bergetar keras dan berhenti di antara dua lantai. Lampu meredup, lalu menyala darurat dengan cahaya kuning kusam.

Aku terlonjak. “Apa-apaan ini?”

Rayyan segera menekan tombol darurat, tapi lift tetap diam. Ia mencoba menghubungi lewat interkom, namun tak ada respons.

“Kemungkinan gangguan teknis,” katanya datar, seolah tidak sedang terjebak.

Aku panik. “Gangguan? Kita… kita terjebak?!”

“Tenang, Aisyah.”

“Tenang? Bagaimana saya bisa tenang? Kita ada di ruangan besi sempit tanpa sinyal, tanpa udara segar, dan tidak tahu kapan pintunya akan terbuka!” suaraku bergetar

Rayyan memejamkan mata sebentar, lalu menatapku. “Kalau kamu panik, oksigen akan semakin terasa sesak.”

Aku langsung terdiam

--

Beberapa menit berlalu. Aku duduk bersandar pada dinding lift, mencoba menstabilkan napas. Keheningan kembali hadir, tapi kali ini lebih tegang.

“Kalau kamu sudah mulai tenang, kita bisa bicara,” Rayyan akhirnya membuka suara.

Aku menoleh cepat. “Bicara? mungkin tentang menyuruh saya berhenti peduli pada omongan rekan kerja?”

Rayyan menatapku lekat. “Kamu memang terlalu peduli pada penilaian orang.”

“Apakah ini salah? Saya berusaha kerja keras, saya tidak pernah minta keringanan. Tapi setiap kali saya diberi kepercayaan, orang-orang bilang saya cari muka. Dan Anda..." aku menatap lekat ke matanya “...Anda diam saja, seolah memberikan persetujuan!”

Suaraku bergetar karena emosi.

Rayyan tetap tidak bergeming. “Kalau saya membela kamu, apa gosipnya tidak akan semakin parah?”

Aku terdiam, terhenti oleh logikanya. Tapi dadaku masih panas.

“Jadi Anda sengaja membiarkan saya jadi sasaran? Luar biasa.” Aku menjawab sarkastik.

“Tidak begitu maksud saya.” Suaranya lebih rendah kali ini. “Saya ingin kamu sendiri yang membuktikan kemampuanmu. Tanpa perlu saya campur tangan.”

Aku melemah. “Kedengarannya indah. Tapi rasanya sangat tidak nyaman jadi bulan-bulanan di kantor, dan Jadi mendengarkan gosip murahan setiap kali lewat koridor".

Rayyan menatapku lama, matanya agak melembut. “Saya tahu lebih dari yang kamu kira.”

Aku tertegun. “Apa maksud Anda?”

Ia tersenyum tipis, pahit. “Kamu pikir saya tidak pernah dihujat? Tidak pernah dicurigai? Posisi saya sekarang tidak datang begitu saja, Aisyah. Banyak yang menuduh saya memotong jalan, menjilat sana-sini, bahkan menjatuhkan rekan kerja. Padahal yang saya lakukan hanya bekerja lebih keras daripada tidur.”

Aku terdiam, mulutku setengah terbuka. Ini pertama kalinya Rayyan mengungkap sesuatu yang personal.

---

Keheningan turun lagi, tapi kali ini berbeda. Aku menatap lantai lift, jantungku berdetak tak karuan. Kata-katanya barusan masih menggema.

Jadi… Rayyan pun pernah merasakan hal yang sama?

“Saya…” suaraku lirih, hampir tidak terdengar. “Saya cuma lelah.”

Aku mendongak, dan tanpa sadar menatap matanya. Ada kejujuran di sana, yang membuatku kehilangan kata.

Rayyan bergeser sedikit, mendekat. “Kamu tidak sendirian, Aisyah. Meski kamu mungkin membenciku sekarang, saya ingin kamu tahu satu hal: saya tidak pernah meremehkanmu.”

Jantungku berdegup kencang. Ruangan sempit itu terasa makin panas, makin sesak, bukan karena oksigen, tapi karena tatapan kami yang bertemu terlalu lama.

Aku buru-buru mengalihkan pandangan. “Jangan bicara seakan-akan Anda peduli.”

“Tapi saya memang peduli.”

Kalimat itu menghantamku begitu saja. Aku ingin membalas dengan sarkasme, tapi lidahku kelu. Entah kenapa, suara Rayyan kali ini terlalu jujur untuk kubantah.

---

Suara berisik terdengar dari luar lift. Teknisi akhirnya datang, memberi tahu kami untuk menunggu beberapa menit lagi.

Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Rayyan hanya bersandar di dinding, menatap lurus ke depan.

Beberapa menit kemudian, pintu lift berhasil dibuka. Udara segar langsung masuk, membuatku merasa lebih hidup.

Aku melangkah keluar lebih dulu, menolak menoleh ke belakang. Tapi langkah Rayyan menyusul, tenang seperti biasa.

Di depan pintu keluar gedung, ia berhenti.

“Aisyah.”

Aku menoleh setengah hati.

“Kalau kamu ingin marah, silakan. Tapi jangan pernah ragukan satu hal: kamu pantas ada di posisi sekarang.”

Aku tercekat. Tak mampu berkata-kata, aku hanya menunduk dan melangkah pergi.

Di dalam hati, amarahku masih ada, tapi bercampur dengan sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih membingungkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 49 - Kehadiran yang Mengusik

    Ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen, presentasi yang berderet di layar besar, dan wajah-wajah tegang dari tim inti. Proyek kerja sama dengan Dubai bukan proyek biasa—ini adalah salah satu kontrak terbesar yang pernah ditangani Alfarizi Corporation. Semua detail, mulai dari teknis, regulasi internasional, hingga negosiasi, harus dipersiapkan tanpa cela.Di tengah ruangan, Aisyah duduk dengan teliti mencatat setiap poin yang disampaikan. Tangannya lincah menandai catatan penting, sementara pandangannya sesekali beralih ke Rayyan yang duduk di ujung meja, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.“Divisi legal harus pastikan semua klausul perjanjian sesuai hukum internasional. Tim marketing siapkan strategi promosi lintas negara. Dan…” Rayyan berhenti sejenak, menoleh ke arah Aisyah. “Koordinasi keseluruhan laporan tetap melalui Aisyah. Saya ingin update setiap hari.”Beberapa kepala menoleh, sedikit terkejut mendengar nama itu disebut secara spesifik. Biasanya Rayyan ja

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 48 - Keputusan yang Menentukan

    Hari itu suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Proyek baru sudah memasuki tahap peninjauan ulang dokumen, dan setiap detail harus dicek ulang sebelum diserahkan ke klien. Aisyah duduk di mejanya, laptop terbuka, dokumen-dokumen berjejer, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Nama Rayyan berputar terus di kepalanya. Entah bagaimana, setiap kali mencoba fokus, bayangan tatapan pria itu muncul. Tatapan dingin di ruang rapat tempo hari, kalimat pendek tapi penuh makna, “Kamu tidak sendirian.” Semuanya seperti terpatri.Aisyah menggeleng pelan, menepuk pipinya sendiri. “Fokus, Sya. Fokus.”Tapi semakin ia memaksa, semakin pikirannya justru menjauh dari layar di depannya.Sampai akhirnya, ia tanpa sadar mengirimkan dokumen revisi ke klien… dengan lampiran yang salah.Baru satu jam kemudian ia menyadari. Hana, rekan kerjanya, berbisik panik sambil menunjuk layar: “Sya, ini kamu kirim yang draft awal, bukan yang sudah direvisi. Klien sudah balas email, katanya bingung kenapa data

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku     Bab 47 - Perhatian yang Mengganggu

    Udara sore itu terasa lebih padat dari biasanya. Aisyah baru saja kembali dari kampung setelah memastikan kondisi ibunya stabil. Tubuhnya lelah, namun pikirannya jauh lebih sibuk. Sejak duduk di dalam taksi menuju apartemen, bayangan satu nama terus berputar dalam benaknya: Rayyan Alfarizi.Ia sudah tahu. Ia sudah yakin. Semua kemudahan perjalanan ke kampung, tiket pesawat yang tiba-tiba tersedia, bahkan jalur cepat di klinik—semuanya ulah Rayyan.Meski tak pernah diucapkan langsung, Aisyah bisa merasakan betapa pria itu diam-diam menjaga. Tapi justru itulah yang membuatnya resah. Kenapa harus sembunyi? Kenapa tidak bicara terus terang?Keesokan harinya, Aisyah melangkah masuk ke kantor. Beberapa rekan kerja menyapanya hangat. “Hai, Sya! Bagaimana kabar ibumu? Sudah membaik?”Aisyah mengangguk sambil tersenyum tipis. “Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih.”Namun, hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia tahu, hari ini ia harus menghadapi Rayyan. Dan, entah bagaimana, ia ingin

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 46 - Luka yang Terus Menganga

    Esoknya, setelah memastikan ibunya stabil, Aisyah berdiri di teras rumah sambil menatap sawah yang hijau. Angin sore membawa aroma tanah basah. Namun pikirannya tak bisa lepas dari satu nama: Rayyan Alfarizi.Ia menimbang-nimbang perasaannya. Di satu sisi, ia sangat berterima kasih. Hatinya hangat karena tahu di balik dinginnya sikap Rayyan di kantor, ada perhatian tulus yang ia tunjukkan dengan cara tersembunyi. Tapi di sisi lain, ini membuatnya semakin sulit dan bingung bagaimana harus menyikapi.Aisyah sadar, jika ia membiarkan hatinya terlalu larut, ia bisa terseret ke dalam hubungan yang tidak jelas. “Aku harus tetap waras,” gumamnya.Namun, suara hati itu kian sulit ditekan.Tak lama, ponselnya bergetar. Nama Pak Rayyan muncul di layar.Aisyah menelan ludah sebelum mengangkat. “Halo, Pak.”Suara Rayyan terdengar seperti biasa: datar dan singkat. “Bagaimana kondisi ibu?”“Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih, Pak.”Hening beberapa detik. Aisyah ingin sekali mengucapkan:

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 45: Suara Hati yang Bercabang

    Aisyah duduk lama di pantry kantor, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Pikiran masih berputar—email tawaran luar negeri di satu sisi, surat penugasan dari Rayyan di sisi lain.Hana, yang baru masuk membawa camilan, langsung mendeteksi keganjilan itu. “Hey, kamu dari tadi bengong terus. Ada apa, Sya?”Aisyah mengangkat wajah, tersenyum samar. “Aku lagi bingung, Han. Ada tawaran kerja baru.”Hana duduk di kursi seberang, mencondongkan badan dengan antusias. “Serius? Dari perusahaan luar? Itu kan mimpimu sejak dulu!”Aisyah mengangguk pelan. “Iya. Jonny, yang dulu pernah presentasi bareng Pak Rayyan, mengajakku bergabung. Gajinya besar, fasilitas lengkap. Aku bisa dapat exposure internasional.”“Lalu kenapa bingung? Bukankah itu kesempatan emas?”Aisyah menghela napas panjang. “Karena di saat yang sama, Pak Rayyan memberiku kepercayaan besar juga. Dia menunjukku memimpin tim ekspansi kerja sama dengan firma Dubai. Itu setara, bahkan mungkin lebih menantang… hanya saja, aku tetap

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 44 - Langkah Rayyan

    Hari itu, kantor masih ramai ketika Aisyah baru saja menyelesaikan serangkaian rapat. Tubuhnya lelah, tapi hatinya hangat. Sejak proyek besar terakhir sukses, ia sering mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak.Namun, sore itu berbeda. Seorang tamu dari perusahaan konsultan internasional datang. Namanya Jonny, seorang ekspatriat ramah dengan senyum percaya diri. Ia sengaja menemuinya setelah rapat bersama direksi selesai.“Miss Aisyah, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.Aisyah menoleh, sedikit kaget. “Tentu, Pak.”Mereka pun berbincang di lobi. Jonny langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Kami sudah lama memperhatikan presentasi dan kontribusi Anda. Perusahaan kami sedang mencari konsultan muda untuk proyek besar di Singapura. Anda punya kualifikasi yang cocok.”Kata-kata itu membuat Aisyah terdiam. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tawaran internasional? Itu kesempatan yang sulit ditolak oleh siapa pun di posisinya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status