Di tengah ruangan kecil dengan jendela kaca besar di tiap sisinya, pria dingin dan menyebalkan tadi, duduk dengan tenang di kursi utama. Kedua tangannya terlipat di atas meja, menindih beberapa kertas berserakan di bawahnya. Sinar matahari yang masuk melalui jendela, tak menghangatkan rasa dingin di hatiku saat ini.
Tatapannya lurus terarah padaku. "Aisyah Rahmani?" suaranya terdengar jelas, tajam, namun dengan nada formal. Sudut bibirnya terlihat melengkung tipis, bukan senyum ramah, lebih pada senyum meremehkan. “Menarik. Mari kita mulai wawancaranya.” Jantungku langsung turun ke perut. Astaga, kenapa harus dia? Aku dipersilahkan duduk di kursi yang disediakan. Posturku kaku, dengan tanganku yang kuletakkan di atas pangkuan, berusaha terlihat tenang padahal detak jantungku seperti hendak melompat keluar. Pria itu, yang tadi dengan enteng meremehkanku di lift, kini duduk tegap di hadapan. Dari sorot matanya, jelas ia tipe pria yang terbiasa mengintimidasi orang hanya dengan tatapan. “Baik, Aisyah Rahmani,” katanya, menyebut namaku seakan sedang menguji lidahnya menyebut sesuatu yang asing. “Kamu melamar posisi sebagai asisten pribadi direktur. Posisi yang, jujur saja, tidak semua orang sanggup jalani. Apa yang membuatmu yakin bisa menanganinya?” Nada bicaranya datar, tapi ada ketus terselubung di dalamnya. Seolah apapun jawabanku tak akan bisa memuaskannya, lalu siap untuk menertawakan. Aku mengangkat dagu sedikit, mencoba untuk terlihat lebih percaya diri dan meyakinkan. “Saya percaya diri dengan kemampuan saya. Latar belakang saya di administrasi dan pengalaman kerja saya sebelumnya cukup relevan. Saya bisa mengatur jadwal, mengurus dokumen, dan tentu saja, menjaga kerahasiaan pekerjaan dengan baik.” Ia mengetuk meja dengan jari telunjuknya yang panjang, iramanya pelan selaras dengan irama jantungku yang mulai tenang. Senyum tipis itu kembali muncul di wajahnya, senyum yang sama seperti tadi di lift. Senyum yang membuatku ingin melempar map coklat ini ke wajahnya. “Semua orang bisa menulis kalimat bagus di surat lamaran mereka,” katanya perlahan namun menyudutkan. “Pertanyaan saya sederhana. Bagaimana saya bisa percaya pada seseorang yang bahkan tidak bisa masuk lift dengan benar?” Aku langsung terdiam, wajahku terasa panas. Jadi, dia akan mengungkit masalah kecil tadi? “Serius?” aku menatapnya tak percaya. "Maaf." Aku menyadari responku kurang tepat karena keterkejutan. Serius, tersandung adalah hal normal yang dialami semua orang sesekali dalam hidupnya oke! Ia menyilangkan tangan di dada, tatapannya menusuk dan suaranya kembali tegas. “Serius. Kecerobohan kecil bisa jadi awal masalah besar. Asisten direktur tidak boleh ceroboh, bahkan satu detik pun.” Aku mengepalkan tangan di pangkuanku. Oke, cukup. Jelas dia sengaja mencari kesalahan dan meremehkan. Aku tidak akan hanya duduk diam dan membiarkan pria ini menginjak harga diriku. “Kalau begitu, seharusnya Bapak sudah menilai saya gagal sejak di lift tadi, bukan? Mengapa masih repot-repot mewawancarai saya?” tanyaku, nada suaraku lebih tajam dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya, tatapan dinginnya bergeser sedikit. Mungkin ia tidak menyangka aku akan membalas dengan cara seperti itu. Aku melanjutkan, tak mau kalah, “Saya mungkin sempat canggung di lift. Tapi itu bukan ukuran kompetensi saya. Kalau Bapak hanya menilai dari kesan pertama, berarti Bapak tidak butuh karyawan. Bapak hanya butuh cermin untuk memuaskan ego.” Ruangan hening. Karyawan perempuan yang tadi mengantarku bahkan melirik dengan tatapan ngeri, seolah aku baru saja menantang harimau di sarangnya. Pria itu—Rayyan Alfarizi, begitu nama yang tertera di papan namanya—terdiam sejenak. Sudut bibirnya terangkat, kali ini lebih jelas. Tapi senyumnya bukan hangat, melainkan semacam terhibur lelucon dariku. “Berani juga,” katanya pelan. “Jarang ada kandidat yang berani bicara seperti itu padaku.” Aku menarik napas panjang, berusaha tidak goyah. “Saya hanya menyampaikan apa adanya. Saya melamar kerja, dalam situasi saling menguntungkan. Perusaahaan membutuhkan karyawan, dan karyawan membutuhkan perusahaan. Kedatangan saya bukan datang untuk dipermalukan.” Rayyan mencondongkan tubuh ke depan, meletakkan kedua tanganya di dagunya sambil menatapku tajam. “Tahu tidak, sikap seperti itu bisa berbahaya? Kamu bisa dianggap kurang ajar.” Aku menatap balik, menolak mengalah. “Saya tidak bermaksud kurang ajar, hanya memiliki keberanian untuk mengungkapkan pendapat saya.” Sesaat, mata kami terkunci. Rasanya seperti ada pertarungan diam-diam di udara, siapa yang akan mundur lebih dulu. Aku bisa merasakan napasku cepat dan jemariku berkeringat, tapi aku menolak menunduk. Kalau aku kalah sekarang, dia akan terus meremehkanku.. Rayyan akhirnya tertawa kecil—suara rendah yang entah kenapa membuat bulu kudukku berdiri. “Cukup menarik,” katanya lagi, kali ini lebih santai. “Baiklah, mari lanjutkan. Ceritakan pengalaman kerjamu.” Aku mulai menjelaskan, dengan suara yang lebih mantap daripada sebelumnya. Aku tidak akan membiarkan pertemuan sebelumnya mengaburkan kemampuanku. Aku menceritakan pekerjaanku di kantor kecil sebelumnya, bagaimana aku terbiasa mengatur jadwal rapat bosku, mengatur dokumen keuangan, bahkan mengurus keperluan pribadi atasan seperti mengingatkan jadwal medis dan pembayaran rumah. Aku sangat baik di kantor sebelumnya. Namun skala perusahaan yang kecil membatasi peluang pertumbuhan karirku dan gaji yang kurang memuaskan untuk kebutuhan hidupku dan ibuku saat ini. Rayyan mendengarkan, sesekali mengetuk pena di atas kertas. Entah ia benar-benar memperhatikan atau hanya pura-pura sibuk. Namun aku tak peduli, aku akan terus menunjukkan bahwa aku bukan wanita ceroboh yang bisa dia remehkan seenaknya. Setelah beberapa menit tanya jawab dalam wawancara, ia bersandar di kursinya, menghela napas. “Baiklah. Kemampuanmu… cukup. Tapi, sejujurnya, aku masih tidak yakin. Kamu terlihat… terlalu emosional. Kami butuh asisten yang bisa menahan diri, bukan yang membalas dengan kata-kata tajam setiap kali ditekan.” Aku tersenyum tipis. “Kalau Bapak butuh asisten yang hanya bisa diam dan menerima perlakuan tidak adil, mungkin saya memang bukan orang yang Bapak cari.” Lagipula aku memahami diriku sendiri. Tak mungkin bagiku untuk diam saat ditindas. Jawaban itu keluar begitu saja dari mulutku, tanpa sempat kupikirkan. Tapi aku tidak menyesal. Bahkan aku bisa melihat sekilas, ekspresinya berubah sedikit. Antara terkejut, dan… tertarik? “Baik,” katanya akhirnya, dengan nada misterius. “Wawancara selesai. Kau boleh menunggu kabar dari kami.” Aku berdiri, menunduk sopan. Tapi sebelum keluar ruangan, aku menatapnya sekali lagi. “Saya harap, Bapak menilai orang dengan adil. Bukan hanya dari kesan pertama.” Aku melangkah pergi, meninggalkan Rayyan Alfarizi yang masih duduk di kursinya, menatapku dengan ekspresi yang sulit kutebak. Dan entah kenapa, hatiku berdesir aneh. Perasaan asing yang tak pernah kualami.Aisyah duduk lama di pantry kantor, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Pikiran masih berputar—email tawaran luar negeri di satu sisi, surat penugasan dari Rayyan di sisi lain.Hana, yang baru masuk membawa camilan, langsung mendeteksi keganjilan itu. “Hey, kamu dari tadi bengong terus. Ada apa, Sya?”Aisyah mengangkat wajah, tersenyum samar. “Aku lagi bingung, Han. Ada tawaran kerja baru.”Hana duduk di kursi seberang, mencondongkan badan dengan antusias. “Serius? Dari perusahaan luar? Itu kan mimpimu sejak dulu!”Aisyah mengangguk pelan. “Iya. Jonny, yang dulu pernah presentasi bareng Pak Rayyan, mengajakku bergabung. Gajinya besar, fasilitas lengkap. Aku bisa dapat exposure internasional.”“Lalu kenapa bingung? Bukankah itu kesempatan emas?”Aisyah menghela napas panjang. “Karena di saat yang sama, Pak Rayyan memberiku kepercayaan besar juga. Dia menunjukku memimpin tim ekspansi kerja sama dengan firma Dubai. Itu setara, bahkan mungkin lebih menantang… hanya saja, aku tetap
Hari itu, kantor masih ramai ketika Aisyah baru saja menyelesaikan serangkaian rapat. Tubuhnya lelah, tapi hatinya hangat. Sejak proyek besar terakhir sukses, ia sering mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak.Namun, sore itu berbeda. Seorang tamu dari perusahaan konsultan internasional datang. Namanya Jonny, seorang ekspatriat ramah dengan senyum percaya diri. Ia sengaja menemuinya setelah rapat bersama direksi selesai.“Miss Aisyah, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.Aisyah menoleh, sedikit kaget. “Tentu, Pak.”Mereka pun berbincang di lobi. Jonny langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Kami sudah lama memperhatikan presentasi dan kontribusi Anda. Perusahaan kami sedang mencari konsultan muda untuk proyek besar di Singapura. Anda punya kualifikasi yang cocok.”Kata-kata itu membuat Aisyah terdiam. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tawaran internasional? Itu kesempatan yang sulit ditolak oleh siapa pun di posisinya.
Sejak namanya makin dikenal di luar perusahaan, Aisyah merasakan perubahan nyata dalam cara orang-orang memperlakukannya. Rekan kerja yang dulu sempat meremehkan kini mulai menghargai, bahkan beberapa manajer senior yang biasanya hanya berurusan langsung dengan Rayyan, kini juga mengajaknya berdiskusi.Namun, perubahan terbesar justru terasa dalam hubungannya dengan Rayyan.--Suatu pagi, mereka berjalan berdampingan menuju ruang rapat. Biasanya, Aisyah akan berjalan setengah langkah di belakang, membiarkan Rayyan memimpin. Tapi kali ini, seorang klien menyalami Aisyah lebih dulu.“Presentasi Anda minggu lalu benar-benar mengesankan. Saya jarang melihat seseorang bisa begitu lugas sekaligus meyakinkan.”Aisyah menunduk sopan. “Terima kasih, Pak. Semua itu juga berkat arahan Pak Rayyan.”Rayyan melirik sekilas, ekspresi wajahnya nyaris tak terbaca. Tapi di balik tatapan datarnya, ada percikan hangat yang ia sembunyikan. Aisyah tidak sekadar menerima pujian itu untuk dirinya sendiri, ia
Di ruang kerja Rayyan, Aisyah memberanikan diri menyampaikan undangan itu. Ia agak ragu, takut Rayyan merasa ia melangkahi batas.“Pak, ini… ada undangan dari asosiasi bisnis. Mereka meminta saya jadi salah satu pembicara panel.”Rayyan yang tengah membaca laporan berhenti, menatapnya. Ada sekilas cahaya tak terduga di matanya.“Bagus.”“B-bagus?” Aisyah tergagap.“Ya. Kamu layak dapat kesempatan itu. Ambil saja,” jawab Rayyan singkat.Aisyah menatapnya, menunggu komentar tambahan. Tapi Rayyan tidak menambahkan apa-apa, hanya kembali fokus pada dokumen. Namun dari gerak bibir yang sedikit menahan senyum, Aisyah bisa menangkap sesuatu: Rayyan bangga.---Hari panel tiba. Aula hotel berbintang dipenuhi para pebisnis muda, investor, dan jurnalis. Aisyah mengenakan blazer sederhana, kerudungnya ditata rapi. Ia masih merasa grogi, tapi mencoba mengingat kata-kata Rayyan: “Kamu layak dapat kesempatan itu.”Ketika namanya dipanggil, ia melangkah ke panggung bersama beberapa panelis lain. Lam
Pagi itu, Rayyan sudah duduk di ruang kerjanya lebih awal dari biasanya. Layar laptop terbuka, menampilkan draft strategi baru untuk tim pemasaran. Tapi pikirannya melayang kembali pada percakapan dengan Aisyah kemarin."Saya hanya tidak ingin… terlalu bergantung pada Bapak."Kalimat itu terus terngiang. Bagi Rayyan, itu seperti cambuk halus. Ia terbiasa mengambil alih kendali, menyelesaikan masalah, dan memastikan semua berjalan sesuai kehendaknya. Namun, ia menyadari bahwa sikapnya bisa membuat seseorang merasa kecil.Dan itu adalah Aisyah—orang yang diam-diam sudah mengisi ruang di benaknya lebih dari siapapun.---Ketika Aisyah masuk membawa map berisi laporan mingguan, Rayyan menahan diri. Biasanya ia akan langsung memberi catatan detail, bahkan tak jarang mengganti beberapa keputusan. Tapi kali ini ia hanya menatapnya singkat.“Letakkan saja di meja. Nanti saya baca,” ucapnya tenang.Aisyah mengangguk, agak bingung. Biasanya Rayyan akan langsung memberi komentar panjang.Beberap
Kabar Rayyan melaporkan Fadlan ke polisi menyebar cepat. Media menyorotinya, warganet ramai membicarakan. Jika sebelumnya gosip soal dirinya dan Aisyah menguasai headline, kini pemberitaan beralih: “Rayyan Alfarizi Gugat Rival Bisnis Terkait Fitnah dan Pencemaran Nama Baik.”Aisyah membaca berita itu di layar ponselnya dengan tangan bergetar. Di satu sisi ia lega, karena akhirnya ada langkah tegas yang bisa melindungi namanya. Namun di sisi lain, ia khawatir. “Kalau ini malah memicu perang besar?” pikirnya.Di kantor, beberapa rekan kerja mendekatinya.“Wah, hebat ya. Pak Rayyan cepet banget lawan Fadlan di jalur hukum.”“Syukurlah, jadi nama kamu juga ikut bersih, Sya.”Aisyah hanya bisa tersenyum kaku, sementara hatinya berdesir setiap kali nama Rayyan disebut dalam kaitan melindunginya.---Sementara itu, Fadlan tidak tinggal diam. Di ruang kantornya, ia membanting koran dengan kesal.“Dasar brengsek! Dia pikir bisa menang dengan hukum?!” teriaknya.Salah satu asistennya mencoba me