Home / Romansa / Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku / Bab 1 – Pertemuan Pertama

Share

Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku
Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku
Author: Cahya Nirmala

Bab 1 – Pertemuan Pertama

last update Last Updated: 2025-08-18 16:06:17

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungku yang sejak tadi berlari kencang. Dari sekian banyak perusahaan yang kukirimkan lamaran, hanya satu ini yang benar-benar membalas emailku. Alfarizi Corporation—nama besar yang sudah kudengar sejak SMA. Kantornya menjulang tinggi, kaca-kaca luarnya berkilau menyilaukan di bawah sinar matahari. Gedung ini seperti simbol kekuasaan dan kesuksesan, dan aku berdiri di depannya dengan selembar CV yang terasa jauh lebih tipis dibandingkan beban hidupku.

Aku menunduk, mengecek lagi map biru yang berisi ijazah dan surat lamaran. “Bismillah, semoga lancar,” gumamku, lebih kepada diriku sendiri. Kakiku melangkah dengan sedikit gemetar, tapi aku berusaha menegakkan punggung. Bagaimanapun, aku tidak boleh terlihat minder.

Langkahku berhenti tepat di depan meja resepsionis. Seorang wanita berpenampilan modis dengan blazer hitam dan rambut dicepol rapi menyapaku dengan senyum profesional.

“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” suaranya terdengar lembut tapi berwibawa.

“Saya Aisyah Rahmani. Ada jadwal wawancara jam sembilan,” jawabku, berusaha terdengar tenang meski telapak tanganku dingin dan suara hatiku riuh seperti genderang perang.

Resepsionis itu memeriksa daftar nama di komputernya, lalu mengangguk sopan. “Silakan naik ke lantai dua puluh. Ruang wawancara ada di sebelah kanan lift.”

Aku mengucapkan terima kasih, lalu melangkah menuju lift dengan napas panjang. Jantungku makin tidak karuan. Aku butuh pekerjaan ini. Uang tabunganku hampir habis, sementara kontrakan, listrik, dan kebutuhan sehari-hari terus menghantui. Pekerjaan ini bukan hanya sekadar pekerjaan bagiku—ini adalah harapan terakhir.

Begitu pintu lift terbuka, aku melangkah masuk.

Dan di sanalah, untuk pertama kalinya, aku bertemu dengannya.

Seorang pria dengan setelan jas hitam yang terlihat mahal berdiri di sudut. Kemeja putihnya rapi, dasinya terikat sempurna, dan ponsel hitam elegan ada di tangannya. Wajahnya… dingin. Tatapannya tajam menusuk, seperti bisa menilai seseorang hanya dalam sepersekian detik. Ada aura kuat di sekelilingnya, membuat udara di dalam lift terasa menekan, seakan ruangan sempit itu terlalu kecil untuk menampung wibawanya.

Aku buru-buru berdiri agak menjauh, mencoba menjaga jarak. Namun malang, saat pintu lift hendak menutup, tumit sepatuku malah tersangkut.

“Ah!” seruku panik.

Pria itu menghela napas panjang, jelas terganggu. Ia menekan tombol ‘open’ dengan gerakan cepat, lalu menatapku tajam.

“Kau tidak tahu cara masuk lift dengan benar?” suaranya dingin, penuh nada mengejek.

Aku terdiam beberapa detik, wajahku panas. Sungguh menyebalkan. Baru pertama kali bertemu, sudah disambut dengan kalimat seperti itu.

“Terima kasih,” jawabku ketus, meski suaraku bergetar menahan malu.

Ia hanya mengangkat alis, lalu kembali menatap layar ponselnya seakan aku tak lebih dari gangguan kecil dalam hidupnya.

Perjalanan ke lantai dua puluh terasa panjang sekali. Aku meliriknya dari sudut mata—tinggi, tegap, wajahnya terlalu sempurna untuk pria normal. Sayangnya, sikapnya benar-benar menyebalkan.

Pintu lift akhirnya terbuka, dan ia melangkah keluar lebih dulu. Aku mengikuti dari belakang, masih kesal, sambil bergumam dalam hati, semoga aku tidak perlu bertemu lagi dengan pria sombong ini.

Tapi begitu memasuki ruang wawancara, darahku langsung berdesir.

Di kursi utama, pria itu duduk dengan tenang. Kedua tangannya terlipat di atas meja, tatapannya kini terarah penuh padaku.

“Aisyah Rahmani?” suaranya terdengar jelas, tajam, tapi kali ini lebih formal.

Aku tertegun. Jadi… pria menyebalkan di lift tadi adalah… pewawancara utamaku?

Aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku. “I-iya, saya.”

Sudut bibirnya melengkung tipis, bukan senyum ramah, melainkan semacam senyum meremehkan.

“Menarik. Mari kita mulai wawancaranya.”

Jantungku langsung turun ke perut. Astaga, kenapa harus dia?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku     Bab 20 - Kesal yang Tertahan

    Rayyan duduk di ruang kerjanya dengan rahang mengeras. Jari-jarinya mengetuk meja berulang kali, kebiasaan lama yang selalu muncul saat ia menahan emosi.Laporan hasil rapat pagi tadi masih terbuka di layar laptop, tapi pikirannya sama sekali tidak bisa fokus. Nama Aisyah tertulis jelas dalam notulensi—bukan sekadar peserta rapat, melainkan “koordinator tim riset” untuk proyek baru.Rayyan menutup laptop dengan kasar. Ia bersandar, memijat pelipis.“Kenapa bisa sejauh ini…” gumamnya lirih.Seharusnya, dengan surat resign itu, Aisyah sudah pergi. Seharusnya, masalah selesai. Tapi direksi malah menolak dan menjadikan Aisyah semakin bersinar di perusahaan. Dan kini, semua mata justru tertuju pada perempuan itu—perempuan yang beberapa minggu lalu hampir ia singkirkan dengan kata-kata dingin.---Siang itu, ia berjalan melewati lorong kantor. Dari kejauhan, terdengar suara tawa. Aisyah berdiri bersama beberapa rekan tim, menjelaskan sesuatu di papan tulis. Tangannya bergerak lincah, matany

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 19 - Keputusan yang Digoyahkan

    Hari Senin pagi, suasana kantor terasa berbeda. Aisyah masuk dengan langkah ringan, meski wajahnya masih menyimpan bekas letih. Ia sudah bulat hati setelah akhir pekan panjang: surat resign sudah diserahkan, masa depannya akan ia tata ulang.Namun, begitu sampai, tatapan rekan-rekannya terasa aneh. Ada yang berbisik, ada yang menatap iba, ada pula yang sekadar menunduk seolah tahu sesuatu yang ia tidak tahu.“Kenapa… semua orang lagi-lagi aneh kayak gini?” batinnya.Jawaban muncul tak lama kemudian. Mbak Ratih, sekretaris direksi, menghampirinya. “Aisyah, direksi minta kamu ke ruang rapat utama sekarang.”Aisyah mengerutkan kening. “Rapat apa? Saya nggak dapat undangan.”Ratih tersenyum canggung. “Ini… khusus membicarakan kamu.”---Di ruang rapat utama, tiga orang direksi senior sudah duduk rapi. Mereka adalah sosok-sosok berpengaruh yang jarang Aisyah hadapi langsung. Rayyan duduk di sisi lain meja, wajahnya datar namun rahangnya terlihat mengeras.“Silakan duduk, Aisyah,” ucap sala

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 18 - Batas Kesabaran

    Hari itu, suasana kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Tim marketing baru saja menyelesaikan presentasi untuk klien besar—sebuah perusahaan multinasional yang bisa menjadi peluang emas bagi perusahaan Rayyan. Semua orang bekerja keras, lembur berhari-hari, termasuk Aisyah yang menjadi koordinator data riset.Namun, ketika rapat evaluasi dimulai, bukannya pujian yang datang, hujan kritik justru melanda. Dan seperti biasa, Rayyan menjadi pihak pertama yang melontarkannya.“Siapa yang bertanggung jawab atas bagian analisis tren pasar ini?” tanya Rayyan sambil menunjuk layar. Nada suaranya dingin, tajam, menusuk.Semua orang diam. Aisyah tahu bagian itu adalah tanggung jawabnya. Ia berdiri pelan, mencoba tetap tenang. “Itu bagian saya, Pak.”Rayyan menatapnya lurus. “Data ini tidak lengkap. Ada variabel yang hilang. Kalau klien menyadari, mereka akan menganggap kita amatir. Apa kamu tahu konsekuensinya?”Aisyah menarik napas dalam-dalam. Ia yakin datanya benar, ia bahkan menambahkan

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 17 - Dinding Es yang Kembali Tegak

    Beberapa hari setelah Rayyan jatuh sakit, suasana kantor kembali normal—atau setidaknya terlihat begitu di mata semua orang. Tapi tidak bagi Aisyah. Ia masih ingat jelas kata-kata lirih yang keluar dari bibir Rayyan di antara demamnya: “Aku nggak keberatan kamu lihat aku berantakan.” Kalimat itu menghantui pikirannya, membuatnya sulit tidur beberapa malam terakhir. Namun, semua itu seakan tak pernah terjadi. Begitu Rayyan kembali duduk di kursinya yang megah di ruang direksi, sikap dinginnya kembali berdiri seperti dinding es yang menjulang tinggi. Tidak ada tanda-tanda ia mengingat apa pun dari hari ketika Aisyah menemaninya. Bahkan tatapan matanya terasa lebih tajam dari biasanya. “Laporan evaluasi minggu lalu terlalu lambat masuk. Saya nggak suka menunggu,” ucap Rayyan pada rapat pagi, suaranya datar, tetapi cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. Semua kepala tim menunduk, dan mata-mata lain beralih ke Aisyah, seolah menunggu siapa yang akan jadi sasaran berikutnya. Aisyah

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 16 – Momen Canggung

    Kantor pagi itu berjalan normal. Mesin printer berdengung, tuts keyboard dipukul cepat, dan suara telepon bersahutan. Namun bagiku, ada sesuatu yang berbeda. Bukan pada pekerjaan, melainkan pada caraku menatap pintu ruangan di ujung lorong itu—ruangan milik Rayyan.Sejak insiden beberapa hari lalu saat ia jatuh sakit, ada kalimat yang terus terngiang di kepalaku. Kalimat singkat, lirih, yang diucapkan dengan suara serak dan mata setengah terpejam.“Kalau kamu yang lihat… aku nggak keberatan kelihatan berantakan.”Waktu itu aku mengira ia tidak sadar. Tubuhnya panas, wajahnya pucat, dan matanya hampir tertutup. Aku menanggapinya hanya sebagai omongan orang sakit yang tak tahu apa yang diucapkan. Tapi anehnya, kalimat itu menempel kuat di kepalaku, seakan menolak pergi.Setiap kali aku teringat, jantungku berdetak lebih cepat. Dan setiap kali aku melihat Rayyan melintas di lorong dengan jas rapinya, aku bertanya-tanya: benarkah ia mengucapkannya dengan sadar? Atau hanya halusinasi telin

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 15 – Saat Rayyan Jatuh Sakit

    Hari itu kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Semua orang sibuk menyiapkan laporan untuk evaluasi mingguan. Suasana yang biasanya riuh dengan suara tuts keyboard dan dering telepon kini dipenuhi dengan bisik-bisik panik karyawan yang berlarian membawa berkas.Aku pun tak kalah sibuk. Sejak pagi, tugasku menumpuk, dan aku bahkan belum sempat menyeruput kopi yang kubeli tadi. Tapi di tengah kesibukan itu, mataku sempat menangkap sesuatu yang janggal: Rayyan.Biasanya pria itu muncul dengan penampilan sempurna—rambut rapi, kemeja licin tanpa satu pun lipatan, dan tatapan tajam yang seakan siap menguliti kesalahan siapa saja. Tapi pagi ini, ada yang berbeda. Wajahnya pucat, kemejanya sedikit kusut, dan langkahnya tak sekuat biasanya.Aku sempat mengira hanya ilusi karena lelah, sampai akhirnya aku melihatnya duduk di ruang rapat beberapa jam kemudian. Cahaya lampu ruangan memantul di keningnya yang basah oleh keringat. Tangannya menekan pelipis, matanya sayu.“Pak Rayyan, bagaimana m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status