Mag-log inAku keluar dari ruangan itu dengan langkah tergesa. Nafasku kembali sesak, seperti baru saja berlarian maraton. Keringat dingin menetes di pelipis, dan aku harus menekan dada agar jantungku tidak melompat keluar.
Astaghfirullah, apa tadi aku baru saja menantang calon atasan? Apapun jabatanya, jika pria itu diberi wewenang wawancara calon asisten direktur, pasti termasuk eselon menengah atau atas perusahaan. Aku bisa membayangkan dengan jelas tatapan dingin pria itu—Rayyan Alfarizi. Dari cara bicara dan sikapnya saja, aku sudah tahu ia bukan orang sembarangan di perusahaan ini. Mungkin direktur, mungkin manajer, mungkin… apapun itu, yang jelas punya kuasa besar. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. “Ya Allah, Aisyah… apa yang sudah kamu lakukan?” Aku bersandar di dinding terdekat, kembali memikirkan rangkaian peristiwa yang tak terduga barusan. Dan aku, dalam keadaan gugup, seolah otak tidak berfungsi sempurna, malah melemparkan kata-kata tajam seperti orang yang sedang adu debat di forum mahasiswa. Aku kembali melangkah dengan gontai menuju kursi tunggu yang disediakan. Beberapa pelamar lain masih duduk di sana, menunduk sambil sibuk dengan ponsel masing-masing. Ada yang wajahnya penuh percaya diri, ada yang tampak sama pucatnya denganku. Aku menjatuhkan diri di kursi kosong, lalu menunduk, berusaha menenangkan diri. “Kalau gagal, ya sudah, Aisyah. Bukan rezekimu. Jangan menyesal.” Tapi tentu saja, rasa sesal itu tak bisa dihindari. Uang tabunganku sudah menipis. Kalau aku tidak segera mendapat pekerjaan, aku tidak tahu bagaimana bisa membayar kos bulan depan, apalagi ibu di kampung juga perlu uang. Map coklat di pangkuanku telah kusut tak berbentuk karena genggamanku yang terlalu kuat, seolah dapat menguatkan diri yang kini hampir terjatuh.. Waktu terasa berjalan sangat lambat bagiku. Jarum jam dinding seperti sengaja bergerak lebih pelan. Setiap kali resepsionis keluar membawa berkas, jantungku langsung melonjak, hanya untuk jatuh lagi ketika bukan namaku yang dipanggil. Satu per satu kandidat dipanggil masuk ke ruangan lain. Ada yang keluar dengan wajah sumringah, ada juga yang cemberut. Aku tidak berani bertanya hasilnya. Pikiran buruk mulai berkecamuk. Bagaimana kalau Rayyan benar-benar menolakku hanya karena kesalahan kecil di lift dan mulutku yang terlalu lancang? Bagaimana kalau aku baru saja menutup pintu rezekiku sendiri? Aku menunduk, bibirku bergetar lirih membaca doa. “Ya Allah, kalau memang pekerjaan ini baik untukku, dekatkanlah. Kalau tidak, jauhkan dengan cara yang terbaik. Tapi… jangan biarkan aku makin terpuruk.” “Aisyah Rahmani.” Suara lembut resepsionis memecah lamunanku. Aku terlonjak, buru-buru berdiri. Kaki rasanya lemas, tapi aku paksa melangkah. “Iya, Mbak,” jawabku. “Silakan ke ruangan HR di sebelah kiri. Ada yang ingin disampaikan.” Aku menelan ludah. Ini dia. Saatnya mendengar vonis perusahaan. Dengan langkah kaku, aku mengikuti arah yang ditunjukkan. Ruangan HR lebih sederhana dibanding ruang wawancara tadi, tapi suasananya jauh lebih hangat. Di dalam, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah menyambutku. “Silakan duduk, Aisyah.” Aku duduk, menahan napas. Menunggu kabar, entah baik atau buruk. Wanita itu membuka map, membaca beberapa lembar, lalu menatapku dengan senyum makin lebar. “Selamat, Aisyah. Kamu diterima di perusahaan kami.” Aku membeku. Butuh beberapa detik sampai otakku benar-benar mencerna kalimat itu. “Di… diterima?” suaraku nyaris berbisik, benar-benar tak yakin. “Ya,” jawabnya tenang. “Mulai minggu depan, kamu resmi bekerja di sini. Posisi asisten direktur. Kami melihat potensi besar darimu.” Aku menutup mulut dengan tangan, mata terasa panas. Hampir saja aku menangis di depannya. “Alhamdulillah… terima kasih, Bu. Terima kasih banyak.” Wanita itu tersenyum lebih hangat. “Kamu terlihat gugup, tapi justru itulah yang membuat kami tahu kamu punya semangat. Direktur kami memang… agak keras, tapi dia sendiri yang bilang kamu menarik perhatian.” Aku terkejut. Direktur? Jadi pria tadi, Rayyan Alfarizi, adalah direktur utama perusahaan ini? Astaga. Jadi benar, aku barusan melawan bos besar, calon atasan langsungku. Aku hampir pingsan di kursi itu. Setelah menjalani prosedur penerimaan, aku berjalan pulang menuju halte terdekat. Langkahku terasa ringan sekaligus berat. Ringan karena aku akhirnya diterima kerja di perusahaan yang aku impikan, doa Ibu dan jerih payahku tidak sia-sia. Berat karena aku sadar, aku akan bekerja langsung di bawah pria menyebalkan itu-pria yang memiliki kesan pertama yang buruk tentangku. Aku masih bisa membayangkan tatapan Rayyan yang menusuk, nada bicaranya yang meremehkan, dan senyum tipis yang membuatku ingin marah tapi juga berdebar, salahkan wajahnya yang terlalu tampan. Ada hal aneh yang tak bisa kupungkiri. Ada sesuatu di balik tatapannya. Sesuatu yang sulit kucerna, entah rasa penasaran atau… yang lainnya?. Aku menghela napas panjang. “Aisyah, kamu harus kuat. Demi Ibu, demi masa depan. Jangan pikirkan macam-macam” Aku menatap langit sore yang mulai menggelap. Dalam hati, aku tahu perjalananku baru saja dimulai. Perjalanan yang mungkin penuh ujian, tapi siapa tahu… juga membawa kejutan yang tak terduga. Setelah turun dari bus kota, aku bersemangat menuju kosku. Sesampainya di kos, aku langsung menjatuhkan tubuh ke kasur tipis. Kamarku sederhana, hanya cukup untuk lemari kecil, meja belajar, dan tempat tidur. Tapi hari ini, rasanya lebih hangat dari biasanya. Telepon genggamku berdering. Nama "Ibu" muncul di layar. Aku segera mengangkat. “Assalamualaikum, Bu.” “Waalaikumsalam. Gimana, Nak? Wawancaranya?” suara Ibu penuh harap. Air mataku hampir jatuh mendengar nada suara itu. Aku tahu harapan Ibu juga sedang menungguku. Senang rasanya tidak mengecewakannya. “Alhamdulillah, Bu. Aisyah diterima kerja. Mulai minggu depan.” Ibu terdiam sebentar, lalu terdengar isak kecil. “Alhamdulillah… syukur pada Allah. Ibu bangga sekali sama kamu, Nak. Akhirnya doa kita dijawab.” Aku tersenyum meski air mata menetes. “Iya, Bu. Doakan Aisyah kuat ya. Perusahaannya besar sekali. Dan bosnya….” Aku terhenti, tidak tahu harus menggambarkan bagaimana. “Bosnya kenapa?” tanya Ibu. Aku tertawa hambar. “Keras, Bu. Tapi tidak apa-apa. Aisyah akan berusaha.” Setelah menutup telepon, aku berbaring menatap langit-langit. Wajah Rayyan kembali muncul di pikiranku. Aneh, padahal aku kesal setengah mati padanya, tapi bayangan itu tak mau pergi. Aku menutup mata, mencoba tidur. Tapi hatiku berdesir dengan rasa campur aduk—antara takut, cemas, dan sedikit harapan. Aku tidak tahu apa yang menungguku di perusahaan itu. Yang jelas, hidupku akan memulai perjalanan baru.Siang itu, Hana datang menghampiri mejanya dengan senyum usil.“Aku lihat Pak Rayyan tadi puji kamu lagi di depan tim. Kamu nggak deg-degan?” godanya.Aisyah pura-pura sibuk merapikan kertas. “Itu biasa aja, Han. Pujian kerja, bukan yang lain.”Hana mendekat, berbisik, “Kamu masih nggak sadar juga? Cara dia lihat kamu beda, Sya. Dia mungkin nggak ngomong, tapi aku yakin dia peduli lebih dari sekadar atasan ke bawahan.”Aisyah menghela napas. “Justru itu masalahnya. Dia nggak pernah ngomong. Kalau semua ini cuma aku yang salah paham, aku bisa kewalahan, Han. Dan aku nggak bisa ambil risiko itu.”Hana menepuk tangannya lembut. “Terus kalau Farid?”Pertanyaan itu membuat Aisyah terdiam lama. “Farid… baik. Dia jelas sama perasaannya. Tapi aku nggak tahu, Han. Aku nggak ngerasa deg-degan kayak… kayak kalau sama Pak Rayyan.” suaranya hampir tidak terdengar di akhir kalimat. Ini pertama kalinya ia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya kepada orang lain.Hana tersenyum miris. “Kadang yang
Rayyan duduk di ruang kerjanya malam itu, hanya ditemani lampu meja dan layar laptop yang menyorot berkas-berkas proyek Dubai. Matanya menelusuri angka-angka, grafik, dan catatan rapat, tapi pikirannya sama sekali tidak tenang. Bayangan pertemuannya dengan Farid di kafe terus kembali. Senyum ramah pria itu, kalimat-kalimatnya yang terdengar tulus, seolah menggema di kepalanya. “Saya ingin ada di sisinya. Agar dia tidak merasa sendirian.” Kata-kata itu membuat Rayyan menggenggam erat pulpen di tangannya. Bukan marah—lebih kepada rasa tidak rela yang sulit ia definisikan. Merasa tidak mampu memberikan yang serupa. Ia tahu, kali ini, ia tidak hanya menghadapi kompetitor bisnis, tapi juga kompetitor hati. Dan yang membuatnya semakin sulit: kompetitor ini tidak bisa ia kalahkan dengan angka, kontrak, atau hukum. Rayyan menarik napas panjang, bersandar di kursinya. Ia harus berpikir elegan. Bukan frontal, bukan dengan kekuasaan yang bisa membuat Aisyah merasa terkekang. “Aku harus men
Rayyan pagi itu terlihat lebih serius dari biasanya. Wajahnya tegang, suaranya dingin ketika memberi instruksi.“Aisyah, laporan progress terakhir sudah kamu siapkan?”“Sudah, Pak.” Aisyah menyerahkan berkas dengan hati-hati.Rayyan menerimanya tanpa banyak bicara, tapi tatapannya singgah lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu di balik mata itu—campuran antara ingin bicara, tapi menahan diri.Aisyah merasa tidak nyaman. Ia bisa menebak, mungkin Rayyan melihat dirinya dengan Farid kemarin.Siang hari, saat makan siang bersama Hana, gosip mulai muncul.“Halo, Nona populer,” Hana menyikutnya pelan.Aisyah mengernyit. “Apa lagi, Han?”“Aku lihat kemarin kamu jalan sama cowok ganteng bawa bunga. Siapa tuh? Jangan bilang pacar lama yang tiba-tiba balik.”Aisyah hampir tersedak. “Bukan, bukan. Dia teman kuliah. Namanya Farid.”Hana tertawa kecil. “Teman kuliah yang bawain bunga? Hmm, oke deh.”Aisyah mendesah. “Serius, Han. Jangan mulai gosip. Aku nggak mau ada yang salah paham lagi.”Tapi da
Ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen, presentasi yang berderet di layar besar, dan wajah-wajah tegang dari tim inti. Proyek kerja sama dengan Dubai bukan proyek biasa—ini adalah salah satu kontrak terbesar yang pernah ditangani Alfarizi Corporation. Semua detail, mulai dari teknis, regulasi internasional, hingga negosiasi, harus dipersiapkan tanpa cela.Di tengah ruangan, Aisyah duduk dengan teliti mencatat setiap poin yang disampaikan. Tangannya lincah menandai catatan penting, sementara pandangannya sesekali beralih ke Rayyan yang duduk di ujung meja, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.“Divisi legal harus pastikan semua klausul perjanjian sesuai hukum internasional. Tim marketing siapkan strategi promosi lintas negara. Dan…” Rayyan berhenti sejenak, menoleh ke arah Aisyah. “Koordinasi keseluruhan laporan tetap melalui Aisyah. Saya ingin update setiap hari.”Beberapa kepala menoleh, sedikit terkejut mendengar nama itu disebut secara spesifik. Biasanya Rayyan ja
Hari itu suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Proyek baru sudah memasuki tahap peninjauan ulang dokumen, dan setiap detail harus dicek ulang sebelum diserahkan ke klien. Aisyah duduk di mejanya, laptop terbuka, dokumen-dokumen berjejer, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Nama Rayyan berputar terus di kepalanya. Entah bagaimana, setiap kali mencoba fokus, bayangan tatapan pria itu muncul. Tatapan dingin di ruang rapat tempo hari, kalimat pendek tapi penuh makna, “Kamu tidak sendirian.” Semuanya seperti terpatri.Aisyah menggeleng pelan, menepuk pipinya sendiri. “Fokus, Sya. Fokus.”Tapi semakin ia memaksa, semakin pikirannya justru menjauh dari layar di depannya.Sampai akhirnya, ia tanpa sadar mengirimkan dokumen revisi ke klien… dengan lampiran yang salah.Baru satu jam kemudian ia menyadari. Hana, rekan kerjanya, berbisik panik sambil menunjuk layar: “Sya, ini kamu kirim yang draft awal, bukan yang sudah direvisi. Klien sudah balas email, katanya bingung kenapa data
Udara sore itu terasa lebih padat dari biasanya. Aisyah baru saja kembali dari kampung setelah memastikan kondisi ibunya stabil. Tubuhnya lelah, namun pikirannya jauh lebih sibuk. Sejak duduk di dalam taksi menuju apartemen, bayangan satu nama terus berputar dalam benaknya: Rayyan Alfarizi.Ia sudah tahu. Ia sudah yakin. Semua kemudahan perjalanan ke kampung, tiket pesawat yang tiba-tiba tersedia, bahkan jalur cepat di klinik—semuanya ulah Rayyan.Meski tak pernah diucapkan langsung, Aisyah bisa merasakan betapa pria itu diam-diam menjaga. Tapi justru itulah yang membuatnya resah. Kenapa harus sembunyi? Kenapa tidak bicara terus terang?Keesokan harinya, Aisyah melangkah masuk ke kantor. Beberapa rekan kerja menyapanya hangat. “Hai, Sya! Bagaimana kabar ibumu? Sudah membaik?”Aisyah mengangguk sambil tersenyum tipis. “Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih.”Namun, hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia tahu, hari ini ia harus menghadapi Rayyan. Dan, entah bagaimana, ia ingin







