Beranda / Romansa / Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku / Bab 3 – Kabar yang Mengejutkan

Share

Bab 3 – Kabar yang Mengejutkan

Penulis: Cahya Nirmala
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-18 16:10:12

Aku keluar dari ruangan itu dengan langkah tergesa. Nafasku terasa sesak, seperti baru saja berlarian. Keringat dingin menetes di pelipis, dan aku harus menekan dada agar jantungku tidak melompat keluar.

Astaghfirullah, apa tadi aku baru saja menantang calon atasan?

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. “Ya Allah, Aisyah… apa yang sudah kamu lakukan?”

Aku bisa membayangkan dengan jelas tatapan dingin pria itu—Rayyan Alfarizi. Dari cara bicara dan sikapnya saja, aku sudah tahu ia bukan orang sembarangan di perusahaan ini. Mungkin direktur, mungkin manajer, mungkin… apapun itu, yang jelas punya kuasa besar.

Dan aku, dalam keadaan gugup, malah melemparkan kata-kata tajam seperti orang yang sedang adu debat di forum mahasiswa.

Langkahku gontai menuju kursi tunggu. Beberapa pelamar lain masih duduk di sana, menunduk sambil sibuk dengan ponsel masing-masing. Ada yang wajahnya penuh percaya diri, ada yang tampak sama pucatnya denganku.

Aku menjatuhkan diri di kursi kosong, lalu menunduk, berusaha menenangkan diri.

“Kalau gagal, ya sudah, Aisyah. Bukan rezekimu. Jangan menyesal.”

Tapi tentu saja, rasa sesal itu menyergap. Uang tabunganku sudah menipis. Kalau aku tidak segera dapat pekerjaan, aku tidak tahu bagaimana bisa bayar kos bulan depan, apalagi kirim uang ke Ibu di kampung.

Aku menggenggam map di pangkuan erat-erat, seolah dapat menguatkan diri yang kini hampir terjatuh..

---

Waktu terasa berjalan sangat lambat. Jarum jam dinding seperti sengaja bergerak lebih pelan.

Setiap kali resepsionis keluar membawa berkas, jantungku langsung melonjak, hanya untuk jatuh lagi ketika bukan namaku yang dipanggil.

Satu per satu kandidat dipanggil masuk ke ruangan lain. Ada yang keluar dengan wajah sumringah, ada juga yang cemberut. Aku tidak berani bertanya hasilnya.

Pikiran buruk mulai berkecamuk. Bagaimana kalau Rayyan benar-benar menolakku hanya karena kesalahan kecil di lift dan mulutku yang terlalu lancang? Bagaimana kalau aku baru saja menutup pintu rezekiku sendiri?

Aku menunduk, bibirku bergetar lirih membaca doa. “Ya Allah, kalau memang pekerjaan ini baik untukku, dekatkanlah. Kalau tidak, jauhkan dengan cara yang terbaik. Tapi… jangan biarkan aku makin terpuruk.”

“Aisyah Rahmani.”

Suara lembut resepsionis memecah lamunanku. Aku terlonjak, buru-buru berdiri. Kaki rasanya lemas, tapi aku paksa melangkah.

“Iya, Mbak,” jawabku.

“Silakan ke ruangan HR di sebelah kiri. Ada yang ingin disampaikan.”

Aku menelan ludah. Ini dia. Saatnya mendengar vonis.

Dengan langkah kaku, aku mengikuti arah yang ditunjukkan. Ruangan HR lebih kecil dibanding ruang wawancara tadi, tapi suasananya hangat. Di dalam, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah menyambutku.

“Silakan duduk, Aisyah.”

Aku duduk, menahan napas.

Wanita itu membuka map, membaca beberapa lembar, lalu menatapku dengan senyum makin lebar.

“Selamat, Aisyah. Kamu diterima di perusahaan kami.”

Aku membeku.

Butuh beberapa detik sampai otakku benar-benar mencerna kalimat itu.

“Di… diterima?” suaraku nyaris berbisik.

“Ya,” jawabnya tenang. “Mulai minggu depan, kamu resmi bekerja di sini. Posisi asisten pribadi direktur. Kami melihat potensi besar darimu.”

Aku menutup mulut dengan tangan, mata terasa panas. Hampir saja aku menangis di depannya.

“Alhamdulillah… terima kasih, Bu. Terima kasih banyak.”

Wanita itu tersenyum lebih hangat. “Kamu terlihat gugup, tapi justru itulah yang membuat kami tahu kamu punya semangat. Direktur kami memang… agak keras, tapi dia sendiri yang bilang kamu menarik perhatian.”

Aku terkejut. Direktur? Jadi pria tadi, Rayyan Alfarizi, adalah direktur utama perusahaan ini?

Astaga. Jadi benar, aku barusan melawan bos besar.

Aku hampir pingsan di kursi itu.

---

Dalam perjalanan pulang, langkahku terasa ringan sekaligus berat. Ringan karena aku akhirnya diterima kerja, doa Ibu dan jerih payahku tidak sia-sia. Berat karena aku sadar, aku akan bekerja langsung di bawah pria menyebalkan itu.

Aku masih bisa membayangkan tatapan Rayyan yang menusuk, nada bicaranya yang meremehkan, dan senyum tipis yang membuatku ingin melempar kursi ke arahnya..

Tapi di sisi lain, ada hal aneh yang tak bisa kupungkiri. Ada sesuatu di balik tatapannya. Sesuatu yang sulit kucerna, entah rasa penasaran atau… ujian baru untukku.

Aku menghela napas panjang. “Aisyah, kamu harus kuat. Demi Ibu, demi masa depan.”

Aku menatap langit sore yang mulai menggelap. Dalam hati, aku tahu perjalananku baru saja dimulai. Perjalanan yang mungkin penuh ujian, tapi siapa tahu… juga membawa kejutan yang tak terduga.

---

Di Kosan

Sesampainya di kos, aku langsung menjatuhkan tubuh ke kasur tipis. Kamarku sederhana, hanya cukup untuk lemari kecil, meja belajar, dan tempat tidur. Tapi hari ini, rasanya lebih hangat dari biasanya.

Telepon genggamku berdering. Nama "Ibu" muncul di layar.

Aku segera mengangkat.

“Assalamualaikum, Bu.”

“Waalaikumsalam. Gimana, Nak? Wawancaranya?” suara Ibu penuh harap.

Air mataku hampir jatuh mendengar nada suara itu.

“Alhamdulillah, Bu. Aisyah diterima kerja. Mulai minggu depan.”

Ibu terdiam sebentar, lalu terdengar isak kecil. “Alhamdulillah… syukur pada Allah. Ibu bangga sekali sama kamu, Nak. Akhirnya doa kita dijawab.”

Aku tersenyum meski air mata menetes. “Iya, Bu. Doakan Aisyah kuat ya. Perusahaannya besar sekali. Dan bosnya….” Aku terhenti, tidak tahu harus menggambarkan bagaimana.

“Bosnya kenapa?” tanya Ibu.

Aku tertawa hambar. “Keras, Bu. Tapi tidak apa-apa. Aisyah akan berusaha.”

Setelah menutup telepon, aku berbaring menatap langit-langit. Wajah Rayyan kembali muncul di pikiranku. Aneh, padahal aku kesal setengah mati padanya, tapi bayangan itu tak mau pergi.

Aku menutup mata, mencoba tidur. Tapi hatiku berdesir dengan rasa campur aduk—antara takut, cemas, dan sedikit harapan.

Aku tidak tahu apa yang menungguku di perusahaan itu. Yang jelas, hidupku akan memulai perjalanan baru.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku     Bab 20 - Kesal yang Tertahan

    Rayyan duduk di ruang kerjanya dengan rahang mengeras. Jari-jarinya mengetuk meja berulang kali, kebiasaan lama yang selalu muncul saat ia menahan emosi.Laporan hasil rapat pagi tadi masih terbuka di layar laptop, tapi pikirannya sama sekali tidak bisa fokus. Nama Aisyah tertulis jelas dalam notulensi—bukan sekadar peserta rapat, melainkan “koordinator tim riset” untuk proyek baru.Rayyan menutup laptop dengan kasar. Ia bersandar, memijat pelipis.“Kenapa bisa sejauh ini…” gumamnya lirih.Seharusnya, dengan surat resign itu, Aisyah sudah pergi. Seharusnya, masalah selesai. Tapi direksi malah menolak dan menjadikan Aisyah semakin bersinar di perusahaan. Dan kini, semua mata justru tertuju pada perempuan itu—perempuan yang beberapa minggu lalu hampir ia singkirkan dengan kata-kata dingin.---Siang itu, ia berjalan melewati lorong kantor. Dari kejauhan, terdengar suara tawa. Aisyah berdiri bersama beberapa rekan tim, menjelaskan sesuatu di papan tulis. Tangannya bergerak lincah, matany

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 19 - Keputusan yang Digoyahkan

    Hari Senin pagi, suasana kantor terasa berbeda. Aisyah masuk dengan langkah ringan, meski wajahnya masih menyimpan bekas letih. Ia sudah bulat hati setelah akhir pekan panjang: surat resign sudah diserahkan, masa depannya akan ia tata ulang.Namun, begitu sampai, tatapan rekan-rekannya terasa aneh. Ada yang berbisik, ada yang menatap iba, ada pula yang sekadar menunduk seolah tahu sesuatu yang ia tidak tahu.“Kenapa… semua orang lagi-lagi aneh kayak gini?” batinnya.Jawaban muncul tak lama kemudian. Mbak Ratih, sekretaris direksi, menghampirinya. “Aisyah, direksi minta kamu ke ruang rapat utama sekarang.”Aisyah mengerutkan kening. “Rapat apa? Saya nggak dapat undangan.”Ratih tersenyum canggung. “Ini… khusus membicarakan kamu.”---Di ruang rapat utama, tiga orang direksi senior sudah duduk rapi. Mereka adalah sosok-sosok berpengaruh yang jarang Aisyah hadapi langsung. Rayyan duduk di sisi lain meja, wajahnya datar namun rahangnya terlihat mengeras.“Silakan duduk, Aisyah,” ucap sala

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 18 - Batas Kesabaran

    Hari itu, suasana kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Tim marketing baru saja menyelesaikan presentasi untuk klien besar—sebuah perusahaan multinasional yang bisa menjadi peluang emas bagi perusahaan Rayyan. Semua orang bekerja keras, lembur berhari-hari, termasuk Aisyah yang menjadi koordinator data riset.Namun, ketika rapat evaluasi dimulai, bukannya pujian yang datang, hujan kritik justru melanda. Dan seperti biasa, Rayyan menjadi pihak pertama yang melontarkannya.“Siapa yang bertanggung jawab atas bagian analisis tren pasar ini?” tanya Rayyan sambil menunjuk layar. Nada suaranya dingin, tajam, menusuk.Semua orang diam. Aisyah tahu bagian itu adalah tanggung jawabnya. Ia berdiri pelan, mencoba tetap tenang. “Itu bagian saya, Pak.”Rayyan menatapnya lurus. “Data ini tidak lengkap. Ada variabel yang hilang. Kalau klien menyadari, mereka akan menganggap kita amatir. Apa kamu tahu konsekuensinya?”Aisyah menarik napas dalam-dalam. Ia yakin datanya benar, ia bahkan menambahkan

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 17 - Dinding Es yang Kembali Tegak

    Beberapa hari setelah Rayyan jatuh sakit, suasana kantor kembali normal—atau setidaknya terlihat begitu di mata semua orang. Tapi tidak bagi Aisyah. Ia masih ingat jelas kata-kata lirih yang keluar dari bibir Rayyan di antara demamnya: “Aku nggak keberatan kamu lihat aku berantakan.” Kalimat itu menghantui pikirannya, membuatnya sulit tidur beberapa malam terakhir. Namun, semua itu seakan tak pernah terjadi. Begitu Rayyan kembali duduk di kursinya yang megah di ruang direksi, sikap dinginnya kembali berdiri seperti dinding es yang menjulang tinggi. Tidak ada tanda-tanda ia mengingat apa pun dari hari ketika Aisyah menemaninya. Bahkan tatapan matanya terasa lebih tajam dari biasanya. “Laporan evaluasi minggu lalu terlalu lambat masuk. Saya nggak suka menunggu,” ucap Rayyan pada rapat pagi, suaranya datar, tetapi cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. Semua kepala tim menunduk, dan mata-mata lain beralih ke Aisyah, seolah menunggu siapa yang akan jadi sasaran berikutnya. Aisyah

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 16 – Momen Canggung

    Kantor pagi itu berjalan normal. Mesin printer berdengung, tuts keyboard dipukul cepat, dan suara telepon bersahutan. Namun bagiku, ada sesuatu yang berbeda. Bukan pada pekerjaan, melainkan pada caraku menatap pintu ruangan di ujung lorong itu—ruangan milik Rayyan.Sejak insiden beberapa hari lalu saat ia jatuh sakit, ada kalimat yang terus terngiang di kepalaku. Kalimat singkat, lirih, yang diucapkan dengan suara serak dan mata setengah terpejam.“Kalau kamu yang lihat… aku nggak keberatan kelihatan berantakan.”Waktu itu aku mengira ia tidak sadar. Tubuhnya panas, wajahnya pucat, dan matanya hampir tertutup. Aku menanggapinya hanya sebagai omongan orang sakit yang tak tahu apa yang diucapkan. Tapi anehnya, kalimat itu menempel kuat di kepalaku, seakan menolak pergi.Setiap kali aku teringat, jantungku berdetak lebih cepat. Dan setiap kali aku melihat Rayyan melintas di lorong dengan jas rapinya, aku bertanya-tanya: benarkah ia mengucapkannya dengan sadar? Atau hanya halusinasi telin

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 15 – Saat Rayyan Jatuh Sakit

    Hari itu kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Semua orang sibuk menyiapkan laporan untuk evaluasi mingguan. Suasana yang biasanya riuh dengan suara tuts keyboard dan dering telepon kini dipenuhi dengan bisik-bisik panik karyawan yang berlarian membawa berkas.Aku pun tak kalah sibuk. Sejak pagi, tugasku menumpuk, dan aku bahkan belum sempat menyeruput kopi yang kubeli tadi. Tapi di tengah kesibukan itu, mataku sempat menangkap sesuatu yang janggal: Rayyan.Biasanya pria itu muncul dengan penampilan sempurna—rambut rapi, kemeja licin tanpa satu pun lipatan, dan tatapan tajam yang seakan siap menguliti kesalahan siapa saja. Tapi pagi ini, ada yang berbeda. Wajahnya pucat, kemejanya sedikit kusut, dan langkahnya tak sekuat biasanya.Aku sempat mengira hanya ilusi karena lelah, sampai akhirnya aku melihatnya duduk di ruang rapat beberapa jam kemudian. Cahaya lampu ruangan memantul di keningnya yang basah oleh keringat. Tangannya menekan pelipis, matanya sayu.“Pak Rayyan, bagaimana m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status