Share

Bab 2 – Kata-Kata Tajam

last update Last Updated: 2025-08-18 16:08:14

Di tengah ruangan kecil dengan jendela kaca besar di tiap sisinya, pria dingin dan menyebalkan tadi, duduk dengan tenang di kursi utama. Kedua tangannya terlipat di atas meja, menindih beberapa kertas berserakan di bawahnya. Sinar matahari yang masuk melalui jendela, tak menghangatkan rasa dingin di hatiku saat ini.

Tatapannya lurus terarah padaku. "Aisyah Rahmani?" suaranya terdengar jelas, tajam, namun dengan nada formal.

Sudut bibirnya terlihat melengkung tipis, bukan senyum ramah, lebih pada senyum meremehkan.

“Menarik. Mari kita mulai wawancaranya.”

Jantungku langsung turun ke perut. Astaga, kenapa harus dia?

Aku dipersilahkan duduk di kursi yang disediakan. Posturku kaku, dengan tanganku yang kuletakkan di atas pangkuan, berusaha terlihat tenang padahal detak jantungku seperti hendak melompat keluar. Pria itu, yang tadi dengan enteng meremehkanku di lift, kini duduk tegap di hadapan. Dari sorot matanya, jelas ia tipe pria yang terbiasa mengintimidasi orang hanya dengan tatapan.

“Baik, Aisyah Rahmani,” katanya, menyebut namaku seakan sedang menguji lidahnya menyebut sesuatu yang asing. “Kamu melamar posisi sebagai asisten pribadi direktur. Posisi yang, jujur saja, tidak semua orang sanggup jalani. Apa yang membuatmu yakin bisa menanganinya?”

Nada bicaranya datar, tapi ada ketus terselubung di dalamnya. Seolah apapun jawabanku tak akan bisa memuaskannya, lalu siap untuk menertawakan.

Aku mengangkat dagu sedikit, mencoba untuk terlihat lebih percaya diri dan meyakinkan. “Saya percaya diri dengan kemampuan saya. Latar belakang saya di administrasi dan pengalaman kerja saya sebelumnya cukup relevan. Saya bisa mengatur jadwal, mengurus dokumen, dan tentu saja, menjaga kerahasiaan pekerjaan dengan baik.”

Ia mengetuk meja dengan jari telunjuknya yang panjang, iramanya pelan selaras dengan irama jantungku yang mulai tenang. Senyum tipis itu kembali muncul di wajahnya, senyum yang sama seperti tadi di lift. Senyum yang membuatku ingin melempar map coklat ini ke wajahnya.

“Semua orang bisa menulis kalimat bagus di surat lamaran mereka,” katanya perlahan namun menyudutkan. “Pertanyaan saya sederhana. Bagaimana saya bisa percaya pada seseorang yang bahkan tidak bisa masuk lift dengan benar?”

Aku langsung terdiam, wajahku terasa panas. Jadi, dia akan mengungkit masalah kecil tadi?

“Serius?” aku menatapnya tak percaya. "Maaf." Aku menyadari responku kurang tepat karena keterkejutan. Serius, tersandung adalah hal normal yang dialami semua orang sesekali dalam hidupnya oke!

Ia menyilangkan tangan di dada, tatapannya menusuk dan suaranya kembali tegas. “Serius. Kecerobohan kecil bisa jadi awal masalah besar. Asisten direktur tidak boleh ceroboh, bahkan satu detik pun.”

Aku mengepalkan tangan di pangkuanku. Oke, cukup. Jelas dia sengaja mencari kesalahan dan meremehkan. Aku tidak akan hanya duduk diam dan membiarkan pria ini menginjak harga diriku.

“Kalau begitu, seharusnya Bapak sudah menilai saya gagal sejak di lift tadi, bukan? Mengapa masih repot-repot mewawancarai saya?” tanyaku, nada suaraku lebih tajam dari sebelumnya.

Untuk pertama kalinya, tatapan dinginnya bergeser sedikit. Mungkin ia tidak menyangka aku akan membalas dengan cara seperti itu.

Aku melanjutkan, tak mau kalah, “Saya mungkin sempat canggung di lift. Tapi itu bukan ukuran kompetensi saya. Kalau Bapak hanya menilai dari kesan pertama, berarti Bapak tidak butuh karyawan. Bapak hanya butuh cermin untuk memuaskan ego.”

Ruangan hening. Karyawan perempuan yang tadi mengantarku bahkan melirik dengan tatapan ngeri, seolah aku baru saja menantang harimau di sarangnya.

Pria itu—Rayyan Alfarizi, begitu nama yang tertera di papan namanya—terdiam sejenak. Sudut bibirnya terangkat, kali ini lebih jelas. Tapi senyumnya bukan hangat, melainkan semacam terhibur lelucon dariku.

“Berani juga,” katanya pelan. “Jarang ada kandidat yang berani bicara seperti itu padaku.”

Aku menarik napas panjang, berusaha tidak goyah. “Saya hanya menyampaikan apa adanya. Saya melamar kerja, dalam situasi saling menguntungkan. Perusaahaan membutuhkan karyawan, dan karyawan membutuhkan perusahaan. Kedatangan saya bukan datang untuk dipermalukan.”

Rayyan mencondongkan tubuh ke depan, meletakkan kedua tanganya di dagunya sambil menatapku tajam. “Tahu tidak, sikap seperti itu bisa berbahaya? Kamu bisa dianggap kurang ajar.”

Aku menatap balik, menolak mengalah. “Saya tidak bermaksud kurang ajar, hanya memiliki keberanian untuk mengungkapkan pendapat saya.”

Sesaat, mata kami terkunci. Rasanya seperti ada pertarungan diam-diam di udara, siapa yang akan mundur lebih dulu. Aku bisa merasakan napasku cepat dan jemariku berkeringat, tapi aku menolak menunduk. Kalau aku kalah sekarang, dia akan terus meremehkanku..

Rayyan akhirnya tertawa kecil—suara rendah yang entah kenapa membuat bulu kudukku berdiri.

“Cukup menarik,” katanya lagi, kali ini lebih santai. “Baiklah, mari lanjutkan. Ceritakan pengalaman kerjamu.”

Aku mulai menjelaskan, dengan suara yang lebih mantap daripada sebelumnya. Aku tidak akan membiarkan pertemuan sebelumnya mengaburkan kemampuanku. Aku menceritakan pekerjaanku di kantor kecil sebelumnya, bagaimana aku terbiasa mengatur jadwal rapat bosku, mengatur dokumen keuangan, bahkan mengurus keperluan pribadi atasan seperti mengingatkan jadwal medis dan pembayaran rumah.

Aku sangat baik di kantor sebelumnya. Namun skala perusahaan yang kecil membatasi peluang pertumbuhan karirku dan gaji yang kurang memuaskan untuk kebutuhan hidupku dan ibuku saat ini.

Rayyan mendengarkan, sesekali mengetuk pena di atas kertas. Entah ia benar-benar memperhatikan atau hanya pura-pura sibuk. Namun aku tak peduli, aku akan terus menunjukkan bahwa aku bukan wanita ceroboh yang bisa dia remehkan seenaknya.

Setelah beberapa menit tanya jawab dalam wawancara, ia bersandar di kursinya, menghela napas. “Baiklah. Kemampuanmu… cukup. Tapi, sejujurnya, aku masih tidak yakin. Kamu terlihat… terlalu emosional. Kami butuh asisten yang bisa menahan diri, bukan yang membalas dengan kata-kata tajam setiap kali ditekan.”

Aku tersenyum tipis. “Kalau Bapak butuh asisten yang hanya bisa diam dan menerima perlakuan tidak adil, mungkin saya memang bukan orang yang Bapak cari.” Lagipula aku memahami diriku sendiri. Tak mungkin bagiku untuk diam saat ditindas.

Jawaban itu keluar begitu saja dari mulutku, tanpa sempat kupikirkan. Tapi aku tidak menyesal. Bahkan aku bisa melihat sekilas, ekspresinya berubah sedikit. Antara terkejut, dan… tertarik?

“Baik,” katanya akhirnya, dengan nada misterius. “Wawancara selesai. Kau boleh menunggu kabar dari kami.”

Aku berdiri, menunduk sopan. Tapi sebelum keluar ruangan, aku menatapnya sekali lagi.

“Saya harap, Bapak menilai orang dengan adil. Bukan hanya dari kesan pertama.”

Aku melangkah pergi, meninggalkan Rayyan Alfarizi yang masih duduk di kursinya, menatapku dengan ekspresi yang sulit kutebak.

Dan entah kenapa, hatiku berdesir aneh. Perasaan asing yang tak pernah kualami.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 49 - Kehadiran yang Mengusik

    Ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen, presentasi yang berderet di layar besar, dan wajah-wajah tegang dari tim inti. Proyek kerja sama dengan Dubai bukan proyek biasa—ini adalah salah satu kontrak terbesar yang pernah ditangani Alfarizi Corporation. Semua detail, mulai dari teknis, regulasi internasional, hingga negosiasi, harus dipersiapkan tanpa cela.Di tengah ruangan, Aisyah duduk dengan teliti mencatat setiap poin yang disampaikan. Tangannya lincah menandai catatan penting, sementara pandangannya sesekali beralih ke Rayyan yang duduk di ujung meja, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.“Divisi legal harus pastikan semua klausul perjanjian sesuai hukum internasional. Tim marketing siapkan strategi promosi lintas negara. Dan…” Rayyan berhenti sejenak, menoleh ke arah Aisyah. “Koordinasi keseluruhan laporan tetap melalui Aisyah. Saya ingin update setiap hari.”Beberapa kepala menoleh, sedikit terkejut mendengar nama itu disebut secara spesifik. Biasanya Rayyan ja

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 48 - Keputusan yang Menentukan

    Hari itu suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Proyek baru sudah memasuki tahap peninjauan ulang dokumen, dan setiap detail harus dicek ulang sebelum diserahkan ke klien. Aisyah duduk di mejanya, laptop terbuka, dokumen-dokumen berjejer, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Nama Rayyan berputar terus di kepalanya. Entah bagaimana, setiap kali mencoba fokus, bayangan tatapan pria itu muncul. Tatapan dingin di ruang rapat tempo hari, kalimat pendek tapi penuh makna, “Kamu tidak sendirian.” Semuanya seperti terpatri.Aisyah menggeleng pelan, menepuk pipinya sendiri. “Fokus, Sya. Fokus.”Tapi semakin ia memaksa, semakin pikirannya justru menjauh dari layar di depannya.Sampai akhirnya, ia tanpa sadar mengirimkan dokumen revisi ke klien… dengan lampiran yang salah.Baru satu jam kemudian ia menyadari. Hana, rekan kerjanya, berbisik panik sambil menunjuk layar: “Sya, ini kamu kirim yang draft awal, bukan yang sudah direvisi. Klien sudah balas email, katanya bingung kenapa data

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku     Bab 47 - Perhatian yang Mengganggu

    Udara sore itu terasa lebih padat dari biasanya. Aisyah baru saja kembali dari kampung setelah memastikan kondisi ibunya stabil. Tubuhnya lelah, namun pikirannya jauh lebih sibuk. Sejak duduk di dalam taksi menuju apartemen, bayangan satu nama terus berputar dalam benaknya: Rayyan Alfarizi.Ia sudah tahu. Ia sudah yakin. Semua kemudahan perjalanan ke kampung, tiket pesawat yang tiba-tiba tersedia, bahkan jalur cepat di klinik—semuanya ulah Rayyan.Meski tak pernah diucapkan langsung, Aisyah bisa merasakan betapa pria itu diam-diam menjaga. Tapi justru itulah yang membuatnya resah. Kenapa harus sembunyi? Kenapa tidak bicara terus terang?Keesokan harinya, Aisyah melangkah masuk ke kantor. Beberapa rekan kerja menyapanya hangat. “Hai, Sya! Bagaimana kabar ibumu? Sudah membaik?”Aisyah mengangguk sambil tersenyum tipis. “Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih.”Namun, hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia tahu, hari ini ia harus menghadapi Rayyan. Dan, entah bagaimana, ia ingin

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 46 - Luka yang Terus Menganga

    Esoknya, setelah memastikan ibunya stabil, Aisyah berdiri di teras rumah sambil menatap sawah yang hijau. Angin sore membawa aroma tanah basah. Namun pikirannya tak bisa lepas dari satu nama: Rayyan Alfarizi.Ia menimbang-nimbang perasaannya. Di satu sisi, ia sangat berterima kasih. Hatinya hangat karena tahu di balik dinginnya sikap Rayyan di kantor, ada perhatian tulus yang ia tunjukkan dengan cara tersembunyi. Tapi di sisi lain, ini membuatnya semakin sulit dan bingung bagaimana harus menyikapi.Aisyah sadar, jika ia membiarkan hatinya terlalu larut, ia bisa terseret ke dalam hubungan yang tidak jelas. “Aku harus tetap waras,” gumamnya.Namun, suara hati itu kian sulit ditekan.Tak lama, ponselnya bergetar. Nama Pak Rayyan muncul di layar.Aisyah menelan ludah sebelum mengangkat. “Halo, Pak.”Suara Rayyan terdengar seperti biasa: datar dan singkat. “Bagaimana kondisi ibu?”“Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih, Pak.”Hening beberapa detik. Aisyah ingin sekali mengucapkan:

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 45: Suara Hati yang Bercabang

    Aisyah duduk lama di pantry kantor, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Pikiran masih berputar—email tawaran luar negeri di satu sisi, surat penugasan dari Rayyan di sisi lain.Hana, yang baru masuk membawa camilan, langsung mendeteksi keganjilan itu. “Hey, kamu dari tadi bengong terus. Ada apa, Sya?”Aisyah mengangkat wajah, tersenyum samar. “Aku lagi bingung, Han. Ada tawaran kerja baru.”Hana duduk di kursi seberang, mencondongkan badan dengan antusias. “Serius? Dari perusahaan luar? Itu kan mimpimu sejak dulu!”Aisyah mengangguk pelan. “Iya. Jonny, yang dulu pernah presentasi bareng Pak Rayyan, mengajakku bergabung. Gajinya besar, fasilitas lengkap. Aku bisa dapat exposure internasional.”“Lalu kenapa bingung? Bukankah itu kesempatan emas?”Aisyah menghela napas panjang. “Karena di saat yang sama, Pak Rayyan memberiku kepercayaan besar juga. Dia menunjukku memimpin tim ekspansi kerja sama dengan firma Dubai. Itu setara, bahkan mungkin lebih menantang… hanya saja, aku tetap

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 44 - Langkah Rayyan

    Hari itu, kantor masih ramai ketika Aisyah baru saja menyelesaikan serangkaian rapat. Tubuhnya lelah, tapi hatinya hangat. Sejak proyek besar terakhir sukses, ia sering mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak.Namun, sore itu berbeda. Seorang tamu dari perusahaan konsultan internasional datang. Namanya Jonny, seorang ekspatriat ramah dengan senyum percaya diri. Ia sengaja menemuinya setelah rapat bersama direksi selesai.“Miss Aisyah, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.Aisyah menoleh, sedikit kaget. “Tentu, Pak.”Mereka pun berbincang di lobi. Jonny langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Kami sudah lama memperhatikan presentasi dan kontribusi Anda. Perusahaan kami sedang mencari konsultan muda untuk proyek besar di Singapura. Anda punya kualifikasi yang cocok.”Kata-kata itu membuat Aisyah terdiam. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tawaran internasional? Itu kesempatan yang sulit ditolak oleh siapa pun di posisinya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status