Aku duduk di kursi yang disediakan. Tanganku kutaruh di pangkuan, berusaha terlihat tenang padahal detak jantungku seperti hendak melompat keluar. Pria itu, yang tadi dengan enteng meremehkanku di lift, kini duduk tegap di hadapan. Dari sorot matanya, jelas ia tipe pria yang terbiasa mengintimidasi orang hanya dengan tatapan.
“Baik, Aisyah Rahmani,” katanya, menyebut namaku seakan sedang menguji lidahnya menyebut sesuatu yang asing. “Kau melamar posisi sebagai asisten pribadi direktur. Posisi yang, jujur saja, tidak semua orang sanggup jalani. Apa yang membuatmu yakin bisa menanganinya?” Nada bicaranya datar, tapi ada ketus terselubung di dalamnya. Seolah ia sudah bisa menebak jawabanku, lalu siap untuk menertawakan. Aku mengangkat dagu sedikit. “Saya percaya diri dengan kemampuan saya. Latar belakang saya di administrasi dan pengalaman kerja sebelumnya cukup relevan. Saya bisa mengatur jadwal, mengurus dokumen, dan tentu saja, menjaga kerahasiaan pekerjaan dengan baik.” Ia mengetuk meja dengan jari panjangnya. Senyum tipis itu kembali muncul, senyum yang sama seperti tadi di lift. Senyum yang membuatku ingin melempar map ini ke wajahnya. “Semua orang bisa menulis kalimat bagus di CV,” katanya. “Pertanyaan saya sederhana. Bagaimana saya bisa percaya pada seseorang yang bahkan tidak bisa masuk lift dengan benar?” Aku langsung terdiam, wajahku terasa panas. Jadi, dia masih mengungkit masalah kecil tadi? “Serius?” aku menatapnya tak percaya. Ia menyilangkan tangan di dada, tatapannya menusuk. “Serius. Kecerobohan kecil bisa jadi awal masalah besar. Asisten direktur tidak boleh ceroboh, bahkan satu detik pun.” Aku mengepalkan tangan di pangkuan. Oke, cukup. Aku tidak akan hanya duduk diam dan membiarkan pria ini menginjak harga diriku. “Kalau begitu, seharusnya Bapak sudah menilai saya gagal sejak di lift tadi, bukan? Mengapa masih repot-repot mewawancarai saya?” tanyaku, nada suaraku lebih tajam dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya, tatapan dinginnya bergeser sedikit. Mungkin ia tidak menyangka aku akan membalas dengan cara seperti itu. Aku melanjutkan, tak mau kalah, “Saya mungkin sempat canggung di lift. Tapi itu bukan ukuran kompetensi saya. Kalau Bapak hanya menilai dari kesan pertama, berarti Bapak tidak butuh karyawan. Bapak hanya butuh cermin untuk memuaskan ego.” Ruangan hening. Resepsionis yang tadi mengantarku bahkan melirik dengan tatapan ngeri, seolah aku baru saja menantang harimau di sarangnya. Pria itu—Rayyan Alfarizi, begitu nama yang tertera di papan namanya—terdiam sejenak. Sudut bibirnya terangkat, kali ini lebih jelas. Tapi senyumnya bukan hangat, melainkan semacam rasa terhibur. “Berani juga,” katanya pelan. “Jarang ada kandidat yang berani bicara seperti itu padaku.” Aku menarik napas panjang, berusaha tidak goyah. “Saya hanya menyampaikan apa adanya. Saya melamar kerja, bukan datang untuk dipermalukan.” Rayyan mencondongkan tubuh ke depan, menatapku tajam. “Tahu tidak, sikap seperti itu bisa berbahaya? Kau bisa dianggap kurang ajar.” Aku menatap balik, menolak mengalah. “Atau mungkin, dianggap punya keberanian.” Sesaat, mata kami terkunci. Rasanya seperti ada pertarungan diam-diam di udara, siapa yang akan mundur lebih dulu. Aku bisa merasakan napasku cepat, tapi aku menolak menunduk. Kalau aku kalah sekarang, dia akan terus meremehkanku.. Rayyan akhirnya tertawa kecil—suara rendah yang entah kenapa membuat bulu kudukku berdiri. “Menarik,” katanya lagi, kali ini lebih santai. “Baiklah, lanjutkan. Ceritakan pengalaman kerjamu.” Aku mulai menjelaskan, dengan suara yang lebih mantap daripada sebelumnya. Aku tidak akan membiarkan pria ini meremehkanku lagi. Aku menceritakan pekerjaanku di kantor kecil sebelumnya, bagaimana aku terbiasa mengatur jadwal rapat bosku, mengatur dokumen keuangan, bahkan mengurus keperluan pribadi atasan seperti mengingatkan jadwal medis dan pembayaran rumah. Rayyan mendengarkan, sesekali mengetuk pena di atas kertas. Entah ia benar-benar memperhatikan atau hanya pura-pura sibuk. Namun aku tak peduli, aku akan terus menunjukkan bahwa aku bukan wanita bodoh yang bisa dia remehkan. Setelah beberapa menit, ia bersandar di kursinya, menghela napas. “Baiklah. Kemampuanmu… cukup. Tapi, sejujurnya, aku masih tidak yakin. Kau terlihat… terlalu emosional. Aku butuh asisten yang bisa menahan diri, bukan yang membalas dengan kata-kata tajam setiap kali ditekan.” Aku tersenyum tipis. “Kalau Bapak butuh asisten yang hanya bisa diam dan menerima perlakuan tidak adil, mungkin saya memang bukan orang yang Bapak cari.” Jawaban itu keluar begitu saja dari mulutku, tanpa sempat kupikirkan. Tapi aku tidak menyesal. Bahkan aku bisa melihat sekilas, ekspresinya berubah sedikit. Antara terkejut, dan… tertarik? “Baik,” katanya akhirnya, dengan nada misterius. “Wawancara selesai. Kau boleh menunggu kabar dari kami.” Aku berdiri, menunduk sopan. Tapi sebelum keluar ruangan, aku menatapnya sekali lagi. “Saya harap, Bapak menilai orang dengan adil. Bukan hanya dari kesan pertama.” Aku melangkah pergi, meninggalkan Rayyan Alfarizi yang masih duduk di kursinya, menatapku dengan ekspresi yang sulit kutebak. Dan entah kenapa, hatiku berdesir aneh.Rayyan duduk di ruang kerjanya dengan rahang mengeras. Jari-jarinya mengetuk meja berulang kali, kebiasaan lama yang selalu muncul saat ia menahan emosi.Laporan hasil rapat pagi tadi masih terbuka di layar laptop, tapi pikirannya sama sekali tidak bisa fokus. Nama Aisyah tertulis jelas dalam notulensi—bukan sekadar peserta rapat, melainkan “koordinator tim riset” untuk proyek baru.Rayyan menutup laptop dengan kasar. Ia bersandar, memijat pelipis.“Kenapa bisa sejauh ini…” gumamnya lirih.Seharusnya, dengan surat resign itu, Aisyah sudah pergi. Seharusnya, masalah selesai. Tapi direksi malah menolak dan menjadikan Aisyah semakin bersinar di perusahaan. Dan kini, semua mata justru tertuju pada perempuan itu—perempuan yang beberapa minggu lalu hampir ia singkirkan dengan kata-kata dingin.---Siang itu, ia berjalan melewati lorong kantor. Dari kejauhan, terdengar suara tawa. Aisyah berdiri bersama beberapa rekan tim, menjelaskan sesuatu di papan tulis. Tangannya bergerak lincah, matany
Hari Senin pagi, suasana kantor terasa berbeda. Aisyah masuk dengan langkah ringan, meski wajahnya masih menyimpan bekas letih. Ia sudah bulat hati setelah akhir pekan panjang: surat resign sudah diserahkan, masa depannya akan ia tata ulang.Namun, begitu sampai, tatapan rekan-rekannya terasa aneh. Ada yang berbisik, ada yang menatap iba, ada pula yang sekadar menunduk seolah tahu sesuatu yang ia tidak tahu.“Kenapa… semua orang lagi-lagi aneh kayak gini?” batinnya.Jawaban muncul tak lama kemudian. Mbak Ratih, sekretaris direksi, menghampirinya. “Aisyah, direksi minta kamu ke ruang rapat utama sekarang.”Aisyah mengerutkan kening. “Rapat apa? Saya nggak dapat undangan.”Ratih tersenyum canggung. “Ini… khusus membicarakan kamu.”---Di ruang rapat utama, tiga orang direksi senior sudah duduk rapi. Mereka adalah sosok-sosok berpengaruh yang jarang Aisyah hadapi langsung. Rayyan duduk di sisi lain meja, wajahnya datar namun rahangnya terlihat mengeras.“Silakan duduk, Aisyah,” ucap sala
Hari itu, suasana kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Tim marketing baru saja menyelesaikan presentasi untuk klien besar—sebuah perusahaan multinasional yang bisa menjadi peluang emas bagi perusahaan Rayyan. Semua orang bekerja keras, lembur berhari-hari, termasuk Aisyah yang menjadi koordinator data riset.Namun, ketika rapat evaluasi dimulai, bukannya pujian yang datang, hujan kritik justru melanda. Dan seperti biasa, Rayyan menjadi pihak pertama yang melontarkannya.“Siapa yang bertanggung jawab atas bagian analisis tren pasar ini?” tanya Rayyan sambil menunjuk layar. Nada suaranya dingin, tajam, menusuk.Semua orang diam. Aisyah tahu bagian itu adalah tanggung jawabnya. Ia berdiri pelan, mencoba tetap tenang. “Itu bagian saya, Pak.”Rayyan menatapnya lurus. “Data ini tidak lengkap. Ada variabel yang hilang. Kalau klien menyadari, mereka akan menganggap kita amatir. Apa kamu tahu konsekuensinya?”Aisyah menarik napas dalam-dalam. Ia yakin datanya benar, ia bahkan menambahkan
Beberapa hari setelah Rayyan jatuh sakit, suasana kantor kembali normal—atau setidaknya terlihat begitu di mata semua orang. Tapi tidak bagi Aisyah. Ia masih ingat jelas kata-kata lirih yang keluar dari bibir Rayyan di antara demamnya: “Aku nggak keberatan kamu lihat aku berantakan.” Kalimat itu menghantui pikirannya, membuatnya sulit tidur beberapa malam terakhir. Namun, semua itu seakan tak pernah terjadi. Begitu Rayyan kembali duduk di kursinya yang megah di ruang direksi, sikap dinginnya kembali berdiri seperti dinding es yang menjulang tinggi. Tidak ada tanda-tanda ia mengingat apa pun dari hari ketika Aisyah menemaninya. Bahkan tatapan matanya terasa lebih tajam dari biasanya. “Laporan evaluasi minggu lalu terlalu lambat masuk. Saya nggak suka menunggu,” ucap Rayyan pada rapat pagi, suaranya datar, tetapi cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. Semua kepala tim menunduk, dan mata-mata lain beralih ke Aisyah, seolah menunggu siapa yang akan jadi sasaran berikutnya. Aisyah
Kantor pagi itu berjalan normal. Mesin printer berdengung, tuts keyboard dipukul cepat, dan suara telepon bersahutan. Namun bagiku, ada sesuatu yang berbeda. Bukan pada pekerjaan, melainkan pada caraku menatap pintu ruangan di ujung lorong itu—ruangan milik Rayyan.Sejak insiden beberapa hari lalu saat ia jatuh sakit, ada kalimat yang terus terngiang di kepalaku. Kalimat singkat, lirih, yang diucapkan dengan suara serak dan mata setengah terpejam.“Kalau kamu yang lihat… aku nggak keberatan kelihatan berantakan.”Waktu itu aku mengira ia tidak sadar. Tubuhnya panas, wajahnya pucat, dan matanya hampir tertutup. Aku menanggapinya hanya sebagai omongan orang sakit yang tak tahu apa yang diucapkan. Tapi anehnya, kalimat itu menempel kuat di kepalaku, seakan menolak pergi.Setiap kali aku teringat, jantungku berdetak lebih cepat. Dan setiap kali aku melihat Rayyan melintas di lorong dengan jas rapinya, aku bertanya-tanya: benarkah ia mengucapkannya dengan sadar? Atau hanya halusinasi telin
Hari itu kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Semua orang sibuk menyiapkan laporan untuk evaluasi mingguan. Suasana yang biasanya riuh dengan suara tuts keyboard dan dering telepon kini dipenuhi dengan bisik-bisik panik karyawan yang berlarian membawa berkas.Aku pun tak kalah sibuk. Sejak pagi, tugasku menumpuk, dan aku bahkan belum sempat menyeruput kopi yang kubeli tadi. Tapi di tengah kesibukan itu, mataku sempat menangkap sesuatu yang janggal: Rayyan.Biasanya pria itu muncul dengan penampilan sempurna—rambut rapi, kemeja licin tanpa satu pun lipatan, dan tatapan tajam yang seakan siap menguliti kesalahan siapa saja. Tapi pagi ini, ada yang berbeda. Wajahnya pucat, kemejanya sedikit kusut, dan langkahnya tak sekuat biasanya.Aku sempat mengira hanya ilusi karena lelah, sampai akhirnya aku melihatnya duduk di ruang rapat beberapa jam kemudian. Cahaya lampu ruangan memantul di keningnya yang basah oleh keringat. Tangannya menekan pelipis, matanya sayu.“Pak Rayyan, bagaimana m