Pagi itu, aku berdiri di depan cermin dengan seragam kerja baru: kemeja putih rapi dan celana hitam panjang. Jilbabku kubenahi berulang kali. Rasanya semua tampak kurang pas, entah terlalu longgar atau terlalu ketat, padahal aku sudah menyiapkannya sejak semalam.
Hari pertama kerja. Perutku seperti dipenuhi ribuan kupu-kupu yang menari tidak beraturan. “Bismillah, Aisyah. Kamu pasti bisa,” bisikku pada diri sendiri. Aku berangkat lebih awal agar tidak terlambat. Kantor Alfarizi Corporation berdiri megah di pusat kota—gedung 20 lantai yang kacanya berkilau terkena sinar matahari pagi. Saat melangkah masuk, aku disambut deretan karyawan yang sudah tampak sibuk. Di lobby, seorang resepsionis muda menatapku ramah. “Selamat pagi. Nama, Mbak?” “Aisyah Rahmani. Karyawan baru, bagian asisten direktur.” Mata resepsionis itu sempat melebar, lalu ia tersenyum simpul. “Oh, iya, Mbak Aisyah. Sudah ditunggu di lantai 15. Silakan ke sana, ya.” Aku mengangguk gugup. Dengan jantung berdegup kencang, aku naik lift bersama beberapa karyawan lain. Suasana di dalam lift hening, hanya terdengar denting lembut musik instrumental. Aku menarik napas panjang, mengingat kata-kata HR kemarin: “Kamu akan bekerja langsung dengan direktur kami. Dia memang keras, tapi profesional. Anggap saja sebagai tantangan.” Profesional? Kata itu rasanya jauh sekali dari kesanku pada Rayyan. --- Begitu sampai di lantai 15, aku melangkah keluar. Lorongnya dipenuhi kaca dan interior modern minimalis. Beberapa karyawan sibuk menunduk di meja masing-masing, mengetik cepat di keyboard masing-masing. Seorang wanita berkacamata menghampiriku. “Aisyah, ya? Aku Nita, sekretaris senior. Aku akan mendampingimu sementara.” Aku tersenyum lega. “Terima kasih, Mbak.” Nita memberiku tur singkat: ruang kerja tim, pantry, hingga ruang rapat. Semua terlihat rapi dan penuh kesan profesional. Aku merasa kecil sekali di tengah suasana megah ini. Akhirnya, kami berhenti di depan sebuah pintu besar dengan ukiran nama: Rayyan Alfarizi. Tubuhku seketika menegang. Jadi benar, dialah bosku. “Jangan tegang,” bisik Nita. “Pak Rayyan memang… agak dingin. Tapi kalau kamu bisa menyesuaikan diri, semua akan baik-baik saja.” Aku hanya mengangguk. Nafasku mulai terasa berat. --- Nita mengetuk pintu. Dari dalam terdengar suara tegas, “Masuk.” Kami pun masuk. Ruangan itu luas, dengan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota. Meja kerja kayu mahoni berdiri megah di tengah. Dan di sana, sosok itu. Rayyan duduk tegak di kursi kulit hitam, mengenakan setelan jas abu tua yang menambah aura dinginnya. Tatapannya langsung mengarah padaku. “Aisyah Rahmani,” ucapnya datar. “Jadi kamu asisten baruku?” Aku menelan ludah. “I-iya, Pak. Saya siap belajar dan bekerja keras.” Sudut bibirnya terangkat tipis, tapi itu bukan senyum ramah. Lebih mirip ejekan. “Sebelumnya kamu berani bicara lantang. Sekarang, jangan sampai semangatmu menghilang hanya karena tekanan pekerjaan.” Aku menggenggam tas di tangan. “Saya tidak akan mudah goyah, Pak.” Nita tampak canggung di sampingku, lalu buru-buru berpamitan. Tinggallah aku berdua dengan pria itu. Suasana hening, tapi hawa tegang memenuhi ruangan. “Mulai hari ini,” kata Rayyan pelan, “kamu akan mengatur jadwalku, menyiapkan dokumen rapat, dan memastikan semua berjalan sesuai keinginanku. Satu kesalahan kecil saja bisa membuat seluruh perusahaan kacau. Paham?” Aku menegakkan punggung. “Paham, Pak.” Matanya menyipit, meneliti wajahku seakan mencari celah kelemahan. “Bagus. Kita lihat seberapa baik kamu mengerjakan.” --- Beberapa jam kemudian, aku mendapat tugas pertamaku: menyiapkan presentasi untuk rapat tim besar. Dengan bantuan Nita, aku mengatur dokumen, mengatur tempat duduk, dan menyalakan proyektor. Saat semua sudah siap, karyawan satu per satu masuk ke ruang rapat. Suasananya cukup formal, semua terlihat serius. Tak lama, Rayyan masuk. Aura ruangan seketika berubah. Semua berdiri memberi hormat. Aku pun ikut berdiri, meski sedikit kikuk. Rapat dimulai. Rayyan memaparkan strategi perusahaan dengan suara tegas, lalu meminta tim memberikan masukan. Aku duduk di samping, mencatat setiap poin dengan cermat. Sampai tiba-tiba, layar presentasi mendadak mati. Laptopku error. “Aisyah,” suara Rayyan dingin, menusuk seperti belati. “Apa yang kamu lakukan? Ini seharusnya sudah kamu pastikan sejak awal.” Semua mata tertuju padaku. Wajahku panas seketika. Aku buru-buru mencoba memperbaiki, tangan gemetar. “S-saya sudah cek sebelumnya, Pak. Tadi baik-baik saja, mungkin ada—” “Tidak ada alasan,” potongnya tajam. “Kecerobohan sekecil ini bisa membuat investor kehilangan kepercayaan.” Aku merasakan darah naik ke wajah. Di depan begitu banyak orang, aku dipermalukan. Hatiku berteriak, tapi aku mencoba menahan diri. Namun, tiba-tiba kata-kata itu meluncur juga dari mulutku. “Dengan segala hormat, Pak. Saya memang baru di sini, tapi bukan berarti saya tidak bekerja serius. Kalau laptop mendadak error, itu bukan semata kesalahan saya.” Ruangan hening. Semua menatapku dengan terkejut. Rayyan menoleh perlahan, tatapannya tajam seperti elang. “Berani sekali kamu membantahku di depan karyawan lain.” Aku menegakkan dagu, meski lututku bergetar. “Saya hanya ingin menjelaskan, Pak. Saya tidak suka disalahkan untuk sesuatu yang di luar kendali saya.” Beberapa karyawan tampak menahan senyum, sebagian lain menunduk takut. Rayyan berdiri, berjalan mendekatiku dengan langkah mantap. Suaranya rendah namun mengancam. “Ingat posisimu, Aisyah. Kamu hanya asisten. Jangan bertindak seakan-akan kamu mengerti segalanya.” Aku menatap balik, menolak mundur. “Dan jangan anggap semua orang di sini hanya pion tanpa suara, Pak.” Keheningan kian pekat. Lalu tiba-tiba, laptop menyala kembali dengan normal. Rapat bisa dilanjutkan. Rayyan kembali ke kursinya, tapi sebelum duduk ia melirikku tajam. “Kita akan bicara setelah ini.” Aku menelan ludah, tahu bahwa badai baru saja dimulai. --- Setelah rapat berakhir, karyawan keluar dengan bisik-bisik. Beberapa menepuk bahuku pelan, ada yang berbisik, “Kamu berani juga.” Tapi aku tidak merasa bangga. Keringat dingin membasahi punggungku. Aku tahu Rayyan tidak akan tinggal diam. Di luar ruang rapat, Rayyan menghentikan langkahku. “Aisyah. Ruanganku. Sekarang.” Hatiku merosot ke dasar. Hari pertamaku… benar-benar kacau.Ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen, presentasi yang berderet di layar besar, dan wajah-wajah tegang dari tim inti. Proyek kerja sama dengan Dubai bukan proyek biasa—ini adalah salah satu kontrak terbesar yang pernah ditangani Alfarizi Corporation. Semua detail, mulai dari teknis, regulasi internasional, hingga negosiasi, harus dipersiapkan tanpa cela.Di tengah ruangan, Aisyah duduk dengan teliti mencatat setiap poin yang disampaikan. Tangannya lincah menandai catatan penting, sementara pandangannya sesekali beralih ke Rayyan yang duduk di ujung meja, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.“Divisi legal harus pastikan semua klausul perjanjian sesuai hukum internasional. Tim marketing siapkan strategi promosi lintas negara. Dan…” Rayyan berhenti sejenak, menoleh ke arah Aisyah. “Koordinasi keseluruhan laporan tetap melalui Aisyah. Saya ingin update setiap hari.”Beberapa kepala menoleh, sedikit terkejut mendengar nama itu disebut secara spesifik. Biasanya Rayyan ja
Hari itu suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Proyek baru sudah memasuki tahap peninjauan ulang dokumen, dan setiap detail harus dicek ulang sebelum diserahkan ke klien. Aisyah duduk di mejanya, laptop terbuka, dokumen-dokumen berjejer, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Nama Rayyan berputar terus di kepalanya. Entah bagaimana, setiap kali mencoba fokus, bayangan tatapan pria itu muncul. Tatapan dingin di ruang rapat tempo hari, kalimat pendek tapi penuh makna, “Kamu tidak sendirian.” Semuanya seperti terpatri.Aisyah menggeleng pelan, menepuk pipinya sendiri. “Fokus, Sya. Fokus.”Tapi semakin ia memaksa, semakin pikirannya justru menjauh dari layar di depannya.Sampai akhirnya, ia tanpa sadar mengirimkan dokumen revisi ke klien… dengan lampiran yang salah.Baru satu jam kemudian ia menyadari. Hana, rekan kerjanya, berbisik panik sambil menunjuk layar: “Sya, ini kamu kirim yang draft awal, bukan yang sudah direvisi. Klien sudah balas email, katanya bingung kenapa data
Udara sore itu terasa lebih padat dari biasanya. Aisyah baru saja kembali dari kampung setelah memastikan kondisi ibunya stabil. Tubuhnya lelah, namun pikirannya jauh lebih sibuk. Sejak duduk di dalam taksi menuju apartemen, bayangan satu nama terus berputar dalam benaknya: Rayyan Alfarizi.Ia sudah tahu. Ia sudah yakin. Semua kemudahan perjalanan ke kampung, tiket pesawat yang tiba-tiba tersedia, bahkan jalur cepat di klinik—semuanya ulah Rayyan.Meski tak pernah diucapkan langsung, Aisyah bisa merasakan betapa pria itu diam-diam menjaga. Tapi justru itulah yang membuatnya resah. Kenapa harus sembunyi? Kenapa tidak bicara terus terang?Keesokan harinya, Aisyah melangkah masuk ke kantor. Beberapa rekan kerja menyapanya hangat. “Hai, Sya! Bagaimana kabar ibumu? Sudah membaik?”Aisyah mengangguk sambil tersenyum tipis. “Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih.”Namun, hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia tahu, hari ini ia harus menghadapi Rayyan. Dan, entah bagaimana, ia ingin
Esoknya, setelah memastikan ibunya stabil, Aisyah berdiri di teras rumah sambil menatap sawah yang hijau. Angin sore membawa aroma tanah basah. Namun pikirannya tak bisa lepas dari satu nama: Rayyan Alfarizi.Ia menimbang-nimbang perasaannya. Di satu sisi, ia sangat berterima kasih. Hatinya hangat karena tahu di balik dinginnya sikap Rayyan di kantor, ada perhatian tulus yang ia tunjukkan dengan cara tersembunyi. Tapi di sisi lain, ini membuatnya semakin sulit dan bingung bagaimana harus menyikapi.Aisyah sadar, jika ia membiarkan hatinya terlalu larut, ia bisa terseret ke dalam hubungan yang tidak jelas. “Aku harus tetap waras,” gumamnya.Namun, suara hati itu kian sulit ditekan.Tak lama, ponselnya bergetar. Nama Pak Rayyan muncul di layar.Aisyah menelan ludah sebelum mengangkat. “Halo, Pak.”Suara Rayyan terdengar seperti biasa: datar dan singkat. “Bagaimana kondisi ibu?”“Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih, Pak.”Hening beberapa detik. Aisyah ingin sekali mengucapkan:
Aisyah duduk lama di pantry kantor, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Pikiran masih berputar—email tawaran luar negeri di satu sisi, surat penugasan dari Rayyan di sisi lain.Hana, yang baru masuk membawa camilan, langsung mendeteksi keganjilan itu. “Hey, kamu dari tadi bengong terus. Ada apa, Sya?”Aisyah mengangkat wajah, tersenyum samar. “Aku lagi bingung, Han. Ada tawaran kerja baru.”Hana duduk di kursi seberang, mencondongkan badan dengan antusias. “Serius? Dari perusahaan luar? Itu kan mimpimu sejak dulu!”Aisyah mengangguk pelan. “Iya. Jonny, yang dulu pernah presentasi bareng Pak Rayyan, mengajakku bergabung. Gajinya besar, fasilitas lengkap. Aku bisa dapat exposure internasional.”“Lalu kenapa bingung? Bukankah itu kesempatan emas?”Aisyah menghela napas panjang. “Karena di saat yang sama, Pak Rayyan memberiku kepercayaan besar juga. Dia menunjukku memimpin tim ekspansi kerja sama dengan firma Dubai. Itu setara, bahkan mungkin lebih menantang… hanya saja, aku tetap
Hari itu, kantor masih ramai ketika Aisyah baru saja menyelesaikan serangkaian rapat. Tubuhnya lelah, tapi hatinya hangat. Sejak proyek besar terakhir sukses, ia sering mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak.Namun, sore itu berbeda. Seorang tamu dari perusahaan konsultan internasional datang. Namanya Jonny, seorang ekspatriat ramah dengan senyum percaya diri. Ia sengaja menemuinya setelah rapat bersama direksi selesai.“Miss Aisyah, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.Aisyah menoleh, sedikit kaget. “Tentu, Pak.”Mereka pun berbincang di lobi. Jonny langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Kami sudah lama memperhatikan presentasi dan kontribusi Anda. Perusahaan kami sedang mencari konsultan muda untuk proyek besar di Singapura. Anda punya kualifikasi yang cocok.”Kata-kata itu membuat Aisyah terdiam. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tawaran internasional? Itu kesempatan yang sulit ditolak oleh siapa pun di posisinya.