Share

Bab 4 – Pertemuan Resmi

Penulis: Cahya Nirmala
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-18 16:13:52

Pagi itu, aku berdiri di depan cermin dengan seragam kerja baru: kemeja putih rapi dan celana hitam panjang. Jilbabku kubenahi berulang kali. Rasanya semua tampak kurang pas, entah terlalu longgar atau terlalu ketat, padahal aku sudah menyiapkannya sejak semalam.

Hari pertama kerja. Perutku seperti dipenuhi ribuan kupu-kupu yang menari tidak beraturan.

“Bismillah, Aisyah. Kamu pasti bisa,” bisikku pada diri sendiri.

Aku berangkat lebih awal agar tidak terlambat. Kantor Alfarizi Corporation berdiri megah di pusat kota—gedung 20 lantai yang kacanya berkilau terkena sinar matahari pagi. Saat melangkah masuk, aku disambut deretan karyawan yang sudah tampak sibuk.

Di lobby, seorang resepsionis muda menatapku ramah. “Selamat pagi. Nama, Mbak?”

“Aisyah Rahmani. Karyawan baru, bagian asisten direktur.”

Mata resepsionis itu sempat melebar, lalu ia tersenyum simpul. “Oh, iya, Mbak Aisyah. Sudah ditunggu di lantai 15. Silakan ke sana, ya.”

Aku mengangguk gugup. Dengan jantung berdegup kencang, aku naik lift bersama beberapa karyawan lain. Suasana di dalam lift hening, hanya terdengar denting lembut musik instrumental.

Aku menarik napas panjang, mengingat kata-kata HR kemarin: “Kamu akan bekerja langsung dengan direktur kami. Dia memang keras, tapi profesional. Anggap saja sebagai tantangan.”

Profesional? Kata itu rasanya jauh sekali dari kesanku pada Rayyan.

---

Begitu sampai di lantai 15, aku melangkah keluar. Lorongnya dipenuhi kaca dan interior modern minimalis. Beberapa karyawan sibuk menunduk di meja masing-masing, mengetik cepat di keyboard masing-masing.

Seorang wanita berkacamata menghampiriku. “Aisyah, ya? Aku Nita, sekretaris senior. Aku akan mendampingimu sementara.”

Aku tersenyum lega. “Terima kasih, Mbak.”

Nita memberiku tur singkat: ruang kerja tim, pantry, hingga ruang rapat. Semua terlihat rapi dan penuh kesan profesional. Aku merasa kecil sekali di tengah suasana megah ini.

Akhirnya, kami berhenti di depan sebuah pintu besar dengan ukiran nama: Rayyan Alfarizi.

Tubuhku seketika menegang. Jadi benar, dialah bosku.

“Jangan tegang,” bisik Nita. “Pak Rayyan memang… agak dingin. Tapi kalau kamu bisa menyesuaikan diri, semua akan baik-baik saja.”

Aku hanya mengangguk. Nafasku mulai terasa berat.

---

Nita mengetuk pintu. Dari dalam terdengar suara tegas, “Masuk.”

Kami pun masuk. Ruangan itu luas, dengan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota. Meja kerja kayu mahoni berdiri megah di tengah. Dan di sana, sosok itu.

Rayyan duduk tegak di kursi kulit hitam, mengenakan setelan jas abu tua yang menambah aura dinginnya. Tatapannya langsung mengarah padaku.

“Aisyah Rahmani,” ucapnya datar. “Jadi kamu asisten baruku?”

Aku menelan ludah. “I-iya, Pak. Saya siap belajar dan bekerja keras.”

Sudut bibirnya terangkat tipis, tapi itu bukan senyum ramah. Lebih mirip ejekan.

“Sebelumnya kamu berani bicara lantang. Sekarang, jangan sampai semangatmu menghilang hanya karena tekanan pekerjaan.”

Aku menggenggam tas di tangan. “Saya tidak akan mudah goyah, Pak.”

Nita tampak canggung di sampingku, lalu buru-buru berpamitan. Tinggallah aku berdua dengan pria itu. Suasana hening, tapi hawa tegang memenuhi ruangan.

“Mulai hari ini,” kata Rayyan pelan, “kamu akan mengatur jadwalku, menyiapkan dokumen rapat, dan memastikan semua berjalan sesuai keinginanku. Satu kesalahan kecil saja bisa membuat seluruh perusahaan kacau. Paham?”

Aku menegakkan punggung. “Paham, Pak.”

Matanya menyipit, meneliti wajahku seakan mencari celah kelemahan. “Bagus. Kita lihat seberapa baik kamu mengerjakan.”

---

Beberapa jam kemudian, aku mendapat tugas pertamaku: menyiapkan presentasi untuk rapat tim besar. Dengan bantuan Nita, aku mengatur dokumen, mengatur tempat duduk, dan menyalakan proyektor.

Saat semua sudah siap, karyawan satu per satu masuk ke ruang rapat. Suasananya cukup formal, semua terlihat serius.

Tak lama, Rayyan masuk. Aura ruangan seketika berubah. Semua berdiri memberi hormat. Aku pun ikut berdiri, meski sedikit kikuk.

Rapat dimulai. Rayyan memaparkan strategi perusahaan dengan suara tegas, lalu meminta tim memberikan masukan. Aku duduk di samping, mencatat setiap poin dengan cermat.

Sampai tiba-tiba, layar presentasi mendadak mati. Laptopku error.

“Aisyah,” suara Rayyan dingin, menusuk seperti belati. “Apa yang kamu lakukan? Ini seharusnya sudah kamu pastikan sejak awal.”

Semua mata tertuju padaku. Wajahku panas seketika. Aku buru-buru mencoba memperbaiki, tangan gemetar.

“S-saya sudah cek sebelumnya, Pak. Tadi baik-baik saja, mungkin ada—”

“Tidak ada alasan,” potongnya tajam. “Kecerobohan sekecil ini bisa membuat investor kehilangan kepercayaan.”

Aku merasakan darah naik ke wajah. Di depan begitu banyak orang, aku dipermalukan. Hatiku berteriak, tapi aku mencoba menahan diri.

Namun, tiba-tiba kata-kata itu meluncur juga dari mulutku.

“Dengan segala hormat, Pak. Saya memang baru di sini, tapi bukan berarti saya tidak bekerja serius. Kalau laptop mendadak error, itu bukan semata kesalahan saya.”

Ruangan hening. Semua menatapku dengan terkejut.

Rayyan menoleh perlahan, tatapannya tajam seperti elang.

“Berani sekali kamu membantahku di depan karyawan lain.”

Aku menegakkan dagu, meski lututku bergetar. “Saya hanya ingin menjelaskan, Pak. Saya tidak suka disalahkan untuk sesuatu yang di luar kendali saya.”

Beberapa karyawan tampak menahan senyum, sebagian lain menunduk takut.

Rayyan berdiri, berjalan mendekatiku dengan langkah mantap. Suaranya rendah namun mengancam.

“Ingat posisimu, Aisyah. Kamu hanya asisten. Jangan bertindak seakan-akan kamu mengerti segalanya.”

Aku menatap balik, menolak mundur. “Dan jangan anggap semua orang di sini hanya pion tanpa suara, Pak.”

Keheningan kian pekat. Lalu tiba-tiba, laptop menyala kembali dengan normal. Rapat bisa dilanjutkan.

Rayyan kembali ke kursinya, tapi sebelum duduk ia melirikku tajam. “Kita akan bicara setelah ini.”

Aku menelan ludah, tahu bahwa badai baru saja dimulai.

---

Setelah rapat berakhir, karyawan keluar dengan bisik-bisik. Beberapa menepuk bahuku pelan, ada yang berbisik, “Kamu berani juga.”

Tapi aku tidak merasa bangga. Keringat dingin membasahi punggungku. Aku tahu Rayyan tidak akan tinggal diam.

Di luar ruang rapat, Rayyan menghentikan langkahku.

“Aisyah. Ruanganku. Sekarang.”

Hatiku merosot ke dasar. Hari pertamaku… benar-benar kacau.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku     Bab 20 - Kesal yang Tertahan

    Rayyan duduk di ruang kerjanya dengan rahang mengeras. Jari-jarinya mengetuk meja berulang kali, kebiasaan lama yang selalu muncul saat ia menahan emosi.Laporan hasil rapat pagi tadi masih terbuka di layar laptop, tapi pikirannya sama sekali tidak bisa fokus. Nama Aisyah tertulis jelas dalam notulensi—bukan sekadar peserta rapat, melainkan “koordinator tim riset” untuk proyek baru.Rayyan menutup laptop dengan kasar. Ia bersandar, memijat pelipis.“Kenapa bisa sejauh ini…” gumamnya lirih.Seharusnya, dengan surat resign itu, Aisyah sudah pergi. Seharusnya, masalah selesai. Tapi direksi malah menolak dan menjadikan Aisyah semakin bersinar di perusahaan. Dan kini, semua mata justru tertuju pada perempuan itu—perempuan yang beberapa minggu lalu hampir ia singkirkan dengan kata-kata dingin.---Siang itu, ia berjalan melewati lorong kantor. Dari kejauhan, terdengar suara tawa. Aisyah berdiri bersama beberapa rekan tim, menjelaskan sesuatu di papan tulis. Tangannya bergerak lincah, matany

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 19 - Keputusan yang Digoyahkan

    Hari Senin pagi, suasana kantor terasa berbeda. Aisyah masuk dengan langkah ringan, meski wajahnya masih menyimpan bekas letih. Ia sudah bulat hati setelah akhir pekan panjang: surat resign sudah diserahkan, masa depannya akan ia tata ulang.Namun, begitu sampai, tatapan rekan-rekannya terasa aneh. Ada yang berbisik, ada yang menatap iba, ada pula yang sekadar menunduk seolah tahu sesuatu yang ia tidak tahu.“Kenapa… semua orang lagi-lagi aneh kayak gini?” batinnya.Jawaban muncul tak lama kemudian. Mbak Ratih, sekretaris direksi, menghampirinya. “Aisyah, direksi minta kamu ke ruang rapat utama sekarang.”Aisyah mengerutkan kening. “Rapat apa? Saya nggak dapat undangan.”Ratih tersenyum canggung. “Ini… khusus membicarakan kamu.”---Di ruang rapat utama, tiga orang direksi senior sudah duduk rapi. Mereka adalah sosok-sosok berpengaruh yang jarang Aisyah hadapi langsung. Rayyan duduk di sisi lain meja, wajahnya datar namun rahangnya terlihat mengeras.“Silakan duduk, Aisyah,” ucap sala

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 18 - Batas Kesabaran

    Hari itu, suasana kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Tim marketing baru saja menyelesaikan presentasi untuk klien besar—sebuah perusahaan multinasional yang bisa menjadi peluang emas bagi perusahaan Rayyan. Semua orang bekerja keras, lembur berhari-hari, termasuk Aisyah yang menjadi koordinator data riset.Namun, ketika rapat evaluasi dimulai, bukannya pujian yang datang, hujan kritik justru melanda. Dan seperti biasa, Rayyan menjadi pihak pertama yang melontarkannya.“Siapa yang bertanggung jawab atas bagian analisis tren pasar ini?” tanya Rayyan sambil menunjuk layar. Nada suaranya dingin, tajam, menusuk.Semua orang diam. Aisyah tahu bagian itu adalah tanggung jawabnya. Ia berdiri pelan, mencoba tetap tenang. “Itu bagian saya, Pak.”Rayyan menatapnya lurus. “Data ini tidak lengkap. Ada variabel yang hilang. Kalau klien menyadari, mereka akan menganggap kita amatir. Apa kamu tahu konsekuensinya?”Aisyah menarik napas dalam-dalam. Ia yakin datanya benar, ia bahkan menambahkan

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 17 - Dinding Es yang Kembali Tegak

    Beberapa hari setelah Rayyan jatuh sakit, suasana kantor kembali normal—atau setidaknya terlihat begitu di mata semua orang. Tapi tidak bagi Aisyah. Ia masih ingat jelas kata-kata lirih yang keluar dari bibir Rayyan di antara demamnya: “Aku nggak keberatan kamu lihat aku berantakan.” Kalimat itu menghantui pikirannya, membuatnya sulit tidur beberapa malam terakhir. Namun, semua itu seakan tak pernah terjadi. Begitu Rayyan kembali duduk di kursinya yang megah di ruang direksi, sikap dinginnya kembali berdiri seperti dinding es yang menjulang tinggi. Tidak ada tanda-tanda ia mengingat apa pun dari hari ketika Aisyah menemaninya. Bahkan tatapan matanya terasa lebih tajam dari biasanya. “Laporan evaluasi minggu lalu terlalu lambat masuk. Saya nggak suka menunggu,” ucap Rayyan pada rapat pagi, suaranya datar, tetapi cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. Semua kepala tim menunduk, dan mata-mata lain beralih ke Aisyah, seolah menunggu siapa yang akan jadi sasaran berikutnya. Aisyah

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 16 – Momen Canggung

    Kantor pagi itu berjalan normal. Mesin printer berdengung, tuts keyboard dipukul cepat, dan suara telepon bersahutan. Namun bagiku, ada sesuatu yang berbeda. Bukan pada pekerjaan, melainkan pada caraku menatap pintu ruangan di ujung lorong itu—ruangan milik Rayyan.Sejak insiden beberapa hari lalu saat ia jatuh sakit, ada kalimat yang terus terngiang di kepalaku. Kalimat singkat, lirih, yang diucapkan dengan suara serak dan mata setengah terpejam.“Kalau kamu yang lihat… aku nggak keberatan kelihatan berantakan.”Waktu itu aku mengira ia tidak sadar. Tubuhnya panas, wajahnya pucat, dan matanya hampir tertutup. Aku menanggapinya hanya sebagai omongan orang sakit yang tak tahu apa yang diucapkan. Tapi anehnya, kalimat itu menempel kuat di kepalaku, seakan menolak pergi.Setiap kali aku teringat, jantungku berdetak lebih cepat. Dan setiap kali aku melihat Rayyan melintas di lorong dengan jas rapinya, aku bertanya-tanya: benarkah ia mengucapkannya dengan sadar? Atau hanya halusinasi telin

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 15 – Saat Rayyan Jatuh Sakit

    Hari itu kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Semua orang sibuk menyiapkan laporan untuk evaluasi mingguan. Suasana yang biasanya riuh dengan suara tuts keyboard dan dering telepon kini dipenuhi dengan bisik-bisik panik karyawan yang berlarian membawa berkas.Aku pun tak kalah sibuk. Sejak pagi, tugasku menumpuk, dan aku bahkan belum sempat menyeruput kopi yang kubeli tadi. Tapi di tengah kesibukan itu, mataku sempat menangkap sesuatu yang janggal: Rayyan.Biasanya pria itu muncul dengan penampilan sempurna—rambut rapi, kemeja licin tanpa satu pun lipatan, dan tatapan tajam yang seakan siap menguliti kesalahan siapa saja. Tapi pagi ini, ada yang berbeda. Wajahnya pucat, kemejanya sedikit kusut, dan langkahnya tak sekuat biasanya.Aku sempat mengira hanya ilusi karena lelah, sampai akhirnya aku melihatnya duduk di ruang rapat beberapa jam kemudian. Cahaya lampu ruangan memantul di keningnya yang basah oleh keringat. Tangannya menekan pelipis, matanya sayu.“Pak Rayyan, bagaimana m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status