Langkahku terasa berat ketika mengikuti Rayyan menuju ruangannya. Sepatu hak rendahku beradu dengan lantai marmer, menimbulkan bunyi tok-tok yang makin memperjelas kegugupanku.
Sejujurnya, aku ingin sekali kabur saja. Tapi tidak mungkin. Ini hari pertamaku. Baru saja tadi pagi aku mencoba meyakinkan diri kalau aku bisa bekerja di sini. Dan kini, aku malah menyeret kaki menuju “ruang eksekusi.” Setelah pintu ruang direktur tertutup, sunyi mendominasi. Aku berdiri di hadapan meja kerjanya yang megah, sementara Rayyan melepas jasnya lalu menggantungnya rapi di kursi. Gerakannya tenang, tapi justru itu yang membuat jantungku berdegup tak karuan. Dia duduk, menyandarkan punggung, lalu menautkan jemarinya di atas meja. Tatapan hitamnya menusuk. “Duduk,” katanya singkat. Aku menarik kursi di depan meja dan duduk. Suara kursi yang bergeser terdengar lebih keras dari biasanya, mungkin karena ruang ini terlalu sunyi. Rayyan menghela napas panjang, kemudian mencondongkan tubuh ke depan. “Aisyah Rahmani,” suaranya tenang tapi dingin. “Kamu tahu apa yang salah tadi?” Aku menelan ludah. “Laptop tiba-tiba error, Pak. Saya sudah cek sebelumnya, jadi—” “Tepat.” Ia menyelaku dengan senyum tipis yang jelas bukan tanda ramah. “Kesalahanmu bukan hanya soal laptop. Kesalahanmu adalah karena kamu tidak siap menghadapi kemungkinan kecil seperti itu.” Aku mengerutkan dahi. “Tapi, Pak, saya—” “Kamu tahu apa artinya bekerja sebagai asisten direktur?” tanyanya, kali ini lebih tajam. “Artinya kamu harus mengantisipasi semua kemungkinan. Bukan hanya memastikan hal berjalan baik, tapi juga siap jika terjadi yang terburuk.” Aku menggigit bibir. jadi salahku lagi? Rayyan melanjutkan, “Dan yang lebih parah, kamu membantahku. Di depan tim. Itu kesalahan besar.” Aku merasakan panas menjalari wajah. “Saya tidak bermaksud membantah, Pak. Saya hanya ingin menjelaskan supaya tidak disalahpahami.” “Itu tetap membantah.” Ia menyandarkan tubuh, tatapannya dingin. “Karyawan baru biasanya memilih diam, belajar, lalu membuktikan diri lewat kerja keras. Tapi kamu? Kamu memilih melawan dengan kata-kata. Berani sekali.” Nada suaranya terdengar mengejek, tapi entah kenapa membuatku semakin ingin bertahan. “Dengan segala hormat, Pak,” kataku, mencoba menahan getaran di suaraku, “saya tidak terbiasa diam ketika diperlakukan tidak adil. Saya tahu posisi saya karyawan baru, tapi bukan berarti saya tidak punya hak bicara.” Ruangan itu kembali sunyi. Tatapan kami bertemu, menegang. Untuk beberapa detik, aku merasa seperti sedang berhadapan dengan tembok baja yang dingin namun misterius. Lalu, Rayyan mendengus pelan. “Menarik. Jadi kamu ingin membuktikan kalau kamu berbeda?” Aku menegakkan dagu. “Bukan ingin berbeda. Saya hanya ingin dihargai.” Rayyan terdiam, matanya menyipit, seolah sedang menganalisis setiap kata yang keluar dari mulutku. Hening itu membuatku gelisah. Aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya. Tiba-tiba, Rayyan mengambil sebuah dokumen tebal dari rak di belakangnya, lalu meletakkannya di depanku. “Kalau begitu, buktikan.” Aku menatap dokumen itu, lalu menatapnya bingung. “Maksudnya, Pak?” “Dokumen kontrak kerja sama dengan investor Singapura. Aku ingin kamu menyalin ulang poin-poin utama, buat ringkasan dalam bahasa Inggris, dan siapkan sebelum jam lima sore ini.” Aku menatap tumpukan halaman yang tebalnya hampir dua ratus lembar. “Sebelum jam lima?” suaraku tercekat. Rayyan menyilangkan tangan, bibirnya melengkung tipis. “Kenapa? Tidak sanggup?” Aku mengepalkan tangan di pangkuan. Ini jelas ujian. Mungkin dia sengaja memberiku tugas mustahil hanya untuk membuktikan bahwa aku tidak layak berada di sini. “Tentu saja sanggup,” jawabku akhirnya, meski perutku mual memikirkan bagaimana caranya. “Bagus,” katanya, lalu mencondongkan tubuh. “Dan Aisyah… jangan ulangi kesalahan tadi pagi. Ingat, satu kesalahan kecil bisa merusak segalanya. Aku tidak suka orang ceroboh.” Aku hanya mengangguk, meski dalam hati berteriak. Ceroboh? Aku sudah berusaha semaksimal mungkin! --- Kembali ke meja kerja kecilku di luar ruangan direktur, aku langsung membuka laptop. Kertas-kertas bertebaran, aku sibuk menandai poin-poin penting dengan stabilo, sementara jam di dinding terasa berjalan terlalu cepat. Beberapa karyawan lain melirikku dengan tatapan penuh simpati. Ada yang berbisik, “Kok langsung dikasih tugas berat banget, ya?” Tapi aku tidak bisa menanggapi. Fokusku tertuju pada dokumen yang seolah menertawakanku. Jam menunjukkan pukul tiga sore, dan aku baru menyelesaikan setengahnya. Tanganku pegal, mataku perih. Aku ingin menyerah, tapi gengsi menahanku. Aku tidak boleh kalah di hari pertama. “Kurang sedikit lagi,” gumamku sambil mengetik cepat. Setiap kali aku hampir putus asa, aku teringat tatapan meremehkan Rayyan. Tatapan yang seakan berkata, kamu tidak akan sanggup. Itu justru membuatku semakin bersemangat. --- Pukul lima lewat sepuluh menit, aku mengetuk pintu ruang direktur sambil membawa map berisi ringkasan yang kubuat. Nafasku ngos-ngosan, wajahku pasti sudah kusut. Rayyan mengangkat alis saat aku masuk. “Lebih dari jam lima.” Aku menggigit bibir. “Hanya sepuluh menit, Pak. Tapi pekerjaan selesai.” Aku menyerahkan map itu. Ia membukanya, meneliti setiap lembar dengan teliti. Aku berdiri tegang di depannya, menunggu komentar. Beberapa menit terasa seperti berjam-jam. Akhirnya, ia menutup map itu. “Hasilmu… cukup rapi. Tidak buruk untuk hari pertama.” Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kudengar. “Jadi… tidak ada yang salah?” Rayyan berdiri, menatapku. “Untuk kali ini, tidak. Tapi ingat, Aisyah, kamu hanya membuktikan satu hal kecil. Perjalananmu di sini masih panjang. Aku akan pastikan apakah kamu benar-benar pantas bertahan, atau menyerah seperti karyawan lainnya yang tidak kompeten.” Aku menatapnya balik. “Kalau begitu, Saya tidak akan semudah itu menyerah.” Seulas senyum samar muncul di wajahnya. Tidak jelas apakah itu ejekan atau kekaguman. “Menarik,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Aku berpamitan keluar dengan langkah gemetar, tapi di dalam hati ada sedikit rasa puas. Setidaknya, untuk hari ini, aku berhasil bertahan. --- Di lift menuju lobby, aku bersandar lelah. Hari pertama kerja terasa seperti peperangan. Tapi entah kenapa, meski melelahkan, ada bagian dalam diriku yang justru… bersemangat. Bukan hanya karena ingin membuktikan diri. Tapi juga karena tatapan Rayyan, tajam, menantang, tapi misterius, yang membuatku ingin tahu lebih jauh seperti apa sebenarnya pria itu.Ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen, presentasi yang berderet di layar besar, dan wajah-wajah tegang dari tim inti. Proyek kerja sama dengan Dubai bukan proyek biasa—ini adalah salah satu kontrak terbesar yang pernah ditangani Alfarizi Corporation. Semua detail, mulai dari teknis, regulasi internasional, hingga negosiasi, harus dipersiapkan tanpa cela.Di tengah ruangan, Aisyah duduk dengan teliti mencatat setiap poin yang disampaikan. Tangannya lincah menandai catatan penting, sementara pandangannya sesekali beralih ke Rayyan yang duduk di ujung meja, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.“Divisi legal harus pastikan semua klausul perjanjian sesuai hukum internasional. Tim marketing siapkan strategi promosi lintas negara. Dan…” Rayyan berhenti sejenak, menoleh ke arah Aisyah. “Koordinasi keseluruhan laporan tetap melalui Aisyah. Saya ingin update setiap hari.”Beberapa kepala menoleh, sedikit terkejut mendengar nama itu disebut secara spesifik. Biasanya Rayyan ja
Hari itu suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Proyek baru sudah memasuki tahap peninjauan ulang dokumen, dan setiap detail harus dicek ulang sebelum diserahkan ke klien. Aisyah duduk di mejanya, laptop terbuka, dokumen-dokumen berjejer, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Nama Rayyan berputar terus di kepalanya. Entah bagaimana, setiap kali mencoba fokus, bayangan tatapan pria itu muncul. Tatapan dingin di ruang rapat tempo hari, kalimat pendek tapi penuh makna, “Kamu tidak sendirian.” Semuanya seperti terpatri.Aisyah menggeleng pelan, menepuk pipinya sendiri. “Fokus, Sya. Fokus.”Tapi semakin ia memaksa, semakin pikirannya justru menjauh dari layar di depannya.Sampai akhirnya, ia tanpa sadar mengirimkan dokumen revisi ke klien… dengan lampiran yang salah.Baru satu jam kemudian ia menyadari. Hana, rekan kerjanya, berbisik panik sambil menunjuk layar: “Sya, ini kamu kirim yang draft awal, bukan yang sudah direvisi. Klien sudah balas email, katanya bingung kenapa data
Udara sore itu terasa lebih padat dari biasanya. Aisyah baru saja kembali dari kampung setelah memastikan kondisi ibunya stabil. Tubuhnya lelah, namun pikirannya jauh lebih sibuk. Sejak duduk di dalam taksi menuju apartemen, bayangan satu nama terus berputar dalam benaknya: Rayyan Alfarizi.Ia sudah tahu. Ia sudah yakin. Semua kemudahan perjalanan ke kampung, tiket pesawat yang tiba-tiba tersedia, bahkan jalur cepat di klinik—semuanya ulah Rayyan.Meski tak pernah diucapkan langsung, Aisyah bisa merasakan betapa pria itu diam-diam menjaga. Tapi justru itulah yang membuatnya resah. Kenapa harus sembunyi? Kenapa tidak bicara terus terang?Keesokan harinya, Aisyah melangkah masuk ke kantor. Beberapa rekan kerja menyapanya hangat. “Hai, Sya! Bagaimana kabar ibumu? Sudah membaik?”Aisyah mengangguk sambil tersenyum tipis. “Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih.”Namun, hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia tahu, hari ini ia harus menghadapi Rayyan. Dan, entah bagaimana, ia ingin
Esoknya, setelah memastikan ibunya stabil, Aisyah berdiri di teras rumah sambil menatap sawah yang hijau. Angin sore membawa aroma tanah basah. Namun pikirannya tak bisa lepas dari satu nama: Rayyan Alfarizi.Ia menimbang-nimbang perasaannya. Di satu sisi, ia sangat berterima kasih. Hatinya hangat karena tahu di balik dinginnya sikap Rayyan di kantor, ada perhatian tulus yang ia tunjukkan dengan cara tersembunyi. Tapi di sisi lain, ini membuatnya semakin sulit dan bingung bagaimana harus menyikapi.Aisyah sadar, jika ia membiarkan hatinya terlalu larut, ia bisa terseret ke dalam hubungan yang tidak jelas. “Aku harus tetap waras,” gumamnya.Namun, suara hati itu kian sulit ditekan.Tak lama, ponselnya bergetar. Nama Pak Rayyan muncul di layar.Aisyah menelan ludah sebelum mengangkat. “Halo, Pak.”Suara Rayyan terdengar seperti biasa: datar dan singkat. “Bagaimana kondisi ibu?”“Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih, Pak.”Hening beberapa detik. Aisyah ingin sekali mengucapkan:
Aisyah duduk lama di pantry kantor, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Pikiran masih berputar—email tawaran luar negeri di satu sisi, surat penugasan dari Rayyan di sisi lain.Hana, yang baru masuk membawa camilan, langsung mendeteksi keganjilan itu. “Hey, kamu dari tadi bengong terus. Ada apa, Sya?”Aisyah mengangkat wajah, tersenyum samar. “Aku lagi bingung, Han. Ada tawaran kerja baru.”Hana duduk di kursi seberang, mencondongkan badan dengan antusias. “Serius? Dari perusahaan luar? Itu kan mimpimu sejak dulu!”Aisyah mengangguk pelan. “Iya. Jonny, yang dulu pernah presentasi bareng Pak Rayyan, mengajakku bergabung. Gajinya besar, fasilitas lengkap. Aku bisa dapat exposure internasional.”“Lalu kenapa bingung? Bukankah itu kesempatan emas?”Aisyah menghela napas panjang. “Karena di saat yang sama, Pak Rayyan memberiku kepercayaan besar juga. Dia menunjukku memimpin tim ekspansi kerja sama dengan firma Dubai. Itu setara, bahkan mungkin lebih menantang… hanya saja, aku tetap
Hari itu, kantor masih ramai ketika Aisyah baru saja menyelesaikan serangkaian rapat. Tubuhnya lelah, tapi hatinya hangat. Sejak proyek besar terakhir sukses, ia sering mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak.Namun, sore itu berbeda. Seorang tamu dari perusahaan konsultan internasional datang. Namanya Jonny, seorang ekspatriat ramah dengan senyum percaya diri. Ia sengaja menemuinya setelah rapat bersama direksi selesai.“Miss Aisyah, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.Aisyah menoleh, sedikit kaget. “Tentu, Pak.”Mereka pun berbincang di lobi. Jonny langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Kami sudah lama memperhatikan presentasi dan kontribusi Anda. Perusahaan kami sedang mencari konsultan muda untuk proyek besar di Singapura. Anda punya kualifikasi yang cocok.”Kata-kata itu membuat Aisyah terdiam. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tawaran internasional? Itu kesempatan yang sulit ditolak oleh siapa pun di posisinya.