Home / Romansa / Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku / Bab 5-Teguran yang Membakar

Share

Bab 5-Teguran yang Membakar

last update Huling Na-update: 2025-08-18 16:15:43

Langkahku terasa berat ketika mengikuti Rayyan menuju ruangannya. Sepatu hak rendahku beradu dengan lantai marmer, menimbulkan bunyi tok-tok yang makin memperjelas kegugupanku.

Sejujurnya, aku ingin sekali kabur saja. Tapi tidak mungkin. Ini hari pertamaku. Baru saja tadi pagi aku mencoba meyakinkan diri kalau aku bisa bekerja di sini. Dan kini, aku malah menyeret kaki menuju “ruang eksekusi.”

Setelah pintu ruang direktur tertutup, sunyi mendominasi. Aku berdiri di hadapan meja kerjanya yang megah, sementara Rayyan melepas jasnya lalu menggantungnya rapi di kursi. Gerakannya tenang, tapi justru itu yang membuat jantungku berdegup tak karuan.

Dia duduk, menyandarkan punggung, lalu menautkan jemarinya di atas meja. Tatapan hitamnya menusuk.

“Duduk,” katanya singkat.

Aku menarik kursi di depan meja dan duduk. Suara kursi yang bergeser terdengar lebih keras dari biasanya, mungkin karena ruang ini terlalu sunyi.

Rayyan menghela napas panjang, kemudian mencondongkan tubuh ke depan.

“Aisyah Rahmani,” suaranya tenang tapi dingin. “Kamu tahu apa yang salah tadi?”

Aku menelan ludah. “Laptop tiba-tiba error, Pak. Saya sudah cek sebelumnya, jadi—”

“Tepat.” Ia menyelaku dengan senyum tipis yang jelas bukan tanda ramah.

“Kesalahanmu bukan hanya soal laptop. Kesalahanmu adalah karena kamu tidak siap menghadapi kemungkinan kecil seperti itu.”

Aku mengerutkan dahi. “Tapi, Pak, saya—”

“Kamu tahu apa artinya bekerja sebagai asisten direktur?” tanyanya, kali ini lebih tajam. “Artinya kamu harus mengantisipasi semua kemungkinan. Bukan hanya memastikan hal berjalan baik, tapi juga siap jika terjadi yang terburuk.”

Aku menggigit bibir. jadi salahku lagi?

Rayyan melanjutkan, “Dan yang lebih parah, kamu membantahku. Di depan tim. Itu kesalahan besar.”

Aku merasakan panas menjalari wajah. “Saya tidak bermaksud membantah, Pak. Saya hanya ingin menjelaskan supaya tidak disalahpahami.”

“Itu tetap membantah.” Ia menyandarkan tubuh, tatapannya dingin.

“Karyawan baru biasanya memilih diam, belajar, lalu membuktikan diri lewat kerja keras. Tapi kamu? Kamu memilih melawan dengan kata-kata. Berani sekali.”

Nada suaranya terdengar mengejek, tapi entah kenapa membuatku semakin ingin bertahan.

“Dengan segala hormat, Pak,” kataku, mencoba menahan getaran di suaraku, “saya tidak terbiasa diam ketika diperlakukan tidak adil. Saya tahu posisi saya karyawan baru, tapi bukan berarti saya tidak punya hak bicara.”

Ruangan itu kembali sunyi. Tatapan kami bertemu, menegang. Untuk beberapa detik, aku merasa seperti sedang berhadapan dengan tembok baja yang dingin namun misterius.

Lalu, Rayyan mendengus pelan.

“Menarik. Jadi kamu ingin membuktikan kalau kamu berbeda?”

Aku menegakkan dagu. “Bukan ingin berbeda. Saya hanya ingin dihargai.”

Rayyan terdiam, matanya menyipit, seolah sedang menganalisis setiap kata yang keluar dari mulutku. Hening itu membuatku gelisah. Aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya.

Tiba-tiba, Rayyan mengambil sebuah dokumen tebal dari rak di belakangnya, lalu meletakkannya di depanku.

“Kalau begitu, buktikan.”

Aku menatap dokumen itu, lalu menatapnya bingung. “Maksudnya, Pak?”

“Dokumen kontrak kerja sama dengan investor Singapura. Aku ingin kamu menyalin ulang poin-poin utama, buat ringkasan dalam bahasa Inggris, dan siapkan sebelum jam lima sore ini.”

Aku menatap tumpukan halaman yang tebalnya hampir dua ratus lembar. “Sebelum jam lima?” suaraku tercekat.

Rayyan menyilangkan tangan, bibirnya melengkung tipis. “Kenapa? Tidak sanggup?”

Aku mengepalkan tangan di pangkuan. Ini jelas ujian. Mungkin dia sengaja memberiku tugas mustahil hanya untuk membuktikan bahwa aku tidak layak berada di sini.

“Tentu saja sanggup,” jawabku akhirnya, meski perutku mual memikirkan bagaimana caranya.

“Bagus,” katanya, lalu mencondongkan tubuh. “Dan Aisyah… jangan ulangi kesalahan tadi pagi. Ingat, satu kesalahan kecil bisa merusak segalanya. Aku tidak suka orang ceroboh.”

Aku hanya mengangguk, meski dalam hati berteriak. Ceroboh? Aku sudah berusaha semaksimal mungkin!

---

Kembali ke meja kerja kecilku di luar ruangan direktur, aku langsung membuka laptop. Kertas-kertas bertebaran, aku sibuk menandai poin-poin penting dengan stabilo, sementara jam di dinding terasa berjalan terlalu cepat.

Beberapa karyawan lain melirikku dengan tatapan penuh simpati. Ada yang berbisik, “Kok langsung dikasih tugas berat banget, ya?” Tapi aku tidak bisa menanggapi. Fokusku tertuju pada dokumen yang seolah menertawakanku.

Jam menunjukkan pukul tiga sore, dan aku baru menyelesaikan setengahnya. Tanganku pegal, mataku perih. Aku ingin menyerah, tapi gengsi menahanku. Aku tidak boleh kalah di hari pertama.

“Kurang sedikit lagi,” gumamku sambil mengetik cepat.

Setiap kali aku hampir putus asa, aku teringat tatapan meremehkan Rayyan. Tatapan yang seakan berkata, kamu tidak akan sanggup. Itu justru membuatku semakin bersemangat.

---

Pukul lima lewat sepuluh menit, aku mengetuk pintu ruang direktur sambil membawa map berisi ringkasan yang kubuat. Nafasku ngos-ngosan, wajahku pasti sudah kusut.

Rayyan mengangkat alis saat aku masuk. “Lebih dari jam lima.”

Aku menggigit bibir. “Hanya sepuluh menit, Pak. Tapi pekerjaan selesai.”

Aku menyerahkan map itu. Ia membukanya, meneliti setiap lembar dengan teliti. Aku berdiri tegang di depannya, menunggu komentar.

Beberapa menit terasa seperti berjam-jam.

Akhirnya, ia menutup map itu. “Hasilmu… cukup rapi. Tidak buruk untuk hari pertama.”

Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kudengar. “Jadi… tidak ada yang salah?”

Rayyan berdiri, menatapku. “Untuk kali ini, tidak. Tapi ingat, Aisyah, kamu hanya membuktikan satu hal kecil. Perjalananmu di sini masih panjang. Aku akan pastikan apakah kamu benar-benar pantas bertahan, atau menyerah seperti karyawan lainnya yang tidak kompeten.”

Aku menatapnya balik. “Kalau begitu, Saya tidak akan semudah itu menyerah.”

Seulas senyum samar muncul di wajahnya. Tidak jelas apakah itu ejekan atau kekaguman.

“Menarik,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Aku berpamitan keluar dengan langkah gemetar, tapi di dalam hati ada sedikit rasa puas. Setidaknya, untuk hari ini, aku berhasil bertahan.

---

Di lift menuju lobby, aku bersandar lelah. Hari pertama kerja terasa seperti peperangan. Tapi entah kenapa, meski melelahkan, ada bagian dalam diriku yang justru… bersemangat.

Bukan hanya karena ingin membuktikan diri. Tapi juga karena tatapan Rayyan, tajam, menantang, tapi misterius, yang membuatku ingin tahu lebih jauh seperti apa sebenarnya pria itu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku     Bab 52 - Antara Profesionalisme dan Perasaan

    Siang itu, Hana datang menghampiri mejanya dengan senyum usil.“Aku lihat Pak Rayyan tadi puji kamu lagi di depan tim. Kamu nggak deg-degan?” godanya.Aisyah pura-pura sibuk merapikan kertas. “Itu biasa aja, Han. Pujian kerja, bukan yang lain.”Hana mendekat, berbisik, “Kamu masih nggak sadar juga? Cara dia lihat kamu beda, Sya. Dia mungkin nggak ngomong, tapi aku yakin dia peduli lebih dari sekadar atasan ke bawahan.”Aisyah menghela napas. “Justru itu masalahnya. Dia nggak pernah ngomong. Kalau semua ini cuma aku yang salah paham, aku bisa kewalahan, Han. Dan aku nggak bisa ambil risiko itu.”Hana menepuk tangannya lembut. “Terus kalau Farid?”Pertanyaan itu membuat Aisyah terdiam lama. “Farid… baik. Dia jelas sama perasaannya. Tapi aku nggak tahu, Han. Aku nggak ngerasa deg-degan kayak… kayak kalau sama Pak Rayyan.” suaranya hampir tidak terdengar di akhir kalimat. Ini pertama kalinya ia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya kepada orang lain.Hana tersenyum miris. “Kadang yang

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 51 - Strategi Berlapis

    Rayyan duduk di ruang kerjanya malam itu, hanya ditemani lampu meja dan layar laptop yang menyorot berkas-berkas proyek Dubai. Matanya menelusuri angka-angka, grafik, dan catatan rapat, tapi pikirannya sama sekali tidak tenang. Bayangan pertemuannya dengan Farid di kafe terus kembali. Senyum ramah pria itu, kalimat-kalimatnya yang terdengar tulus, seolah menggema di kepalanya. “Saya ingin ada di sisinya. Agar dia tidak merasa sendirian.” Kata-kata itu membuat Rayyan menggenggam erat pulpen di tangannya. Bukan marah—lebih kepada rasa tidak rela yang sulit ia definisikan. Merasa tidak mampu memberikan yang serupa. Ia tahu, kali ini, ia tidak hanya menghadapi kompetitor bisnis, tapi juga kompetitor hati. Dan yang membuatnya semakin sulit: kompetitor ini tidak bisa ia kalahkan dengan angka, kontrak, atau hukum. Rayyan menarik napas panjang, bersandar di kursinya. Ia harus berpikir elegan. Bukan frontal, bukan dengan kekuasaan yang bisa membuat Aisyah merasa terkekang. “Aku harus men

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 50 - Langkah untuk Rival

    Rayyan pagi itu terlihat lebih serius dari biasanya. Wajahnya tegang, suaranya dingin ketika memberi instruksi.“Aisyah, laporan progress terakhir sudah kamu siapkan?”“Sudah, Pak.” Aisyah menyerahkan berkas dengan hati-hati.Rayyan menerimanya tanpa banyak bicara, tapi tatapannya singgah lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu di balik mata itu—campuran antara ingin bicara, tapi menahan diri.Aisyah merasa tidak nyaman. Ia bisa menebak, mungkin Rayyan melihat dirinya dengan Farid kemarin.Siang hari, saat makan siang bersama Hana, gosip mulai muncul.“Halo, Nona populer,” Hana menyikutnya pelan.Aisyah mengernyit. “Apa lagi, Han?”“Aku lihat kemarin kamu jalan sama cowok ganteng bawa bunga. Siapa tuh? Jangan bilang pacar lama yang tiba-tiba balik.”Aisyah hampir tersedak. “Bukan, bukan. Dia teman kuliah. Namanya Farid.”Hana tertawa kecil. “Teman kuliah yang bawain bunga? Hmm, oke deh.”Aisyah mendesah. “Serius, Han. Jangan mulai gosip. Aku nggak mau ada yang salah paham lagi.”Tapi da

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 49 - Kehadiran yang Mengusik

    Ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen, presentasi yang berderet di layar besar, dan wajah-wajah tegang dari tim inti. Proyek kerja sama dengan Dubai bukan proyek biasa—ini adalah salah satu kontrak terbesar yang pernah ditangani Alfarizi Corporation. Semua detail, mulai dari teknis, regulasi internasional, hingga negosiasi, harus dipersiapkan tanpa cela.Di tengah ruangan, Aisyah duduk dengan teliti mencatat setiap poin yang disampaikan. Tangannya lincah menandai catatan penting, sementara pandangannya sesekali beralih ke Rayyan yang duduk di ujung meja, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.“Divisi legal harus pastikan semua klausul perjanjian sesuai hukum internasional. Tim marketing siapkan strategi promosi lintas negara. Dan…” Rayyan berhenti sejenak, menoleh ke arah Aisyah. “Koordinasi keseluruhan laporan tetap melalui Aisyah. Saya ingin update setiap hari.”Beberapa kepala menoleh, sedikit terkejut mendengar nama itu disebut secara spesifik. Biasanya Rayyan ja

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 48 - Keputusan yang Menentukan

    Hari itu suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Proyek baru sudah memasuki tahap peninjauan ulang dokumen, dan setiap detail harus dicek ulang sebelum diserahkan ke klien. Aisyah duduk di mejanya, laptop terbuka, dokumen-dokumen berjejer, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Nama Rayyan berputar terus di kepalanya. Entah bagaimana, setiap kali mencoba fokus, bayangan tatapan pria itu muncul. Tatapan dingin di ruang rapat tempo hari, kalimat pendek tapi penuh makna, “Kamu tidak sendirian.” Semuanya seperti terpatri.Aisyah menggeleng pelan, menepuk pipinya sendiri. “Fokus, Sya. Fokus.”Tapi semakin ia memaksa, semakin pikirannya justru menjauh dari layar di depannya.Sampai akhirnya, ia tanpa sadar mengirimkan dokumen revisi ke klien… dengan lampiran yang salah.Baru satu jam kemudian ia menyadari. Hana, rekan kerjanya, berbisik panik sambil menunjuk layar: “Sya, ini kamu kirim yang draft awal, bukan yang sudah direvisi. Klien sudah balas email, katanya bingung kenapa data

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku     Bab 47 - Perhatian yang Mengganggu

    Udara sore itu terasa lebih padat dari biasanya. Aisyah baru saja kembali dari kampung setelah memastikan kondisi ibunya stabil. Tubuhnya lelah, namun pikirannya jauh lebih sibuk. Sejak duduk di dalam taksi menuju apartemen, bayangan satu nama terus berputar dalam benaknya: Rayyan Alfarizi.Ia sudah tahu. Ia sudah yakin. Semua kemudahan perjalanan ke kampung, tiket pesawat yang tiba-tiba tersedia, bahkan jalur cepat di klinik—semuanya ulah Rayyan.Meski tak pernah diucapkan langsung, Aisyah bisa merasakan betapa pria itu diam-diam menjaga. Tapi justru itulah yang membuatnya resah. Kenapa harus sembunyi? Kenapa tidak bicara terus terang?Keesokan harinya, Aisyah melangkah masuk ke kantor. Beberapa rekan kerja menyapanya hangat. “Hai, Sya! Bagaimana kabar ibumu? Sudah membaik?”Aisyah mengangguk sambil tersenyum tipis. “Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih.”Namun, hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia tahu, hari ini ia harus menghadapi Rayyan. Dan, entah bagaimana, ia ingin

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status