Perlahan dari kepala hingga mengalir sampai kaki. Cowok itu menghabiskan satu botol air untuk membalas perbuatan Eva tadi padanya. Menumpukan tangan pada lutut hingga posisinya sedikit merunduk dan wajahnya kini berada tepat di depan wajah Eva yang hanya setinggi dadanya saja. Eva memejam erat. Ingin kabur pun rasanya itu adalah pilihan konyol yang semakin membuat malu.
Karena pastinya nanti sia-sia dan dengan mudahnya Arta akan mendapatkannya lagi.
"Gue belum puas balesnya. Masih kesel," ujarnya. Botol kosong itu digunakan untuk menepuk kepala gadis di depannya ini. Tidak kuat, kok. Hanya pelan karena ia tahu, baru disiram air begini saja sudah mau menangis. Apalagi Arta memukulnya 'kan? Namun, jujur saja ia masih kesal dan belum puas membalasnya hanya seperti ini. Tangannya gatal ingin menonjok orang.
Bugh!
"Aaaa!" Eva menjerit. Berjongkok dengan kedua tangan menutupi telinga tak ingin mendengar apapun. Ia terisak tak dapat membendung tangis lagi.
Bukan ia.
Bukan ia yang menjadi sasaran pukulan cowok itu. Lantas siapa? Maka perlahan ia menoleh ke belakang dan membelalak ketika Bima teman sekelasnya sudah terduduk dengan tubuh yang tertimpa meja kantin.
Seluruh tubuh Eva menggigil. Ia kehilangan kontrol diri walau sudah berusah untuk tenang. Nyatanya ia memang setakut itu.
"Karena gue gak mukul cewek, jadi lo yang jadi penggantinya."
Riwayat Bima benar-benar sudah tamat hari ini. Cowok itu diseret ke tengah lapangan dan dihajar habis-habisan juga amat brutal. Walau sudah melakukan perlawanan, tetap sia-sia saja melawan Arta di sana. Si pemegang sabuk tertinggi yang tak perlu diragukan lagi kekuatan juga skill bertarungnya itu.
Dan Eva. Ucapan Arta tadi membuat orang-orang kian mendera menyalahkannya kembali karena dianggap sebagai penyebab Arta menghabisi anggota OSIS seksi keamanan itu, orang yang tak bersalah dan tak tahu apa-apa.
Eva tak tahu kesialan macam apa yang menimpanya hari ini hingga datang bertubi-tubi. Ia mengusap air matanya sebelum menenangkan dirinya yang masih syok dengan semua yang terjadi. Saat ingin beranjak pergi, bahunya ditarik paksa untuk kembali menoleh.
"Tanggung jawab dong lo?!" Cewek itu langsung membentak dan melimpahkan kesalahan pada Eva.
Sudahlah, Eva rasanya ingin meraung sekeras-kerasnya ketika ternyata ada Salsa anggota geng Qotsa di sini. Apalagi ketika cewek itu menuntutnya untuk hal yang Eva tak mengerti.
"Lo apa-apaan sih!" bentak Eva balik. Ia sudah ingin kembali pergi sebelum tangannya ditarik paksa untuk tetap menetap di sini.
"Lepas setan!" umpat Eva keras. Napasnya memburu, anatara masih syok juga emosi.
"Mau kemana lo hah?! Seenaknya lo pergi gitu aja?! TANGGUNG JAWAABB! Pisahin Arta sama Bima sekarang juga! Mata lo buta hah?! Bima bisa matii!"
What?! Sudah gila ya menyuruh Eva melakukan itu. Kenapa tidak dia saja yang melakukannya. Lucunya menyuruh Eva melakukan itu. Dipikirnya Eva mau?
"Lo aja sana!" sentak Eva mendorong keras Salsa hingga cewek itu tersungkur di lantai.
Namun tak sampai di sana dramanya karena Melly dan Dina datang sebagai pahlawan kesiangan. Keroyokan saja terus, Eva mengepalkan tangan.
Dina maju dan langsung mendorong bahu Eva keras. "Lo ketua OSIS! Udah tugas lo pisahin orang yang kelahi di sekolah. Dan lagi, Arta ngehajar Bima itu gara-gara lo! Ketos macam apa yang gak bisa lindungin anggotanya sendiri?!"
Istighfar, deh. Sejak kapan pula mereka jadi nasionalism begini? Eva ingin tertawa jika tak ingat situasi. "Ya udah, biarin gue pergi. Kalo lo drama terus ngehalang-halangin gue kayak gini, kapan pula gue bisa misahin mereka? Ribet lo pada. Alay!"
Brak!
Eva memejam erat. Ia mengerang atas kesialan yang kembali datang. Eva sadar juga, kali ini salahnya yang menabrak cowok jangkung di depannya ini karena terlalu buru-buru dan tak lihat-lihat jalan.
Namun naasnya cowok itu membawa gorengan dengan sambal yang sangat banyak sekali. Karena Eva yang pendek dan menabraknya, sambal itu tumpah membasahi kepala Eva, mengalir hingga ke seluruh tubuh. Yang paling parah wajah Eva terkena cipratannya juga hingga sedikit mengenai area mata.
"Maaf!" ujarnya dengan suara bergetar menahan tangis. Eva menarik napas dalam dan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. "Maaf gorengannya jadi gak pakai sambal gara-gara gue."
Setelahnya Eva beranjak dari sana dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Makin lama tangis Eva akhirnya mengucur kian deras tanpa suara. Eva hanya ... merasa menyedihkan.
⋆•・ั⋆ᩡ🌸ꦿᩡ⋆・ั•⋆
Itulah suasana yang menggambarkan kelas 11 IPA 2 pagi ini. Tak terasa telah satu minggu terlewati setelah kejadian di kantin waktu itu yang melibatkan Eva harus bermasalah pada Arta.
Alhamdulillah sejauh ini hidupnya aman-aman saja.
Saat ini mereka sedang mengerjakan soal-soal Fisika. Mendadak sekali pak Erik melakukan ulangan tanpa ada himbauan sebelumnya. Tentu hanya sebagai alibi sebagian siswa dan siswi, setidaknya punya alasan jika nilai mereka merah itu karena pak Erik tak menghimbau sebelumnya hingga mereka tak mempersiapkan lebih dulu. Padahal walau diberi tahu sekali pun, pasti juga tetap rendah nilai mereka. Mau belajar pun jika tak mengerti, apa yang mau dipahami 'kan? Sudah tak paham membuat semangat belajar jadi menurun.
"Pstt!" bisik-bisik mulai terdengar saling bersahutan satu sama lain. Sangat berisik sekali dan Eva mengacuhkannya. Ia fokus saja mengerjakan soal.
Luas penampang dongkrak hidrolik masing-masing 0,04 m2 dan 0,10 m2. Jika gaya masukan adalah 5 Newton, berapa gaya keluaran maksimum?
"Va! Pstt!"
"Evaaa!"
"Woi, Ketos!"
Melly tersulut emosi karena panggilannya yang setengah berbisik, tapi penuh penekanan itu dilengahkan begitu saja oleh cewek yang duduk tiga bangku di depannya. Walau berbisik, Melly yakin Eva mendengarnya. Ia menggulung-gulung kertas oretan karena tak butuh juga, lantas melemparkannya pada Eva.
Bugh
Eva memejam dengan tangan yang mengepal erat. Sudah diabaikan bukannya berhenti, malah nambah jadi. Ia menoleh ke belakang dengan sangat kesal. Jika mengingat sekarang bukan ulangan, ingin sekali Eva menggebrak meja dan meneriaki cewek itu saking kesalnya.
"Apa sih!" geramnya dengan mata mendelik. Apa dia tidak sadar bahwa kelakuannya itu sangat mengganggu fokus Eva?
"Liat jawaban," tukas Melly dengan sangat santai. Merasa sok berkuasa hingga yakin sekali Eva akan memberikannya dengan suka rela.
"Dih!" Eva sangsi. Benar-benar muka tembok tak tahu malu. Dia saja selama ini jahat pada Eva dan tak ada malunya masih meminta bantuan?
⋆•・ั⋆ᩡ🌸ꦿᩡ⋆・ั•⋆
"Ada ya orang kayak gitu, Mel. Mentang-mentang pinter gak mau banget ngasih contekan. Najis!" Dina secara terang-terangan menyindir Eva.
Sementara yang disindir acuh dan asik sendiri mengeluarkan bekal bersama teman-temannya. Ngapain juga peduliin setan? Anggap saja mereka makhluk tak kasat mata dan yang seharusnya bicara begitu adalah Eva. Kenapa tak belajar sendiri. Jika tak paham materi mereka kan bisa kursus. Katanya orang kaya? Eva saja berusaha sendiri belajar dengan internet. Ia sering menonton pembelajaran di youtube juga beberapa aplikasi khusus belajar.
Melihat itu geng Qoven jadi tersulut emosinya. Di sindir tak nyadar atau kupingnya tuli? Mereka mendatangi tempat duduk ketos dengan kekesalan yang meluap-luap.
Semuanya menelan saliva. Sedang Uma langsung tersenyum dengan polosnya. "Makan gak Mel, Din, Sa," tawarnya menyapa satu persatu anggota geng Qotsa ini.
Hal itu membuat Eva mengumpat gemas.
"Apa? Gue makan makanan kayak gini?" Melly mendengus remeh. "Bahkan makanan anjing gue lebih enak dari pada kalian. Jadi anjing gue mau nggak? Gue kasih makanan enak tiap hari!" hinanya semakin menjadi.
"Gue gak bisa ngebayangin deh. Kalian tuh semiskin apa sih sampe gak ada duit buat jajan ke kantin? Bawa bekal lauknya mata sapi?" Sengaja menahan tawa, Salsa makin merendahkan.
Ucapannya itu disambut anggukan oleh Dina. "Iyaa. Semiskin apa sih ortu kalian sampai gak bisa ngasih duit jajan?" katanya seraya cekikikan.
"Dih sok asik!" sahut Eva sinis.
Kelewat geram karena Eva tak pernah takut pada mereka dan selalu menyahut omongannya, Dina langsung berteriak tepat di depan wajah cewek itu. "Whooo!!! Gak mampu jajan di kantin woooo!" jeritnya melengking.
Membuat tangan Eva langsung terangkat menoyor muka yang menyosor tepat di depan wajahnya itu. "Anjing!" umpatnya antara kaget diteriaki dan syok tiba-tiba saja muka Dina sudah berada tepat di depan matanya.
"Kita ke kantin atau enggak itu hak kita," tekan Eva di setiap suku katanya. "Dan kalian nggak sepantasnya menghina hak orang lain!"
Melly mengibaskan tangan tak peduli dengan yang Eva katakan. Ia menunjuk wajah Eva. "Lo kemarin ngapain caper sama Arta hah?"
Eva memutar kedua bola matanya malas. "Bukan urusan lo!" ketusnya tak mau lagi meladeni cecet-coet mereka yang sangat tak penting itu.
Dengan brutal Melly mendorong bahu Eva. "Semua yang berhubungan dengan Arta jadi urusan gue! Paham lo?! Lo pikir lo cantik bisa caper sama Arta hah?! Gue tau akal-akalan busuk orang kampung kayak lo. Pasti sengaja cari masalah biar bisa caper. Najis banget lo!"
"Lo kalo nggak tau apa-apa tuh jangan sok tau!" Eva berteriak menggelegar. Ya ampun dirinya tak punya banyak stok kesabaran. Mau makan saja rasanya susah sekali diganggu terus. Ia meraih botol minuman miliknya yang biasa ia bawa.
Membuka tutupnya dan langsung menyiramkan seluruh isinya pada pakaian Melly. Tak lupa ia memukulkan botol kosong itu ke kepala cewek yang sudah basah kuyup itu.
Sedang ke-dua temannya Salsa dan Dina sama-sama terpaku dan terdiam. Gerakan Eva benar-benar cepat, tiba-tiba, dan tak terduga.
"Iya! Begini maksud lo cara caper ke orang? Kalo gitu sekarang gue lagi caper sama lo."
"Maksud lo apa siram-siram Melly kayak gitu hah?!" bentak Dina lantang saat sudah tersadar. Teriakannya itu ikut menyadarkan Melly dan Salsa juga untuk tersulut emosinya.
"Gue sembur Melly, kenapa lo yang marah?" respon Eva santai seraya berkacak pinggang.
"Heh! Melly tuh temen kita! Wajar kita marah!" Salsa menggeram. Ketos bodoh!
Tak tanggung-tanggung kini Eva memukul kepala dua cewek itu juga dengan botol minumannya. Biar saja bertiga merasakannya. Ia sudah kelewat sensi. "Gue juga punya temen kayak kalian. Bedanya kita gak cupu yang beraninya main keroyokan!"
Akhirnya Eva bersama teman-temannya dapat menikmati bekal istirahat kali ini tanpa takut diganggu oleh hantu Qotsa lagi. Mereka memakan dengan lahap lauk seadanya tersebut. Sesekali bertukar lauk satu sama lain hingga sangat banyak sekali beraneka ragam lauk di atas piring. Mengenai air minum Eva yang habis dipakai untuk menyembur Melly tadi, ia menggantinya dengan mengambil air galon yang ada di ruang OSIS. Bersama Ana pergi ke sana yang ternyata air cewek itu hanya tinggal setengah dan ingin dipenuhi lagi. "Ehm. Lain kali kita bisa kali ya bikin video mukbang bareng hahaha. Liat nih makanannya banyak banget," celetuk Riska sambil menggigit sotong yang ada di tangannya. "Eh, iya ya?" Uma mengangguk setuju. Gadis manis itu meminum minumannya sebelum
Jum'at pagi kali ini awan mendung, cuaca pun sedikit berkabut. Namun kegiatan yang biasa berlangsung tetap terlangsung. Yakni Jumsih, alias Jum'at bersih. Eva selaku ketos menghimbau goro untuk bagian barat. Sisanya ia tak tahu menahu lagi. Boleh bayangkan sebesar apa Taruna Bangsa? Eva tak akan sanggup menanganinya seorang diri. Ada banyak anggota inti OSIS yang lainnya. Biarkan mereka memilih kawasan masing-masing. Di ujung lapangan, masih kawasan kelas 10. Segerombolan cewek duduk santai di taman kelas mereka. Bergosip ria dengan tangan sok sibuk memungut daun yang nyatanya nanti mereka buang lagi ke situ, lalu mereka pungut lagi. Begitu saja terus diulang-ulang. "Sumpah!! Gue masih gedek kalo inget kejadian kemarin!" Cewek berbanda army mengenakan kalung pas yang melingkari leher jenjang putihnya itu bersuara. Rautnya tampak menahan emosi dengan bibi
Seharusnya saat ini wayah ekskul Matematika. Eva serius mengikutinya dalam satu tahun terakhir karena ia berambisi ingin mewakili TB dalam ajang OSN tingkat nasional. Namun, hari ini ia merelakan jadwal ekskul terbengkalai hanya karena masalah baru yang muncul. Siapa bilang Eva akan santai setelah diancam beasiswanya dipertangguhkan? Tentu saja ia sangat kepikiran. Bahkan waktu seminggu yang diberi rasanya sangat singkat sekali untuk bertemu pada deadline. Yakinlah, tanpa beasiswa itu ia tidak akan bisa tembus bersekolah di TB. Sekelas sekolah elite kota Jakarta yang mayoritas murid-muridnya adalah dari anak para pengusaha dan pebisnis kaya raya. Eva berselonjor kelelahan. Ia sudah mencari di seluruh ruangan kelas 12 IPS 2 namun nihil. Bahkan Eva sudah mencari dengan kelelangan kelas tanpa ada orang lain lagi selain dirinya.
Berdiri sendiri di bawah pohon bintaro hiasan parkiran, Eva meremas tali tas ranselnya dengan pandangan mengitari SMA TB yang luas ini. Bahkan ketika anak-anak ekskul Matematika telah pulang pun, Eva tetap masih konsisten berada di kawasan sekolah mencari absen guru yang nyatanya tak kunjung ditemukan hingga saat ini. Helaan napas kasar, campuran antara rasa lelah dan kesal entah pada siapa. Tergopoh-gopoh seorang satpam sekolah menghampiri Eva hingga gadis itu tersadar dari ketercenungannya. "Neng! Kenapa belum pulang? Sekolah sudah sepi, guru-guru juga sudah pulang semua. Tinggal Neng sendiri aja." Pak Satpam itu berucap dengan raut yang harap-harap cemas. Eva menghela napas dibuatnya. Saat ini pikirannya saja masih kusut memikirkan absen guru yang tak kunjung ketemu. Bayangkan beasiswanya akan dipertangguhkan d
Kendaraan mewah terparkir secara acak tak beraturan di pekarangan rumah Arta yang luas. Semua itu karena ulah teman-temannya. Memang dasar mereka itu selalu sembarangan. Bahkan dirinya di sini masih mengutak-atik ponsel, mereka sudah masuk lebih dulu dan caper pada maminya. Arta abai. Biarkan saja mereka berbuat semaunya. Setelah rampung sedikit urusan dengan anggota Kompeni dari kelas 10 tadi, ia beranjak turun dari mobil dan ternyata ada Reza yang masih menunggunya. Tak salah menjadikan Reza wakil untuknya. Cowok itu patuh dan sangat setia. "Hai, Tan. Makin cantik aja." Belum apa-apa Yoyon langsung menggoda Zahra, mami dari bosnya itu. Yoyon tebak ketika masa sekolah dulu Zahra ini adalah primadona sekolah. Sudah tua begini saja masih kinclong, padat, dan cantik. Berbetulan dengan Zaki yang berjalan keluar bersa
Sabila berenang ke pinggiran kolam. Ia naik ke atas dan sudah ada Rehan di sana. Cowok itu bertelanjang dada karena ikut berenang mengiringinya tadi. Rehan naik duluan dan memeriksa ponsel. Ada panggilan tak terjawab dari Yoyon. Ia menaruh kembali benda pipih itu ketika Sabila datang menghampirinya. "Gampang banget," ucap gadis itu mendengus remeh. Ia meraup wajahnya sendiri dengan jemarinya yang mungil. Menggemaskan sekali di mata Rehan. "Itu kan airnya cuma sepinggang lo, Dek." Rehan meledeknya, suka sekali melihat wajah comel itu memberengut kesal. Terbukti bahwa setelah itu bibir mungil Sabila mengerucut dengan mata menyipit. Ia menghentak-hentakkan kakinya tak suka. Jelas-jelas ia berenang betulan tadi, tinggi air pastinya tak berpengaruh. Mau tinggi atau rendah
Bangunan megah dengan gerbangnya yang besar dan menjulang tinggi serta eksterior yang begitu memanjakan mata adalah markas Kompeni. Tempat itu akan selalu menjadi titik kumpul. Kumpulan anak laki-laki tanpa ada satu pun spesies kaum hawa di dalamnya. Yups, Kompeni hanya beranggotakan kaum laki-laki saja. Jika ada perempuan masuk ke dalam markas ini, sudah dipastikan mereka merupakan kekasih dari salah satu anggota. Nuansanya aesthetic dengan barang-barang yang disusun sedemikian unik. Meski hanya ada laki-laki, markas Kompeni selalu tampak bersih loh. Hal itu dikarenakan mereka membuat jadwal piket setiap harinya, pun beberapa anak arsitektur ikut mendiami markas ini hingga mereka dapat menciptakan ruangan indah dan nyaman untuk dinikmati bersama. "Ter, lo ke sekolah nggak?" Arta menanyai Tero, salah satu anggota dari kelas 10.
Membuka pintu mobil cukup lebar, dengan sekali hentakan Edo mendorong Aurel masuk ke dalamnya. Tak menunggu lama Edo mengelilingi mobil itu kemudian masuk di kursi kemudi. Ia mengunci seluruh pintu dengan rapat. Kaca mobil tampak gelap dari luar. "Sabar, Sayang. Kita nggak akan telat," komentar Aurel melihat Edo terlalu terburu-buru. Sementara Edo mengatur napasnya yang memburu. Lirikan matanya melihat gadisnya itu hendak membuka jaket yang melingkar di pinggang rampingnya itu. "Gak ada yang liat lagi," ucap Aurel seakan tahu apa yang ada dalam pikiran Edo. Namun Edo tetap mencegah perbuatannya. "Tetep kayak gini sampai kita di lokasi," titahnya sarat akan perintah yang tak boleh ditentang. Membuat Aurel mendengus pasrah karenanya.