Rumah Sakit Nusa Nagara, Kota Bandana.
Suara langkah kaki terdengar sangat jelas menggema di lorong rumah sakit. Suara langkah kaki seorang wanita yang sedang berjalan dengan cepat bahkan setengah berlari. Kedua tangannya mendorong sebuah kursi roda dimana seorang wanita paruh baya duduk di atasnya sambil menangis.Kedua wanita itu tidak peduli dengan tatapan orang lain yang melihat ke arah mereka dengan beragam arti. Yang ada di dalam pikiran mereka saat ini hanya satu. Mereka ingin segera sampai ke ruang IGD, tempat dimana sumber dari kepanikan dan kesedihan itu berasal.Malam ini langit tampak gelap. Tidak ada satu pun bintang yang berani menari di sebuah panggung langit yang terhampar luas. Bulan pun tidak berani menampakkan wajahnya dan hanya bersembunyi di belakang rentetan awan hitam. Semua fenomena itu seperti memberikan pertanda bahwa sebuah kejadian menyedihkan telah datang ke dalam sebuah keluarga.***Jam di dinding rumah sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Akan tetapi seorang wanita masih setia duduk di teras rumah. Dengan menggunakan pakaian jaket berwarna hitam, wanita itu tampak merasa gelisah. Kedua kakinya tak henti dia hentak-hentakkan dan pandangannya terus melihat ke arah pagar rumah yang berjarak tidak terlalu jauh dari posisinya sekarang.“Kamu kemana, Mas? Kenapa jam segini masih belum pulang?” gumam wanita itu lirih.Baru saja dia berdiri dari duduknya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Wanita itu dengan cepat mengangkatnya tanpa melihat siapa yang sudah menghubunginya.“Halo, Mas…. ”Belum sempat dia melanjutkan ucapannya, seseorang dari balik panggilan itu memotong.“Maaf Mbak. Ini saya Beni. Saya mau menyampaikan kabar buruk,” ucap seorang laki-laki dari balik telepon.Setelah mendengarkan apa yang disampaikan oleh Beni, wanita berusia 25 tahun itu terjatuh di lantai. Seluruh tubuhnya bergetar dan air mata yang mulai merembes keluar. Rania mendapatkan kabar jika suaminya – Yusuf mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang setelah kerja lembur.Beni menceritakan jika sebuah mobil menabrak Yusuf hingga tubuhnya terpental jauh dengan kepala yang terbentur keras tiang lampu dan terbanting ke aspal jalanan. Warga yang berada di tempat kejadian dan dibantu polisi setempat, berhasil membawa Yusuf ke rumah sakit terdekat. Dan Rania sebagai keluarganya diminta untuk datang secepatnya oleh sang dokter.Akhirnya dengan ditemani oleh sang Ibu mertua, Rania pun beranjak pergi menuju ke arah rumah sakit.“Nak, bagaimana ini?” ucap sang Ibu mertua. Kedua tangannya terus menyeka air mata yang mengalir deras di pipinya. “Ibu tidak mau kehilangan Yusuf.”Rania semakin panik. Dia mengerti dengan kegelisahan dan juga ketakutan dari seorang Ibu atas kondisi anak satu-satunya itu. Akan tetapi, Yusuf juga suaminya. Seorang laki-laki yang sudah 2 tahun ini menjadi imam dunia dan akhirat baginya.“Tenanglah, Bu. Semua akan baik-baik saja. Aku yakin jika Mas Yusuf akan kembali sehat dan bisa pulang ke rumah lalu berkumpul bersama kita lagi secepatnya,” ucap Rania mencoba menegarkan wanita tua dihadapannya itu. Walaupun sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya masih berkecamuk rasa khawatir. Iya, wanita cantik itu pun merasakan hal yang sama.Setelah melewati beberapa lorong akhirnya mereka pun sampai di ruang IGD. Disana tampak dua orang teman kerja Yusuf sedang duduk menunggu kabar dari sang dokter yang masih saja belum keluar memberikan kepastian. Mereka berdua yang semula duduk, langsung berdiri saat melihat Rania dan Ibu Tyas datang.“Mbak Rania, saya Beni,” sapa laki-laki itu. “Saya yang menghubungi ponsel Mbak tadi.”Belum sempat Rania bersuara, sang Ibu mertua sudah memotong dengan cepat.“Nak Beni, bagaimana kondisi anak Ibu?” tanya Ibu Tyas yang semakin banjir air mata.Beni dan Andri pun saling memandang. Keduanya bingung harus menjawab apa.“Yusuf masih berada di dalam, Bu. Dokter masih menanganinya. Semoga saja tidak terjadi hal yang buruk pada Yusuf,” jawab Andri.“Pak Beni, jika saya boleh tahu, sebenarnya apa yang sudah terjadi? Bagaimana Mas Yusuf bisa mengalami kecelakaan seperti ini?” tanya Rania. Dia benar-benar ingin tahu karena pasalnya sudah dua tahun sang suami bekerja sebagai office boy di salah satu kantor swasta tersebut dan semuanya selalu baik-baik saja.“Maafkan kami, Mbak Rania. Tadi sepulang kerja, saya, Andri, dan Mas Yusuf tengah berjalan menuju halte bus. Namun naas, saat kami bertiga menyebrang jalan, dengan cepat sebuah mobil melaju ke arah kami. Saya dan Andri masih sempat menghindar, sedangkan Mas Yusuf …. “ Beni menghentikan ucapannya sejenak sebelum akhirnya melanjutkan lagi ceritanya. “Mas Yusuf yang berjalan di belakang kami, tidak bisa menghindar dan akhirnya kecelakaan pun terjadi.”“Lalu sekarang dimana mobil itu? Apa pengemudinya datang kesini dan bertanggung jawab? Atau polisi sedang menanganinya?” tanya Rania bertubi-tubi. Dia merasa begitu marah kepada sang sopir yang sudah menyebabkan suaminya masuk rumah sakit.Belum sempat mereka berdua menjawab, dokter yang menangani Yusuf pun keluar dari ruang IGD. Raut wajahnya tampak tidak bersemangat, membuat Rania, Ibu Tyas, Beni dan Andri pun khawatir. Dokter itu berkata ingin berbicara secara langsung dengan keluarga pasien. Rania maju sambil mendorong kursi roda Ibu Tyas mendekati dokter tersebut. Mereka memperkenalkan diri sebagai istri dan juga ibu pasien.Agar pembicaraan lebih fokus, sang dokter mengajak mereka berdua untuk mengikutinya masuk ke dalam ruangannya. Sedangkan Beni dan Andri masih berdiri di depan ruang IGD untuk menjaga Yusuf.Sesampainya di ruang dokter, Rania pun dipersilahkan duduk bersama Ibu Tyas. Di dalam hati kedua wanita itu merasa takut jika sang dokter akan mengatakan hal yang buruk tentang Yusuf. Setelah beberapa menit terdiam, menunggu sang dokter yang memperhatikan hasil scan kepala Yusuf, dokter itu pun mulai menyampaikan kondisi pasiennya.“Bagaimana kondisi suami saya, dokter? Dia baik-baik saja, bukan?” tanya Rania setelah sag dokter duduk di depannya.Dokter itu mengatakan jika kecelakaan yang sudah dialami oleh Yusuf sangat fatal. Seperti yang sudah diutarakan oleh Beni dan juga Andri sebagai saksi mata di lapangan, setelah Yusuf tertabrak mobil, tubuhnya langsung terpental. Bahkan kepala Yusuf sampai terbentur keras dua kali yaitu mengenai tiang lampu dan aspal jalanan. Karena benturan keras tersebut membuat sebuah retakan di tengkorak kepala yang mengakibatkan adanya gumpalan darah di dalam otaknya.“Jika ingin pasien selamat, kita harus melakukan operasi. Walaupun persentase keberhasilan tindakan itu hanya beberapa persen saja akan tetapi hanya itu satu-satunya upaya untuk menyelamatkan pasien,” ucap Dokter.Mendengar kondisi sang anak, Ibu Tyas langsung menangis sejadi-jadinya. Sedangkan Rania sendiri, dia hanya diam mematung. Tubuhnya bergetar dan keringat dingin mulai bercucuran. Rasanya ingin sekali dia berteriak, memaki takdir yang sudah membuat cerita seperti ini ke dalam kehidupannya.Air mata Rania sudah tak terbendung lagi. Rasa sakit dan sesak di dalam dadanya, tidak lagi bisa dia tahan. Seandainya bisa, dia ingin sekali memutar waktu, mengembalikkan saat-saat bahagia dirinya bersama sang suami. Akan tetapi Rania juga sadar jika semua itu mustahil. Cobaan ini harus dia hadapi dengan kuat.“Bagaimana Nyonya? Keputusan apa yang kalian ambil? Kita tidak bisa menunggu terlalu lama atau kita akan kehilangan pasien untuk selamanya,” ucap sang dokter.Rania merasa bingung. Hati kecilnya sangat ingin sang suami selamat. Akan tetapi jika melakukan operasi, darimana mereka akan mendapatkan uang untuk membayarnya?***“Ya Allah, hamba percaya jika selama kita hidup di dunia ini pasti tidak akan luput dari yang namanya ujian. Baik itu ujian yang datang dari diri kita sendiri, dari pasangan kita, dari orangtua kita, dari keluarga kita, ataupun mungkin dari orang lain. Tapi hamba juga percaya bahwa setiap ujian yang datang kepada kita pastilah ada hikmah yang baik di dalamnya. Oleh karena itu hamba tidak akan mengeluh, seberapa besar pun ujian yang Engkau turunkan kepada hamba, hamba tidak akan pernah putus harapan. Hamba yakin jika Engkau tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hambanya. Hamba hanya berdoa semoga selain Engkau memberikan ujian yang bertubi-tubi kepada hamba, Engkau juga memberikan hamba kesabaran dan jalan keluar untuk meyelesaikan semuanya.” *** Rania masih duduk di salah satu bangku di dalam sebuah bus kota. Kali ini dia akan pergi ke suatu tempat dimana dirinya menaruh sebuah harapan besar disana. Walaupun sang ibu mertua awalnya tidak merestui
“Siapa Pak Burhan?” suara barithon seorang laki-laki terdengar dari balik gerbang. Security yang diketahui bernama Pak Burhan yang sedari tadi berbicara dengan Rania langsung menghadap ke arah sumber suara. Tampak seorang laki-laki muda nan tampan sedang berjalan mendekat ke arah Pak Burhan. Jika dilihat dari segi usia mungkin sama dengan Rania. Dengan menggunakan sebuah celana jeans hitam dan kaos berwana putih yang dibalut sebuah jaket kulit membuat laki-laki itu terlihat sangat gagah. Rambutnya yang sedikit basah dan tertata seenaknya membuat siapa saja wanita yang melihatnya pastilah langsung terpesona. Apalagi dengan latar belakang keluarga orang kaya, wanita mana yang tidak tertarik dengannya? Laki-laki itu terus saja berjalan mendekat dan pada akhirnya dia pun bisa melihat siapa yang sedang berdiri di depan gerbang rumahnya itu. “Rania...” ucap laki-laki itu kaget. “Bian...” kata wanita tersebut pelan. Melihat sang majikan mengenal wani
Segalanya memang butuh uang tapi uang bukanlah segalanya. Lalu apakah ketika kita menjadi orang kaya maka secara otomatis derajat kita lebih tinggi dari yang miskin? Apakah ketika kita menjadi orang kaya maka semua yang ada di alam dunia ini menjadi milik kita? Apakah ketika kita menjadi orang kaya maka saudara sendiri bahkan orangtua sendiri pun bisa kita jadikan alas kaki? Apakah ketika kita menjadi orang kaya, semua harta itu akan menjamin kita masuk surga? Apakah anda yakin bahwa semua kekayaan yang sedang anda milikki saat ini abadi hingga akhir khayat? *** Rania masih diam berdiri membiarkan Paman Luki, Tante Irma dan juga Bian tertawa atau lebih tepatnya menertawakan dirinya. Marah? Tidak! Karena memang sejak awal dia berniat untuk datang ke rumah ini menemui mereka, dirinya sudah menyiapkan mental untuk segala kemungkinan yang terjadi. Termasuk segala penghinaan yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga ini. Rania hanya bisa menarik nafasnya dalam lalu ber
“Hahahahaha. Aku sangat senang melihatmu melakukan hal ini, Rania. Karena itu artinya kamu tahu dimana posisimu, dimana derajatmu. Selama ini, kalian selalu bangga bukan dengan kemandirian kalian? Tapi lihatlah sekarang, semuanya sudah terpampang jelas bahwa kalian membutuhkanku. Tapi sayang sekali, aku tidak bisa membantumu atau lebih tepatnya aku tidak mau membantumu.” Kata-kata terakhir sang paman benar-benar seakan membunuh Rania saat itu juga. Setelah semua yang sudah dia lakukan, setelah semua penghinaan pahit yang dia terima bahkan setelah dirinya terpaksa berlutut di depan kaki paman dan tantenya namun nyatanya sang paman masih tetap saja menolak untuk membantunya. Ada apa dengan keluarga ini? kenapa mereka sangat kejam? Apa mereka tidak punya hati nurani termasuk kepada saudaranya sendiri? Apa salahku Ya Allah? Apa salah keluargaku hingga kami harus mendapatkan ujian seberat ini? ucap Rania di dalam hati. Tubuh Rania melemas, air matanya sudah tidak
Hari sudah beranjak sore. Jarum jam yang melingkar di tangan kiri Rania sudah menunjukkan pukul 3 sore. Rania pun menghela nafas panjang. Hmm, tinggal beberapa jam lagi sebelum mengambil keputusan untuk Yusuf. Sedangkan sampai sekarang, aku belum tahu harus bagaimana? Aku belum tahu harus pergi ke mana? Ya Allah, hamba mohon berikan petunjuk-Mu. Apa yang harus hamba lakukan? Berilah keajaiban-Mu Ya Allah. Hamba mohon, ucap Rania di dalam hatinya. Dia menangis merasakan saat ini dirinya begitu tidak berdaya, begitu lemah. Langit yang semula terlihat cerah kini tiba-tiba saja berubah menjadi mendung. Tidak tahu apa karena sudah masuk musim pancaroba ataukah sang langit juga ikut bersedih melihat apa yang sudah dialami oleh gadis itu, entahlah. Langkah Rania terhenti di salah satu sudut jalan yang masih sepi dari ribuan kendaraan. Tentu saja karena kaki Rania masih berada di dalam sebuah perumahan elite. Jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh untuk sa
Sungguh sangat berat beban yang dirasa oleh Rania saat ini. Dia benar-benar bingung bagaimana dia akan menghadapi sang ibu mertua yang sangat mempercayai dirinya akan berhasil. Dia sadar ini adalah kesalahannya yang sangat yakin akan berhasil sehingga dia pun memaksa sang ibu mertua untuk percaya kepadanya juga dan menghilangkan semua keraguan yang ada di dalam hatinya. Dia tidak tahu kalau selama ini dia tidak mengenal dengan baik bagaimana sifat dan tingkah laku keluarga dari suaminya itu. Dia hanya mengenal Ayah Ridho dan Ibu Tyas saja. Dia hanya meyakini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh bunda Nayla, Ibu panti asuhan dimana selama ini ia tinggal bahwa semarah apapun setiap anggota keluarga, rasa kasih sayang diantara mereka tidak akan pernah menghilang.Sekarang ia hanya bisa mematung di tempat ia berdiri, merasa bingung harus kemana lagi sekarang. Sebuah suara dering ponsel miliknya membuyarkan lamunan Rania saat itu. Dengan segera dia mengambil ponsel yang sedari ta
Sore hari di rumah sakit tepat dimana Yusuf masih dirawat dengan sangat intensif oleh para dokter dan juga suster yang berjaga disana. Sambil menunggu keputusan keluarga tentang langkah selanjutnya kepada pasien, Yusuf pun dipindahkan terlebih dahulu ke ruang perawatan. Hanya Ibu Tyas saja yang selalu menjaganya, di sisinya dan tak sekali pun mau meninggalkan anak tersayangnya itu. Wajah Yusuf masih sangat pucat, dengan selang oksigen yang masih menempel di hidungnya dan jarum infus yang setia menusuk di tangannya. Kembali, melihat kondisi sang anak yang sangat mengkhawatirkan, Ibu Tyas kembali menangis. Ibu Tyas mendorong kursi rodanya untuk mendekat ke arah sang anak pas di samping kepala Yusuf. Tangannya yang sudah mulai mengerut tampak mengusap kepala sang anak. Hatinya benar-benar hancur melihat anak yang selama 9 bulan berada di dalam perutnya, seorang anak yang demi kelahirannya, ia ikhlas melawan hidup dan mati. Seorang anak yang tak pernah lupa disebut naman
Senja yang sangat cerah. Langit berwarana orange dengan angin bertiup sepoy-sepoy membuat beberapa orang sangat senang menghabiskan waktunya bermain di tempat terbuka. Di sebuah taman yang cukup luas, tampak banyak sekali anak-anak kecil berlarian, bermain dengan riangnya. Seolah tidak ada permasalahan sama sekali di dalam pikiran mereka. Namun bukankah memang demikian? Pikiran seorang anak kecil hanya terbebani dengan tugas sekolah saja. Mereka belum diberi beban untuk memikirkan permasalahan dunia yang begitu rumit dan terkadang membuat diri putus asa sampai-sampai ingin mengakhiri hidup.Pikiran seorang anak kecil begitu polos. Mereka belum mengenal permainan dunia yang sangat kejam, penuh intrik dan penuh dengan kebohongan serta kejahatan. Mereka belum mengenal orang-orang munafik yang selalu baik di depan namun buruk di belakang. Mereka hanyalah seorang anak kecil. Di dalam pikiran mereka hanya bermain, bermain, dan bermain.Tiba-tiba tampak sebuah bola berwarna b