Share

Ketulusan Cinta Rania
Ketulusan Cinta Rania
Penulis: Sari N

KABAR BURUK

Rumah Sakit Nusa Nagara, Kota Bandana.

Suara langkah kaki terdengar sangat jelas menggema di lorong rumah sakit. Suara langkah kaki seorang wanita yang sedang berjalan dengan cepat bahkan setengah berlari. Kedua tangannya mendorong sebuah kursi roda dimana seorang wanita paruh baya duduk di atasnya sambil menangis.

Kedua wanita itu tidak peduli dengan tatapan orang lain yang melihat ke arah mereka dengan beragam arti. Yang ada di dalam pikiran mereka saat ini hanya satu. Mereka ingin segera sampai ke ruang IGD, tempat dimana sumber dari kepanikan dan kesedihan itu berasal.

Malam ini langit tampak gelap. Tidak ada satu pun bintang yang berani menari di sebuah panggung langit yang terhampar luas. Bulan pun tidak berani menampakkan wajahnya dan hanya bersembunyi di belakang rentetan awan hitam. Semua fenomena itu seperti memberikan pertanda bahwa sebuah kejadian menyedihkan telah datang ke dalam sebuah keluarga.

***

Jam di dinding rumah sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Akan tetapi seorang wanita masih setia duduk di teras rumah. Dengan menggunakan pakaian jaket berwarna hitam, wanita itu tampak merasa gelisah. Kedua kakinya tak henti dia hentak-hentakkan dan pandangannya terus melihat ke arah pagar rumah yang berjarak tidak terlalu jauh dari posisinya sekarang.

“Kamu kemana, Mas? Kenapa jam segini masih belum pulang?” gumam wanita itu lirih.

Baru saja dia berdiri dari duduknya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Wanita itu dengan cepat mengangkatnya tanpa melihat siapa yang sudah menghubunginya.

“Halo, Mas…. ”

Belum sempat dia melanjutkan ucapannya, seseorang dari balik panggilan itu memotong.

“Maaf Mbak. Ini saya Beni. Saya mau menyampaikan kabar buruk,” ucap seorang laki-laki dari balik telepon.

Setelah mendengarkan apa yang disampaikan oleh Beni, wanita berusia 25 tahun itu terjatuh di lantai. Seluruh tubuhnya bergetar dan air mata yang mulai merembes keluar. Rania mendapatkan kabar jika suaminya – Yusuf mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang setelah kerja lembur.

Beni menceritakan jika sebuah mobil menabrak Yusuf hingga tubuhnya terpental jauh dengan kepala yang terbentur keras tiang lampu dan terbanting ke aspal jalanan. Warga yang berada di tempat kejadian dan dibantu polisi setempat, berhasil membawa Yusuf ke rumah sakit terdekat. Dan Rania sebagai keluarganya diminta untuk datang secepatnya oleh sang dokter.

Akhirnya dengan ditemani oleh sang Ibu mertua, Rania pun beranjak pergi menuju ke arah rumah sakit.

“Nak, bagaimana ini?” ucap sang Ibu mertua. Kedua tangannya terus menyeka air mata yang mengalir deras di pipinya. “Ibu tidak mau kehilangan Yusuf.”

Rania semakin panik. Dia mengerti dengan kegelisahan dan juga ketakutan dari seorang Ibu atas kondisi anak satu-satunya itu. Akan tetapi, Yusuf juga suaminya. Seorang laki-laki yang sudah 2 tahun ini menjadi imam dunia dan akhirat baginya.

“Tenanglah, Bu. Semua akan baik-baik saja. Aku yakin jika Mas Yusuf akan kembali sehat dan bisa pulang ke rumah lalu berkumpul bersama kita lagi secepatnya,” ucap Rania mencoba menegarkan wanita tua dihadapannya itu. Walaupun sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya masih berkecamuk rasa khawatir. Iya, wanita cantik itu pun merasakan hal yang sama.

Setelah melewati beberapa lorong akhirnya mereka pun sampai di ruang IGD. Disana tampak dua orang teman kerja Yusuf sedang duduk menunggu kabar dari sang dokter yang masih saja belum keluar memberikan kepastian. Mereka berdua yang semula duduk, langsung berdiri saat melihat Rania dan Ibu Tyas datang.

“Mbak Rania, saya Beni,” sapa laki-laki itu. “Saya yang menghubungi ponsel Mbak tadi.”

Belum sempat Rania bersuara, sang Ibu mertua sudah memotong dengan cepat.

“Nak Beni, bagaimana kondisi anak Ibu?” tanya Ibu Tyas yang semakin banjir air mata.

Beni dan Andri pun saling memandang. Keduanya bingung harus menjawab apa.

“Yusuf masih berada di dalam, Bu. Dokter masih menanganinya. Semoga saja tidak terjadi hal yang buruk pada Yusuf,” jawab Andri.

“Pak Beni, jika saya boleh tahu, sebenarnya apa yang sudah terjadi? Bagaimana Mas Yusuf bisa mengalami kecelakaan seperti ini?” tanya Rania. Dia benar-benar ingin tahu karena pasalnya sudah dua tahun sang suami bekerja sebagai office boy di salah satu kantor swasta tersebut dan semuanya selalu baik-baik saja.

“Maafkan kami, Mbak Rania. Tadi sepulang kerja, saya, Andri, dan Mas Yusuf tengah berjalan menuju halte bus. Namun naas, saat kami bertiga menyebrang jalan, dengan cepat sebuah mobil melaju ke arah kami. Saya dan Andri masih sempat menghindar, sedangkan Mas Yusuf …. “ Beni menghentikan ucapannya sejenak sebelum akhirnya melanjutkan lagi ceritanya. “Mas Yusuf yang berjalan di belakang kami, tidak bisa menghindar dan akhirnya kecelakaan pun terjadi.”

“Lalu sekarang dimana mobil itu? Apa pengemudinya datang kesini dan bertanggung jawab? Atau polisi sedang menanganinya?” tanya Rania bertubi-tubi. Dia merasa begitu marah kepada sang sopir yang sudah menyebabkan suaminya masuk rumah sakit.

Belum sempat mereka berdua menjawab, dokter yang menangani Yusuf pun keluar dari ruang IGD. Raut wajahnya tampak tidak bersemangat, membuat Rania, Ibu Tyas, Beni dan Andri pun khawatir. Dokter itu berkata ingin berbicara secara langsung dengan keluarga pasien. Rania maju sambil mendorong kursi roda Ibu Tyas mendekati dokter tersebut. Mereka memperkenalkan diri sebagai istri dan juga ibu pasien.

Agar pembicaraan lebih fokus, sang dokter mengajak mereka berdua untuk mengikutinya masuk ke dalam ruangannya. Sedangkan Beni dan Andri masih berdiri di depan ruang IGD untuk menjaga Yusuf.

Sesampainya di ruang dokter, Rania pun dipersilahkan duduk bersama Ibu Tyas. Di dalam hati kedua wanita itu merasa takut jika sang dokter akan mengatakan hal yang buruk tentang Yusuf. Setelah beberapa menit terdiam, menunggu sang dokter yang memperhatikan hasil scan kepala Yusuf, dokter itu pun mulai menyampaikan kondisi pasiennya.

“Bagaimana kondisi suami saya, dokter? Dia baik-baik saja, bukan?” tanya Rania setelah sag dokter duduk di depannya.

Dokter itu mengatakan jika kecelakaan yang sudah dialami oleh Yusuf sangat fatal. Seperti yang sudah diutarakan oleh Beni dan juga Andri sebagai saksi mata di lapangan, setelah Yusuf tertabrak mobil, tubuhnya langsung terpental. Bahkan kepala Yusuf sampai terbentur keras dua kali yaitu mengenai tiang lampu dan aspal jalanan. Karena benturan keras tersebut membuat sebuah retakan di tengkorak kepala yang mengakibatkan adanya gumpalan darah di dalam otaknya.

“Jika ingin pasien selamat, kita harus melakukan operasi. Walaupun persentase keberhasilan tindakan itu hanya beberapa persen saja akan tetapi hanya itu satu-satunya upaya untuk menyelamatkan pasien,” ucap Dokter.

Mendengar kondisi sang anak, Ibu Tyas langsung menangis sejadi-jadinya. Sedangkan Rania sendiri, dia hanya diam mematung. Tubuhnya bergetar dan keringat dingin mulai bercucuran. Rasanya ingin sekali dia berteriak, memaki takdir yang sudah membuat cerita seperti ini ke dalam kehidupannya.

Air mata Rania sudah tak terbendung lagi. Rasa sakit dan sesak di dalam dadanya, tidak lagi bisa dia tahan. Seandainya bisa, dia ingin sekali memutar waktu, mengembalikkan saat-saat bahagia dirinya bersama sang suami. Akan tetapi Rania juga sadar jika semua itu mustahil. Cobaan ini harus dia hadapi dengan kuat.

“Bagaimana Nyonya? Keputusan apa yang kalian ambil? Kita tidak bisa menunggu terlalu lama atau kita akan kehilangan pasien untuk selamanya,” ucap sang dokter.

Rania merasa bingung. Hati kecilnya sangat ingin sang suami selamat. Akan tetapi jika melakukan operasi, darimana mereka akan mendapatkan uang untuk membayarnya?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status