Share

IKHTIAR

Author: Sari N
last update Last Updated: 2021-09-08 16:52:49

“Ya Allah, hamba percaya jika selama kita hidup di dunia ini pasti tidak akan luput dari yang namanya ujian. Baik itu ujian yang datang dari diri kita sendiri, dari pasangan kita, dari orangtua kita, dari keluarga kita, ataupun mungkin dari orang lain. Tapi hamba juga percaya bahwa setiap ujian yang datang kepada kita pastilah ada hikmah yang baik di dalamnya. Oleh karena itu hamba tidak akan mengeluh, seberapa besar pun ujian yang Engkau turunkan kepada hamba, hamba tidak akan pernah putus harapan. Hamba yakin jika Engkau tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hambanya. Hamba hanya berdoa semoga selain Engkau memberikan ujian yang bertubi-tubi kepada hamba, Engkau juga memberikan hamba kesabaran dan jalan keluar untuk meyelesaikan semuanya.”

*** 

Rania masih duduk di salah satu bangku di dalam sebuah bus kota. Kali ini dia akan pergi ke suatu tempat dimana dirinya menaruh sebuah harapan besar disana. Walaupun sang ibu mertua awalnya tidak merestui niatannya ini, akan tetapi tidak ada jalan lain lagi selain ini.

Mata Rania terpejam mengingat percakapan dirinya dengan sang ibu mertua tadi malam.

“Nak, Ibu gak yakin, Nak. Kamu tahu sendiri bagaimana sikap Pamanmu itu kepada kita. Selama ini, baik dia maupun istrinya tidak ada yang pernah menganggap kita sebagai saudara mereka. Ibu tidak mau jika nanti disana kamu sampai dihina, Nak. Sampai kapan pun ibu tidak akan rela. Apalagi disana pasti ada Bian. Nak, ibu masih ingat bagaimana laki-laki itu sangat terobsesi kepadamu, mengejarmu layaknya orang gila. Ibu masih ingat ketika dulu kamu hampir saja diculik oleh Bian, untungnya saat itu ada Yusuf yang datang menolong. Sekarang, kalau disana kamu bertemu dengan Bian lagi, bagaimana?”

“Bu, coba dengarkan Rania dulu. Jika Rania memiliki ide lain, Rania pun pasti tidak akan memilih cara ini. Tapi Bu, kita tidak punya cara lain lagi. Kita sedang berlomba dengan waktu. Telat sedikit saja, kita akan kehilangan Yusuf untuk selamanya, Bu. Rania mohon, Bu. Untuk kali ini saja, ijinkan Rania pergi. Rania akan berusaha untuk membujuk Paman, untuk meluluhkan hati mereka agar mau membantu kita. Bagaimanapun Yusuf adalah keponakannya kan, Bu? Masa Paman tidak mau membantu keponakannya sendiri? Masalah Bian, kita sama-sama berdoa saja ya, Bu. Semoga Allah selalu melindungi Rania dari Bian.”

Ibu Tyas hanya terdiam mendengar penjelasan sang menantu. Sebenarnya dia sangat berat membiarkan Rania pergi, namun apa yang diucapkan menantunya itu memang sangat benar. Jika mereka terlambat sedikit saja, Yusuf akan pergi untuk selamanya.

“Habis.. Habis.. Beres.. Beres.. Yuk Sampai Yuk..!!” teriak kernet bus memberitahukan bahwa mobil sudah sampai di terminal terakhir tujuannya. 

Semua penumpang sudah turun. Tinggal Rania seorang yang masih anteng dengan lamunannya. Membuat kernet bus itu bingung dan berjalan mendekatinya.  

“Permisi, maaf Mbak, kita sudah sampai di terminal terakhir. Semua sudah pada turun. Mbak mau kemana?” tanya supir bus yang langsung menyadarkan Rania dari lamunannya.

Rania pun tersenyum dan turun dari bus itu. Dia mulai melangkahkan kakinya menginjak sebuah aspal jalanan yang belum pernah dia jamah sebelumnya. Sebuah daerah dimana dirinya baru kali ini datang dan merasakan udara di kota besar tersebut.

Suasana ibu kota siang hari itu terasa sangat panas. Cahaya matahari yang amat terik serta debu-debu kendaraan yang berlalu lalang membuat nafas setiap orang yang menghirupnya menjadi sesak. Sejauh mata memandang, tidak tertangkap satu pohon pun yang tertanam di sekitar jalanan tersebut. Padahal sebenarnya adanya pohon-pohon besar itu sangatlah baik untuk menyerap polusi udara yang dihasilkan oleh keadaan sekitar. Dengan adanya penghijauan disana, bisa membuat daerah tersebut menjadi sejuk dan tidak gersang seperti sekarang ini.

Hampir semua orang yang berada disana terlihat sangat sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Banyak kendaraan dengan berbagai jenis dan bentuk berjalan berlalu lalang, menimbulkan kepadatan dan akhirnya menciptakan kemacetan di beberapa titik. 

Hiruk pikuk keadaan di pusat kota ini begitu ramai, sepertinya kota ini benar-benar kota yang tidak pernah beristirahat karena dari pagi hingga malam bahkan sampai pagi lagi kota ini, khususnya jalanan ini tidak pernah sepi. Iya mungkin karena ini adalah sebuah ibu kota, tempat semua orang mengais rezeki tanpa ingat dengan waktu.

Dari beratus-ratus orang disana, tampak seorang wanita yang sedang duduk di salah satu bangku yang berada di sisi jalan. Iya, dia adalah Rania. Dengan pakaian yang sederhana, sebuah rok panjang berwarna hitam polos, baju lengan panjang berwarna biru serta sebuah kerudung yang menutupi rambutnya sedang duduk bersandar disana. Tampak keringat sudah membanjiri kening dan seluruh badannya. Wajahnya terlihat sangat lelah dengan mata yang begitu sayu. 

“Panas sekali disini,” gumam Rania sambil mengusap keningnya yang kini telah basah oleh keringat.

Terlihat dia kemudian meneguk sebuah air mineral kemasan yang baru saja dia beli di salah satu warung di terminal tadi. Panasnya kota itu benar-benar membuat tenggorokannya terasa sangat kering. Tak ayal sebotol air mineral pun dapat diminum habis hanya dalam satu kali minum. Sebuah tas kecil tergantung di badannya. Matanya terus saja menatap sebuah kertas yang sedang dia pegang. Sebuah kertas kecil berisi alamat rumah seseorang.

“Kalau dilihat dari alamatnya sih kayaknya bener. Hmm, mungkin rumahnya ada di sekitaran sini,” gumam Rania sambil melihat ke arah kiri dan kanan.

Setelah dirasa tenaganya sudah kembali pulih, wanita itu pun berdiri dan kembali melangkahkan kakinya mencari sebuah tempat yang menjadi tujuannya datang ke kota besar ini. Bukannya dia tidak mau bertanya kepada orang-orang yang dia lewati, hanya saja sifatnya yang pendiam jika menyangkut dengan orang asing membuat dirinya jarang sekali berkomunikasi dengan orang lain, apalagi dengan orang yang tidak dia kenal. Ada rasa takut yang muncul setiap kali bibirnya ingin bertanya kepada orang-orang disana, apalagi melihat wajah mereka yang benar-benar tidak ada tampang ramahnya sama sekali.

Setelah melewati beberapa langkah yang terasa sangat panas dan berat, akhirnya tersungging senyum di kedua sudut bibir mungilnya tatkala dirinya kini sudah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang cukup besar.

“Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga rumahnya. Eh, tapi apa benar ini rumahnya, ya? Besar sekali. Tapi kalau dilihat dari alamat dan nomor rumahnya sih benar,” ucap Rania sambil terus memandang seluruh rumah dengan nuansa berwarna biru langit tersebut.

Jari telunjuk yang sedari tadi berada di samping pinggangnya, kini mulai bergerak ke atas, menekan tombol bel rumah tersebut atau bisa disebut juga tombol bel gerbang karena tombol itu berada di luar gerbang. Selang beberapa saat, pintu gerbang yang terbuat dari besi yang menjulang tinggi dan di cat dengan warna hitam itu sedikit terbuka, menampakkan seorang laki-laki dengan pakaian lengkap seorang security.

Dari segi usia, laki-laki itu memang tampak tidak terlalu muda namun badannya masih tetap tegak dan gagah. Matanya yang tajam menusuk membuat wanita itu sedikit kesusahan menelan salivanya dan tubuhnya pun tiba-tiba bergetar.

“Selamat siang. Maaf Anda siapa? Mau bertemu dengan siapa?” suara tegas laki-laki itu bertanya.

“Hmm... anu... anu Pak... saya... saya mau bertanya apa... apa benar ini rumahnya Luki Pratama?” ucap Rania dengan terbata-bata.

“Betul. Maaf anda siapa?”

“Alhamdulillah. Saya... hmm.. apa boleh saya bertemu dengan Paman Luki?”

“Paman Luki?” security itu mengernyitkan dahinya bingung.

“Hmm.. maksud saya... saya mau bertemu dengan Tuan Luki.”

“Apa sudah ada janji sebelumnya?”

“Janji?” kini berbalik gadis itu yang bingung.

“Tentu saja. Tidak semua orang bisa bebas bertemu dengan Tuan Besar.”

“Saya belum membuat janji dengan Beliau karena saya datang secara mendadak. Tapi apakah saya bisa meminta bantuan Bapak sedikit? Tolong beritahu Beliau kalau keponakannya datang mencarinya.”

“Kamu keponakan Tuan Besar?” tanya security itu dengan tatapan menyelidik.

“I... Iya...”

“Bagaimana saya tahu kalau kamu benar-benar keponakan Tuan Besar? Selama ini saya tidak pernah melihat wajahmu. Bisa saja kan kamu seorang penipu atau pencuri yang hendak masuk ke dalam rumah?”

“Tapi Pak, saya benar-benar keponakannya. Bapak bisa tanyakan sendiri kepada Beliau.”

“Siapa Pak Burhan?” suara barithon seorang laki-laki terdengar dari balik gerbang. Security yang sedari tadi berbicara dengan Rania langsung menghadapkan wajahnya ke arah sumber suara yang terus saja berjalan mendekat dan pada akhirnya laki-laki itu pun bisa melihat dengan jelas siapa yang sedang berdiri di luar gerbang rumahnya itu.

“Rania...”

“Bian...”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Affandi
wih ternyata kak sari punya juga cerita disini...
goodnovel comment avatar
Suharni Adhe
semangat Rania. keren Thor ceritanya. di tunggu update selanjutnya ya....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketulusan Cinta Rania   KALUNG SH

    "Apa yang sedang kamu lakukan, sayang?" suara Dimas menginterupsi. Rania yang sedang mencari kalung tersebut langsung menoleh ke arah sang suami.Melihat raut panik di wajah sang istri, Dimas pun turun dari tempat tidurnya. Dia berjalan mendekati Rania lalu duduk di lantai di samping wanita itu."Ada apa sayang? Apa yang sedang kamu cari? Ini sudah malam loh," tanya Dimas dengan tangan yang membelai rambut sang istri."Aku… aku sedang mencari kalung, Kak," ucap Rania.Awalnya Rania memang berniat akan menghadapi segalanya sendiri tanpa harus melibatkan Dimas. Akan tetapi lambat laun dia juga berpikir bahwa apa yang dia lakukan ini tidak baik. Bagaimanapun juga Dimas adalah suaminya sekarang. Apapun yang terjadi kepadanya, sudah menjadi tanggung jawab Dimas. Lagipula Rania sendiri tak yakin apa dirinya sanggup untuk menghadapi kenyataan ini sendiri atau tidak. Oleh karena itu dia pun memutuskan untuk menceritakan semuanya saja kepada sang suami."Kalung? Kalung yang mana?" tanya Dimas m

  • Ketulusan Cinta Rania   GELISAH

    "Nona, kita sudah sampai,” ucap Alman yang berhasil menyadarkan lamunan wanita itu. Pandangan Rania pun melihat ke arah luar. Ternyata benar, mereka telah sampai di tempat semula laki-laki itu menjemput Rania.Dengan sigap Alman langsung turun dari mobil tersebut dan membukakan pintu untuk nona besarnya itu. Perlahan Rania turun dan mulai melangkahkan kakinya untuk pulang menuju ke rumah kontrakanya.“Nona, tunggu sebentar!” ucap Alman dan berhasil membuat langkah Rania yang sudah beberapa meter menjauh darinya itu terhenti. Wanita itu pun kembali menoleh ke arah belakang.“Iya Tuan.,” ucap Rania.Alman langsung melangkahkan kakinya ke arah belakang mobil. Kedua tangannya membuka bagasi belakang mobil tersebut dan mulai mengeluarkan beberapa keresek besar berwarna putih. Laki-laki itu pun berjalan mendekati Rania dan memberikan semua bungkusan itu kepadanya.“Apa ini Tuan?” tanya Rania mengernyit keheranan.“Maaf nona. Tadi pagi

  • Ketulusan Cinta Rania   TIDAK MEMAKSA

    “Sebuah panti asuhan di sebuah kota kecil bernama Panti Asuhan Generasi Mandiri.”DEG...Panti Asuhan Generasi Mandiri? Bukankah itu adalah nama Panti Asuhan milik Umi Nayla dan Abi Agung. Tapi apa iya panti asuhan yang itu? Tidak! Nama Panti Asuhan Generasi Mandiri tidak hanya satu di kota ini kan? Pasti ada banyak panti asuhan yang memiliki nama yang sama. Pikiran Rania mulai dipenuhi dengan pertayaan-pertanyaan yang membuat kepalanya sedikit pusing.“Panti Asuhan Generasi Mandiri?” Rania yang sejak tadi hanya diam dan mendengarkan saja akhirnya mengeluarkan suara kecilnya. Kepala sang Kakek yang sejak tadi menunduk berubah terangkat ke atas dan menatap wajah Rania dengan sedikit tersenyum. Sang kakek pun kembali melanjutkan ceritanya.“Iya, Panti Asuhan Generasi Mandiri, milik Nyonya Nayla dan Tuan Agung,” tegas sang Kakek. Rania kembali terdiam di dalam kemelut hatinya sendiri.“Kakek tahu kalau kamu pasti berpikir kalau di negara ini atau bahkan mungkin di kota ini ada banyak se

  • Ketulusan Cinta Rania   BERCERITA MASA LALU 2

    “Nak, nama Kakek adalah Imam Sahara. Kamu bisa memanggil kakek dengan sebuatan Kakek Imam. Kakek adalah pemilik dari perusahaan besar di beberapa kota di negara ini juga di luar negeri, Perusahaan Sahara. Apa kamu pernah mendengarnya?” tanya sang Kakek sambil membalikkan badannya kembali menghadap Rania. Wanita itu menggelengkan kepalanya dan membuat sang Kakek tersenyum.Sang Kakek mengerti jika wanita di depannya itu belum pernah mendengarnya, karena selama ini Rania tinggal di sebuah kota terpencil dan selama kehidupannya dia tidak pernah berurusan dengan urusan bisnis. Sang Kakek pun kembali menjelaskan jika perusahaan Sahara adalah salah satu perusahaan raksasa yang ada di dalam negeri ini. Bahkan bisa dikatakan perusahaan nomor satu yang ada di negara ini.Walaupun Perusahaan Sahara adalah perusahaan ternama akan tetapi sang Kakek tidak pernah mengizinkan siapapun untuk meliput anggota keluarganya. Baginya apapun yang terjadi di dalam keluarganya adal

  • Ketulusan Cinta Rania   BERCERITA MASA LALU

    "Aku harus secepatnya pergi dari sini. Iya, aku harus secepatnya pergi dari tempat ini. Harus! Sebelum laki-laki itu datang dan berbuat yang tidak-tidak kepadaku," gumam Rania.Dengan cepat Rania bergerak menuju ke arah pintu. Namun sial saat tinggal beberapa langkah lagi menuju ke arah pintu, kedua mata Rania melihat gagang pintu yang bergerak dan sesaat kemudian pintu itu pun terbuka.Seorang laki-laki yang usianya sudah tidak muda lagi tampak sedang berdiri di depan pintu. Walaupun usianya sudah tua akan tetapi perawakannya masih tegap. Dengan berbalut kemeja putih dan jas hitam yang sangat bagus, laki-laki itu sungguh menunjukkan kalau dirinya memang bukan orang sembarang."Siapa laki-laki ini? Apa dia akan berbuat jahat kepadaku? Atau jangan-jangan dia adalah orang jahat yang suka menculik dan menjual wanita dan anak kecil untuk dijual ke luar negeri?" pikir Rania.Di dalam otak Rania terus berp

  • Ketulusan Cinta Rania   HOTEL MEWAH

    Setelah lama melaju, mobil itu pun berhenti di sebuah pelataran hotel mewah. Lamunan Rania kembali tersadar dan rasa takut itu pun kembali datang ke dalam tubuhnya saat dirinya melihat kalau mereka telah sampai di sebuah hotel. Sebenarnya siapa dia yang ingin bertemu dengan Rania? Dan kenapa harus di hotel?"Mari silahkan nona!" Ucapan Alman yang menyuruhnya untuk turun dari mobil berhasil membuat Rania membuyarkan lamunannya."I.. Iya.." Jawab Rania gugup.Dengan tangan yang masih menggendong sang anak Rizky, Rania pun perlahan turun dari mobil. Kedua bola matanya menatap sebuah gedung hotel yang begitu besar. Jujur saja ini adalah kali pertama dirinya menginjakkan kaki di tempat ini bahkan ini adalah kali pertamanya juga dia melihat tempat ini. Selama ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status