Share

IKHTIAR

“Ya Allah, hamba percaya jika selama kita hidup di dunia ini pasti tidak akan luput dari yang namanya ujian. Baik itu ujian yang datang dari diri kita sendiri, dari pasangan kita, dari orangtua kita, dari keluarga kita, ataupun mungkin dari orang lain. Tapi hamba juga percaya bahwa setiap ujian yang datang kepada kita pastilah ada hikmah yang baik di dalamnya. Oleh karena itu hamba tidak akan mengeluh, seberapa besar pun ujian yang Engkau turunkan kepada hamba, hamba tidak akan pernah putus harapan. Hamba yakin jika Engkau tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hambanya. Hamba hanya berdoa semoga selain Engkau memberikan ujian yang bertubi-tubi kepada hamba, Engkau juga memberikan hamba kesabaran dan jalan keluar untuk meyelesaikan semuanya.”

*** 

Rania masih duduk di salah satu bangku di dalam sebuah bus kota. Kali ini dia akan pergi ke suatu tempat dimana dirinya menaruh sebuah harapan besar disana. Walaupun sang ibu mertua awalnya tidak merestui niatannya ini, akan tetapi tidak ada jalan lain lagi selain ini.

Mata Rania terpejam mengingat percakapan dirinya dengan sang ibu mertua tadi malam.

“Nak, Ibu gak yakin, Nak. Kamu tahu sendiri bagaimana sikap Pamanmu itu kepada kita. Selama ini, baik dia maupun istrinya tidak ada yang pernah menganggap kita sebagai saudara mereka. Ibu tidak mau jika nanti disana kamu sampai dihina, Nak. Sampai kapan pun ibu tidak akan rela. Apalagi disana pasti ada Bian. Nak, ibu masih ingat bagaimana laki-laki itu sangat terobsesi kepadamu, mengejarmu layaknya orang gila. Ibu masih ingat ketika dulu kamu hampir saja diculik oleh Bian, untungnya saat itu ada Yusuf yang datang menolong. Sekarang, kalau disana kamu bertemu dengan Bian lagi, bagaimana?”

“Bu, coba dengarkan Rania dulu. Jika Rania memiliki ide lain, Rania pun pasti tidak akan memilih cara ini. Tapi Bu, kita tidak punya cara lain lagi. Kita sedang berlomba dengan waktu. Telat sedikit saja, kita akan kehilangan Yusuf untuk selamanya, Bu. Rania mohon, Bu. Untuk kali ini saja, ijinkan Rania pergi. Rania akan berusaha untuk membujuk Paman, untuk meluluhkan hati mereka agar mau membantu kita. Bagaimanapun Yusuf adalah keponakannya kan, Bu? Masa Paman tidak mau membantu keponakannya sendiri? Masalah Bian, kita sama-sama berdoa saja ya, Bu. Semoga Allah selalu melindungi Rania dari Bian.”

Ibu Tyas hanya terdiam mendengar penjelasan sang menantu. Sebenarnya dia sangat berat membiarkan Rania pergi, namun apa yang diucapkan menantunya itu memang sangat benar. Jika mereka terlambat sedikit saja, Yusuf akan pergi untuk selamanya.

“Habis.. Habis.. Beres.. Beres.. Yuk Sampai Yuk..!!” teriak kernet bus memberitahukan bahwa mobil sudah sampai di terminal terakhir tujuannya. 

Semua penumpang sudah turun. Tinggal Rania seorang yang masih anteng dengan lamunannya. Membuat kernet bus itu bingung dan berjalan mendekatinya.  

“Permisi, maaf Mbak, kita sudah sampai di terminal terakhir. Semua sudah pada turun. Mbak mau kemana?” tanya supir bus yang langsung menyadarkan Rania dari lamunannya.

Rania pun tersenyum dan turun dari bus itu. Dia mulai melangkahkan kakinya menginjak sebuah aspal jalanan yang belum pernah dia jamah sebelumnya. Sebuah daerah dimana dirinya baru kali ini datang dan merasakan udara di kota besar tersebut.

Suasana ibu kota siang hari itu terasa sangat panas. Cahaya matahari yang amat terik serta debu-debu kendaraan yang berlalu lalang membuat nafas setiap orang yang menghirupnya menjadi sesak. Sejauh mata memandang, tidak tertangkap satu pohon pun yang tertanam di sekitar jalanan tersebut. Padahal sebenarnya adanya pohon-pohon besar itu sangatlah baik untuk menyerap polusi udara yang dihasilkan oleh keadaan sekitar. Dengan adanya penghijauan disana, bisa membuat daerah tersebut menjadi sejuk dan tidak gersang seperti sekarang ini.

Hampir semua orang yang berada disana terlihat sangat sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Banyak kendaraan dengan berbagai jenis dan bentuk berjalan berlalu lalang, menimbulkan kepadatan dan akhirnya menciptakan kemacetan di beberapa titik. 

Hiruk pikuk keadaan di pusat kota ini begitu ramai, sepertinya kota ini benar-benar kota yang tidak pernah beristirahat karena dari pagi hingga malam bahkan sampai pagi lagi kota ini, khususnya jalanan ini tidak pernah sepi. Iya mungkin karena ini adalah sebuah ibu kota, tempat semua orang mengais rezeki tanpa ingat dengan waktu.

Dari beratus-ratus orang disana, tampak seorang wanita yang sedang duduk di salah satu bangku yang berada di sisi jalan. Iya, dia adalah Rania. Dengan pakaian yang sederhana, sebuah rok panjang berwarna hitam polos, baju lengan panjang berwarna biru serta sebuah kerudung yang menutupi rambutnya sedang duduk bersandar disana. Tampak keringat sudah membanjiri kening dan seluruh badannya. Wajahnya terlihat sangat lelah dengan mata yang begitu sayu. 

“Panas sekali disini,” gumam Rania sambil mengusap keningnya yang kini telah basah oleh keringat.

Terlihat dia kemudian meneguk sebuah air mineral kemasan yang baru saja dia beli di salah satu warung di terminal tadi. Panasnya kota itu benar-benar membuat tenggorokannya terasa sangat kering. Tak ayal sebotol air mineral pun dapat diminum habis hanya dalam satu kali minum. Sebuah tas kecil tergantung di badannya. Matanya terus saja menatap sebuah kertas yang sedang dia pegang. Sebuah kertas kecil berisi alamat rumah seseorang.

“Kalau dilihat dari alamatnya sih kayaknya bener. Hmm, mungkin rumahnya ada di sekitaran sini,” gumam Rania sambil melihat ke arah kiri dan kanan.

Setelah dirasa tenaganya sudah kembali pulih, wanita itu pun berdiri dan kembali melangkahkan kakinya mencari sebuah tempat yang menjadi tujuannya datang ke kota besar ini. Bukannya dia tidak mau bertanya kepada orang-orang yang dia lewati, hanya saja sifatnya yang pendiam jika menyangkut dengan orang asing membuat dirinya jarang sekali berkomunikasi dengan orang lain, apalagi dengan orang yang tidak dia kenal. Ada rasa takut yang muncul setiap kali bibirnya ingin bertanya kepada orang-orang disana, apalagi melihat wajah mereka yang benar-benar tidak ada tampang ramahnya sama sekali.

Setelah melewati beberapa langkah yang terasa sangat panas dan berat, akhirnya tersungging senyum di kedua sudut bibir mungilnya tatkala dirinya kini sudah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang cukup besar.

“Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga rumahnya. Eh, tapi apa benar ini rumahnya, ya? Besar sekali. Tapi kalau dilihat dari alamat dan nomor rumahnya sih benar,” ucap Rania sambil terus memandang seluruh rumah dengan nuansa berwarna biru langit tersebut.

Jari telunjuk yang sedari tadi berada di samping pinggangnya, kini mulai bergerak ke atas, menekan tombol bel rumah tersebut atau bisa disebut juga tombol bel gerbang karena tombol itu berada di luar gerbang. Selang beberapa saat, pintu gerbang yang terbuat dari besi yang menjulang tinggi dan di cat dengan warna hitam itu sedikit terbuka, menampakkan seorang laki-laki dengan pakaian lengkap seorang security.

Dari segi usia, laki-laki itu memang tampak tidak terlalu muda namun badannya masih tetap tegak dan gagah. Matanya yang tajam menusuk membuat wanita itu sedikit kesusahan menelan salivanya dan tubuhnya pun tiba-tiba bergetar.

“Selamat siang. Maaf Anda siapa? Mau bertemu dengan siapa?” suara tegas laki-laki itu bertanya.

“Hmm... anu... anu Pak... saya... saya mau bertanya apa... apa benar ini rumahnya Luki Pratama?” ucap Rania dengan terbata-bata.

“Betul. Maaf anda siapa?”

“Alhamdulillah. Saya... hmm.. apa boleh saya bertemu dengan Paman Luki?”

“Paman Luki?” security itu mengernyitkan dahinya bingung.

“Hmm.. maksud saya... saya mau bertemu dengan Tuan Luki.”

“Apa sudah ada janji sebelumnya?”

“Janji?” kini berbalik gadis itu yang bingung.

“Tentu saja. Tidak semua orang bisa bebas bertemu dengan Tuan Besar.”

“Saya belum membuat janji dengan Beliau karena saya datang secara mendadak. Tapi apakah saya bisa meminta bantuan Bapak sedikit? Tolong beritahu Beliau kalau keponakannya datang mencarinya.”

“Kamu keponakan Tuan Besar?” tanya security itu dengan tatapan menyelidik.

“I... Iya...”

“Bagaimana saya tahu kalau kamu benar-benar keponakan Tuan Besar? Selama ini saya tidak pernah melihat wajahmu. Bisa saja kan kamu seorang penipu atau pencuri yang hendak masuk ke dalam rumah?”

“Tapi Pak, saya benar-benar keponakannya. Bapak bisa tanyakan sendiri kepada Beliau.”

“Siapa Pak Burhan?” suara barithon seorang laki-laki terdengar dari balik gerbang. Security yang sedari tadi berbicara dengan Rania langsung menghadapkan wajahnya ke arah sumber suara yang terus saja berjalan mendekat dan pada akhirnya laki-laki itu pun bisa melihat dengan jelas siapa yang sedang berdiri di luar gerbang rumahnya itu.

“Rania...”

“Bian...”

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Affandi
wih ternyata kak sari punya juga cerita disini...
goodnovel comment avatar
Suharni Adhe
semangat Rania. keren Thor ceritanya. di tunggu update selanjutnya ya....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status