Share

Tangis Khaira

Di dalam kendaraan yang dikemudikan Ustaz Ahsan, Khair hanya diam. Ustaz Ahsan lah yang memulai pembicaraan.

“Kamu kenal Riang?” tanya dia.

“Tidak, Ustaz.”

“Tapi dia kenal kamu.”

Khair mulai merasa tidak nyaman dengan pembicaraan soal gadis berpashmina pink yang selalu membuat dia terganggu itu.

“Dia sering titip salam buat kamu ke saya.” Ustaz Ahsan nyengir. “Riang memang begitu. Riang seperti namanya. Saya kenal dia karena sering ketemu dengan umminya yang sahabat ibu saya. Ustaz Rofiq juga sering cerita tentang keponakannya itu. Tolong jangan salah paham soal dia dan saya, ya!”

Khair diam saja. ‘Apa sih maksud pembicaraan Ustaz ini?’ pikirnya. Dia tampak tegang. Berbeda dari saat berangkat, kali ini hanya Khair sendiri yang menumpang mobil sang dosen.

“Santai aja, Khair!” ucap Ustaz Ahsan seolah mampu membaca pikiran pemuda itu.

“Iya, Ustaz.”

“Di luar perkuliahan, kamu enggak perlu panggil saya ustaz,” ujar Ustaz Ahsan ringan, “Saya lebih suka jadi seorang sahabat daripada seorang guru, terutama dengan kamu.”

Khair seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar.

Ustaz Ahsan menoleh sesaat sambil melengkungkan senyum khas sebelum mengutarakan kalimat yang akan membuat pemuda di sebelahnya itu tambah heran.

“Itu karena saya merasa sudah begitu mengenal kamu dari cerita Rumaysha.”

Bak disambar petir, Khair yang sebelumnya tegang menjadi tambah kaku. AC yang dingin malah tambah membuatnya beku.

“Kalian ….”

“Tidak, Ustaz,” gugup Khair memotong kalimat Ustaz Ahsan.

“Lho, bukannya kalian satu SMA? Rumi bilang kamu dulu adalah saingannya di kelas.”

Khair menghela nafas. Mendadak dia lega mendengar penuturan Ustaz Ahsan. Dia kira Rumaysha mengungkapkan semua kepada tunangannya.

“Oh, iya Ustaz. Rumi memang teman sekelas saya waktu SMA.”

Senyum Ustaz Ahsan makin lebar.

“Jadi kamu kenal dengan calon istri saya, kan?”

“Iya.” Mau tidak mau Khair mengakuinya.

“Makanya saya lebih suka jadi sahabat kamu.”

“Iya, Ustaz.” Khair mengangguk.

“Jangan sungkan sama saya, Khair,” ujar Ustaz Ahsan, “Rumi itu sepupu jauh saya. Saya kenal dia sejak masih kecil. Bahkan, waktu dia baru lahir, saya dan keluarga termasuk jadi rombongan pertama yang menjenguknya ke rumah sakit. Rumi selalu cerita apapun kepada saya. Jadi, saya tahu semua.”

Khair terdiam. Dalam hati dia menyesal karena mau saja ikut diajak pulang bersama calon suami Rumaysha ini.

“Saya harap kita bisa ngobrol banyak di lain waktu,” pungkas Ustaz Ahsan.

Ketika dari kejauhan gedung kampus terlihat, Ustaz Ahsan bertanya, “Rumah kamu di mana? Saya antar sampai rumah saja, ya!”

Rupanya dia tidak berniat mampir ke kampus.

“Tidak usah, Ustaz. Rumah saya masuk gang. Harus memutar kalau lewat jalan besar,” cegah Khair. Perasaan tak enak melingkupi dirinya. Bukan hanya soal fakta bahwa dia pernah menyimpan nama Rumaysha di hatinya. Melainkan juga fakta bahwa kondisi ekonominya tak cukup pantas diperlihatkan kepada orang lain.

Rumah tinggal Khair dan Khaira hampir tak terlihat karena berada tepat di bawah bayang-bayang sebuah apartemen megah. Hanya tembok beton tinggi  menjulang yang jadi pembatas area apartemen dan halaman belakang rumah mereka.

Rumah seukuran petak itu merupakan peninggalan orang tua Khair dan Khaira. Rumah impian ibunya yang menyimpan banyak kenangan.

Khair tak mau menunjukkan rumah itu bukan karena merasa malu atas kemiskinannya, dia hanya tak mau Ustaz Ahsan mengasihaninya. Maka dia meminta turun di depan kedai kopi dekat kampus saja.

“Terima kasih, Ustaz,” ucap Khair seperti melepas beban berat saat dia turun dari mobil sang dosen, “Apa Ustaz berkenan mau mampir dulu untuk minum kopi?” tawar Khair basa basi.

Dia yakin, kedai kopi sederhana milik kakaknya itu bukan tempat yang dinilai cukup berkelas untuk disambangi seorang putra pengusaha kaya macam Ustaz Ahsan.

Di balik jendela, pria berwajah jernih itu sekilas menatap kedai kopi sederhana bernuansa hitam putih tak jauh dari tempat mobilnya berhenti. Disana tampak sebuah container booth berdiri menghadap sebuah ruangan kecil. Dinding ruangan itu juga terbuat dari seng yang dicat hitam dengan gambar dekoratif berwarna putih. Di tengahnya terpasang kaca yang bisa digeser ke atas, seperti jendela kereta api.

Tampak dari luar, tulisan ‘Kedai Kopi Khaira’ terpampang dengan bentuk huruf K dekoratif yang cantik.

Dari balik jendela tampak beberapa set kursi dan meja tersebar di dalam ruangan. Tidak banyak hiasan terpajang di dalam sana. Dekorasinya sederhana saja. Namun, tampak rapi dan menyenangkan untuk dilihat. Ustaz Ahsan sendiri sepertinya cukup tertarik dengan desain kedai kopi tersebut hingga ia cukup lama mengamati tempat itu.

Sore itu, beberapa pengunjung ‘nangring’ di kedai Khaira. Kebanyakan anak muda, sisanya ojol (ojek online). Terlihat dari jaketnya. Mereka mengantre di container booth yang sekaligus difungsikan sebagai meja kerja barista. Ada seorang wanita memakai apron putih berdiri di dalam booth itu. Dia melayani pelanggan dengan cekatan.  

Kedai kopi itu memang bukan tempat asing bagi mahasiswa dan dosen serta orang-orang yang kerap lalu lalang di sekitar kampus. Meski masih terbilang baru, orang-orang jelas tahu tentang keberadaan kedai itu. Pun demikian Ustaz Ahsan.

Dulu ketika dia baru mulai kariernya sebagai dosen di kampus itu, kedai kopi tadi belum berdiri. Lokasi tempat kedai kopi itu dulu adalah bekas bengkel yang sudah tutup. Namun, aroma kopi memang sudah jadi ciri khasnya karena memang ada booth sederhana yang menjual kopi di sana.  

“Khair, apa kamu kerja sampingan di sana?” tanya Ustaz Ahsan sebelum dia menjawab tawaran Khair.

“Bisa dibilang begitu, Ustaz. Saya bagian delivery order ke kampus.” Khair nyengir walau hatinya ketar-ketir. Dia merasa Ustaz Ahsan kini tahu tentang masalah pribadinya. Jika sebelumnya saja perbedaan status mereka seperti langit dan bumi. Apalagi sekarang, setelah semuanya terungkap. Makin jauhlah Rumaysha dari genggamannya. Demikian yang Khair pikirkan.

“Kalau begitu, lain kali saja saya mampir,” ucap Ustaz Ahsan. “Lain kali saya akan minta traktir,” candanya seraya pamit.

Sebelum memutar kendaraan, dia kembali menoleh sejenak ke arah container booth yang dihuni barista. Dia seolah ingin memastikan sesuatu. Namun, akhirnya memutuskan untuk segera berlalu.

***

Khair yang baru saja kembali, tidak mendapati Khaira di kedai kopi. Bi Ocih yang menggantikan Khaira di meja barista mengatakan, “Tadi habis belanja, Neng Khaira pulang duluan. Katanya pusing dan mau istirahat.”

Ini tidak biasa. Khair tahu itu. Dia segera menyusul Khaira ke rumah dan berjanji kembali lagi ke kedai untuk membantu Bi Ocih beres-beres jika nanti kedai sudah mau tutup.

Saat Khair membuka pintu rumah mungil seukuran petak yang mereka tinggali, tercium bau terbakar.

“Astaghfirullah,” gumam Khair. Dia langsung melesat ke halaman belakang. Bau terbakar itu datang dari arah sana.

Khaira, wanita satu-satunya yang Khair khawatirkan, tengah duduk memeluk lutut di depan unggun. Sebelah tangannya terangkat memegang sebuah buku. Ya, itu buku harian bersampul kulit berwarna cream yang baru selesai Khaira baca. Buku itu hendak dia bakar.

“Teteh!” Pekik Khair tepat saat buku berdesain klasik itu jatuh dalam unggun.

Khaira menoleh. Wajahnya tampak pucat padahal di hadapannya nyala api sedang memanaskan udara. Nampak jelas jejak air mata di pipi seputih salju itu, mengering dipanaskan suhu unggun.

Khair bergegas. Bukan Khaira yang dituju, melainkan buku harian itu. Dia nekat menyelamatkan buku itu dari amukan api unggun.

“Khair, ngapain kamu?” hardik Khaira dengan suara serak. Diraihnya tangan Khair yang selamat dari bakaran api. Gadis itu khawatir adiknya terluka. Namun, dia malah mendapatkan respon yang tak diharapkan.

“Teteh kenapa?” Pemuda itu menatap sang kakak. Sesaat lalu dia menghawatirkan nyawa wanita itu. Kini, dia justru mengkhawatirkan jiwanya. “Kenapa Teteh bakar buku ini?”

Manik mata Khaira berembun lebih tebal. Suaranya tersekat di kerongkongan. Tak mungkin dia ceritakan kejadian yang menimpanya tadi siang. Kejadian yang menurutnya terkait erat dengan buku harian tak bertuan itu.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dito Adimia
baru kali ini Nemu orang mau bakar buku harian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status