Share

Rumah Duka

Tak disangka, usai kuliah, sebuah kabar duka tersiar. Khair langsung menyampaikan kabar itu kepada rekan-rekan panitia saat mereka merapikan tempat acara.

“Ustaz Rofiq meninggal sejam yang lalu,” ujar Khair diikuti kalimat “Innalillahi w* inna ilaihi rajiun” serempak dari semua orang yang mendengar, termasuk Ustaz Ahsan.

Dosen muda itu belum meninggalkan tempat acara karena masih ngobrol ringan dengan mahasiswa yang mengambil hadiah darinya.

Mereka pun sepakat melayat ke rumah duka.

Ustaz Rofiq merupakan ketua  prodi  Fakultas Tarbiyah. Dia juga merupakan dosen pembimbing skripsi Khair. Sontak, kabar duka itu mebuat mahasiswa bimbingannya kaget. Sebab, beberapa hari lalu mereka masih bertemu dan berkonsultasi dengan beliau. Saat itu, beliau tampak sehat.

Kulu nafsin dza’iqatul maut,” ucap Ustaz Ahsan mengutip potongan ayat Alquran yang artinya, “Tiap-tiap makhluk yang bernyawa pasti akan mengalami kematian.”

“Kita hanya tidak tahu kapan. Hari ini kita ditinggalkan, kelak kita juga yang akan meninggalkan,” lanjutnya, menimpali obrolan para mahasiswa tentang kepergian Ustaz Rofiq yang tak disangka-sangka.

Obrolan itu mengalir sepanjang perjalanan menuju rumah duka. Ustaz Ahsan mengangkut mereka dengan mobilnya, menuju kediaman Ustaz Rofiq yang juga rumah duka.

Dalam perjalanan itu Khair tak lupa mengirim pesan kepada kakaknya, mengabarkan bahwa dia pergi melayat dosen yang meninggal. Pamitan dan ijin kepada Khaira sudah jadi kebiasaan Khair sejak sang Kakak tinggal bersamanya. Dulu, kebiasaan yang sama dia lakukan kepada sang Ibu.

Ibu mereka sudah tiada. Kabar meninggalnya Ustaz Rofiq pun kembali mengusik ingatan Khair tentang meninggalnya sang ibu, wanita terkasih yang amanatnya senantiasa Khair pegang teguh.

“Bawa Khaira! Kelak kalau ibu tidak ada, kalian harus bersama. Khair dan Khaira ….“ Itulah keinginan almarhum ibu mereka.

“Khair, berjanjilah sama ibu, kamu akan menjaga Khaira, demi ibu ….”

Air mata menitik kembali di mata bening Khair persis seperti saat itu, kala dia ditingalkan sang ibu sebelum dirinya mampu mewujudkan keinginan terakhir wanita itu.

“Khair akan jaga Teh Khaira, Bu. Khair janji sama ibu,” tekadnya.

Sebelum tertangkap berurai air mata, buru-buru Khair usap pelupuk matanya. Sekilas gerakan Khair berkelebat di  rear-vision mirror yang tergantung di plafon depan. Sekilas itu pula Ustaz Ahsan yang berada di balik kemudi menangkapnya kelebatan kepedihan di mata mahasiswa tersebut.

♥♥♥

Perjalanan setengah jam di jalur tanpa kemacetan akhirnya mengantarkan rombongan Ustaz Ahsan tiba di rumah duka.

Setibanya di tempat, mereka tak ragu turut serta menunaikan kewajiban sebagai muslim untuk memenuhi salah satu hak muslim lainnya, yakni menyelenggarakan pemulasaraan jenazah. Ustaz Ahsan dan dosen lain yang sudah tiba lebih dulu beserta beberapa mahasiswa yang hadir ikut menyolatkan jenazah Ustaz Rofiq. Sebagian dari mereka bahkan ikut membantu persiapan di makam.

Ustaz Rofiq sudah seperti orang tua bagi para mahasiswa fakultas Tarbiyah. Dia merupakan dosen senior yang sudah puluhan tahun mengabdi sebagai tenaga pendidik di kampus. Sifatnya pengayom, sabar dan murah senyum, jauh dari kesan pemimpin yang tiran. Dalam beberapa kesempatan, dia bahkan tak sungkan berkelakar.

Bola mata Khair berkaca-kaca saat doa dibacakan. Gundukan tanah merah telah mengubur sempurna jasad dosen pembimbing tercinta. Kenangan tentangnya berkelebat.

“Penelitian memang dimulai dari masalah, tapi jangan sampai penelitian kamu berakhir jadi masalah juga, ya!” kata almarhum Ustaz Rofiq saat pertama kali Khair mengajukan judul skripsinya. Ya, beliau memang sudah jadi pembimbing skripsi Khair sejak masih berupa proposal.

Tiga kali mengajukan judul, tiga kali juga judul itu ditolak. Penolakan Ustaz Rofiq kadang terasa  kasar, tapi Khair menerimanya sebagai ujian mental. Baginya, sang dosen hanya sedang menyuguhkan tantangan.

Sekali waktu dosen itu berkata, “Kamu bisa enggak cari masalah yang belum ditemukan orang lain?”

Di waktu lain dia berkata, “Jangan bikin yang enggak masalah jadi masalah dong, Khair!”

Sampai akhirnya, dia berkata, “Semoga kamu enggak dapat masalah untuk menyelesaiakan penelitianmu. Good luck, Khair!”

Ah, betapa tiba-tiba Khair merindukan hardikan dan teguran sang dosen. Nanti siapa lagi yang bisa dia ajak konsultasi dan membimbing penyusunan skripsinya.

Mendadak Khair  tersadar, bagaimana jika dia telat lulus karena skripsinya tidak selesai-selesai? Apalagi sekarang salah satu dosen pembimbingnya telah tiada.

“Masa depanku bagaimana jadinya?” batin Khair.

♥♥♥

Sekembalinya rombongan dari makam, satu persatu berpamitan pada tuan rumah yakni keluarga almarhum ustaz Rafiq.

“Khair, kamu pulang ke arah kampus, kan?” tanya Ustaz Ahsan.

“Iya, Ustaz.”

“Kita pulang sama-sama saja, ya!”

“Apa tidak merepotkan, Ustaz?“ Terdengar keraguan pada nada suara Khair.

“Sama sekali tidak,” jawab lugas Ustaz Ahsan, “Mari kita pamitan dulu ke dalam.”

Khair mengekori langkah dosen muda itu memasuki rumah duka untuk pamitan secara langsung pada keluarga almarhum Ustaz Rofiq. Saat itulah dia mendapati seorang gadis berpashmina berada di sana.

Gadis itu menarik perhatiannya. Seorang gadis dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans ketat dipadu pashmina merah jambu, berada dalam suasan berkabung di sebuah rumah duka. Siapa yang tidak aneh melihatnya.

Khair mengamati gadis itu dari jarak yang tidak terlalu jauh, tapi juga tidak begitu dekat. Saat itulah tatapannya bersirobok dengan si gadis pashmina. Wajah gadis itu pun tertangkap jelas oleh indra penglihatan Khair.

Kulit wajah putih gadis itu nampak pias dibalur lelehan air mata yang perlahan dia seka saat tahu Khair sedang memperhatikannya. Mata yang sembab itu perlahan menunjukkan binar setelah netranya menangkap sosok Khair di sana. Hidungnya yang mancung namun begitu mungil terlihat sedikit mengembang menata tarikan nafas.

“Dia kan …. “ Memorinya memutar kembali kejadian saat kuliah umum di kampus.

“Riang … Ummi  Latifah ....” sapa Ustaz Khair pada dua wanita yang berdiri bersisian di antara tamu yang hadir di rumah duka. Sapaan itu seolah menjawab pertanyaan Khair tentang sosok gadis salah kostum tadi.

Sementara Ustaz Ahsan menghampiri  keduanya, Khair memilih menjaga jarak. Meski begitu, benaknya tak henti berpikir, “Itu ibunya Ustaz Ahsan? Lantas gadis itu …?”

Tatapan Khair berganti-ganti dari gadis berpashmina merah jambu ke sosok ibu yang disapa Ustaz Ahsan barusan.

 “Nak Ahsan datang rupanya,” Ibu berpakaian abaya hitam berjilbab panjang itu balik menyapa, “Apa kabar mama dan papamu?”

“Mama Alhamdulillah baik, Ummi. Papa masih dalam perawatan,” jawab Ustaz Ahsan.

Dari pembicaraan ramah tamah ringan itu Khair dapat menyimpulkan bahwa wanita itu bukan ibunda sang Dosen. Dari pembicaraan yang tak sengaja didengarnya pula, Khair jadi tahu ayahnya ustaz Ahsan rupanya sedang sakit.

“Ustaz datang sama siapa?” tiba-tiba gadis berpashiman merah jambu yang disapa dengan nama Riang tadi bersuara. Jelas dia curi-curi pandang ke arah Khair yang tak jauh dari mereka. Itu seolah kode yang langsung terbaca oleh dosen cerdas itu.

“Saya sama Khair dan beberapa panitia kuliah umum tadi,”  jawab Ustaz Ahsan. Dia lantas menoleh mengikuti arah pandangan mata yang ditunjukkan Riang. “Khair, sini!” panggil Ustaz Ahsan kemudian.

Pemuda itu mendekat. Kini dia tak lagi menatap gadis yang sudah dia identifikasi sebagai mahasiswa tak tahu malu yang tadi membuat gaduh di kuliah umum. Lebih dari itu, Khair benar-benar menjaga pandangan hingga dia buang tatapannya jauh-jauh ke dasar bumi seperti tak sudi matanya ternodai oleh gadis itu.

Ya, tentu saja Khair belum lupa kelakuan gadis itu di kuliah umum tadi siang. Namun, soal mengapa dia ada di rumah duka dan kenapa Ustaz Ahsan bisa mengenalnya, Khair sama sekali tak mengetahuinya.

“Khair, kenalkan, ini Ummi Latifah, sahabat mama saya. Dan, ini Rianka, putrinya. Panggilannya Riang. Riang Sayang, ya, ummi .…” ucap Ustaz Ahsan jenaka, ditanggapi senyum manis Ummi Latifah.

“Kalau Nak Khair ini ….“

Belum sempat Ummi Latifah berucap, Riang mendekat. Lantas membisikan sesuatu ke telinga umminya, membuat wanita 50-an itu memasang ekspresi terkejut luar biasa. Entah apa yang dikatakan gadis itu. Namun setelahnya, dia langsung menatap Khair dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Dalam diam Khair menebak, pasti gadis itu membisikkan sesuatu yang aneh-aneh ke telinga umminya.

“Maaf Ummi,” Ustaz Ahsan lah yang kemudian buka suara menyikapi perubahan atmosfer yang mulai terasa. “Kami tidak bisa lama-lama. Salam buat Abi. Kami pamit dulu.”

Seolah tersadar, Ummi Latifah tergagap berucap, “Oh iya … iya … silakan … silakan jadi calon mantu ummi. Eh .…“

Ustaz Ahsan dan Khair sontak saling tatap. Mau tertawa pun ditahan karena dirasa tidak sopan. Hanya Riang yang tampak mulai cengengesan.

“Aduh, Ummi minta maaf. Riang sih ini bercanda saja …  Ummi jadi keceplosan,” ucap Ummi Latifah.

“Serius ko, Ummi,” timpal putri kesayangannya itu sambil mengerling.

“Kamu tuh, ya!” Ummi Latifah membelalakkan mata ke arah putrinya yang diberi nama sesuai dengan karakternya, Riang.

Tak membiarkan masalah ibu dan anak itu berlarut-larut, Ustaz Ahsan dan Khair segera mengucap salam dan beranjak keluar.

♥♥♥

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status