Siang tadi, saat Khair mengiriminya pesan bahwa dia akan pergi ke rumah duka, saat itu Khaira sedang di mini market membeli keperluan bulanannya. Dia pergi sendirian. Tidak lama, hanya sekitar 30 menit.
Jarak dari kedai ke mini market pun tak jauh. Khaira hanya berjalan kaki sekitar 15 menit, melewati pangkalan ojol di depan Kampus Khair, lurus hingga ke perempatan jalan. Mini market itu berdiri di jajaran ruko-ruko di sebrang jalan setelah belokan.
Ketika dia menyebrang menuju mini market tersebut, Khaira merasa seseorang menguntitnya. Namun, di tempat ramai itu dia tidak bisa mengidentifikasi orang-orang. Walhasil, selama 30 menit di mini market, dia merasakan was-was. Sampai akhirnya, dia membuka pesan w******p dari Khair ketika tepat berada di pojok rak etalase.
Khaira tersentak. Seseorang menepuk bahunya dengan kasar.
“Khaira!” Seru suara yang datang bersama sentakan di bahunya.
Gadis itu langsung menoleh dan mematung seketika. Nanar mata Khaira menatap senyum sinis wajah mesum di hadapannya. Wajah orang yang tak mungkin dia lupa, bahkan untuk seumur hidupnya.
Laki-laki itu adalah bagian dari masa lalu yang meluluhlantakkan hidupnya.
“Di sini kamu rupanya!” suara itu kembali menggema memukul jantung Khaira yang langsung berdetak kencang.
“Empat tahun dicari-cari kemana-mana. Ternyata persembunyian kamu tidak cukup jauh untuk ditemukan. Mau aku laporkan?”
“Itu bukan urusanmu. Jangan harap kamu bisa menggangguku!” Akhirnya suara penuh keberanian itu keluar dari mulut Khaira. Ditepisnya tangan kurang ajar yang masih bertengger di bahunya.
“Kamu masih manis aja kayak dulu.” Lengkung bibir menjijikkan itu membuat Khaira tak tahan untuk mendaratkan bogem mentah.
Tangan Khaira terkepal, tapi dia tahan agar tidak cepat-cepat melesat ke sasaran. Dia masih punya sabar.
“Najis!” ucap gadis itu segera berjalan cepat menuju meja kasir.
“Kha …!” Belum sempat pria itu mencegahnya pergi, matanya langsung tertambat ke sosok wanita yang baru masuk mini market itu. Wanita berpakaian rapi itu mendorong kereta bayi.
Nampak kaget pria berjaket kulit itu melihat kedatangannya.
Tak membuang kesempatan, Khaira mempercepat langkah. Dia segera membayar belanjaannya.
Wanita yang baru masuk tadi tampak langsung menghampiri lelaki yang Khaira maki.
“Abang, ko pergi ke sini?” tanya wanita itu, “Beli susu buat dede?”
Kalimat itu terdengar pula oleh Khaira. Lega dia. Nyata tampak di depan mata, lelaki itu sudah menikah dan punya anak. Kendati begitu, kalimat ancaman dari mulut kotor itu tak bisa Khaira abaikan begitu saja.
Sebelum keluar, dia sempat menoleh ke arah lelaki yang mengancamnya tadi.
Sudut mata lelaki itu tetap mengekori kepergian Khaira meskipun di dekatnya ada sang istri.
“Kamu memang tidak bisa aku miliki. Sekarang aku sudah menikah,” batin pria itu, terbaca jelas dalam sorot matanya yang buas, “Kamu mungkin bisa melepaskan diri dariku, tapi tidak dari keluargamu.”
Dalam hati, pria yang pernah ditinggal pergi oleh Khaira di hari pernikahan itu merasakan emosi. Sakit hatinya menyeru pada pembalasan dendam.
Dia tahu Khaira dibawa pergi oleh orang yang mengaku sebagai adik kandungnya tanpa seijin keluarga yang membesarkannya. Sebuah ide jahat pun terbersit di kepala pria busuk itu.
“Aku akan laporkan keberadaan kamu! Biar kamu kembali ke neraka, Khaira!” Seringai pria itu terlihat jelas oleh Khaira dari balik kaca bening mini market yang memisahkan mereka.
***
Di mata khaira, pria itu busuk. Dia tahu kebusukannya sejak dulu, jauh sebelum perjodohannya diatur.
Lelaki bernama Guntur itu adalah pekerja proyek yang jadi salah satu pelanggan kopi Khaira ketika gadis itu masih berjualan dengan sepeda. Sepuluh tahun lalu, dia mandor di proyek perumahan tempat Khaira biasa mangkal untuk berjualan.
Gadis yang belum lama lulus SMA itu pastinya menarik perhatian pria. Namun, semua pekerja proyek yang rata-rata adalah bapak-bapak nampak menghormati dan sayang pada dia. Sebab, kegigihan dan kepolosan gadis itu telah mengingatkan mereka pada adik atau anak gadisnya di rumah yang mati-matian mereka perjuangkan nafkahnya di tanah rantau.
Sebagian besar para pekerja bangunan itu memang perantau, termasuk Guntur. Namun, mandor yang satu itu masih bujangan. Tak heran diam-diam dia menaruh perhatian lebih pada khaira.
Guntur sering memberi uang lebih saat membayar kopi buatan gadis itu. Khaira yang polos tentu saja senang. Dia tak sedikitpun menyangka, pemberian itu ditagih kembali dengan taruhan kehormatannya.
Beruntung Khaira pernah diajari bela diri oleh kakeknya yang pensiunan polisi. Ketika Guntur menjebakknya di sebuah bangunan kosong saat para pekerja sudah pulang, Khaira bisa melawan. Babak belur pria itu dia hajar.
Hari nahas itu tak mungkin Khaira lupakan. Dia memang selamat dari kebiadaban seorang jahanam, namun tak ayal peristiwa itu juga mengguncang jiwanya.
Saat terdengar teriakan dan isak tangis Khaira bertautan dengan raungan Guntur yang terluka, beberapa orang berdatangan. Sebagaian adalah orang proyek yang tinggal di asrama dekat situ.
Khaira ditemukan dalam kondisi tak karuan. Pakainnya koyak tapi masih melekat di badan. Tubuhnya gemetaran seperti diguncang lindu. Semburat merah terpampang di kedua bola matanya yang menyorot tajam ke arah Guntur.
Lelaki itu terkapar bertelanjang dada. Tubuhnya baret baret oleh bekas cakaran, sedang bagian atas pelipis kepalanya mengalirkan darah segar. Bercak darah juga tampak pada batu bata yang tergelak tak jauh dari sana.
Mereka berdua langsung di evakuasi ke ke tempat aman. Guntur dibawa ke klinik, sedangkan Khaira diistirahatkan di sebuah pondok pekerja untuk ditenangkan, karena gadis itu bersikeras ingin pulang dan tidak mau dirawat di klinik. Saat itulah, seseorang mendatanginya.
“Saya sudah dengar kejadiannya dari para pekerja,” ucap orang itu. Wajah dan pakaiannya bersih. Jelas, dia bukan dari kalangan pekerja kasar di proyek itu.
“Kamu tidak terluka, kan? Tidak terjadi apa-apa, kan?” tanya orang itu pada Khaira yang masih ketakutan.
Gadis itu hanya diam,menahan isak tangis yang masih menyesakkan.
“Saya akan bertanggung jawab atas kekacauan ini. Guntur akan saya pecat. Tapi, saya harap kamu bisa bekerja sama,” suara pria berdasi itu melunak,”Terima uang ini, dan tutup mulut kamu rapat-rapat! Jangan sampai kejadian aib ini diketahui polisi ataupun media. Kamu paham?”
Khaira, gadis berusia 17 tahun yang kehormatannya hampir direnggut paksa itu seperti disambar petir mendengarnya.
“Terima ini!” pria itu menyodorkan segepok uang tepat ke hadapan Khaira yang masih terguncang.
Alih-alih menerima, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Khaira memaksa tubuhnya yang terasa remuk itu berdiri. Dia tidak berharap apapun selain pergi dari tempat itu.
Di pintu, beberapa orang pekerja sudah menunggu.
“Mamang antar Neng pulang, ya!”
Khaira menggeleng. Dia berlalu pergi dengan hati yang membaja. Gadis itu menjelma karang yang tegar.
“Dasar gadis bodoh!” sungut pria berdasi yang bahkan tak dipandang sama sekali oleh gadis yang disebutnya bodoh itu.
***
Sejak peristiwa traumatis itu, Khaira menjalani aktivitasnya dengan lebih waspada. Namun, empat tahun lalu, ketika usianya menginjak 23 tahun, lelaki bernama Guntur itu muncul kembali dalam rupa yang berbeda di hadapan Khaira. Jika dulu dia menjelma iblis, kini dia berkedok makaikat.Keluarga Khaira tidak pernah tahu tentang kejadian nahas di proyek waktu itu. Saat pulang kerumah dalam kondisi tak karuan, Khaira berdalih dia mengalami kecelakaan sepeda. Itu dia lakukan agar tidak terjadi masalah yang lebih besar.Neneknya yang sakit-sakitan bisa terguncang. Dulu, kakeknya juga meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar buruk, kebangkrutan usaha. Himpitan ekonomi membuat kakek neneknya dulu memiliki banyak utang kepada rentenir. Usaha warteg yang dijalankan neneknya gulung tikar. Kakeknya yang sudah lama pensiun dari kepolisian akhirnya meninggal. Tinggal Khaira seorang yang berjuang mencari nafkah.Sementara, putri bungsu kakek-neneknya yakni tant
Sejak perjodohan diputuskan, dan hari pernikahan ditetapkan, Khaira merasa sudah kehilangan nyawa. Dia tak lebih dari raga yang tidak punya jiwa. Mati dalam hidupnya. Dia layaknya mayat yang tak selayaknya punya keinginan. Hanya orang lain yang bisa memetakkan dirinya. Dengan pikiran seperti itu Khaira bernafas hingga hari pernikahannya tiba."Tidak ada lagi kehidupan ...."Kala riasan pengantin sudah terpasang, gaun sudah dikenakan, di dalam kamar, Khaira siap mengakhiri semuanya. Pisau cutter sudah dia genggam. Mata pisau sudah siap menyayat nadinya.Lantunan shalawat bergema di luar, menandakan kedatangan mempelai pria."Ampuni Khaira, ya Allah ...."Gadis itu memejamkan mata, menahan perih yang langsung terasa begitu mata pisau menembus lapisan kulit di pergelangan tangannya. Darah mengalir begitu juga air matanya.Suara-suara berisik di halaman dan tengah rumah perlahan meredup. Namun, sebelum Kesadarannya sempurna hilang, Khaira menden
Khair ingat, dia terbangun di sebuah ruang rawat rumah sakit tanpa seorang pun menungguinya. Pemuda itu langsung keluar kamar, menyusuri lorong pendek menuju pintu keluar. Namun, di tengah jalan dia mendapati kerumunan di mulut sebuah ruang perawatan.Khair mengenali orang-orang berpakaian indah khas hajatan itu. Dia melihat mereka di acara walimah. Ingatannya langsung tertuju kepada Khaira.“Kehabisan darah dia. Harus transfusi sepertinya .…”“Iya, kasian Khaira.”“Lalawora, bunuh diri sagala tuda (gegabah, pakai acara bunuh diri segala sih!)”Itu sebagaian percakapan yang Khair dengar dari mulut orang-orang yang berkerumun di sana. Dia beranikan diri membaur untuk mendekati pintu. Orang-orang seketika menyingkir saat menyadari kehadiran pemuda biang onar di walimah itu.Bisik-bisik tentang Khair yang tak dikenali, tentang Khaira yang bernasib malang, sampai tentang ibu mereka yang disebut-se
“Kamu enggak ke masjid?” Itu yang ditanyakan pertama kali oleh Khaira saat dia bangun menjelang subuh. Gadis itu keluar kamar seolah tidak terjadi apa-apa. Semua air mata dan kemarahan tentang Guntur dan buku harian yang dia bakar sebelumnya, seolah sirna.“Teteh enggak apa-apa?” tanya Khair dalam nada campuran anatar heran dan ragu.“Menurut kamu?” Khaira memang selalu bikin Khair greget. Semalam adiknya itu tak bisa tidur karena mengkhawatirkan kondisinya, eh … setelah terbangun, orang yang dikhawatirkan itu justru terlihat biasa saja.“Asli, Teteh baik-baik aja?” tanya Khair lebih seperti meyakinkan diri sendiri.“Memang kamu mau Teteh kayak kemarin lagi?” Khaira membalikan pertanyaan.Khair menghembuskan nafas panjang. “Syukurlah kalau Teteh enggak apa-apa mah ….” Setidaknya, itu berarti dia tidak perlu membawa Khaira memeriksakan diri ke Psikiater.&ld
Ketika kakak beradik itu bermunajat, nun jauh di sebuah kamar, di gedung apartemen yang memayungi rumah mungil Khair dan Khaira, seseorang juga menghamparkan sajadahnya, memohon petunjuk agar diberikan ketetapan hati atas pilihan-pilihan yang dihadadapkan kepadanya.Setelah seharian beraktivitas, lelah tak juga membuat lelaki itu tertidur lelap. Dihampirinya laci meja di sisi tempat tidurnya. Sebuah buku bernuansa vintage, bersampul kulit warna cream agak lusuh ada di dalamnya bersama lembaran-lembaran sketsa. Dibukanya laci itu. Diraihnya buku tadi.Malam itu dia bertekad mengkhatamkan isinya untuk mencari tahu siapa pemiliknya.Di halaman pertama buku harian klasik bersampul kulit warna cream yang sudah agak lusuh itu tertulis:Dear diary,Aku selalu penasaran, mengapa rasa sayang mama dan papa membuat hidupku sesak dan tertekan. Aku merasa tak pernah bisa berdiri di atas sepatuku sendiri.Di usia 18, aku sudah bekerj
Lewat kehadiran Aa sebuah rahasia mau tidak mau jadi terungkap. Meski kehadiran Aa sebagai suamiku tak direstui, aku tidak peduli. Toh, nyatanya hanya dia yang menerimaku tanpa cela. Hanya dia yang senyatanya memberiku identitas sejati dalam keluarga yang kami bangun kini.Aa yang seorang perantau dari jiran dianggap tak akan mampu menjamin hidupku dengan layak. Statusnya sebagai pekerja kontrak dan kewarganegaraannya, kerap dijadikan alasan untuk menolak kehadirannya menjadi menantu di keluargaku yang selalu memposisikan diri sebagai keluarga terhormat. Padahal, bukan itu alasan penolakan mereka yang sesungguhnya. Papa memang pernah menjadi orang yang disegani waktu menjabat sebagai polisi. Namun, apalah arti kesombongan terhadap pangkat dan jabatan. Toh setelah pensiun dan sakit-sakitan, untuk bernafas saja dia kadang memerlukan selang dan tabung oksigen. Hanya saja di kala sudah sehat lagi, bentakan dan teriakan tetap jadi senjata andalannya u
Dear diary,Entah ini surat atau curhat, aku hanya ingin meninggalkan jejak untuk seseorang kelak. Seseorang yang pernah bergelung di rahimkudan telah terlahir ke dunia menjadi anakku. Kutulis ini didorong kekhawatiran terbesarku tentang masa depannya. Suatu hari dia akan hidup dan menghadapi dunianya sendiri. Jauh sebelum itu terjadi, aku ingin menjaga dan memastikan semuanya baik-baik saja kelak. Jika aku terlanjur tiada sebelum dapat kembali melihat senyumnya, aku harap dia tahu bahwa aku selalu ada. Tidak pernah meninggalkannya. Tidak pernah pergi sejengkal pun dari hidupnya.Aku ingin dia bisa hidup dengan baik, tumbuh dengan ceria, dan jadi anak yang bahagia dengan atau tanpa aku di sisinya. Dia adalah wasiatku. Kutitipkan dia hanya kepada Yang Maha Kuasa, Yang menciptakan aku dan dia, Yang mengikatkan pertalian darah kami berdua, Yang menjamin hidup dan mati, Yang Maha mengetahui, Yang Maha Pengasih dan Mah
Waktu bergulir. Kesibukan membelit hingga kadang beberapa persoalan terbengkalai. Namun, hari-hari terus berjalan.Di sebuah ruang rapat yang luas, Ahsan duduk di kursi utama sebagai pemimpin rapat. Gawainya yang tergeletak di atas meja, menyala tanpa suara. Di layar tampak notifikasi dari grup Whatsapp Prodi PAI. Ahsan yang tengah menyimak presentasi salah satu staf-nya mengambil jeda sesaat untuk membaca pesan masuk tersebut.“Rapat prodi dipercepat satu jam. Kita mulai jam 09.30 WIB.” Demikian isi pesan di grup khusus dosen dan staf prodi PAI di kampus tempat Ahsan mengabdi.Dia menghela nafas. Bentrok jadwal rapat kantor dan rapat kampus yang paling dia hindari akhirnya terjadi. Siapa sangka pihak prodi mempercepat agenda rapat untuk menindaklanjuti kosongnya posisi kaprodi seklaigus dosen pembimbing skripsi beberapa mahasiswa tingkat akhir yang ditinggalkan almarhum ustaz Rofiq.Tak lama berpikir, Ahsan membuka suara begitu staf kan