"ANJING! MATI KAU SIALAN!"
Sebuah pisau lipat diacungkan tepat di depan muka Bandit. Sedikit lagi ujung pisau yang tajam itu akan menembus bola matanya.
Seorang pria berbadan dua kali lebih besar darinya menindih dengan sekuat tenaga. Hidung besarnya berkerut-kerut menandakan dia sudah mencapai batas kekuatannya.
Bandit mengamati bagaimana lawan yang sedang berada di atasnya itu terengah-engah. Tujuannya hanya terfokus untuk menusuk salah satu bagian tubuh Bandit, tapi lupa mengunci kekuatannya.
Maka Bandit mengapit badan orang itu, menjepitnya dengan kuat sampai pria itu mengerang kesakitan lalu membalik tubuhnya.
"BANGSAT! SETAN SIALAN! LEPASKAN AKU!"
Laki-laki yang kulitnya lebih cerah dibanding Bandit itu tengkurap di atas lantai penjara yang berdebu dan berkarat. Kedua tangannya terpelintir ke belakang. Kekuatan dan pergerakannya dikunci dengan mudah oleh Bandit.
"LEPASKAN, ANAK JALANG! ORANG RENDAHAN YANG LAHIR DARI PEREMPUAN JALANG SEPERTI IBUMU TAK PANTAS MENYENTUHKU!"
Rahang Bandit semakin mengeras. Otot-otot wajahnya menyembul. Dengan sekali embusan napas kasar, ia menekan kepala pria itu dan membantingnya ke lantai. Ia yakin, wajah orang itu sudah bonyok.
Tiga orang yang berada satu sel dengannya tak berani melerai. Wajah mereka ketakutan, beringsut ke sudut sel dan menjauh sepenuhnya dari perkelahian yang berbahaya itu.
Sedangkan di luar sana menjadi gaduh. Suara-suara penuh semangat tahanan dari sel lain mengiringi pukulan membabi buta Bandit pada kepala orang itu.
"LANJUTKAN! HAJAR! AKU BERTARUH UNTUKMU!"
"AKU BERTARUH TIGA KALI LIPAT!"
"HEY, IDIOT! MEMANGNYA KAU PUNYA UANG DI SINI?!"
Bandit terus memukul. Napasnya berhenti dan ia hanya menyerang sesuai insting liarnya, seolah korban yang berada di bawahnya adalah batu yang tak akan mati jika dia menghajar tanpa kendali.
"SIKAT! BUAT MAMPUS SEKALIAN!"
Kulit cokelat Bandit basah karena keringat. Hanya melihat badan yang penuh otot itu akan membuat siapa saja beringsut ketakutan, ditambah dengan geraman murka serta pukulan yang tak henti melesat menghancurkan kepala pria di bawahnya.
"WOHOOO! BUNUHHHH!!!!!"
"BIKIN DIA CACAT, JAGOAN!"
Seruan-seruan brutal itu seolah menjadi bensin yang menggerakkan seluruh kekuatan Bandit untuk menghajar lebih keras lagi. Kepalan tangannya sudah dipenuhi dengan darah. Di matanya ada kilat membunuh yang menyeramkan.
Ia mengangkat tubuh pria gempal itu dengan satu tangan, terlihat begitu enteng baginya. Lalu dihempaskannya ke dinding sel, berkali-kali sampai pria itu tak lagi terdengar bernapas.
"HEH! APA-APAAN INI?!" Seorang petugas berseragam membelalak ketika melihat pemandangan penuh darah itu. Kendati pupilnya bergetar ia tetap berusaha mengeraskan wajah untuk menghentikan perkelahian sepihak itu.
Pandangan Bandit tajam menyapu sang petugas. Tubuh dalam genggamannya ia banting ke lantai secara kasar. Punggung tangannya dihiasi oleh darah serta dadanya yang telanjang dipenuhi dengan keringat.
Pintu sel itu terbuka. Sang petugas yang sepertinya sudah mencapai setengah baya itu berkacak pinggang dengan sangar.
"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?! INI SEL PENJARA BUKAN ARENA TINJU!"
Tak ada yang berani menjawab. Kewibawaan sang petugas di depan mereka yang sudah susah payah menelan semua kengeriannya kalah jauh dengan aura membunuh yang menguar dari tubuh Bandit. Ditambah dengan tampilan mengerikannya.
Rambut panjang yang menjuntai di sekitar dahinya semakin menambah intensitas kebengisan tatapan lelaki itu. Cambang dan bulu-bulu yang berjejeran serampangan di rahangnya membuat tampang Bandit semakin sangar. Ditambah dengan tubuh setengah telanjang, otot-otot yang menyembul dan kulit gelap yang berkeringat.
Lengkap sudah. Seolah mereka tengah melihat seekor beruang jantan yang akan menelan mangsa yang sudah dia cabik-cabik dengan cakar dan taringnya.
"Kau membuat ulah lagi. Lagi-lagi aku harus menghadapi kelakuan bejatmu di sini!"
Bandit tak bereaksi. Ia tetap berdiri kokoh. Dadanya kembang kempis. Keseluruhan tubuhnya yang diselimuti oleh otot-otot yang menyeramkan membuat si petugas menelan ludah, sedikit gugup. Namun, berusaha cepat menguasai situasi.
"Kau lihat dia?" Sang petugas menurunkan jari untuk menunjuk korban Bandit yang sudah tergeletak hampir kehilangan nyawa. "Kau hampir membunuhnya! Hari ini kau keluar dari sini. Jika dia betul-betul mati maka masa hukumanmu akan ditambahkan. Kau mau berada di tempat ini selamanya?!"
Halo, ini author Mustacis. Terima kasih sudah mengikuti dan mendukung Izora dan Bandit. Jangan sungkan untuk kasih masukan yang berarti supaya aku bisa terus memperbaiki tulisan aku dan mempersembahkan yang terbaik untuk kalian 😘 Cerita Pembunuh Suamiku adalah tantangan kedua yang aku berikan kepada diri sendiri setelah 'Tertawan Dua Suami' juga tamat. Semoga kalian bisa terhibur, ada sedikit pelajaran yang bisa diambil dan puas dengan cerita ini. Kalau kalian suka dengan cerita-cerita aku, kalian bisa pantengi akun F4ceb00k aku: Mustacis Kim untuk dapet info-info seputar cerita aku. Terima kasih banyak. Jangan lupa masukkan komentar yang banyak supaya cerita ini bisa masuk di beranda promosi dan Izora-Bandit bisa semakin dikenal banyak pembaca 🙏🏻 Sampai jumpa di karya-karya aku selanjutnya ❤️❤️
“Dia sudah tidur?”Bandit mengintip dari balik bahu Izora, pada Ciara yang sudah telentang nyenyak. Kedua tangan kecilnya mengepal di sisi kepala dan napasnya berembus hangat dengan teratur.Sedang Izora menyangga kepala dengan sebelah tangan dan tangan yang lain masih menepuk pelan paha Ciara. Ia menoleh sebentar kepada Bandit.“Dia baru saja tidur,” bisiknya.Bandit mengangguk lalu menyandarkan dagunya pada lengan Izora. Menatap pemandangan Ciara yang tertidur damai tidak punya beban dan ketakutan apa pun.“Dia sangat menggemaskan.”Izora menyetujui dengan senyuman. Entah sejak kapan dia seringkali tersenyum konyol, tapi saat ini pikirannya sama dengan pikiran sang suami.Suami.Dulu dia membenci kata itu, sekarang ia menyanjungnya. Menghitung berapa banyak istri yang bahagia di dunia ini seperti dirinya.Bisakah ia sebut ini sebagai keluarga?Keluarga
Bhanu mengamati dua pusara yang berbaris rapi itu dengan nanar. Padahal baru satu minggu yang lalu dia datang ke sini dan dia harus datang lagi hari ini.Ia menarik napas dalam, merasa déjà vu melihat dua makam yang berdampingan itu. Segalanya berakhir tragis. Hidup sang tuan yang diperjuangkan selama dua tahun akhirnya menemui ajal.Mungkin inilah hukuman yang selalu ditunggu-tunggu sang nyonya. Bhanu merasa sangat sayang. Padahal mereka semua bisa hidup dengan baik.Rumput-rumput di bawah kakinya menyusut ketika ia melangkah meninggalkan area pemakaman yang sudah sepi. Di dalam kepalanya ia masih mengingat pusara yang bertuliskan nama Darius Farzan dan Raline Maharani yang baru saja dia tinggalkan.Ia masuk mobil, bukan lagi milik Farzan. sudah sejak lama Bhanu tidak memakai lagi fasilitas Farzan. Ia sendirian sekarang, tak ada pengawal lain atau bawahan yang bisa ia komando.Bersama dengan sang pemimpin keluarga yang ti
Izora baru saja hendak tidur ketika ponselnya bergetar di atas nakas. Nama Serina muncul di layar panggilan. Diamatinya sang suami yang tertidur pulas tanpa baju di sampingnya sambil memeluk Ciara, putri yang mereka rawat sejak kemarin malam.Namanya mirip dengan nama Ibu. Tiara. Karena Izora merindukannya. Ia merindukan sang ibu yang tak pernah lagi ia temui sejak dua tahun lalu. Mereka hanya berbicara lewat telepon sesekali.Ayah dan Adnan sudah mengira Izora meninggal dan diliputi perasaan bersalah setiap hari. Usaha Ayah bangkrut dan tentu saja mereka harus pindah ke rumah yang lebih kecil.Rumah yang dibelikan Izora secara diam-diam.Ayah berhenti bekerja dan Adnan menjadi pegawai kantoran biasa. Kehidupan mereka normal, hanya perasaan bersalah itu yang terus menghantui mereka.Biarlah. Anggap sebagai pembalasan dendam.Ponselnya masih berdering dan gegas Izora mengangkatnya. “Ada apa, Serina? Ini sudah larut malam.&rd
SPECIAL BAB 2PUNYA ANAK?Malam ini terasa lengang. Suara ketikan keyboard Izora mendominasi kamar sebelum dia menyadari bahwa malam sudah larut dan Kayman belum pulang.Ia menutup laptopnya dan keluar kamar. Menuruni tangga menuju ruang tengah yang hawanya cukup dingin. Angin berembus masuk lewat celah ventilasi di atas jendela, menerbangkan gorden dan meniup rambut Izora.Izora tidak menunjukkan gestur kedinginan sedikit pun. Ini sudah menjadi makanan kesehariannya. Tinggal di vila yang Darius berikan, terletak di daerah yang tinggi dan dingin. Izora sudah terbiasa kedinginan.Kayman belum pulang dan tidak memberikan kabar apa pun, membuat Izora khawatir. Jangan sampai lelaki itu pulang dalam keadaan terluka seperti yang sudah-sudah.Semoga pekerjaannya malam ini berjalan lancar. Kayman memang biasa pulang terlambat jika ada tugas penting, tapi malam ini Izora lebih khawatir dari biasanya. Firasatnya buruk.Gaun tidu
Dua tahun kemudian. “Ah, Kayman …” Tautan jari-jemari itu kian menguat ketika lagi-lagi Izora menggaungkan nama Kayman ke seluruh sudut-sudut kamar. Napasnya yang berembus panas beradu dengan napas pria yang bergerak dengan lihai di atas tubuhnya. Lelaki itu menggila, wajahnya mengeras, keningnya mengernyit menikmati gulungan gairah yang menghantamnya tanpa ampun. Hari yang cerah itu terasa sangat panas, membuat dua tubuh yang telanjang di atas ranjang bermandikan peluh. Sudah sejak tadi dan tak ada siapa pun di antara mereka yang berniat menghentikan aktivitas yang meleburkan hasrat itu. Otot-otot Bandit terdenyut-denyut menggoda Izora. Kulit kecokelatannya basah dan mengalirkan tetesan keringat berbau jantan ke perut Izora. Dari bawah, Izora bisa melihat betapa indahnya lelaki itu. Dari ekor matanya, ia bisa melihat cahaya raja siang mulai memudar dan menyiarkan semburat berwarna oranye dari balik jendela kaca. Berarti hari sud