Kinan mengedarkan seluruh pandangannya, langit-langit kamar yang ia lihat sekarang bukan yang biasa ia lihat saat bangun tidur. Kinan meringis pelan, saat tiba-tiba rasa nyeri menyerang kepalanya.
"Apa kau sudah bangun?" tanya seseorang yang lantas membuat Kinan bangkit duduk dan melotot kaget.
"Kau—" Kinan tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia edarkan seluruh pandangannya ke sekeliling, ini bukan kamarnya. Lalu di mana kah, ia sekarang? Kinan memeluk dirinya sendiri, menatap pakaian yang ia pakai sekarang. Kaos abu-abu dan celana pendek. Ini bukan pakaiannya. "APA YANG KAU LAKUKAN PADAKU?!"
Noah merasa pengar mendengar suara cempreng wanita itu. Ia meletakkan segelas air putih di atas nakas, dengan helaan napas panjang ia berkata, "coba kau ingat lagi, apa yang terjadi pada dirimu."
Kinan terdiam, ingatan tentang kejadian semalam langsung menyelusup masuk ke dalam kepalanya. Ia hampir saja celaka, kalau Noah tidak datang dengan cepat. Kinan menoleh cepat ke arah Noah, matanya kembali melotot tajam. "Kau! Semua pria yang kau berikan tidak ada yang benar! Kau tahu, aku hampir dinodai!"
Noah sendiri juga tidak tahu akan seperti ini kejadiannya. "Maaf, aku akan berusaha untuk memberikan kandidat selanjutnya yang terbaik buatmu."
Tapi, Kinan masih trauma. Ia menekuk lututnya dan memeluknya erat. "Aku mau tidak berani menemui siapapun dulu."
"Aku mengerti, kita bisa menjedanya sementara."
Kinan menundukkan kepalanya, rasa takut itu kembali menyerangnya lagi. Kejadian puluhan tahun yang telah lama ia hilang, kini kembali berusaha datang dan mengikatnya lagi.
"Kau baik-baik saja?" tanya Noah yang semula berdiri kemudian duduk di tepi ranjang.
Kinan tidak menjawab, air matanya menetes perlahan dari sudut matanya. Alasan dirinya tidka ingin menikah bukankah sudah jelas? Lalu kenapa, orang-orang terus saja memaksanya untuk menikah.
"Kinan?"
"Aku baik-baik saja!" ketusnya cepat, lalu kemudian menangis keras. "Aku baik-baik saja, aku akan menuruti kata Ibuku. Aku bisa bertemu dengan pria selanjutnya hari ini."
Noah menghela napasnya berat, ia tidak tahu harus bersikap bagaimana sekarang. Ini juga menjadi kesalahannya, seharusnya ia lebih berhati-hati lagi dalam memilih yang terbaik untuk kliennya. "Aku akan memastikan hal ini tidak akan terulang lagi."
"Tapi sekarang aku ketakutan setengah mati!" Kinan tidak bisa menahan tangisnya. Pipinya terasa sulit digerakkan, kaku dan nyeri karena tamparan keras pria brengsek itu.
"Aku ada di sini, kau tak lagi perlu takut." Noah mencoba sebisanya.
"Ngomong-ngomong sekarang aku di mana?" tanya Kinan menatap curiga. "Lalu kenapa kau ada di sini?"
"Ini apartemenku, tadi malam aku membawamu ke sini." Noah tahu ini salah, membawa wanita itu tanpa izin ke apartemennya. Tapi, Noah tidak bisa begitu saja memulangkan Kinan. Ia akan diminta pertanggungjawaban dan Noah belum siap untuk kehilangan pekerjaannya.
Melihat Kinan yang tiba-tiba menjaga jarak dan memeluk dirinya sendiri membuat Noah bangkit berdiri. "Aku tidak melakukan apapun terhadapmu. Aku tidur di sana, tidak ada yang akan menyentuhmu."
Kinan tertegun, Noah orang yang baik. Pria itu benar-benar mengerjakan tugasnya. Melindungi dan menjaganya di sini. Kinan menghapus air matanya cepat, ia turun dari tempat tidur mengikuti Noah yang berjalan keluar dari kamar. "Terima kasih, maaf jika aku terlalu banyak merepotkanmu."
"Tidak apa-apa, aku telah dibayar untuk hal ini." Noah melangkah ke meja makan. Ia telah menyiapkan beberapa hindangan untuk sarapan wanita itu. "Duduklah, kau harus sarapan."
Kinan berbinar melihat menu makan di hadapannya, ini enak sekali. Ia langsung duduk dan meminta izin. "Aku—"
"Makanlah." Noah ikut duduk di hadapan wanita itu. Memperhatikan Kinan yang sangat antusias menaruh nasi dan ayam goreng yang ia buatkan tadi sebelum wanita itu bangun. "Nasinya mungkin tidak lagi panas, karena kau telat bangun."
Kinan tidak terlalu mempedulikan panas atau tidaknya. Ia hanya ingin makan dan meredakan rasa laparnya. Saat sedang mengunyah makanannya, ia melihat ke arah Noah yang juga ikut menaruh nasi. "Kau juga belum sarapan?"
Noah menggeleng pelan. "Menunggumu."
Kinan tidak lagi bersuara, kini hanya suara sendok yang menemani sarapan pagi keduanya dan bola mata yang sesekali melihat satu sama lain sampai setelah Kinan selesai menghabiskan sarapannya ia bersuara lagi, bertanya pertanyaan yang sudah ia simpan sejak tadi. "Apa kau tinggal sendiri?"
"Ya."
"Lalu kenapa kau membawaku ke sini?"
"Aku tidak punya tempat lain, karena jika aku membawamu pulang ke rumah. Aku akan kehilangan pekerjaanku." Noah masih menghabiskan sarapannya saat ia menjelaskan hal tersebut.
Kinan bisa mengerti. Kasihan juga pria itu, tinggal sendiri di sini dan jika ia kehilangan pekerjaannya. Mungkin ia tidak lagi bisa mengirim uang ke orang tuanya. "Jadi aku akan terus tinggal di sini?"
Noah menoleh, tidak jadi memasukkan suapan terakhir itu ke dalam mulutnya. "Tidak, kau akan pulang."
"Kapan?"
"Mungkin besok, jika memar di pipimu telah pulih."
Kinan tiba-tiba saja teringat Ibunya. Bagaimana menjelaskan semua ini, tidak mungkin ia menjelaskan kejadian ini pada Ibunya. "Lalu bagaimana aku menjelaskan pada ibuku?"
"Tidak usah khawatir, aku telah mengabarinya." Noah telah selesai dengan sarapannya.
"Apa yang kau katakan?" tanya Kinan lagi, penasaran.
"Aku bilang kau menginap di tempatku beberapa hari karena kau ingin." Noah bangkit berdiri, pria itu membawa piring kotor tersebut untuk ia cuci.
"Apa kau sudah gila?" Kinan ikut bangkit, ia tidak habis pikir dengan apa yang baru saja Noah katakan. Mengatakan ibunya bahwa ia menginginkan untuk tinggal di sini? Yang benar saja, itu gila.
"Tapi ibumu mengizinkannya."
"Bagaimana bisa?"
Noah menyungging senyum tipis. "Mungkin ibumu percaya padaku, kalau aku ini orang baik dan dia telah membayarku."
Tidak masuk akal, Kinan tidak bisa percaya apa Noah sudah gila?
"Kau sunggu ingin menemui pria selanjutnya hari ini?" tanya Noah sembari menggosok piring menggunakan spons penuh busa di tangannya.
"Tidak, aku masih takut jika kejadian itu terulang lagi." Kinan menyenderkan dirinya di meja. "Bagaimana jika sampai terjadi dan kau tidak ada di sana."
"Aku akan ada di sana, sampai pekerjaanku selesai," katanya masih fokus pada piring-piring yang ia cuci.
Kinan menatap pria itu sebentar, ia jadi penasaran dengan suatu hal. "Kenapa kau begitu mencintai pekerjaanmu?"
Noah mulai membilas satu persatu piring yang telah ia sabuni. "Karena ia memberiku banyak uang."
"Apa kau menikmati uang-uang itu sendiri?"
"Tidak, aku mengirimnya ke keluargaku."
Sudah Kinan duga, sepertinya Noah adalah seorang kepala keluarga bagi ibu dan adiknya. Jika dilihat, Noah adalah anak pertama di keluarganya. "Sudah berapa banyak pasangan yang berhasil kau satukan?"
Noah berpikir sebentar, piring-piring itu sudah habis ia cuci. "Mungkin, kurang lebih seratus lebih."
"Wah, kau sekaya itu rupanya." Kinan tidak bisa menghitung berapa jumlah uang yang telah Noah dapatkan dari bekerja sebagai biro jodoh. Apalagi, ia adalah yang terbaik. Biayanya pasti yang paling tertinggi dari yang lain. Kalau dilihat-lihat lagi, pria itu terlihat tidak cocok dengan pekerjaannya. Tubuh atletis dan rahang tegas yang ia punya membuatnya cocok sebagai seseorang yang memiliki sebuah perusahaan besar.
"Yang kau butuhkan hanyalah kerja keras."
"Tunggu." Sebuah pertanyaan tiba-tiba terlintas di pikiran Kinan. "Apa aku juga bisa menjadi anggota biro jodoh?"
Pertanyaan itu sukses membuat Noah membalikkan tubuhnya dan melipat tangannya di dada. "Apa yang kau inginkan?"
"Aku ingin menjadi anggota biro jodoh agar aku bisa menghindar dari pernikahan."
~•~
TBC
Kinan terpaku menatap dirinya di depan cermin, di tubuhnya sudah melekat sempurna gaun pengantin brokat bewarna putih dengan model sabrina berlengan panjang. Lekuk tubuhnya sangat sempurna, dengan gaun tersebut. Rambutnya yang ditata sedemikian rupa dengan sebuah mahkota di atasnya menjadikan Kinan tidak mengenali dirinya sendiri.Ternyata begini rasanya memakai gaun pengantin, tampak biasa saja. Ia tidak terlalu menyukainya, untung saja gaun pengantin tersebut tidak berat dan panjangnya hanya sampai mata kaki. "Lalu sekarang apa lagi?" tanya Kinan sudah sangat kesal. Hampir satu jam lamanya orang-orang di sana meriasnya. Ia pun melangkah keluar dari ruangan tersebut dan bertemu dengan Ferdinand."Ayo kemarilah cepat!" kata Ferdinand berdiri di depan salah satu ruangan, yang letaknya bersebelahan dengan ruangan tempatnya berada tadi.Kinan melangkah masuk, di sana ia bisa melihat Noah sudah menunggunya dengan setelan jas bewarna hitam lengkap dengan
Sudah hampir 3 minggu berlalu, Kinan sudah mulai bisa berjalan kembali meski tidak bisa terlalu sering dan memakai heels. Sudah dari 2 pekan yang lalu ia kembali ke rumahnya, saat Ibu dan Andini menjemputnya pulang dari apartement Noah setelah mengetahui bahwa kakinya sakit.Semenjak itu, ibu kerap kali datang ke apartement Noah untuk memberinya banyak makanan padahal ibu tahu jika pria itu pandai memasak. Tapi, ibu bersikeras dan mengatakan kalau Noah bisa saja tidak punya waktu untuk memasak. Lagi pula katanya ini sebagai rasa terima kasih ibu karena sudah merawat dirinya. Ibu memang terlalu berlebihan."Sekarang kau akan kemana?" tanya Andini melihat Kinan sudah rapi dengan celana jeans dan kemeja polosnya.Kinan menoleh sekilas dan kembali menata rambutnya yang ia biarkan tergerai. Hari ini ia akan memakai sneaker saja, untuk menghindari kakinya terasa sakit lagi. "Aku masih harus menemui 3 pria lagi, agar aku bisa seg
Mata Kinan kembali melebar, tetapi kini dihiasi dengan kerutan pada dahinya. Rasa malu itu kini kembali menjalar, hingga membuat kedua pipi Kinan terasa panas. Ah, Noah memang tidak bisa ditebak. Ada apa dengannya, kenapa pria itu sampai menawarkan untuk tidur bersama lagi?"Kalian telah tidur bersama?" tanya Rey, nada bicaranya jelas terlihat bahwa ia terkejut."Ya." Kinan menoleh, tetapi kemudian ia menyadari jawabannya. "Tidak, ma-ksudku."Rey melihat ke arah Noah, keduanya beradu pandang. Tatapan tajam Rey lebih terlihat seperti sebuah peringatan keras. "Kuharap kau tidak lupa Noah.""Bagaimana jika aku ingin?" tanya Noah seolah menantang.Bibir Rey membentuk garis tipis. "Kau tahu kau tidak bisa melakukannya."Kinan menatap kedua orang kakak beradik itu bingung, ia tidak tahu apa yang tengah mereka bicarakan. Ketika Kinan melihat ke arah Noah, ia bisa melihat kekesalan tergambar sangat jelas di sana."Ya,
Noah terdiam, hentakan saat memotong wortel tak lagi terdengar. Ucapan Kinan mengacaukan seluruh pikirannya, terlebih sesuatu yang bergemuruh di dadanya. Noah berkedip, ia kembali melanjutkan. "Tentu," ujarnya singkat."Kalau begitu, aku harus segera menemukan orang itu." Kinan akan bertekad, ia harus membahagiakan orang-orang di sekitarnya termasuk pria itu. Noah pasti akan sangat senang, pekerjaan dengannya yang super merepotkan juga akan selesai. Jadi pria itu tidak lagi harus mengurusinya yang memang cukup melelahkan. "Aku berhutang banyak padamu, jadi aku tidak akan melupakanmu."Noah mencoba untuk terkecoh, meski pikirannya begitu berantakan. Ia sekarang melanjutkan ke sayuran yang lain, memotongnya hingga semuanya siap untuk di masak."Setelah kakiku sembuh, aku akan menemui pria yang tersisa sehingga aku bisa segera melepas bebanmu.""Kau sama sekali bukan beban bagiku."Kinan menoleh, dilihatnya Noah yang telah berbalik. Keduanya men
"Noah."Noah tersentak dalam tidurnya saat mendengar suara lirihan Kinan. Ia menenggakkan kepala serta tubuhnya dari kursi yang telah menahannya saat tidak sengaja tertidur tadi. Noah menatap tangannya yang masih di genggaman wanita itu dan bertanya, "iya, ada apa?""Tidurlah, kau juga butuh istirahat," kata Kinan seraya menarik pelan tangannya dari genggaman pria itu."Aku sudah tidur." Noah sengaja mengambil salah satu kursi meja makan dan membawanya ke kamar agar ia bisa tetap menjaga wanita itu dalam tidurnya."Tubuhmu bisa sakit nanti, tidurlah di sofa." Kinan merasa bersalah setelah melihat bagaimana Noah menjaganya dalam tidur. Ia telah banyak menyusahkan pria itu. "Ah, sofa juga buruk. Aku telah banyak menyusahkanmu."Noah mengambil beberapa helai tisu yang sudah ia taruh di atas nakas. "Ini adalah tanggung jawabku karena telah membuatmu sakit," katanya seraya menghapus keringat ya
Kinan mengernyit saat melihat Noah mendekatkan sesendok bubur ke dekat mulutnya. "Aku bisa memakannya sendiri," tolak Kinan seraya mengambil sendok di tangan Noah dan memasukkannya ke dalam mulutnya."Bagaimana rasanya?" tanya Noah, karena ia benar-benar ragu dengan rasa bubur buatannya itu. "Aku jarang membuat bubur, jadi aku pikir aku tidak akan membuatnya dengan enak.""Ini enak, aku menyukainya." Kinan tersenyum sekilas sebelum kembali menyuapi bubur itu ke mulutnya. "Terima kasih."Tangan Noah refleks menyentuh puncak kepala Kinan dan mengusapnya pelan. "Sama-sama," kata Noah lalu tiba-tiba terdiam saat pandangan keduanya bertemu.Noah buru-buru menjauhkan tangannya, ia sungguh melakukannya dengan spontan hingga ia tidak menyadarinya. "Maaf, aku tidak sengaja."Tanpa Noah ketahui, jauh di dalam sana Kinan hampir terlempar dari bumi. Kinan berusaha untuk menyamarkannya ekspresi k
Kinan bergeming, keduanya saling pandang. Perlahan senyumnya kecilnya terbit, ia melirik ke arah Noah yang juga ikut memandanginya. Sepertinya Noah tidak masalah, jika kakaknya yang tampan itu masuk ke dalam kandidat pria yang akan ia kencani. "Kupikir Noah setuju, jadi ya tentu.""Kapan aku mengatakan setuju?" tanya Noah. Ia belum mengatakan sepatah katamu sejak beberapa detik yang lalu, lalu dari mana wanita itu bisa menyimpulkan bahwa Noah setuju."Ah, ayolah. Kau juga harus membiarkan aku berkencan," kata Rey membuat perhatian Noah teralih. "Aku juga ingin menikah.""Tapi, wanita itu tidak," ucap Noah spontan. Rey sempat terdiam beberapa saat, memandangi Kinan dan Noah secara bergantian dengan wajah bingung."Aku tidak sedang mengajaknya menikah." Rey mencoba meluruskan, ia sedang mengajak wanita yang terbaring di sana untuk berkencan dengannya karena ia merasa tertarik. "Aku hanya mengajaknya berkencan, apa hal itu salah?""Tidak ada gunanya."
Kinan sudah terbaring di atas tempat tidur, ia melihat ke arah pria itu sinis. Tapi, kaki kanannya yang terasa nyeri bukan main membuatnya langsung meringis pelan. "Bagaimana aku bisa berjalan, kalau seperti ini." "Bukankah sudah kukatakan kau menginap saja di sini?" Noah duduk di atas ranjang, di ujung kaki Kinan. "Lihat kakimu semakin parah." Kinan mendengus kesal, lebih baik ia tidur saja sekarang dan berharap kakinya bisa segera sembuh besok. "Aku ingin tidur saja, keluarlah!" Noah mengembuskan napasnya panjang, ia bangkit dan menarik selimut untuk menutupi tubuh wanita itu. "Kalau kau butuh sesuatu, bisa panggil aku." "Aku haus," kata Kinan serak. "Sebentar, akan aku ambilkan." Noah beranjak keluar dari kamar dan menuju ke dapur. Ia menuangkan segelas air putih lalu kembali masuk ke dalam kamar. "Ini." "Terima kasih." Kinan duduk bersandar, lalu kemudian mengambil gelas tersebut dan menegak air putih tersebut hingga tinggal
Noah telah sampai di apartemennya, saat melangkah masuk ia langsung disambut oleh senyum hangat Kinan yang tampak sedang melakukan sesuatu di dapur. Noah mengernyit, ia melepas sepatunya dan beranjak mendekat. "Apa kakimu sudah sembuh?""Sudah agak mendingan," jawab Kinan kemudian menunjukkan sop buntut yang baru saja selesai ia panaskan. "Kau pasti lapar, aku sudah menyiapkan makan malam."Noah kembali mengernyit, ia melihat beberapa hidangan telah tersusun di meja makan. "Kau memasak semua ini?""Tidak." Kinan berjalan tertatih ke arah meja makan dan menaruh mangkuk berisi sup di tangannya ke atas meja. "Tadi Ibu datang kemari, katanya ia memasak banyak hari ini.""Ibu datang kemari?" Wajah Noah sedikit terkejut."Maaf jika aku tak meminta izin terlebih dulu padamu karena mengizinkan Ibu dan Andin masuk ke apartemenmu," ucap Kinan merasa tidak enak karena ia membiarkan keluarganya begitu saja ke apartemen milik orang lain."Ah