Kinan tidak tahu maksud pria yang akan ia temui malam ini, Kinan tidak mengerti kenapa ia harus berpakaian seperti ini?
Midi dress hitam polos telah melekat di tubuhnya. Sepatu boot warna senada juga telah terpasang di kaki jenjangnya. "Bertemu di apartemen saja harus berpakaian warna hitam, seperti hendak ke pemakaman saja."
Kinan membaca kembali daftar yang harus ia kenakan pada kertas di tangannya. Kinan sedikit terkejut, membaca daftar paling akhir di sana. Apa? Membawa pakaian ganti? Apa maksudnya ini? Tidak, Kinan tidak ingin permintaan pria yang bahkan belum ia temui itu. Lagi pula kenapa juga ia harus menurutinya. Setelah menatap pantulan dirinya sekali lagi ke cermin, Kinan pun bergegas keluar dari kamarnya dan dengan cepat menuruni anak tangga. "Aku akan pergi."
Senyum Ibu mengembang sekali malam ini, Kinan tahu Ibu sangat bahagia melihat anaknya bisa keluar di malam hari karena biasanya Kinan akan mendekam di kamar kumuhnya. "Hati-hati ya nak, Ibu udah nyuruh Noah jaga kamu."
Kenapa juga pria itu harus menjaganya? Apa jangan-jangan ibu juga membayar biaya tambahan untum pria itu agar menjaga dan mengantar jemputnya?
"Bu—"
Belum sempat Kinan hendak protes, sang Ibu langsung memotong ucapan Kinan. "Nak Noah, sudah menunggu. Jangan biarkan dia menunggumu terlalu lama," katanya seraya mendorong Kinan untuk segera keluar dari rumah.
"Iya Bu." Kinan berjalan cepat keluar dari rumah. Mobil sedan hitam itu sudah terparkir sempurna di pelataran rumahnya.
"Kau telah membuang waktuku sebanyak 10 menit. Seharusnya aku mendapat biaya tambahan untuk ini." Noah membuka pintu mobilnya, ia sendiri baru menyadari jika keduanya kini berbicara tak lagi dengan formal.
"Kau ini memang mata duitan ya!" Kinan mendengus kesal, lalu kemudian masuk ke dalam mobil.
Kinan merasa sedikit tidka nyaman dengan baju ini, padahal miliknya sendiri. Mungkin karena terlalu pendek, hingga secara keseluruhan memperlihatkan kaki jenjangnya. Terlebih ia hanya akan bertemu dengan pria beranak Darren itu di apartemen. Terlalu norak, jika ia memakai pakaian seperti ini. "Apa kau yakin pria itu tidak aneh?" tanyanya sesaat setelah Noah ikut masuk ke dalam mobil.
"Memangnya kenapa?" tanya Noah. Ia memasang sabuk pengamannya.
"Entahlah, hanya firasatku." Kinan tidak tahu, pikirannya merasa aneh ketika membayangkan pria itu sengaja menyuruhnya memakai pakaian sangat terbuka seperti ini.
Mobil sedan itu melaju cepat, membelah jalan raya yang masih dipadati ratusan kendaraan. Sedikit berbeda, Noah tidak lagi dengan jas hitamnya. Pria itu hanya memakai celana kain bewarna putih dengan kaos oversized coklat susu. Kinan yang melihat penampilan pria itu, tergerak ingin bertanya. "Apakah jam kerjamu sudah habis?"
Noah menoleh sebentar, kemudian ia mengangguk. "Ya, sudah habis sejak satu jam yang lalu."
Kinan hanya bergumam, pandangannya kini beralih ke arah kaca mobil. Lampu-lampu kota bisa ia lihat terangnya satu persatu. Tanpa sadar Kinan tersenyum kecil, sudah lama ia tidak keluar malam untuk melihat kelap-kelip lampu kota.
Noah yang semula fokus mengendarai mobilnya, sesekali mencuri kesempatan untuk melihat wanita itu. Cantik, itulah hal pertama yang Noah katakan saat melihat wanita itu untuk pertama kalinya.
Setelah berkendara sekitar 20 menit, akhirnya keduanya sampai. Kinan masih terdiam di tempatnya, matanya melihat ke arah gedung apartemen luar biasa besar itu.
"Dia sudah menunggu di dalam," kata Noah setelah mendapat pesan dari kliennya tersebut.
Kinan membuang napasnya gusar, ia akan masuk ke dalam sana sendirian? Kenapa mendadak Kinan merasa takut. "Kau akan menunggu di mana?"
"Di sini," sahut Noah.
"Tidak bisa kah kau ikut masuk?" tanya Kinan, lebih seperti sebuah permohonan. Meski usianya hampir memasuki kepala 3, tetapi nyari Kinan kasih seperti gadis remaja. Kinan sebelumnya tidak pernah menemui seorang pria langsung di kediamannya seperti itu.
"Saya hanya bisa mengantarkan dan menunggumu di sini."
Kinan membuang napasnya berat, tidak ada pilihan lain. Kinan harus tetap masuk dan hanya 1 jam. Tidak lama, hanya demi ibunya. Kinan membuka sabuk pengaman yang masih terpasang di tubuhnya dan keluar tanpa mengucap apapun lagi ia langsung melangkah masuk ke dalam gedung apartemen itu.
Kinan masih berusaha menurunkan sedikit dress-nya, ia tidak nyaman dengan bagian pahanya yang terpampang dan ini dingin.
Menaiki lift, Kinan diantarkan ke lantai 20. Wanita itu masih berusaha untuk tidak gugup. Kinan telah sampai, ia berdiri tepat di depan pintu yang tertera nomor 222. Belum sempat Kinan memencet bel, tiba-tiba pintu di depannya telah terbuka.
Kinan sempat tersentak pelan dan menjauhkan dirinya. Seorang pria dengan hanya menggunakan celana boxer dan tanpa pakaian?
"Akhinya kau datang sayang, aku telah lama menunggu." Wajahnya menyeringai lebar, persis seperti sosok penjahat di film horror. "Lihatlah, kau mengenakan pakaian yang Kusuka, kau begitu cantik dan ... sexy."
Kinan melangkah masuk, ia menjaga jarak untuk antisipasi. Matanya menelusuri setiap sudut ruangan itu, cukup luas dan penuh furniture tidak berguna di dalamnya. Seperti meja kerja yang ditaruh di setiap ruangan. Cukup aneh, bagi Kinan. Saat ia hendak duduk, pria itu tiba-tiba melarangnya dan menyuruhnya untuk ikut masuk ke dalam sebuah ruangan yaitu kamar tidur.
"Kita akan berbicara di kamar tidur?" Kinan sudah mengambil ancang-ancang jika pria itu ingin berbuat macam-macam.
"Ya, kita akan mengobrol dan memasak," katanya seraya membuka pintu kamar tersebut dan terlihatlah sebuah ruangan yang lengkap dengan sebuah tempat tidur king size dan dapur? Hah? Mengapa ada dapur di sini?
Darren berjalan mendahului Kinan, ia mendekat ke arah dapur yang hanya terhalang sebuah meja. "Aku sangat suka memasam, kau sendiri sudah tau kalau aku ini adalah seorang koki."
Kinan masih belum mengerti, lalu kenapa ada tempat tidur di sini? Apa memasak sambil tidur?
Darren berjalan mendekati kasur. "Setelah masak, biasanya aku lelah dan langsung tidur."
Kinan tidak mampu menahan keterkejutannya, bukankah ia masih bisa tidur meski dapur terletak di luar kamar tidur?
"Oh iya." Darren menarik Kinan untuk ikut bersamanya ke dapur. "Apa kau bisa memasak?"
"Sedikit."
"Kalau begitu, akan aku ajarkan."
Kalau pria itu ingin mengajarkannya masakan, lalu untuk apa pria itu menyuruhnya memakan gaun seperti hendak datang ke sebuah acara.
"Ayo, pakai ini." Darren memberikannya sebuah celemek berwarna merah muda dan memaksa membantu memakaikannya ke tubuh Kinan meski wanita itu telah menolak.
Satu yang Kinan sudah tau pasti, Darren adalah tipe seorang pemaksa. "Lalu sekarang?"
Darren kembali menyeringai, kini ia mengambil beberapa bahan makan di dapur dan menaruhnya di hadapan Kinan. "Kita akan memotong ini dengan pelan-pelan."
Tidak paham, Kinan hanya diam dan mengambil pisau yang pria itu berikan. "Dipotong saja?"
"Ya, mari kita mulai." Tiba-tiba pria tinggi berbadan atletis itu memeluk tubuh ramping Kinan dari belakang. Hal itu sontak membuat Kinan, berbalik dan melotot tajam.
"Kenapa kau menyentuhku tanpa izin?" Kinan menjauh.
Darren mengangkat tangannya ke udara. "Aku melakukan apa yang memang seharusnya aku lakukan."
Kinan semakin tidak mengerti dengan situasi ini. Kenapa banyak sekali pria tidak sopan sekarang, memberlakukan wanita seenak jidatnya. Inilah salah satu alasan Kinan tidak ingin menikah dan hidup sendiri sampai mati.
"Itulah gunanya seorang wanita," kata Darren lagi. Ia mendekat dan kembali melingkarkan tangannya di pinggang Kinan dan menariknya cukup kuat. "Untuk disentuh."
"Lepaskan aku!" Pinggangnya yang kecil tentu saja sangat mudah bagi pria itu untuk menahannya dengan tangan besarnya itu. "Atau aku akan teriak!"
Darren melangkah pelan, ia sama sekali tidak kesulitan saat membawa Kinan yang ia rengkuh dengan tangannya. "Kau tau, kenapa aku menyuruhmu memakai pakaian ini?"
Kinan melotot tajam, pikiran buruknya membuat Kinan berusaha mendorong tubuh pria itu. "Lepaskan aku pria brengsek!"
Darren melempar tubuh Kinan ke atas ranjang, seringai lebarnya begitu menakutkan sekarang. "Itulah mengapa aku menaruh tempat tidur ini di sini, ini akan sangat memudahkanku!"
Kinan bergetar takut, ia benar-benar tidak lagi punya nyali untuk melawan. Tenaganga yang kecil tak mampu melawan pria itu. "Lepaskan aku!"
Dengan satu gerakan, pria itu berhasil merobek dress yang Kinan gunakan, sehingga memperlihatkan setengah tubuhnya. Kinan berteriak takut, ia berusaha menendang pria itu tetapi tidak bisa. "Tolong!"
"Berisik!" Sebuah tamparan kini ia dapatkan, membuat Kinan terdiam di tempatnya. Pusing langsung menghinggapi kepalanya saat itu juga.
"Kalau kau tidak berisik dan melawan, aku akan melakukannya dengan perlahan."
"Kau Brengsek!" Kinan menutupi dadanya yang terbuka, pria bejat itu pasti ingin mengotorinya.
Suara bel berbunyi, pria itu menoleh ke arah pintu. "Kau tunggu di sini," ucapnya dingin.
Kinan hanya bisa melihat pria itu beranjak dari kamar. Ia tidak tahu bagaimana caranya lepas dari pria itu, Kinan menangis perlahan. Air matanya mengucur deras, pipinya terasa terbakar akibat tampan pria itu tadi. Kinan meringkuk di atas ranjang itu, ia tidak ingin menikah. Kinan takut, Kinan takut dirinya disakiti.
"Kinan?"
Suara bariton yang begitu Kinan kenali, membuatnya menangis lebih keras. Noah, pria itu datang.
Bisa Kinan lihat wajah pria itu terlihat sangat panik. Dengan cepat pria itu membuka jaket kulit yang ia kenakan dan menutupi tubuh Kinan yang gaunnya telah dirobek. "Maafkan aku," kata pria itu sembari mengangkat tubuh Kinan, menggendongnya keluar dari apartemen itu.
Kinan hanya ingin pulang sekarang, ia lelah. Tubuhnya sakit, dan pria bernama Noah itu telah menolongnya malam ini. Kalau saja pria itu tidak datang, Kinan tidak tahu entah apa yang akan terjadi pada dirinya.
Kinan terpaku menatap dirinya di depan cermin, di tubuhnya sudah melekat sempurna gaun pengantin brokat bewarna putih dengan model sabrina berlengan panjang. Lekuk tubuhnya sangat sempurna, dengan gaun tersebut. Rambutnya yang ditata sedemikian rupa dengan sebuah mahkota di atasnya menjadikan Kinan tidak mengenali dirinya sendiri.Ternyata begini rasanya memakai gaun pengantin, tampak biasa saja. Ia tidak terlalu menyukainya, untung saja gaun pengantin tersebut tidak berat dan panjangnya hanya sampai mata kaki. "Lalu sekarang apa lagi?" tanya Kinan sudah sangat kesal. Hampir satu jam lamanya orang-orang di sana meriasnya. Ia pun melangkah keluar dari ruangan tersebut dan bertemu dengan Ferdinand."Ayo kemarilah cepat!" kata Ferdinand berdiri di depan salah satu ruangan, yang letaknya bersebelahan dengan ruangan tempatnya berada tadi.Kinan melangkah masuk, di sana ia bisa melihat Noah sudah menunggunya dengan setelan jas bewarna hitam lengkap dengan
Sudah hampir 3 minggu berlalu, Kinan sudah mulai bisa berjalan kembali meski tidak bisa terlalu sering dan memakai heels. Sudah dari 2 pekan yang lalu ia kembali ke rumahnya, saat Ibu dan Andini menjemputnya pulang dari apartement Noah setelah mengetahui bahwa kakinya sakit.Semenjak itu, ibu kerap kali datang ke apartement Noah untuk memberinya banyak makanan padahal ibu tahu jika pria itu pandai memasak. Tapi, ibu bersikeras dan mengatakan kalau Noah bisa saja tidak punya waktu untuk memasak. Lagi pula katanya ini sebagai rasa terima kasih ibu karena sudah merawat dirinya. Ibu memang terlalu berlebihan."Sekarang kau akan kemana?" tanya Andini melihat Kinan sudah rapi dengan celana jeans dan kemeja polosnya.Kinan menoleh sekilas dan kembali menata rambutnya yang ia biarkan tergerai. Hari ini ia akan memakai sneaker saja, untuk menghindari kakinya terasa sakit lagi. "Aku masih harus menemui 3 pria lagi, agar aku bisa seg
Mata Kinan kembali melebar, tetapi kini dihiasi dengan kerutan pada dahinya. Rasa malu itu kini kembali menjalar, hingga membuat kedua pipi Kinan terasa panas. Ah, Noah memang tidak bisa ditebak. Ada apa dengannya, kenapa pria itu sampai menawarkan untuk tidur bersama lagi?"Kalian telah tidur bersama?" tanya Rey, nada bicaranya jelas terlihat bahwa ia terkejut."Ya." Kinan menoleh, tetapi kemudian ia menyadari jawabannya. "Tidak, ma-ksudku."Rey melihat ke arah Noah, keduanya beradu pandang. Tatapan tajam Rey lebih terlihat seperti sebuah peringatan keras. "Kuharap kau tidak lupa Noah.""Bagaimana jika aku ingin?" tanya Noah seolah menantang.Bibir Rey membentuk garis tipis. "Kau tahu kau tidak bisa melakukannya."Kinan menatap kedua orang kakak beradik itu bingung, ia tidak tahu apa yang tengah mereka bicarakan. Ketika Kinan melihat ke arah Noah, ia bisa melihat kekesalan tergambar sangat jelas di sana."Ya,
Noah terdiam, hentakan saat memotong wortel tak lagi terdengar. Ucapan Kinan mengacaukan seluruh pikirannya, terlebih sesuatu yang bergemuruh di dadanya. Noah berkedip, ia kembali melanjutkan. "Tentu," ujarnya singkat."Kalau begitu, aku harus segera menemukan orang itu." Kinan akan bertekad, ia harus membahagiakan orang-orang di sekitarnya termasuk pria itu. Noah pasti akan sangat senang, pekerjaan dengannya yang super merepotkan juga akan selesai. Jadi pria itu tidak lagi harus mengurusinya yang memang cukup melelahkan. "Aku berhutang banyak padamu, jadi aku tidak akan melupakanmu."Noah mencoba untuk terkecoh, meski pikirannya begitu berantakan. Ia sekarang melanjutkan ke sayuran yang lain, memotongnya hingga semuanya siap untuk di masak."Setelah kakiku sembuh, aku akan menemui pria yang tersisa sehingga aku bisa segera melepas bebanmu.""Kau sama sekali bukan beban bagiku."Kinan menoleh, dilihatnya Noah yang telah berbalik. Keduanya men
"Noah."Noah tersentak dalam tidurnya saat mendengar suara lirihan Kinan. Ia menenggakkan kepala serta tubuhnya dari kursi yang telah menahannya saat tidak sengaja tertidur tadi. Noah menatap tangannya yang masih di genggaman wanita itu dan bertanya, "iya, ada apa?""Tidurlah, kau juga butuh istirahat," kata Kinan seraya menarik pelan tangannya dari genggaman pria itu."Aku sudah tidur." Noah sengaja mengambil salah satu kursi meja makan dan membawanya ke kamar agar ia bisa tetap menjaga wanita itu dalam tidurnya."Tubuhmu bisa sakit nanti, tidurlah di sofa." Kinan merasa bersalah setelah melihat bagaimana Noah menjaganya dalam tidur. Ia telah banyak menyusahkan pria itu. "Ah, sofa juga buruk. Aku telah banyak menyusahkanmu."Noah mengambil beberapa helai tisu yang sudah ia taruh di atas nakas. "Ini adalah tanggung jawabku karena telah membuatmu sakit," katanya seraya menghapus keringat ya
Kinan mengernyit saat melihat Noah mendekatkan sesendok bubur ke dekat mulutnya. "Aku bisa memakannya sendiri," tolak Kinan seraya mengambil sendok di tangan Noah dan memasukkannya ke dalam mulutnya."Bagaimana rasanya?" tanya Noah, karena ia benar-benar ragu dengan rasa bubur buatannya itu. "Aku jarang membuat bubur, jadi aku pikir aku tidak akan membuatnya dengan enak.""Ini enak, aku menyukainya." Kinan tersenyum sekilas sebelum kembali menyuapi bubur itu ke mulutnya. "Terima kasih."Tangan Noah refleks menyentuh puncak kepala Kinan dan mengusapnya pelan. "Sama-sama," kata Noah lalu tiba-tiba terdiam saat pandangan keduanya bertemu.Noah buru-buru menjauhkan tangannya, ia sungguh melakukannya dengan spontan hingga ia tidak menyadarinya. "Maaf, aku tidak sengaja."Tanpa Noah ketahui, jauh di dalam sana Kinan hampir terlempar dari bumi. Kinan berusaha untuk menyamarkannya ekspresi k