Untuk ke sekian kalinya malam itu mata Kinanti kembali tak dapat terpejam. Meski pria di sampingnya telah terlelap di buai mimpi, namun tidak dengan gadis ini. Hingga jam dua dini hari, ia tidak dapat tidur meski rasa kantuk mulai menghinggapinya.
Kinanti masih terus berjaga-jaga, takut jikalau pria yang sudah membawanya entah di mana dia saat itu, akan terbangun dan menuntutnya untuk melayani.
"Terima kasih ya, Allah, akhirnya Tuan Zain tertidur pulas," batin Kinanti berusaha beranjak bangun dan perlahan meletakkan tangan Zain. Setelah berhasil lepas dari pelukan Zain, Kinanti segera meloncat ke lantai dan berusaha mencari kunci kamar, namun sepertinya pria itu sengaja menyembunyikan nya.
Puas mencari entah kemana kunci kamar tersebut, gadis ini pun tak dapat menguasai rasa kantuk yang menderanya. Akhirnya ia terlelap di atas sofa dengan menutupi tubuhnya dengan selimut yang ada di atas kasur hingga pagi menjelang.
Hembusan angin pagi hari mulai menyeruak masuk ke dalam kamar yang ditempati gadis itu dan tuan Zain. Sayup suara adzan subuh juga terdengar oleh telinga Kinanti. Perlahan gadis itu mengerjapkan matanya, menatap ke arah jarum jam. Rupanya jam sudah menunjukkan pukul empat pagi. Gadis yang sudah terbiasa bangun pagi sejak kecil itu pun tidak dapat melanjutkan tidurnya lagi.
Setelah melakukan peregangan otot di atas sofa, Kinanti berjalan menuju kamar mandi, yang ada di dalam kamar tersebut.
"Tapi percuma saja aku mandi, aku tidak punya baju ganti. Baju ini sudah bau sekali, bau minuman Tuan Zain semalam," gerutu Kinanti yang berdiri mematung di depan kamar mandi, menatap pakaian yang melekat di tubuhnya.
Langkahnya pun terhenti dan mengurungkan niatnya untuk mandi. Namun tiba-tiba mata Kinanti merasa penasaran dengan ruangan yang ada di samping kamar mandi, sebuah ruangan yang berpintu kaca. Gadis itu pun memberanikan diri membukanya. Menggeser pintu kaca ruangan tersebut, rupanya sebuah lemari besar tertata di sana.
"Mudah-mudahan saja ada baju ganti," ujar Kinanti, membuka pintu lemari dan mencari pakaian wanita, namun tidak ia temukan. Akhirnya gadis ini pun meraih kemeja lengan panjang warna putih yang di gantung, sepertinya milik tuan Zain.
Tanpa pikir panjang gadis itu segera menuju kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan aliran air dari shower. Beberapa menit kemudian gadis itu sudah kembali segar dang wangi. Bahkan ia juga membasahi rambutnya. Mengenakan kemeja yang tampak kebesaran di badan nya.
"Besar sekali baju ini, tapi dari pada memakai baju bau alkohol nggak papa sih, masih mending baju ini," celetuk Kinanti berdiri di depan cermin.
"Tinggal di kota besar aku jadi meninggalkan sholat ku, maafkan hamba, ya, Allah," dengus gadis itu merasa menyesal. Karena semenjak berhasil kabur dari kediaman pak Gatot ia tidak bisa menunaikan sholat karena tidak adanya mukena.
Puas menyesali diri, gadis itu kembali duduk di sofa, dan saat Zain membalikkan badan, tiba-tiba bunyi sebuah benda terjatuh. Kinanti pun menoleh dan rupanya adalah benda yang ia cari sejak semalam.
"Alhamdulillah, akhirnya," pekik Kinanti lirih, tersenyum gembira.
Dengan girang Kinanti memungut kunci yang jatuh di lantai, bergegas membuka kamar. Ruang pertama pertama yang di tuju oleh gadis itu adalah dapur.
Villa yang begitu luas, membuat gadis yang baru pertama menginjakkan kaki di tempat ini, kebingungan mencari letak dapur. Sudah sejak semalam perutnya keroncongan, menahan lapar.
"Mudah-mudahan ada sesuatu untuk aku makan, ya, Allah," harap gadis itu.
Setelah berhasil menemukan dapur, Kinanti membuka kulkas. Tidak ada sesuatu bahan makanan yang bisa ia ambil untuk di olah, hanya deretan minuman entah apa itu, sebab selama ini ia belum pernah melihat aneka minuman kaleng. Selain minuman, hanya beberapa buah saja yang ada di dalam kulkas, dan lagi-lagi membuat gadis ini mendengus kesal.
"Kenapa Tuan kaya ini tidak memiliki makanan apa pun yang layak untuk aku makan selain buah," gerutu gadis ini kesal, membanting pintu kulkas.
Tangan Kinanti beralih pada kitchen set yang ada di dapur, dan ternyata ada satu bungkus saja mi instan.
"Akhirnya ada juga," ucap Kinanti segera menyalakan kompor dan memulai menyiapkan bumbu.
Di dalam kamar, pria yang nyenyak dan lelap tidurnya semalam, akhirnya terbangun, setelah mendengar bunyi dentingan sendok yang Kinanti gunakan mengaduk bumbu di atas piring.
Seketika Zain menoleh ke samping kasur, samar pria ini mengingat apa yang terjadi semalam. Lama terdiam, akhirnya Zain segera beranjak bangun mencari keberadaan gadis yang ia bawa semalam, setelah berhasil mengingat semuanya.
"Nona, di mana kau? Nona," teriak Zain pagi itu laksana komandan yang menyeru kepada pasukan Batalyon.
Suara lengkingan tuan muda yang baru saja terbangun, mengagetkan Kinanti yang tengah menuang mi instan ke atas piring. Dan panci yang masih berisi sisa air rebusan pun terjatuh.
"Klontang," seketika gadis itu pun panik, saat sesosok tubuh tegap yang masih berbau aroma alkohol, berdiri tepat di depannya.
"Apa yang kamu lakukan di sini, jawab?" bentak Zain mengagetkan Kinanti.
Air sisa rebusan yang terjatuh, rupanya mengenai kaki gadis tersebut. Tak memperdulikan kakinya yang melepuh kemerahan. Kinanti tertunduk tak berani menatap pria di hadapannya.
"Ma, maafkan saya tu - Tuan. Saya hanya," sahut Kinanti terbata tidak berani melanjutkan lagi ucapannya, tubuhnya pun mulai gemetar, saat Zain berjalan ke arahnya.
"Maaf, Tuan, saya memang salah telah lancang dan berani keluar kamar," imbuh gadis itu, mulai terisak.
Zain berjongkok mengusap kaki gadis di hadapannya yang tampak kemerahan.
"Ceroboh sekali," hardik Zain, matanya menatap gadis di depannya yang tertunduk dan mulai ketakutan itu.
Zain pun menggeret tangan Kinanti, membawanya kembali ke dalam kamar.
"Duduk!" sambung pria itu tanpa ekspresi, berjalan menuju laci, mengambil kotak P3K.
Setelah mengambil kotak P3K, Zain kembali berjongkok di bawah kaki Kinanti. Mengobati kaki gadis bayarannya yang melepuh, dengan mengoleskan salep.
"Terima kasih tu -Tuan," pungkas Kinanti memberanikan berucap masih terbata.
"Berani-beraninya kamu keluar dari kamar tanpa seizinku," ucap Zain setelah mengoles salep di kaki Kinanti.
"Maaf, Tuan, hikss," balas gadis tersebut yang kini mulai menangis ketakutan.
"Kenapa kamu begitu cengeng sekali, apa aku ada menyakiti kamu? atau wajah ku menyeramkan?" bentak Zain kali ini makin kesal saat melihat gadis bayarannya sesenggukan. Membuat nyali Kinanti makin ciut dan ketakutan.
"Tu -Tuan boleh pukul saya, atau menyuruh saya melakukan pekerjaan rumah apa saja, saya bersedia Tuan, asal jangan ambil kehormatan saya satu-satunya, hikss," gadis itu berlutut memohon kepada Zain.
Kelakuan Kinanti membuat pria yang berwatak dingin itu mengerutkan dahi.
"Baru kali ini aku melihat gadis, dua kali memohon agar tidak aku sentuh. Wajahnya sih lumayan, tapi aku harus memberinya pelajaran, karena sudah berani melanggar aturan ku," gumam Zain, menatap sosok gadis yang terisak di bawah kakinya.
"Bangunlah! duduk! atau aku akan melakukan sesuatu yang tidak kamu inginkan," ancam Zain, menahan emosinya.
Serta merta gadis yang tengah berlutut itu pun mengusap air matanya, dan duduk di sofa sesuai perintah pria yang sudah menyewanya.
Zain merogoh ponsel yang ada di saku jas, mengusap layar ponsel, mencari nomor seseorang.
"Hallo, Bi, cepat datang kemari! masak sesuatu untukku," ucap pria tersebut dari balik benda pipih, kepada sang pelayan yang mengurus villa selama ini.
Melihat pakaian yang dikenakan gadis bayarannya, tiba-tiba pria ini teringat sesuatu. Dan bergegas menuju mobil, membuka bagasi. Betapa kaget Zain saat melihat pakaian dan sepatu yang sempat ia beli lusa yang lalu raib, hanya tersisa kotak sepatu saja.
"Bagaimana bisa hilang baju dan sepatu itu, tinggal kotak saja yang tersisa. Seingatku terakhir ada di dalam sini," gumam Zain merasa bingung dengan hilangnya isi kotak dan pakaian di bagasi.
Kinanti yang melihat Zain sedang membuka bagasi dari balik jendela, kembali gemetar dibuatnya.
"Mampus kamu Kinanti, sepertinya Tuan Zain mencari barang yang kamu ambil," batin gadis tersebut, dahinya mulai di hinggapi keringat dingin.
"Apa aku harus mengaku saja ya kepada Tuan Zain, bahwa baju dan sepatu itu aku yang sudah mengambilnya," batin Kinanti.
Zain berjalan menuju kamar, namun sebelum sampai di dalam kamar, langkah kaki Zain terhenti. Pria itu menoleh pada sepatu yang tergeletak di depan pintu. Melihat sepatu tersebut netranya kembali kaget.
"Bukan kah ini sepatu itu, iya benar sekali, ini adalah sepatu yang aku beli lusa kemarin. Tapi bagaimana bisa ada pada gadis bodoh itu. Ini limited edition, tidak mungkin dia mampu membelinya. Aku harus menanyakan ini pada dia," gerutu Zain penuh tanda tanya.
Suara langkah kaki Zain membuat hati gadis yang terdiam di dalam kamar semakin gugup ketakutan.
"Sepatu mu bagus ya. Pasti mahal, di mana kamu membelinya? Aku juga ingin memesan satu untuk pacar ku," sindir Zain membawa sepatu yang di pakai Kinanti semalam, saat memasuki kamar.
"Ayo Kinanti mengaku saja dan minta maaf, mungkin saja Tuan Zain memaafkan mu," gumam gadis itu bergulat dengan pemikirannya sendiri.
"Emmm, itu, itu," Kinanti terlihat sangat ketakutan.
"Jawab! bagaimana bisa sepatu itu ada pada mu?" tanya Zain membentak.
Tak berani dan tak sanggup lagi untuk terus berbohong, maka gadis itu kembali berlutut di bawah kaki Zain Abraham, mengakui segalanya.
BERSAMBUNG.....
"Maafkan saya sekali lagi Tuan, saya mengaku salah telah lancang mengambil barang milik Tuan tanpa izin," tandas Kinanti berusaha menahan tangisnya dibawah kaki Zain Abraham. "Bagaimana bisa kamu mengambilnya? Kapan kamu lakukan itu?" selidik Zain masih dengan suara menggelegar. "Tepatnya dua hari yang lalu, Tuan. Saat itu saya benar-benar tidak mempunyai pilihan lain, karena pakaian saya robek waktu itu," balas gadis itu membela diri. "Alasan. Sudah berani melanggar keluar kamar, masih pula di tambah mencuri. Dasar, semua wanita malam sama saja. Awalnya berlagak sok polos," hardik pria di hadapan Kinanti penuh amarah, ucapannya semakin membuat hati gadis yang tengah berlutut di bawah kakinya semakin sedih. "Tuan boleh memaki atau memarahi saya sesuka hati. Tapi jangan sebut aku wanita malam....!" kali ini kesabaran Kinanti telah habis. Ia pun tanpa sadar membalas membentak Zain dengan lantang. Melihat gadis yang tengah berlutut itu berani mem
"Ada apa dengan Tuan Zain, aku kan hanya mau memasangkan dasi seperti perintahnya. Kenapa juga dia sampai merem senyum-senyum begitu," gumam Kinanti mengerutkan dahi, tak habis pikir dengan sikap CEO di hadapannya.Tangan Kinanti masih terkalung di leher sang CEO. Terdiam ambigu menatap wajah Zain, sekaligus otaknya terus berpikir. Mengingat bagaimana cara memasang dasi."Lama sekali sih," dengus Zain mulai hilang kesabaran."Maaf, Tuan, sepertinya saya lupa," ujar Kinanti, wajahnya tertunduk.Zain yang sedari tadi dalam mode on, siap menerima serangan Kinanti, tiba-tiba kesal seketika mendengar jawaban gadis bayarannya."Lupa, apanya yang lupa? Kelamaan kamu," keluh Zain bersungut dan membuka kembali matanya.Melihat gadis bayarannya yang tertunduk dan memasang wajah manyun, menambah keimutan bibir indah Kinanti. Nafsu Zain pun makin tak dapat dikontrol.Tanpa menunggu lama, tiba-tiba Zain meraih dagu gadis bayarannya, dan mula
Seusai sarapan pagi, Zain kembali menggendong tubuh Kinanti kembali ke kamar."Lepas Tuan! Saya bisa sendiri." pinta Kinanti yang kini untuk kedua kalinya berada dalam gendongan sang CEO."Berisik!" pungkas Zain, terus melangkah menuju kamar.Sesampainya di dalam kamar, Zain meletakkan Kinanti di atas kasur. Tangannya menuju handphone yang tergeletak di atas meja. Mengusap layar benda pipih tersebut, mencari nomor seseorang."Hallo, segeralah kemari! jangan lupa bawa obat-obatan untuk kaki melepuh karena air panas." ucap Zain kepada lawan bicaranya."Tuan kalau mau berangkat kerja, berangkat saja. Nanti saya bisa kembali naik taksi." sela Kinanti menatap wajah tampah Zai Abraham."Tuan Zain kalau tidak marah, wajahnya tampan sekali." gumam gadis yang terlihat terkesima oleh ketampanan sang CEO."Siapa yang memberimu ijin kembali ke sana?" Kali ini suara sang CEO terdengar kembali garang."Sampai aku sendiri ya
Setibanya di perusahaan, seluruh komite dan jajaran dewan direksi sudah duduk rapi, menunggu kedatangan sang CEO. Tak perlu lama dan berbasa-basi, Zain pun segera memimpin rapat tersebut. Meski sesekali bayangan wajah Kinanti terlintas di otaknya.Berbeda dengan Kinanti, setelah meminum obat dari dokter Andika, rasa kantuk pun mulai menghinggapinya. Dan gadis itu kini terlelap di balik selimut. Sementara bi Ijah dengan setia masih menunggu Kinanti sembari duduk di sofa yang ada di kamar, seraya menghidupkan televisi.******Rapat pun akhirnya selesai setelah hampir satu jam lebih Zain berdiskusi dengan bawahannya. Sesuai janjinya kepada Kinanti, maka ia pun segera kembali ke villa bersama dengan pak Shodik."Kenapa cepat sekali, Tuan?" tanya pak Shodik, saat mobil yang dikendarainya telah membelah jalanan menuju arah villa."Iya, Pak. Kebetulan hari ini jadwal saya kosong setelah rapat," balas Zain singkat.Meski terbilang dingin dan angkuh,
Selepas mandi, Zain mengajak Kinanti pergi ke sebuah butik ternama. Keduanya tampak turun dari mobil sport warna biru, berjalan beriringan. Kinanti berjalan dengan kaki tertatih."Apa sakit sekali kah untuk berjalan?" tanya Zain penuh perhatian, mengamati Kinanti yang berjalan di sampingnya dengan tertatih. Gadis itu pun membalas dengan gelengan kepala.Saat tiba di depan butik, seluruh pegawai menatap ke arah gadis di samping Zain. Masih dengan pakaian setelan kaos oblong beserta celana pendek."Selamat sore, Tuan Zain!" sapa salah satu pegawai butik yang sedang membuka pintu. Membungkukkan badannya kepada Zain."Sore juga. Bantu dia memilih pakaian. Pastikan yang paling bagus!" Perintah Zain kepada pegawai butik."Baik, Tuan. Mari, Nona!" ujar pegawai yang menyapa Zain dan Kinanti, lalu segera menuju ke ruangan di dalam. Tempat koleksi baju-baju di pajang.Kinanti tampak malu dan bingung, saat di harus kan untuk memilih beberapa baju, oleh
Sepulang dari mengantar Kinanti ke Klub, Zain tiba di rumah sekitar pukul 19.00. Pria itu segera bergegas masuk ke dalam kamar untuk bersiap. Tanpa menghiraukan sang ibunda yang sedari tadi sudah menunggunya dengan segudang omelan yang sudah bersiap meledak, bak bom molotov."Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang, sekertaris kamu bilang, hari ini kamu hanya ke kantor menghadiri rapat."Retno mencecar sang putra dengan pertanyaan. Sementara Zain, tak menanggapinya. Terus naik, menuju kamar.Tak lama kemudian Zain menuruni anak tangga, seraya merapikan kancing lengan bajunya. Malam itu Zain hendak pergi ke sebuah restoran yang sudah dipersiapkan oleh sang ibunda. Tanpa berpamit, karena kekesalan hatinya terhadap desakan Retno."Selamat malam, maaf sedikit terlambat," ucap Zain datar, saat bertemu dengan Avica untuk pertama kalinya. Gadis pilihan sang mama. Seorang gadis cantik, berpenampilan eksotis, dan sifat yang agresif serta materialis
Beberapa hari kemudian....Selepas pertengkaran dengan kedua orang tuanya, Zain lebih memilih tinggal di villa. Sifat angkuh yang dia miliki sejak lahir, semakin membuat dirinya untuk lebih menjauhi segala sesuatu yang dapat memicu emosi dan kemarahannya.Bi Ijah dan pak Shodik dengan setia melayani sang majikan selama tinggal di villa, dan hal semacam ini bukanlah kali pertama terjadi."Maaf, Tuan, jika Saya lancang," ucap bi Ijah tatkala menyiapkan makan malam untuk Zain."Iya, Bi. Katakan saja!" balas Zain menatap sopan bi Ijah."Ada baiknya, jika Tuan segera menikah! Dengan begitu Tuan, dan Nyonya besar, tidak marah-marah terus." sambung Bi Ijah.Zain mendengarkan nasehat pelayan yang sudah bekerja mengurus villa sejak ia masih kecil itu dengan seksama, seolah bi Ijah adalah ibu kedua bagi Zain. Lebih mengerti dirinya ketimbang sang mama."Zain bukannya tidak ingin segera menikah, Bi. Bibi tahu sendiri, s
"Maaf, Tuan. Jangan lakukan itu!" Kinanti terus berusaha menepis gelas yang Danil sodorkan ke bibirnya."Ayolah cantik, sedikit saja. Berapa sih harga yang kamu minta?" tanya Danil seraya tersenyum menyeringai. Terus berusaha memaksa gadis itu menenggak minuman yang ada di tangannya."Saya tidak bisa meminumnya, Tuan," tepis gadis itu berusaha menolak."Ayolah Cantik, sedikit saja. Apa pun keinginan kamu pasti aku kabulkan, asal sekali saja kamu mengabulkan keinginanku," Mohon Danil di bawah kesadaran yang berangsur berkelana entah kemana.Gadis itu makin panik bercampur kesal, merasa usaha penolakan yang ia lakukan sia-sia. Kinanti pun berteriak memanggil Alan."Pak Alan, tolong! teriaknya."Tuan, jangan!" Mohon Kinanti sedikit menghiba memasang wajah melas disertai derai air mata yang mulai membasahi wajah cantiknya, sementara tangannya, menutup bibir. Gadis malang ini pun sesenggukan.Alan yang melihat keributan itu seg