Kediaman keluarga Zain Abraham....
Seorang pria muda yang baru saja pulang dari tempat bekerja memasuki rumah, tampak letih setelah seharian jenuh dengan segudang pekerjaan yang selalu menguras otak dan tenaganya.
"Baru pulang kamu," sapa sang ibunda kepada putra tunggalnya yang baru saja mendudukkan bokongnya di sofa.
"Iya, Ma, seperti biasa banyak banget meeting yang harus Zain hadiri," timpal sang putra dengan wajah letih, membuang napas kasar.
"Makanya nikah biar pas kamu pulang dan capek begini ada yang urus, memangnya mau sampai kapan kamu terus-menerus membujang seperti ini Zain? Usia kamu sudah tidak lagi muda, sudah saat nya kamu menikah," seru sang ibunda selalu dibuat kesal oleh sang putra, tiap kali ucapannya selalu diabaikan jika menyangkut perihal pernikahan.
"Aduh, Ma, stop deh jangan bahas itu lagi! Zain itu capek Ma, pulang kerja pingin istirahat. selalu saja Mama sambut dengan omelan yang sama," dengus Zain kesal.
"Apa yang Mama katakan itu benar Zain, pokoknya besok Mama ingin kamu bertemu dengan gadis pilihan Mama. Dan secepatnya kalian harus menikah!" hardik Retno, nama sang mama.
"Apa??? Mama pikir nikah itu gampang, langsung klik jadi. Tidak, Ma. Dasar pernikahan itu cinta, percuma Zain nikahi dia, tapi aku nggak cinta sama dia. Kasihan gadis itu juga nantinya," protes Zain dengan nada makin kesal.
Zain Abraham adalah, putra tunggal pemilik perusahaan ternama, lulusan luar negeri yang kini menjabat sebagai seorang CEO, yang memiliki tempramen angkuh, dingin, sombong, dan keras kepala.
Hampir tiap hari telinganya harus di korekin oleh sang ibunda dengan ucapan yang sama, selalu tentang pernikahan. Dan seperti biasa, perdebatan mereka selalu berujung kekesalan.
"Sudah berapa kali Zain katakan Ma, Zain belum siap menikah. Aku ingin menikah karena cinta, bukan karena desakan Mama," tolak Zain dengan nada tinggi, membuka dasinya membuang di atas meja. Sontak Zain pun segera beranjak berdiri dan pergi meninggalkan sang ibunda tanpa permisi.
"Brak!" suara pintu yang di tendang Zain Abraham melampiaskan amarahnya.
Tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu, Zain melajukan mobil sport warna biru miliknya, melintasi jalanan malam menuju sebuah tempat yang sering ia kunjungi, menghabiskan malam saat desakan sang ibunda kerap kali membuatnya kesal.
Pria yang diliputi oleh amarah itu memasuki Klub dengan wajah kesal, menuju kursi VIP miliknya. Tak satu pun gadis yang ada di sana berani untuk menyapanya.
Melihat kedatangan tamu istimewa, yang selalu menjadi sumber mata uang bagi Klub tersebut, sang pengelola Klub segera memetikkan jari ke atas, memberi kode kepada pelayan yang biasa melayani boss besar itu untuk segera menyambut dan membawa minuman favorit sang big boss.
"Selamat malam, Tuan Zain," sapa gadis yang berpenampilan seksi serta genit malam itu, mendekati Zain.
"Pergilah, aku ingin sendiri!" usir pria yang tengah kesal itu.
"Baiklah, Tuan. Ini minuman anda, saya permisi dulu," pamit gadis itu seusai meletakkan beberapa botol minuman beserta gelas di atas meja, di hadapan Zain.
"Hmm," balas Zain datar tanpa menoleh gadis di hadapannya.
Tak butuh waktu lama, setelah pelayan itu pergi, Zain segera menyentuh botol yang ada di depannya. Satu persatu botol minuman yang ada di hadapan Zain, mulai di tenggak habis hingga tetes terakhir. Meski tubuhnya sudah mulai menunjukkan reaksi mabuk, namun kesadaran pria ini masih cukup bagus.
Zain memetikkan ibu jari dan telunjuk ke arah pengelola Klub. Pria itu dengan sigap menghampiri Zain.
"Iya, Tuan, ada yang bisa saya bantu?" tanya Alan, nama pengelola Klub tersebut.
"Bawakan aku seorang gadis, bukan yang biasanya. Aku mau yang istimewa, ha ha ha," kekeh Zain di sela kesadaran yang mulai berkelana entah kemana.
Sejenak Alan terdiam mendengar permintaan tamu istimewa nya itu. Bingung ingin menawarkan gadis seperti apa lagi. Karena hampir seluruh pegawainya sudah pernah di booking oleh Zain.
Dan tiba-tiba, seorang pelayan yang baru saja mengantar minuman ke meja sebelah lewat, Alan pun sontak teringat akan pelayan yang baru semalam ia pekerjakan.
"Kinanti, sini kamu!" seru Alan memanggil pelayan baru tersebut. Gadis itu pun mendekat.
"Iya Pak, ada apa?" tanya gadis itu dengan lugunya, mata Kinanti terperanjat kaget, saat melihat pria yang tengah mabuk di hadapannya.
"Dia," gumam Kinanti ternganga. Tak menyangka secepat itu Tuhan mempertemukan mereka kembali.
"Temani Tuan Zain malam ini! beliau tamu istimewa kita, jangan kecewakan beliau," tandas Alan memperingati.
"Temani yang bagaimana ya Pak? bukan kah kata Bapak semalam, tugas saya hanya mengantar minuman saja," protes gadis yang sebenarnya adalah seorang gadis pemberani.
"Jangan membantah kamu, jika kamu masih ingin bekerja di sini. Temani beliau malam ini, atau kamu saya pecat sekarang juga!" ancam Alan kembali.
Bingung tak tahu harus bagaimana lagi, sementara di kota ini, dia tidak memiliki siapa pun, bahkan tempat untuk tinggal. Apa iya baru juga bekerja sehari sudah harus kehilangan pekerjaan lagi. Gumaman gadis itu.
"Baik, Pak," jawab gadis berparas ayu itu terpaksa, butiran kristal bening pun mulai menggenang di pelupuk netra indahnya.
Melihat kehadiran gadis cantik di hadapannya, Zain segera menarik tangan gadis itu, membuatnya terduduk dalam pangkuan pria yang pernah menjadi dewa penyelamat baginya semalam.
"Hai, malam sayang, cantik," sapa Zain dengan mulut yang sudah di penuhi aroma alkohol. Tangan nakalnya mencubit hidung macung milik Kinanti, gadis itu berusaha menepis tangan Zain.
"Ayolah, sayang, jangan munafik begitu, nanti juga kamu bakal ketagihan mencari aku," racau pria yang otaknya sudah mulai traveling entah kemana.
"Ya Tuhan, selamatkan hamba," batin Kinanti, menahan tangis.
Alan tersenyum miring, saat melihat tingkah tamu istimewanya kepada pelayan baru itu, dan semakin terkekeh mana kala melihat Zain beranjak bangun dengan badan yang mulai sempoyongan, merangkul gadis itu, berjalan meninggalkan Klub tersebut.
"Wah akhirnya, pundi-pundi uang bakal bertebaran nih," celetuk Alan puas, menatap kepergian Zain dan Kinanti.
Dengan mata yang masih basah, Kinanti membiarkan pria yang sedang mabuk itu merangkulnya, dan membawanya pergi meninggalkan Klub. Dengan mobil sport yang pernah ia tumpangi semalam. Dan mobil itu rupanya menuju sebuah Villa milik keluarga Zain.
Setibanya di dalam kamar villa, Zain mendorong tubuh Kinanti ke atas kasur, gadis ini mulai panik, beringsut terus mundur menutup bagian dada depan, agar tidak tersentuh oleh pria yang tengah mabuk itu.
"Ha ha ha, kenapa ekspresi kamu lucu begitu? Aku tidak akan menyakitimu, kita ke sini untuk bersenang-senang, sayang," ucap Zain menoel pipi gadis yang ketakutan itu
"Saya mohon jangan lakukan itu Tuan, hiksss!" tangis pun mulai pecah, teringat akan peristiwa yang ia alami semalam.
Mendengar kalimat gadis di atas kasur yang tampak ketakutan, Zain tertawa lebar, apa lagi ekspresi wajah gadis itu mampu membuat pria itu tertawa lepas.
"Ha ha ha ha, baru kali ini aku melihat gadis yang memohon untuk tidak kusentuh," kekeh Zain merebahkan tubuhnya di atas kasur, samping Kinanti.
"Aku sudah membayar kamu mahal, agar bisa sampai di tempat ini. Jadi menurut saja cantik, kita hanya bersenang-senang sedikit," tandas Zain yang kini sudah sangat dekat dengan tubuh gadis di sampingnya.
Melihat Zain makin mendekat, Kinanti menangis histeris, terus memohon agar melepaskannya.
"Saya mohon, Tuan, lepaskan saya. Saya bersedia menjadi budak Tuan seumur hidup, asal Tuan tidak menodai saya, hikss," hiba Kinanti memohon dan memelas.
"Hussst, diam, jangan berisik!" ucap Zain menutup bibirnya dengan jari telunjuk.
"Tidurlah di sampingku, dan berhentilah menangis!" seru Zain menarik tubuh gadis yang sudah sangat dekat itu.
Kinanti terjerembab dalam pelukan pria yang pernah menyelamatkan dirinya semalam, dan wajahnya kian di penuhi derai air mata.
"Gadis cantik bodoh ha ha ha."
itu lah kata terakhir yang terucap dari bibir Zain, tak lama kemudian pria ini pun benar-benar hilang kesadarannya. Tertidur pulas di samping Kinanti, gadis yang tanpa sengaja ia tolong. Dan Kinanti pun tersenyum sembari mengusap sisa air mata yang menempel di wajah mulusnya, menatap wajah tampan sang dewa penyelamat.
BERSAMBUNG....
Untuk ke sekian kalinya malam itu mata Kinanti kembali tak dapat terpejam. Meski pria di sampingnya telah terlelap di buai mimpi, namun tidak dengan gadis ini. Hingga jam dua dini hari, ia tidak dapat tidur meski rasa kantuk mulai menghinggapinya.Kinanti masih terus berjaga-jaga, takut jikalau pria yang sudah membawanya entah di mana dia saat itu, akan terbangun dan menuntutnya untuk melayani."Terima kasih ya, Allah, akhirnya Tuan Zain tertidur pulas," batin Kinanti berusaha beranjak bangun dan perlahan meletakkan tangan Zain. Setelah berhasil lepas dari pelukan Zain, Kinanti segera meloncat ke lantai dan berusaha mencari kunci kamar, namun sepertinya pria itu sengaja menyembunyikan nya.Puas mencari entah kemana kunci kamar tersebut, gadis ini pun tak dapat menguasai rasa kantuk yang menderanya. Akhirnya ia terlelap di atas sofa dengan menutupi tubuhnya dengan selimut yang ada di atas kasur hingga pagi menjelang.Hembusan angin pagi hari mulai menyerua
"Maafkan saya sekali lagi Tuan, saya mengaku salah telah lancang mengambil barang milik Tuan tanpa izin," tandas Kinanti berusaha menahan tangisnya dibawah kaki Zain Abraham. "Bagaimana bisa kamu mengambilnya? Kapan kamu lakukan itu?" selidik Zain masih dengan suara menggelegar. "Tepatnya dua hari yang lalu, Tuan. Saat itu saya benar-benar tidak mempunyai pilihan lain, karena pakaian saya robek waktu itu," balas gadis itu membela diri. "Alasan. Sudah berani melanggar keluar kamar, masih pula di tambah mencuri. Dasar, semua wanita malam sama saja. Awalnya berlagak sok polos," hardik pria di hadapan Kinanti penuh amarah, ucapannya semakin membuat hati gadis yang tengah berlutut di bawah kakinya semakin sedih. "Tuan boleh memaki atau memarahi saya sesuka hati. Tapi jangan sebut aku wanita malam....!" kali ini kesabaran Kinanti telah habis. Ia pun tanpa sadar membalas membentak Zain dengan lantang. Melihat gadis yang tengah berlutut itu berani mem
"Ada apa dengan Tuan Zain, aku kan hanya mau memasangkan dasi seperti perintahnya. Kenapa juga dia sampai merem senyum-senyum begitu," gumam Kinanti mengerutkan dahi, tak habis pikir dengan sikap CEO di hadapannya.Tangan Kinanti masih terkalung di leher sang CEO. Terdiam ambigu menatap wajah Zain, sekaligus otaknya terus berpikir. Mengingat bagaimana cara memasang dasi."Lama sekali sih," dengus Zain mulai hilang kesabaran."Maaf, Tuan, sepertinya saya lupa," ujar Kinanti, wajahnya tertunduk.Zain yang sedari tadi dalam mode on, siap menerima serangan Kinanti, tiba-tiba kesal seketika mendengar jawaban gadis bayarannya."Lupa, apanya yang lupa? Kelamaan kamu," keluh Zain bersungut dan membuka kembali matanya.Melihat gadis bayarannya yang tertunduk dan memasang wajah manyun, menambah keimutan bibir indah Kinanti. Nafsu Zain pun makin tak dapat dikontrol.Tanpa menunggu lama, tiba-tiba Zain meraih dagu gadis bayarannya, dan mula
Seusai sarapan pagi, Zain kembali menggendong tubuh Kinanti kembali ke kamar."Lepas Tuan! Saya bisa sendiri." pinta Kinanti yang kini untuk kedua kalinya berada dalam gendongan sang CEO."Berisik!" pungkas Zain, terus melangkah menuju kamar.Sesampainya di dalam kamar, Zain meletakkan Kinanti di atas kasur. Tangannya menuju handphone yang tergeletak di atas meja. Mengusap layar benda pipih tersebut, mencari nomor seseorang."Hallo, segeralah kemari! jangan lupa bawa obat-obatan untuk kaki melepuh karena air panas." ucap Zain kepada lawan bicaranya."Tuan kalau mau berangkat kerja, berangkat saja. Nanti saya bisa kembali naik taksi." sela Kinanti menatap wajah tampah Zai Abraham."Tuan Zain kalau tidak marah, wajahnya tampan sekali." gumam gadis yang terlihat terkesima oleh ketampanan sang CEO."Siapa yang memberimu ijin kembali ke sana?" Kali ini suara sang CEO terdengar kembali garang."Sampai aku sendiri ya
Setibanya di perusahaan, seluruh komite dan jajaran dewan direksi sudah duduk rapi, menunggu kedatangan sang CEO. Tak perlu lama dan berbasa-basi, Zain pun segera memimpin rapat tersebut. Meski sesekali bayangan wajah Kinanti terlintas di otaknya.Berbeda dengan Kinanti, setelah meminum obat dari dokter Andika, rasa kantuk pun mulai menghinggapinya. Dan gadis itu kini terlelap di balik selimut. Sementara bi Ijah dengan setia masih menunggu Kinanti sembari duduk di sofa yang ada di kamar, seraya menghidupkan televisi.******Rapat pun akhirnya selesai setelah hampir satu jam lebih Zain berdiskusi dengan bawahannya. Sesuai janjinya kepada Kinanti, maka ia pun segera kembali ke villa bersama dengan pak Shodik."Kenapa cepat sekali, Tuan?" tanya pak Shodik, saat mobil yang dikendarainya telah membelah jalanan menuju arah villa."Iya, Pak. Kebetulan hari ini jadwal saya kosong setelah rapat," balas Zain singkat.Meski terbilang dingin dan angkuh,
Selepas mandi, Zain mengajak Kinanti pergi ke sebuah butik ternama. Keduanya tampak turun dari mobil sport warna biru, berjalan beriringan. Kinanti berjalan dengan kaki tertatih."Apa sakit sekali kah untuk berjalan?" tanya Zain penuh perhatian, mengamati Kinanti yang berjalan di sampingnya dengan tertatih. Gadis itu pun membalas dengan gelengan kepala.Saat tiba di depan butik, seluruh pegawai menatap ke arah gadis di samping Zain. Masih dengan pakaian setelan kaos oblong beserta celana pendek."Selamat sore, Tuan Zain!" sapa salah satu pegawai butik yang sedang membuka pintu. Membungkukkan badannya kepada Zain."Sore juga. Bantu dia memilih pakaian. Pastikan yang paling bagus!" Perintah Zain kepada pegawai butik."Baik, Tuan. Mari, Nona!" ujar pegawai yang menyapa Zain dan Kinanti, lalu segera menuju ke ruangan di dalam. Tempat koleksi baju-baju di pajang.Kinanti tampak malu dan bingung, saat di harus kan untuk memilih beberapa baju, oleh
Sepulang dari mengantar Kinanti ke Klub, Zain tiba di rumah sekitar pukul 19.00. Pria itu segera bergegas masuk ke dalam kamar untuk bersiap. Tanpa menghiraukan sang ibunda yang sedari tadi sudah menunggunya dengan segudang omelan yang sudah bersiap meledak, bak bom molotov."Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang, sekertaris kamu bilang, hari ini kamu hanya ke kantor menghadiri rapat."Retno mencecar sang putra dengan pertanyaan. Sementara Zain, tak menanggapinya. Terus naik, menuju kamar.Tak lama kemudian Zain menuruni anak tangga, seraya merapikan kancing lengan bajunya. Malam itu Zain hendak pergi ke sebuah restoran yang sudah dipersiapkan oleh sang ibunda. Tanpa berpamit, karena kekesalan hatinya terhadap desakan Retno."Selamat malam, maaf sedikit terlambat," ucap Zain datar, saat bertemu dengan Avica untuk pertama kalinya. Gadis pilihan sang mama. Seorang gadis cantik, berpenampilan eksotis, dan sifat yang agresif serta materialis
Beberapa hari kemudian....Selepas pertengkaran dengan kedua orang tuanya, Zain lebih memilih tinggal di villa. Sifat angkuh yang dia miliki sejak lahir, semakin membuat dirinya untuk lebih menjauhi segala sesuatu yang dapat memicu emosi dan kemarahannya.Bi Ijah dan pak Shodik dengan setia melayani sang majikan selama tinggal di villa, dan hal semacam ini bukanlah kali pertama terjadi."Maaf, Tuan, jika Saya lancang," ucap bi Ijah tatkala menyiapkan makan malam untuk Zain."Iya, Bi. Katakan saja!" balas Zain menatap sopan bi Ijah."Ada baiknya, jika Tuan segera menikah! Dengan begitu Tuan, dan Nyonya besar, tidak marah-marah terus." sambung Bi Ijah.Zain mendengarkan nasehat pelayan yang sudah bekerja mengurus villa sejak ia masih kecil itu dengan seksama, seolah bi Ijah adalah ibu kedua bagi Zain. Lebih mengerti dirinya ketimbang sang mama."Zain bukannya tidak ingin segera menikah, Bi. Bibi tahu sendiri, s