"Maafkan saya sekali lagi Tuan, saya mengaku salah telah lancang mengambil barang milik Tuan tanpa izin," tandas Kinanti berusaha menahan tangisnya dibawah kaki Zain Abraham.
"Bagaimana bisa kamu mengambilnya? Kapan kamu lakukan itu?" selidik Zain masih dengan suara menggelegar.
"Tepatnya dua hari yang lalu, Tuan. Saat itu saya benar-benar tidak mempunyai pilihan lain, karena pakaian saya robek waktu itu," balas gadis itu membela diri.
"Alasan. Sudah berani melanggar keluar kamar, masih pula di tambah mencuri. Dasar, semua wanita malam sama saja. Awalnya berlagak sok polos," hardik pria di hadapan Kinanti penuh amarah, ucapannya semakin membuat hati gadis yang tengah berlutut di bawah kakinya semakin sedih.
"Tuan boleh memaki atau memarahi saya sesuka hati. Tapi jangan sebut aku wanita malam....!" kali ini kesabaran Kinanti telah habis. Ia pun tanpa sadar membalas membentak Zain dengan lantang.
Melihat gadis yang tengah berlutut itu berani membalasnya dengan membentak, emosi Zain makin tersulut. Tangannya pun meraih rambut Kinanti, menjambaknya dan membuat gadis itu meringis kesakitan. Mulai mengalir aliran air mata dari netra indahnya.
Kini Kinanti berdiri sejajar, tepat di hadapan Zain. Masih menahan sakit karena rambutnya.
"Atas dasar apa kamu berani membentak aku, hah? Kamu pikir kamu itu siapa?" Perang adu mulut pun terjadi.
Tatapan Kinanti mulai nanar saat itu, tak memperdulikan lagi rasa sakit di kaki dan rambutnya. Merasa harga dirinya sudah di injak-injak.
"Cuih," Gadis itu membuang ludah tepat di hadapan Zain.
"Plak!" Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus gadis tersebut.
"Lancang sekali dirimu. Dasar wanita malam," olok Zain kembali tersenyum mencibir.
"Tampar saja Tuan, tampar.... " Tantang gadis yang sudah tidak bisa menguasai emosinya.
"Anda sangat beruntung Tuan, sejak lahir telah merasakan hidup dalam kemewahan. Tanpa merasa kurang suatu apa pun."
"Saat membuka mata, apa yang Anda ingin sudah ada. Tidak dengan saya Tuan. Sejak kecil hidup dalam kemiskinan, bahkan kehormatan saya, nyaris menjadi taruhan sebagai ajang penebus utang orang tua saya."
Sambung gadis tersebut yang kini terisak dalam tangis, perlahan suaranya pun lirih, bahkan tubuhnya bergetar menahan tangis yang sudah tak sanggup lagi untuk dia tahan.
"Jangan sebut aku wanita malam, Tuan, hikss...." Isak tangis kembali tumpah.
"Saat bandot tua itu berniat memperkosa saya. Saya berusaha melawan dan berhasil kabur dengan pakaian yang sudah tak layak di kenakan."
"Hingga Tuhan mengirim Anda menjadi penyelamat saya, tanpa Tuan sadari. Saat itu hari sudah malam, tak satu pun kendaraan yang lewat kecuali sebuah mobil mewah warna biru."
"Saya lihat, Anda membuka bagasi, namun tidak menutupnya dengan benar, karena nya saya beranikan diri mendekat dan bersembunyi di bagasi. Dan secara tidak sengaja saya melihat sebuah paper bag dan kotak sepatu," Gadis itu menghela napas.
"Awalnya aku sangat takut, namun karena terpaksa tidak ada pilihan, saat mobil Tuan berhenti, saya segera kabur membawa barang milik Tuan, hiks, hiks...." ungkap Kinanti bercerita.
Gadis itu akhirnya mempunyai keberanian untuk bercerita semua yang ia alami, di sertai deru Isak tangis, dan membuat Zain akhirnya terduduk di sofa tanpa sepatah kata yang terucap dari bibirnya.
"Apa yang sudah aku lakukan pada gadis ini. Cobaan yang ia alami selama dua hari terakhir sungguh sangat lah berat. Apa aku masih harus bersikeras untuk menghukum dirinya karena ketidak berdayaan dia."
Pikiran Zain terus berkecamuk, mulai menyesal dengan kata-kata yang ia lontarkan baru saja.
Lama keduanya saling ambigu. Setelah merasa tenang, Zain berjongkok mendudukkan Kinanti di sofa, dan kini ia yang duduk di bawah gadis bayarannya tersebut.
"Maafkan aku!" itulah kata-kata yang tiba-tiba terlontar dari bibir pria angkuh tersebut, kemudian berlalu menuju kamar mandi. Membiarkan gadis yang baru saja berhasil membuat emosinya bergejolak tak menentu di sofa sendirian.
Guyuran air dari atas shower mulai menyejukkan seluruh tubuh pria angkuh ini. Otak yang sempat mendidih sejenak, serta emosi yang terkuras kini terasa sirna terbawa aliran air, dan tubuhnya kembali segar.
******
Beberapa menit kemudian, Zain keluar dari kamar mandi. Hanya mengenakan handuk warna putih yang melilit tubuh, setengah badan, dan membuat dada bidang serta perut bergelombang layaknya roti sobek itu terlihat dengan jelas oleh mata indah Kinanti.
Seketika gadis itu menundukkan pandangannya, membuat Zain tersenyum nakal.
"Kenapa harus malu, toh nanti kamu juga akan terbiasa melihatnya," goda pria angkuh itu, berjalan menuju ruang ganti.
Sejurus kemudian Zain telah berganti dengan pakaian kerja, dan di tangannya membawa sebuah kaos oblong serta celana pendek miliknya.
Zain melempar baju itu ke arah Kinanti yang tertunduk, membuat gadis itu kegat.
"Pakailah!" perintah Zain, dan kini beralih menuju meja rias.
"Ta- tapi ini kebesaran, Tuan." protes gadis cantik itu, tangannya membolak-balik kan celana pendek yang kebesaran itu.
"Pakai saja, atau aku akan melucuti pakaian yang kamu kenakan itu," kali ini Zain kembali menyunggingkan senyuman devil.
Mendengar penuturan pria angkuh di hadapannya, sontak membuat gadis itu ketakutan. Menutupi tubuh bagian depan, dengan kedua tangannya. Zain pun terkekeh melihatnya.
Kinanti segera masuk kedalam kamar mandi, membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar kembali, dan mengenakan baju pemberian Zain.
Karena celana yang kebesaran, gadis itu keluar dari kamar mandi dengan langkah sedikit mengendap, kedua tangannya terus memegangi pinggang, agar celana yang ia kenakan tidak jatuh.
"Ada apa dengan perut kamu? Kemarilah! bantu aku memasang dasi!" seru Zain menjulurkan dasi yang ada di tangannya. Sementara kedua mata Zain terkesima melihat bibir Kinanti yang ranum berwarna pink, tampak begitu menggoda.
Dengan ragu, gadis itu berjalan mendekati Zain yang berdiri di depan cermin meja rias. Dengan tatapan nakal.
"Cepatlah!" perintah Zain, kini pria itu mendongakkan lehernya menatap lurus ke arah gadis yang berjalan menuju dirinya.
Kaget dengan perintah CEO angkuh di hadapannya, yang memberi ia mandat memasang dasi, membuat gadis itu sedikit kebingungan karena lupa bagaimana cara memasang dasi.
"Kenapa masih mematung, cepatlah pasang. Atau kamu mau, aku menghabisi bibir kamu!" ancam Zain lagi dan lagi.
Terang saja ancaman Zain membuat gadis yang sedikit gugup itu meraih dasi dari sang CEO, membuatnya lupa akan celana yang kebesaran. Tentu saja celana pendek yang dikenakan Kinanti pun jatuh ke bawah.
Paha putih mulus milik Kinanti pun terlihat jelas oleh Zain yang menatap ke arah gadis tersebut. Dalam hati pria ini kembali tertawa girang, pagi-pagi mendapat suguhan memukau, membuat adrenalin Zain kembali bergejolak.
Melihat ekspresi Zain yang seperti mentertawakan dirinya. Kinanti segera meraih celana pendek yang melorot itu, menaikkan kembali ke pinggang.
Kini Kinanti terdiam bingung bagaimana agar ia bisa memasang dasi, tetapi celana yang kebesaran itu tetap melekat di pinggangnya.
Lama berpikir, akhirnya tercetus ide oleh gadis itu yang tak mau kalah dengan Zain. Setelah berhasil menaikkan celananya kembali, Kinanti mendorong tubuh Zain hingga terduduk di meja rias, tepat depan cermin. Dan mendekatkan tubuhnya di depan sang CEO. Terang, celana pun tidak terjatuh.
Keagresifan sikap Kinanti pagi itu tentu saja membuat otak mesum sang CEO travelling seketika. "Wah, sampai sini saja rupanya pertahanan gadis ini," gumam Zain dengan tatapan dan senyum nakal.
Posisi yang sangat dekat seperti ini, ditambah saat Kinanti menaikkan sebelah kakinya ke atas meja, di samping Zain terduduk, membuat pria ini kembali memekik dalam hati, kegirangan. Paha mulus milik Kinanti makin jelas terlihat dan nyata.
"Waouw, amazing," batin Zain mengulas senyum kemenangan.
Membuat sebuah benda yang sedari tadi bersembunyi di balik celana, mendadak mengeras dan menjadi seperti gunung Everest seketika. Zain pun berkali-kali menelan salivanya, mulai tak dapat mengendalikan hasrat yang mulai bergejolak pagi itu.
Saat Kinanti mengalungkan kedua tangannya pada leher Zain, pria ini tanpa aba-aba segera memejamkan mata. Sambil senyum-senyum sendiri.
BERSAMBUNG.....
"Ada apa dengan Tuan Zain, aku kan hanya mau memasangkan dasi seperti perintahnya. Kenapa juga dia sampai merem senyum-senyum begitu," gumam Kinanti mengerutkan dahi, tak habis pikir dengan sikap CEO di hadapannya.Tangan Kinanti masih terkalung di leher sang CEO. Terdiam ambigu menatap wajah Zain, sekaligus otaknya terus berpikir. Mengingat bagaimana cara memasang dasi."Lama sekali sih," dengus Zain mulai hilang kesabaran."Maaf, Tuan, sepertinya saya lupa," ujar Kinanti, wajahnya tertunduk.Zain yang sedari tadi dalam mode on, siap menerima serangan Kinanti, tiba-tiba kesal seketika mendengar jawaban gadis bayarannya."Lupa, apanya yang lupa? Kelamaan kamu," keluh Zain bersungut dan membuka kembali matanya.Melihat gadis bayarannya yang tertunduk dan memasang wajah manyun, menambah keimutan bibir indah Kinanti. Nafsu Zain pun makin tak dapat dikontrol.Tanpa menunggu lama, tiba-tiba Zain meraih dagu gadis bayarannya, dan mula
Seusai sarapan pagi, Zain kembali menggendong tubuh Kinanti kembali ke kamar."Lepas Tuan! Saya bisa sendiri." pinta Kinanti yang kini untuk kedua kalinya berada dalam gendongan sang CEO."Berisik!" pungkas Zain, terus melangkah menuju kamar.Sesampainya di dalam kamar, Zain meletakkan Kinanti di atas kasur. Tangannya menuju handphone yang tergeletak di atas meja. Mengusap layar benda pipih tersebut, mencari nomor seseorang."Hallo, segeralah kemari! jangan lupa bawa obat-obatan untuk kaki melepuh karena air panas." ucap Zain kepada lawan bicaranya."Tuan kalau mau berangkat kerja, berangkat saja. Nanti saya bisa kembali naik taksi." sela Kinanti menatap wajah tampah Zai Abraham."Tuan Zain kalau tidak marah, wajahnya tampan sekali." gumam gadis yang terlihat terkesima oleh ketampanan sang CEO."Siapa yang memberimu ijin kembali ke sana?" Kali ini suara sang CEO terdengar kembali garang."Sampai aku sendiri ya
Setibanya di perusahaan, seluruh komite dan jajaran dewan direksi sudah duduk rapi, menunggu kedatangan sang CEO. Tak perlu lama dan berbasa-basi, Zain pun segera memimpin rapat tersebut. Meski sesekali bayangan wajah Kinanti terlintas di otaknya.Berbeda dengan Kinanti, setelah meminum obat dari dokter Andika, rasa kantuk pun mulai menghinggapinya. Dan gadis itu kini terlelap di balik selimut. Sementara bi Ijah dengan setia masih menunggu Kinanti sembari duduk di sofa yang ada di kamar, seraya menghidupkan televisi.******Rapat pun akhirnya selesai setelah hampir satu jam lebih Zain berdiskusi dengan bawahannya. Sesuai janjinya kepada Kinanti, maka ia pun segera kembali ke villa bersama dengan pak Shodik."Kenapa cepat sekali, Tuan?" tanya pak Shodik, saat mobil yang dikendarainya telah membelah jalanan menuju arah villa."Iya, Pak. Kebetulan hari ini jadwal saya kosong setelah rapat," balas Zain singkat.Meski terbilang dingin dan angkuh,
Selepas mandi, Zain mengajak Kinanti pergi ke sebuah butik ternama. Keduanya tampak turun dari mobil sport warna biru, berjalan beriringan. Kinanti berjalan dengan kaki tertatih."Apa sakit sekali kah untuk berjalan?" tanya Zain penuh perhatian, mengamati Kinanti yang berjalan di sampingnya dengan tertatih. Gadis itu pun membalas dengan gelengan kepala.Saat tiba di depan butik, seluruh pegawai menatap ke arah gadis di samping Zain. Masih dengan pakaian setelan kaos oblong beserta celana pendek."Selamat sore, Tuan Zain!" sapa salah satu pegawai butik yang sedang membuka pintu. Membungkukkan badannya kepada Zain."Sore juga. Bantu dia memilih pakaian. Pastikan yang paling bagus!" Perintah Zain kepada pegawai butik."Baik, Tuan. Mari, Nona!" ujar pegawai yang menyapa Zain dan Kinanti, lalu segera menuju ke ruangan di dalam. Tempat koleksi baju-baju di pajang.Kinanti tampak malu dan bingung, saat di harus kan untuk memilih beberapa baju, oleh
Sepulang dari mengantar Kinanti ke Klub, Zain tiba di rumah sekitar pukul 19.00. Pria itu segera bergegas masuk ke dalam kamar untuk bersiap. Tanpa menghiraukan sang ibunda yang sedari tadi sudah menunggunya dengan segudang omelan yang sudah bersiap meledak, bak bom molotov."Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang, sekertaris kamu bilang, hari ini kamu hanya ke kantor menghadiri rapat."Retno mencecar sang putra dengan pertanyaan. Sementara Zain, tak menanggapinya. Terus naik, menuju kamar.Tak lama kemudian Zain menuruni anak tangga, seraya merapikan kancing lengan bajunya. Malam itu Zain hendak pergi ke sebuah restoran yang sudah dipersiapkan oleh sang ibunda. Tanpa berpamit, karena kekesalan hatinya terhadap desakan Retno."Selamat malam, maaf sedikit terlambat," ucap Zain datar, saat bertemu dengan Avica untuk pertama kalinya. Gadis pilihan sang mama. Seorang gadis cantik, berpenampilan eksotis, dan sifat yang agresif serta materialis
Beberapa hari kemudian....Selepas pertengkaran dengan kedua orang tuanya, Zain lebih memilih tinggal di villa. Sifat angkuh yang dia miliki sejak lahir, semakin membuat dirinya untuk lebih menjauhi segala sesuatu yang dapat memicu emosi dan kemarahannya.Bi Ijah dan pak Shodik dengan setia melayani sang majikan selama tinggal di villa, dan hal semacam ini bukanlah kali pertama terjadi."Maaf, Tuan, jika Saya lancang," ucap bi Ijah tatkala menyiapkan makan malam untuk Zain."Iya, Bi. Katakan saja!" balas Zain menatap sopan bi Ijah."Ada baiknya, jika Tuan segera menikah! Dengan begitu Tuan, dan Nyonya besar, tidak marah-marah terus." sambung Bi Ijah.Zain mendengarkan nasehat pelayan yang sudah bekerja mengurus villa sejak ia masih kecil itu dengan seksama, seolah bi Ijah adalah ibu kedua bagi Zain. Lebih mengerti dirinya ketimbang sang mama."Zain bukannya tidak ingin segera menikah, Bi. Bibi tahu sendiri, s
"Maaf, Tuan. Jangan lakukan itu!" Kinanti terus berusaha menepis gelas yang Danil sodorkan ke bibirnya."Ayolah cantik, sedikit saja. Berapa sih harga yang kamu minta?" tanya Danil seraya tersenyum menyeringai. Terus berusaha memaksa gadis itu menenggak minuman yang ada di tangannya."Saya tidak bisa meminumnya, Tuan," tepis gadis itu berusaha menolak."Ayolah Cantik, sedikit saja. Apa pun keinginan kamu pasti aku kabulkan, asal sekali saja kamu mengabulkan keinginanku," Mohon Danil di bawah kesadaran yang berangsur berkelana entah kemana.Gadis itu makin panik bercampur kesal, merasa usaha penolakan yang ia lakukan sia-sia. Kinanti pun berteriak memanggil Alan."Pak Alan, tolong! teriaknya."Tuan, jangan!" Mohon Kinanti sedikit menghiba memasang wajah melas disertai derai air mata yang mulai membasahi wajah cantiknya, sementara tangannya, menutup bibir. Gadis malang ini pun sesenggukan.Alan yang melihat keributan itu seg
Jalanan kota malam itu mulai terlihat sunyi senyap, hanya beberapa kendaraan saja yang melintas. Dengan kencangnya Alex mengemudikan mobil menuju arah rumah sakit terdekat. Sementara gadis yang tengah merengkuh tubuh Zain masih terlihat sembab matanya."Perawat!" Teriak Alex, saat mobil yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu utama IGD.Dua perawat laki-laki bergegas menghampiri, seraya membawa brankar. Alex segera keluar, membuka pintu dan memapah majikannya menaiki brankar, dengan dibantu perawat.Zain diletakkan di atas brankar dengan posisi tengkurap, karena belati milik Danil masih tertancap di punggungnya.Melihat perawat membawa masuk Zain ke dalam ruang IGD. Kinanti kembali diliputi kekhawatiran. "Selamatkan Tuan Zain ya Allah," gumamnya.Alex mencoba menghubungi Alan, bertanya apakah pria brengsek yang baru saja membuat ulah itu telah dia usir dari tempat tersebut."Baik, Tuan Alex. Sekali lagi saya mohon maaf atas insiden