Share

Gelora Asmara Pagi Hari

"Ada apa dengan Tuan Zain, aku kan hanya mau memasangkan dasi seperti perintahnya. Kenapa juga dia sampai merem senyum-senyum begitu," gumam Kinanti mengerutkan dahi, tak habis pikir dengan sikap CEO di hadapannya.

Tangan Kinanti masih terkalung di leher sang CEO. Terdiam ambigu menatap wajah Zain, sekaligus otaknya terus berpikir. Mengingat bagaimana cara memasang dasi.

"Lama sekali sih," dengus Zain mulai hilang kesabaran.

"Maaf, Tuan, sepertinya saya lupa,"  ujar Kinanti, wajahnya tertunduk.

Zain yang sedari tadi dalam mode on, siap menerima serangan Kinanti, tiba-tiba kesal seketika mendengar jawaban gadis bayarannya.

"Lupa, apanya yang lupa? Kelamaan kamu," keluh Zain bersungut dan membuka kembali matanya.

Melihat gadis bayarannya yang tertunduk dan memasang wajah manyun, menambah keimutan bibir indah Kinanti. Nafsu Zain pun makin tak dapat dikontrol.

Tanpa menunggu lama, tiba-tiba Zain meraih dagu gadis bayarannya, dan mulai melumat bibir ranum milik Kinanti. Hal itu sontak membuat Kinanti kaget, tidak bisa menolak dan melawan, karena Zain terlihat begitu lihai memainkan lidahnya di dalam mulut gadis itu.  Serta mengunci wajah sang gadis hingga sulit untuk menghindari.

Ciuman yang baru pertama kali di rasakan oleh gadis desa itu, membuatnya sejenak terlena akan sentuhan yang Zain berikan. Perlahan Kinanti larut dalam gelora ciuman yang Zain berikan.

Keduanya saling berpagut dan menikmati. Meski sang gadis terlihat mulai kehabisan napas. Merasa napasnya mulai terasa sesak, dan tersengal.

Gadis itu pun serta merta mendorong  tubuh Zain. Dan membuatnya kehilangan keseimbangan, hingga hampir saja membuatnya terjatuh. Untung Zain segera bertindak dan meraih tubuh Kinanti.

Kali ini tatapan Zain yang sudah mulai berkobar gejolak nafsunya, tertuju pada leher jenjang nan putih milik Kinanti. Membuat Zain kembali menelan salivanya. 

Keduanya saling bersitatap menatap bayangan masing-masing dari kedua bola mata indah mereka. Zain seolah mulai terhipnotis oleh pesona Kinanti. Gadis yang ia bayar untuk menghabiskan malam dengannya.

"Pesona apa yang dia miliki, sampai-sampai aku merasakan dalam tubuhnya terdapat candu yang kapan saja mampu membuat aku ketagihan," gumam Zain mulai tak dapat menguasai nafsunya pagi itu.

"Terima kasih, Tuan," ucap sang gadis bayaran, saat Zain lagi-lagi menyelamatkan dirinya. Kinanti pun tampak tersipu malu mengalihkan pandangannya dari tatapan sang CEO.

Zain  kembali menghadap kaca meja rias, menuntun Kinanti  yang masih memegangi kedua pinggangnya. Zain lalu mengambil ikat pinggang miliknya yang tergantung di pinggir meja rias. 

"Lepaskan tangan kamu!" seru Zain seraya menepis kedua tangan gadis yang masih terlihat  malu berada di dekatnya.

Zain memasangkan ikat pinggang tersebut ke celana yang dikenakan gadis bayarannya. Dan kini sudah tidak lagi kedodoran.

" Nah, sudah beres. Sekarang giliran kamu belajar memakaikan aku dasi!" Zain menuntun tangan Kinanti pada lehernya, meraih dasi yang masih melekat di leher, memberi gadis itu aba-aba untuk merapikam dasinya. Seketika Kinanti pun akhirnya berhasil memasangkan dasi Zain. Membuat pria itu kembali menyunggingkan senyum kemenangan.

"Kalau Tuan bisa memasang nya sendiri, lalu kenapa masih menyuruh saya, Tuan?" Dengus gadis itu kesal, merasa sudah di kerjai oleh Zain kembali memasang wajah cemberut.

"Memang apa hak kamu memprotes aku. Ingat, ya, sejak saat ini, kamu adalah milikku. Jadi setelah kamu kembali ke Klub itu, jangan sampai aku melihatmu melayani tamu lain. Atau bermesra-mesraan dengan laki-laki lain!" ancam Zain memperingati sembari menuding hidung mancung Kinanti.

"Tapi Tuan, bagaimana bisa Anda mengatakan saya milik Tuan. Tuan bukan siapa-siapa saya," celetuk gadis itu kembali memprotes memberanikan diri.

Kinanti hendak berlalu dari pria di hadapannya, yang semakin membuat otaknya memanas karena ancaman-ancaman Zain. Namun lagi-lagi ucapannya mengusik sang CEO, menjadikan Zain kembali emosi, seketika pun menarik tangan gadis itu.

"Ucapkan sekali lagi kata-kata itu, atau aku akan membuktikan bahwa kamu hanya  bisa menjadi milik Zain Abraham," tandas Zain dengan ekspresi murka.

Melihat ekspresi wajah Zain yang berubah menyeramkan, Kinanti pun memilih diam. Dia faham akan maksud dari ucapan Zain barusan.

"Ayo Kinanti stop mulut kamu. Jangan kamu lawan pria ini. Atau dia akan bertindak nekat terhadapmu," batin gadis ini berkecamuk dengan pemikirannya.

"Tok tok tok," Sebuah suara ketukan dari luar pintu kamar Zain.

"Tuan, maaf mengganggu. Sarapannya sudah siap Tuan," ucap pelayan yang bertugas saat itu.

"Baiklah Bi, sebentar lagi saya kesana. Siapkan dua piring Bi!" seru Zain dari dalam.

"Baik, Tuan," Sang pelayan pun berlalu ke meja makan, mengambil piring tambahan.

"Kali ini siapa lagi yang Tuan muda bawa," Celetuk bi Ijah, nama pelayan yang bekerja di Villa tersebut.

"Ayo kita sarapan!" Zain berjalan menuju ruang makan, di susul Kinanti dari belakang yang berjalan sedikit lambat, karena luka kakinya yang melepuh, kini baru mulai terasa sakit.

Zain terlebih dulu duduk di meja makan. Sementara Kinanti masih belum juga sampai. Dan hal itu membuat CEO muda ini merasa geram.

"Kamu siput atau manusia sih. Jalan saja pakai lambat sekali," gerutu Zain berteriak.

"Kaki saya sakit, Tuan, untuk berjalan," Samar suara gadis ini membalas ucapan Zain.

"Oh ya kakinya kan sedang melepuh," batin Zain. Beranjak bangkit menghampiri Kinanti kembali.

Melihat gadis yang mulai membuat otaknya terusik, berjalan dengan tertatih. Zain segera membopong tubuh gadis itu membawanya menuju meja makan.

"Lepas Tuan. Saya bisa berjalan sendiri kok. Tuan saja yang tidak sabaran," gerutu Kinanti yang kini sudah dalam gendongan Zain, ala bridal style.

"Diam, atau habis bibir kamu!" Ancam Zain, tetap menggendong tubuh Kinanti menuju meja makan. Tingkah Zain pagi itu tertangkap jelas oleh sang pelayan.

"Oh ini toh, gadis yang Tuan muda bawa. Cantik, pantas saja Tuan muda  terlihat bersemangat," gumam bi Ijah lirih.

Zain mendudukkan tubuh Kinanti di kursi dengan perlahan. 

"Mau makan apa?" tanya Zain, mematung berdiri di samping meja makan. Menatap lawan bicaranya. Yang ditanya bukannya langsung menjawab, namun tercengang melihat banyaknya hidangan yang tersaji di meja makan. 

"Tuan, banyak sekali makanannya. Aku bingung harus memilih yang mana. Terserah Tuan saja," sahut gadis itu, masih  kebingungan melihat makanan di atas meja.

Zain pun  segera mengambilkan gadis bayarannya nasi beserta lauk-pauk, hingga piring Kinanti terlihat penuh, seolah habis maraton. Sedang Zain sendiri lebih memilih makan makanan yang lebih ringan, karena sebenarnya ia tidak terbiasa sarapan pagi dengan menu berat. Hanya sekedar menemani Kinanti.

"Tuan muda tumben sekali sarapan nasi, biasanya tidak pernah," gumam bi Ijah mengamati sang majikan dari dapur.

BERSAMBUNG.....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status