Seusai sarapan pagi, Zain kembali menggendong tubuh Kinanti kembali ke kamar.
"Lepas Tuan! Saya bisa sendiri." pinta Kinanti yang kini untuk kedua kalinya berada dalam gendongan sang CEO.
"Berisik!" pungkas Zain, terus melangkah menuju kamar.
Sesampainya di dalam kamar, Zain meletakkan Kinanti di atas kasur. Tangannya menuju handphone yang tergeletak di atas meja. Mengusap layar benda pipih tersebut, mencari nomor seseorang.
"Hallo, segeralah kemari! jangan lupa bawa obat-obatan untuk kaki melepuh karena air panas." ucap Zain kepada lawan bicaranya.
"Tuan kalau mau berangkat kerja, berangkat saja. Nanti saya bisa kembali naik taksi." sela Kinanti menatap wajah tampah Zai Abraham.
"Tuan Zain kalau tidak marah, wajahnya tampan sekali." gumam gadis yang terlihat terkesima oleh ketampanan sang CEO.
"Siapa yang memberimu ijin kembali ke sana?" Kali ini suara sang CEO terdengar kembali garang.
"Sampai aku sendiri yang mengantar kamu kembali ke tempat itu. Maka kamu hanya milikku dan hanya patuh serta melayaniku saja." tandas Zain, terlihat jelas penekakan di setiap kata yang ia ucapkan.
"Kalau saya tidak kembali bekerja, bagaimana saya bisa menghasilkan uang, Tuan." protes Kinanti bersungut.
"Patuh, atau mau aku tambah hukuman kamu?" Ancam Zain dengan mimik kesal. Dengan perlawanan gadis bayarannya. Membuat Kinanti lagi-lagi terdiam ambigu. Seolah kehabisan kata.
"Aku pikir dia akan jadi gadis penurut yang imut, tapi mulutnya selalu saja memprotes perintahku." batin Zain, terlihat kesal namun juga mulai terlihat suka kepada gadis bayarannya tersebut.
Lama saling adu mulut, tiba-tiba sebuah ketukan dari luar pintu kembali terdengar.
"Tok tok tok!" Seorang pria yang berusia sebaya dengan Zain Abraham, tengah berdiri di balik pintu kamar.
"Masuk!" Sahut suara dari dalam.
Seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja lengan panjang, serta celana pantalon, masuk ke kamar.
"Wah, rupanya ada nyonya besar."
Sindir Andika, nama pria yang baru saja masuk. Ternyata adalah seorang Dokter.
"Berhentilah membual! Kerjakan saja tugas kamu! Ingat jangan sampai lukanya semakin lecet, karena sentuhan tangan kamu!" ucap Zain memperingati.
"Ha ha ha ha, rupanya tuan muda Zain tengah dilanda kasmaran nih." Kelakar sang Dokter.
"Permisi, Nona!" ucap sang Dokter, tangan dokter Andika pun mulai beraksi. Memeriksa luka pada kaki Kinanti.
Kinanti tak berani berucap sepatah kata pun. Lebih memilih diam, meringis menahan sakitnya, ketimbang bersuara, namun selalu membuat sang CEO emosi.
"Dua hari ke depan usahakan jangan terkena air dulu, Nona!" ujar dokter Andika, seusai memeriksa kaki Kinanti.
"Iya, Dokter!" balas gadis itu lirih.
Andika berjalan mendekati Zain yang berdiri tak jauh dari tempat Kinanti terbaring. Seraya membisikkan sesuatu ke telinga Zain. "Pantas saja, Tuan muda sangat posesif. Gadisnya molek sekali, layaknya jalan tol, mulus!" Bisik Dokter Andika menahan tawa, menggoda sahabatnya itu.
"Sialan, masih sempat-sempatnya mata kamu jelalatan," sahut Zain mendengus kesal, meninju dada sang dokter.
Dokter Andika pun terkekeh hingga terpingkal, melihat sikap yang sahabatnya tunjukkan. Pasalnya selama sekolah bareng beberapa tahun. Zain di kenal sebagai cowok dingin dan angkuh, yang tak tersentuh oleh para gadis di sekolah, sekalipun gadis itu bintang sekolah.
"Selamat ya Nyonya, akhirnya anda berhasil menakhlukkan hati CEO dingin ini." Dokter Andika kembali berkelakar, kali ini kepada Kinanti. Membuat gadis itu merasa kebingungan dengan ucapan sang Dokter.
"Menakhlukkan apanya Dok, meski terbilang tampan, mulutnya pedas sekali. Layaknya bon cabe level 10." gumam Kinanti kesal.
Dokter Andika segera berpamit, serta mengeluarkan obat dari dalam tas. Dan menyodorkan kepada gadis yang tengah terbaring di atas kasur tersebut.
"Terima kasih, Dokter!" tandas Kinanti, meraih bungkusan obat dari Dokter Andika.
Zain pun mengantar Dokter Andika, hingga sampai pintu depan.
"Jaga baik-baik, Gadis itu! Aku lihat sepertinya dia Gadis baik." tandas Dokter Andika, berpesan kepada sang sahabat, dengan menepuk pundak Zain.
"Terima kasih!" balas Zain, kemudian kembali menuju kamar.
Setibanya di kamar, Zain menatap jarum jam yang terpajang di dinding. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Ia pun harus segera ke perusahaan, untuk memimpin rapat.
"Istirahat lah! Aku hanya ada rapat penting sebentar. Sekitar dua jam, setelah itu aku akan membawamu ke suatu tempat."
Zain berpamit, meraih jas dalam lemari dan segera bergegas menuju garasi. Dimana pak Shodik telah menunggu Zain, untuk berangkat ke perusahaan.
"Cepat sedikit, Pak!" ucap Zain.
Zain lalu mengirim pesan kepada asisten pribadinya, untuk memulai memimpin rapat, selagi menunggu ia tiba di perusahaan.
Kinanti segera meminum obat yang Dokter Andika berikan. Kini ia bersama bi Ijah di dalam kamar, sesuai perintah Zain kepada pelayannya, untuk menjaga Kinanti.
Meski telah berdua dengan Kinanti, bi Ijah tak berani bertanya tentang asal gadis itu. Pasalnya, setiap kali Zain membawa seorang gadis bermalam, tidak pernah mereka di perlakukan istimewa melebihi perlakuan Zain terhadap Kinanti.
"Sepertinya, Tuan muda sangat mencintai Gadis ini." batin bi Ijah, menatap lekat pada wajah Kinanti.
"Bi, ini rumah Tuan Zain apa bukan?" tanya gadis itu memberanikan diri.
"Bukan, Non. Ini hanya lah villa milik keluarga Tuan muda." jawab bi Ijah.
"Oh, soalnya saya pernah sekali melihat rumah Tuan Zain. Dan itu bukan rumah ini," celetuk gadis itu.
"Wah, Nona sudah pernah di ajak Tuan ke rumah besar?" selidik bi Ijah, penasaran. Kinanti pun membalas pertanyaan sang pelayan, dengan gelengan kepala.
"Oh, kirain sudah pernah. Soalnya, kalau Gadis yang berbeda-beda, hanya Tuan bawa kemari. Tidak ada yang dibawa ke rumah besar. Hanya gadis beruntung yang sudah pernah tahu kediaman Tuan muda." sahut bi Ijah kembali.
Kinanti pun mulai berpikir dan membayangkan rumah besar nan megah yang pernah ia lihat beberapa hari yang lalu. Dan membuat gadis itu merasa merinding, saat membayangkannya. "Hiii! Tidak Kinanti, jangan pernah kamu bermimpi untuk masuk ke sana. Pasti kedua orang tuanya, lebih menyeramkan dari pria angkuh itu 'batin Kinanti."
BERSAMBUNG......
Setibanya di perusahaan, seluruh komite dan jajaran dewan direksi sudah duduk rapi, menunggu kedatangan sang CEO. Tak perlu lama dan berbasa-basi, Zain pun segera memimpin rapat tersebut. Meski sesekali bayangan wajah Kinanti terlintas di otaknya.Berbeda dengan Kinanti, setelah meminum obat dari dokter Andika, rasa kantuk pun mulai menghinggapinya. Dan gadis itu kini terlelap di balik selimut. Sementara bi Ijah dengan setia masih menunggu Kinanti sembari duduk di sofa yang ada di kamar, seraya menghidupkan televisi.******Rapat pun akhirnya selesai setelah hampir satu jam lebih Zain berdiskusi dengan bawahannya. Sesuai janjinya kepada Kinanti, maka ia pun segera kembali ke villa bersama dengan pak Shodik."Kenapa cepat sekali, Tuan?" tanya pak Shodik, saat mobil yang dikendarainya telah membelah jalanan menuju arah villa."Iya, Pak. Kebetulan hari ini jadwal saya kosong setelah rapat," balas Zain singkat.Meski terbilang dingin dan angkuh,
Selepas mandi, Zain mengajak Kinanti pergi ke sebuah butik ternama. Keduanya tampak turun dari mobil sport warna biru, berjalan beriringan. Kinanti berjalan dengan kaki tertatih."Apa sakit sekali kah untuk berjalan?" tanya Zain penuh perhatian, mengamati Kinanti yang berjalan di sampingnya dengan tertatih. Gadis itu pun membalas dengan gelengan kepala.Saat tiba di depan butik, seluruh pegawai menatap ke arah gadis di samping Zain. Masih dengan pakaian setelan kaos oblong beserta celana pendek."Selamat sore, Tuan Zain!" sapa salah satu pegawai butik yang sedang membuka pintu. Membungkukkan badannya kepada Zain."Sore juga. Bantu dia memilih pakaian. Pastikan yang paling bagus!" Perintah Zain kepada pegawai butik."Baik, Tuan. Mari, Nona!" ujar pegawai yang menyapa Zain dan Kinanti, lalu segera menuju ke ruangan di dalam. Tempat koleksi baju-baju di pajang.Kinanti tampak malu dan bingung, saat di harus kan untuk memilih beberapa baju, oleh
Sepulang dari mengantar Kinanti ke Klub, Zain tiba di rumah sekitar pukul 19.00. Pria itu segera bergegas masuk ke dalam kamar untuk bersiap. Tanpa menghiraukan sang ibunda yang sedari tadi sudah menunggunya dengan segudang omelan yang sudah bersiap meledak, bak bom molotov."Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang, sekertaris kamu bilang, hari ini kamu hanya ke kantor menghadiri rapat."Retno mencecar sang putra dengan pertanyaan. Sementara Zain, tak menanggapinya. Terus naik, menuju kamar.Tak lama kemudian Zain menuruni anak tangga, seraya merapikan kancing lengan bajunya. Malam itu Zain hendak pergi ke sebuah restoran yang sudah dipersiapkan oleh sang ibunda. Tanpa berpamit, karena kekesalan hatinya terhadap desakan Retno."Selamat malam, maaf sedikit terlambat," ucap Zain datar, saat bertemu dengan Avica untuk pertama kalinya. Gadis pilihan sang mama. Seorang gadis cantik, berpenampilan eksotis, dan sifat yang agresif serta materialis
Beberapa hari kemudian....Selepas pertengkaran dengan kedua orang tuanya, Zain lebih memilih tinggal di villa. Sifat angkuh yang dia miliki sejak lahir, semakin membuat dirinya untuk lebih menjauhi segala sesuatu yang dapat memicu emosi dan kemarahannya.Bi Ijah dan pak Shodik dengan setia melayani sang majikan selama tinggal di villa, dan hal semacam ini bukanlah kali pertama terjadi."Maaf, Tuan, jika Saya lancang," ucap bi Ijah tatkala menyiapkan makan malam untuk Zain."Iya, Bi. Katakan saja!" balas Zain menatap sopan bi Ijah."Ada baiknya, jika Tuan segera menikah! Dengan begitu Tuan, dan Nyonya besar, tidak marah-marah terus." sambung Bi Ijah.Zain mendengarkan nasehat pelayan yang sudah bekerja mengurus villa sejak ia masih kecil itu dengan seksama, seolah bi Ijah adalah ibu kedua bagi Zain. Lebih mengerti dirinya ketimbang sang mama."Zain bukannya tidak ingin segera menikah, Bi. Bibi tahu sendiri, s
"Maaf, Tuan. Jangan lakukan itu!" Kinanti terus berusaha menepis gelas yang Danil sodorkan ke bibirnya."Ayolah cantik, sedikit saja. Berapa sih harga yang kamu minta?" tanya Danil seraya tersenyum menyeringai. Terus berusaha memaksa gadis itu menenggak minuman yang ada di tangannya."Saya tidak bisa meminumnya, Tuan," tepis gadis itu berusaha menolak."Ayolah Cantik, sedikit saja. Apa pun keinginan kamu pasti aku kabulkan, asal sekali saja kamu mengabulkan keinginanku," Mohon Danil di bawah kesadaran yang berangsur berkelana entah kemana.Gadis itu makin panik bercampur kesal, merasa usaha penolakan yang ia lakukan sia-sia. Kinanti pun berteriak memanggil Alan."Pak Alan, tolong! teriaknya."Tuan, jangan!" Mohon Kinanti sedikit menghiba memasang wajah melas disertai derai air mata yang mulai membasahi wajah cantiknya, sementara tangannya, menutup bibir. Gadis malang ini pun sesenggukan.Alan yang melihat keributan itu seg
Jalanan kota malam itu mulai terlihat sunyi senyap, hanya beberapa kendaraan saja yang melintas. Dengan kencangnya Alex mengemudikan mobil menuju arah rumah sakit terdekat. Sementara gadis yang tengah merengkuh tubuh Zain masih terlihat sembab matanya."Perawat!" Teriak Alex, saat mobil yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu utama IGD.Dua perawat laki-laki bergegas menghampiri, seraya membawa brankar. Alex segera keluar, membuka pintu dan memapah majikannya menaiki brankar, dengan dibantu perawat.Zain diletakkan di atas brankar dengan posisi tengkurap, karena belati milik Danil masih tertancap di punggungnya.Melihat perawat membawa masuk Zain ke dalam ruang IGD. Kinanti kembali diliputi kekhawatiran. "Selamatkan Tuan Zain ya Allah," gumamnya.Alex mencoba menghubungi Alan, bertanya apakah pria brengsek yang baru saja membuat ulah itu telah dia usir dari tempat tersebut."Baik, Tuan Alex. Sekali lagi saya mohon maaf atas insiden
Irfan adik laki-laki Kinanti merasa iba melihat kesedihan sang bapak. Setelah berjalan hampir lima ratus meter, pemuda ini memutuskan untuk kembali ke rumah pak Gatot."Kenapa berhenti, Nak?" Pak Firman menatap putra bungsunya dengan mata yang masih basah."Irfan harus meminta penjelasan kepada Pak Gatot di mana Mbak Kinanti saat ini, Pak?"Pemuda itu bergegas berlari kencang menuju kediaman Pak Gatot, ternyata pria paruh baya tersebut masih duduk di kursi kebesarannya."Hei....! Untuk apa kamu kembali lagi, pergi!" Usir pria sombong itu."Katakan di mana Mbak Kinanti berada!"Dengan lantang Irfan bertanya keberadaan sang Kaka."Ha ha ha ha...." Pak Gatot hanya tertawa mencibir."Dasar keluarga tidak tahu malu, pergi atau aku usir paksa kau anak muda." Imbuh pria paruh baya tersebut menuding wajah Irfan penuh penghinaan.Bukannya jawaban yang ia dapat, pak Gatot menyeru kepada anak buahnya untuk mengusi
Ciuman membara dari dua sejoli yang dilanda kerinduan berakhir sudah. Alex bergegas masuk ke dalam, disusul oleh seorang perawat yang hendak melepas selang infus."Kenapa harus terburu pulang, Tuan? Luka Anda masih belum sembuh," ucap perawat membuka selang infus di tangan Zain.Tidak ada yang berani memberikan jawaban dari pertanyaan sang perawat, "Lakukan saja tugas kamu!"Itulah balasan yang keluar dari bibir Zain Abraham."Selama beberapa hari tolong Tuan usahakan agar luka Anda tidak terkena air," Pesan perawat sebelum pergi meninggalkan ruangan."Emm...." Itulah jawaban singkat dari seorang Zain Abraham yang terkenal dingin dan angkuh.Setelah perawat pergi Alex bergegas membantu Zain bangun, pun juga Kinanti."Aku tidak selemah itu, lepas!" ucap Zain menepis tangan dua orang yang berusaha menolongnya.Kinanti masih menempelkan tangannya di lengan Zain, sementara Zain menatapnya tajam. Tak mau dikasihani."Sa