Home / Fantasi / Kinari dan Benang Waktu / Bab XXX The Spatial Realm

Share

Bab XXX The Spatial Realm

Author: Niskala
last update Huling Na-update: 2025-08-19 23:29:10

Pintu itu bergetar seolah merespon desah napas mereka.

Tidak ada yang menyentuhnya, tetapi lapisan-lapisan realita yang menari di permukaannya mulai runtuh seperti kaca rapuh, terurai, lalu kembali menyusun dirinya.

Kael sempat berbisik, “Apa kita akan masuk?.”

Namun seketika itu juga, ketika kaki mereka nyaris menyentuh ambang, cahaya merayap dari dalam, menangkap tubuh mereka dengan tarikan tak kasat mata.

Tidak ada ruang untuk melawan. Tidak ada jeda untuk menolak.

Kael dan Kinari terhempas masuk.

Gelap. Hampa.

Lalu dunia baru menyambut mereka dengan keterasingan yang nyaris membuat dada pecah.

Mereka berdiri—atau merasa berdiri—di sebuah realm yang tak mengenal hukum tunggal.

Platform-platform melayang dalam kegelapan tanpa ujung.

Tidak ada tanah yang nyata; hanya lempengan-lempengan raksasa dari batu hitam, pecahan kristal, dan jalur cahaya tipis, terhubung satu sama lain dalam pola kacau.

Setiap platform seakan memiliki gravitasinya sendiri.

Ada yang tegak lurus, ada yang
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LV The Omen of Contact

    Kael menahan napas. “Kau merusak kepercayaan dasar,” katanya singkat. “Demi apa? Stabilitas palsu?” Harrison tertawa, lalu, tanpa transisi, mengangkat tangan kanannya. Udara di sekeliling Kael tiba-tiba mengerut seperti kain yang ditarik. Ada tarikan halus, magnetik — tidak tampak, namun terasa menekan paru, menekan suara. Kael menggertak, ia mencoba mengambil napas, namun tangannya kaku. Matanya melebar, rona darah biru memudar di bibir, lalu wajahnya berubah pucat biru eter. Harrison menatap, tidak mengangkat sedikit pun otot wajah. “Pertanyaan yang bagus,” katanya lembut. Kemudian tenaga itu menjadi kekerasan: lengan Kael terangkat tanpa ia kehendaki, tubuhnya ditarik ke depan seperti boneka benang. Harrison mendekat, jarak hanya beberapa jengkal. Tali-tali halus energi, seperti benang hitam berkabut, melilit di leher Kael. Sesuatu meremas, tegas. Kael tercekik. Matanya membulat, suaranya hanya bisik yang tertahan: “R-Ratu…” Kinari melesat. Aetheryn muncul

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LIV Tongues of Dust

    Ruang rapat itu seperti mangkuk yang menelan suara — kini suaranya penuh dengan napas yang berat. Harrison duduk rileks, seperti seorang profesor yang menantikan muridnya menyerah pada logika yang sudah ia siapkan. Kinari berdiri tegak; Kael di sisi sedikit condong, walau tetap menahan tangan pada gagang bilah ethernya. El’Thyren di dada Kinari berdetak pelan, lalu semakin cepat, seperti alarm yang mencoba menahan amukan yang belum meletus. Harrison menyapu mereka dengan pandang yang dingin namun lunak—sebuah senyuman tipis mengukir bibirnya ketika ia mulai berbicara, suaranya meleleh ke dalam karpet tebal namun tetap sampai ke telinga seperti cairan logam. “Percumalah, anak-anak langit,” kata Harrison, suaranya merasuk lembut. “Menyelamatkan sebuah dunia yang sudah diresapi kepalsuan. Di Valis Reverin ini —dan di kota-kota lain—kita berada di tepi jurang keputusasaan. Para pemimpin menakar nurani dengan timbangan yang berkarat karena keserakahan, kaum besar menindas

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LIII An Unforeseen Convergence

    Kerumunan bubar menjelang sore. Seperti pasang surut, massa mengalir ke jalan-jalan kecil, meninggalkan selebaran dan bekas langkah. Kinari dan Kael berjalan menyamping, hendak kembali ke apartemen, ketika dua pria bersetelan gelap mendekat. Gerak mereka lunak, namun terhitung. Lencana oval mengilap di dada—bukan lambang kota yang mereka kenal; garisnya terlalu sempurna, seakan digambar ulang dari memori mesin. “Maaf,” kata salah satu, suaranya hening dan kental. “Tuan Harrison ingin berbicara dengan anda berdua. Jika berkenan.” Kael dan Kinari saling memandang. El’Thyren tidak memekik kali ini; ia berdetak—satu untuk ya, dua untuk waspada. Kinari mengangguk, gerakan kecil seperti daun yang mempersilakan angin. Mereka melewati koridor kantor kota—lorong-lorong putih yang begitu bersih sampai cahaya kehilangan tempat untuk bertengger. Kamera-kamera kecil menoleh sendiri ketika rombongan berjalan. Lantai vinil memantulkan langkah menjadi irama yang tidak alami—ada g

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LII Dreams That Fell on Deaf Ears

    Kabar itu datang lewat layar-layar kota: ticker huruf berlari seperti ikan perak, wajah pewarta dingin, dan nama yang diulang-ulang bagaikan mantra. Harrison — pemimpin Valis Reverin, kota pesisir yang merentang dari teluk ke bukit, di mana dermaga baja bersiul seperti seruling ketika angin menerobos di antara menara-menara kaca. “Beliau akan menemui massa,” begitu kata berita, “mendengar langsung aspirasi warga.” Kinari berdiri di balik jendela apartemen, memandangi pantulan dirinya di kaca — bukan ratu berzirah, melainkan perempuan berambut disanggul sederhana, dengan El’Thyren berdenyut tenang di bawah kain. Kael menutup layar televisi; suara dunia menyusut menjadi dengung listrik dan jauh di sana, sirene yang berusaha lupa. “Dia datang ke tengah arus,” ujar Kael pelan. “Arus juga bisa menghanyutkan, jika tak kenal dasar,” jawab Kinari. Matahari telah meninggi ketika mereka menyusup ke kerumunan di Lapangan Petala — alun-alun Valis Reverin yang luas bagai cakram kar

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LI Whispers of the Unheard

    Asap memerihkan mata, menyesaki paru. Suara memantul dari beton: teriakan, komando, dentum. El’Thyren berdenyut kencang sampai terasa menyakitkan. Retakan di langit merambat lebih jelas—serpihan kecil waktu jatuh seperti salju tak terlihat, menyentuh kulit dan membuat dingin tulang. “Pisahkan arus,” seru Kael, suaranya hanya untuk mereka berdua. “Kau tarik amarah, aku tarik takut.” Kinari mengangguk. Ia melangkah ke depan, membentangkan telapak. Aetheryn menggema dalam bayang, tidak seperti tombak, melainkan seperti pilar gaib yang menciptakan ruang kosong di tengah keriuhan. Dari ujung jemarinya, ia memanggil air tipis yang ia pelajari dari pipa-pipa kota—Hujan Tiris; bukan deras, hanya kabut sejuk yang menempel di kulit, menenangkan mata yang pedih gas. Kabut itu tidak menghalangi, hanya memberi jeda bernapas. Kael menenun Sutera Lumen di atas kepala massa—benang nyaris tak terlihat yang menunda momentum lemparan, memperlambat batu yang semestinya melayang. Batu itu tetap

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab L The Fractured Oath of Justice

    Malam itu, taman kecil di bawah apartemen berkilap lembut oleh lampu jalan yang diselimuti kabut. Daun-daun basah memantulkan cahaya seperti sisik ikan mithril. Kinari dan Kael duduk di bangku besi—dinginnya menembus pakaian yang baru saja mereka pelajari namanya. El’Thyren di dada Kinari berdenyut pelan, seperti detak jantung yang sedang menimbang. “Di dunia manusia,” Kael membuka suara, “retakan tidak membelah seperti tebing. Ia merayap seperti lumut—halus, menjalar, perlu dibersihkan secara berkala.” “Artinya,” sahut Kinari, menatap permukaan kolam yang menangkap wajah bulan, “kita harus tinggal. Sepanjang umur. Mengikat hidup pada tempat yang bukan rumah.” “Di realm lain,” Kael melanjutkan, suaranya rendah, “kita datang, menutup luka, lalu selesai. Di sini tidak ada ‘sekali’. Hukum sosial mereka berputar perlahan, membentuk celah yang selalu baru. Jika kita memaksakan pedang… dunia akan menolak. Jika kita lembut, celah-celah itu tumbuh lagi.” Kinari menghela napas,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status