“Hei, kamu, Salma ‘kan? Yang kemarin diarak warga?” Seorang ibu-ibu datang menghampiriku yang tengah duduk di pos ronda.
Setelah keluar dari kontrakan, aku segera pamit pada Wulan untuk menjauh dari kehidupan Mas Hadi. Berbekal uang pinjaman dari Wulan untuk ongkos pulang kampung, aku berjalan menuju pangkalan ojek terdekat. Meski berat, akan tetapi aku harus kuat. Sebenarnya, Wulan sudah menawarkan diri untuk mengantar ke terminal. Namun, lagi-lagi Bude Ratih melarangnya untuk membantuku. Belum sampai sepuluh menit perjalanan, perutku terasa keram, hingga akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di pos ronda yang tidak jauh dari tempatku berdiri. “Maaf, Bu. Saya telah difitnah,” elakku cepat. Tatapan sinis begitu saja terhunjam dari wanita yang aku saja tidak tahu siapa namanya. “Yang bener, Mbak?” tanyanya lagi seakan tak percaya. “Iya, Bu. Saya berani bersumpah, demi Allah saya tidak melakukan apa yang dituduhkan.” “Jangan asal sumpah, sumpah ya, Mbak. Ingat, kalau bohong itu dosa. Apalagi ini bawa-bawa nama Allah,” oceh wanita berdaster hijau motif daun. “Ya sudah deh, Mbak. Saya banyak urusan.” Wanita itu melenggang pergi meninggalkanku yang masih meringis menahan keram. Ya Allah, secepat itu fitnah yang kuterima menyebar luas. Siapa sebenarnya yang tidak suka padaku? Apa jangan-jangan Bude Ratih? Tapi apa motif dia memfitnahku? Apa untungnya buat dia? Semakin aku berpikir, maka semakin membuat keram perutku terasa lebih sakit dari sebelumnya. Aku hanya bisa beristighfar dalam hati sambil mengusap perut. Lima menit berlalu, keram yang kurasa akhirnya mulai memudar. Alhamdulillah, sepertinya aku bisa melanjutkan perjalananku. “Mbak, perlu ojek ya?” tawar seorang yang tiba-tiba lewat. “Eh, i-iya, Pak.” Aku menjawab ragu, karena masih teringat kejadian semalam yang melibatkan pria yang tidak kukenal. “Alhamdulillah, saya tukang ojek, Mbak. Hari ini sangat sepi, jadi dari tadi saya keliling cari orang yang mau memakai jasa saya.” Ada sedikit lega mendengar penuturan bapak yang mengaku tukang ojek tersebut. Melihat peluhnya yang masih mengalir di pelipis, membuat aku merasa iba. “Iya, Pak, alhamdulillah. Kalau begitu antar saya ke terminal ya, Pak.” Aku segera naik di jok belakang motor pria paruh baya dengan sedikit memberi jarak memakai tas jinjingku. Di sepanjang jalan aku terus berpikir tentang siapa biang kerok dari fitnah keji itu. Rasanya tidak adil bagiku jika aku harus pergi dan meninggalkan si pelaku berbahagia karena berhasil memisahkan aku, anakku dengan Mas Hadi. Ya, aku tidak boleh lemah, aku harus mengungkap semua kebenaran dari apa yang terjadi. Untuk itu aku tidak boleh kembali ke kampung dulu. Namun, uang yang dipinjamkan Wulan pasti tidak akan cukup untuk mengontrak rumah. Akhirnya aku ingat bahwa ada satu benda yang bisa dijual dan dipakai uangnya. “Pak, kita nggak jadi ke terminal ya, ada yang mau saya cari di pasar, Pak. Jadi kita ke pasar saja,” ucapku pada tukang ojek berjaket hitam yang tengah fokus mengendalikan roda duanya. “Eh, iya, Mbak,” jawabnya singkat tanpa banyak bertanya. Aku suka cara kerjanya yang tidak ingin ikut campur urusan penumpangnya. Sampai di pasar, aku tidak benar-benar membeli sesuatu karena tujuan utamaku ke pasar adalah untuk menjual kalung emas pemberian ibu tepat sehari sebelum Mas Hadi memboyongku dari kampung dulu. Kalung emas dengan liontin kecil berbentuk bunga mawar, bunga kesukaanku. Sebagai hadiah terakhir sebelum aku berangkat menapaki hari-hari bersama suami. Hari ini pemberian satu-satunya dari Ibu itu turut menjadi korban dari fitnah yang kuterima. Demi Tuhan, aku harus bisa menemukan pelaku sebenarnya. “Terima kasih bantuannya, Pak. Semoga Bapak dan keluarga selalu dilapangkan rezekinya.” “Amin … terima kasih doanya, Mbak. Saya pamit dulu.” Tukang ojek yang telah membantuku seharian ini pamit dengan senyum mengembang setelah menerima dua lembar berwarna merah dariku. Setelah dari pasar, dengan sabar dia membantuku mencarikan kontrakan sederhana di sebuah komplek. Aku memilih kontrakan ini karena memang jaraknya yang tidak terlalu jauh dari komplek perumahanku dulu. Selain karena ongkos sewanya yang lumayan terjangkau, aku juga bisa melancarkan aksi mencari orang yang telah tega memfitnahku. Setelah kepergian pak Rudi-tukang ojek, aku memilih masuk dan mengunci pintu. Rasanya ingin segera mengistirahatkan raga yang sudah dua hari ini tidak mendapatkan haknya beristirahat dengan tenang. Aku terbangun di sore hari. Meski rasa kantuk masih mendera, tetapi aku harus segera bangun karena waktu Asar telah lewat beberapa menit yang lalu. (Salma, sudah sampai rumah belum?) Kubuka pesan dari Wulan. (Alhamdulillah sudah, Lan. Terima kasih kamu sudah mau bantu aku.) Aku tidak mau jika Wulan tau sebenarnya di mana aku berada, karena aku ingin lebih berhati-hati dalam melaksanakan rencana. Apalagi jika mengingat Bude Ratih-orang pertama yang masuk dalam list tersangka. (Alhamdulillah, aku seneng dengarnya … kamu baik-baik di sana ya, tenang aja, Kang Hadi aku yang jaga.) Hah, maksud Wulan apa ini? Kenapa dia mau repot-repot jaga Mas Hadi? (Maksud kamu? Kenapa kamu mau jaga Mas Hadi?) Satu detik kemudian pesan sebelumnya yang dia kirim telah terhapus dari obrolan kami. (Eh, nggak papa, Sal. Maksud aku, aku akan ikut memperhatikan Kang Hadi buat kamu. Siapa tau dia macam-macam ‘kan aku bisa langsung kasih tau kamu.) Setelah membaca balasna dari Wulan, aku merasa mungkin memang benar apa yang dikatakan Wulan, karena selama ini dia memang tidak terlalu peduli dengan Mas Hadi. Memang dia adalah sahabat terbaik. Namun, ada terselip kejanggalan ketika kembali mengingat satu pesan yang dihapus olehnya. Atau, apakah Wulan juga harus aku masukkan dalam daftar tersangka?? Bersambung.Hah! Itu suara Gus Afif. Pasti dia tengah mencari adik perempuannya. Bagaimana ini??Gegas kuusap air yang sebenarnya masih ingin mengalir dari sudut kedua mata. “Husna, itu suara abangmu,” bisikku pada gadis yang masih larut dalam sedih. Namun, dia hanya menjawab dengan gelengan lembut tanpa berniat bangkit dan mendatangi sang kakak. Pada akhirnya, aku memberanikan diri beranjak menuju pintu yang di baliknya ada sosok yang dulu pernah menggetarkan jiwa, bahkan sampai detik ini, getaran itu datang kembali tanpa diminta. Astaghfirullah, aku harus bisa mengendalikan diri, karena bagaimanapun aku belum betul-betul berpisah dengan Mas Hadi.“Assalamualaikum,” ucap pemuda itu lagi dengan getaran khawatir yang terdengar dari suaranya.Mendengar suara itu begitu dekat, dadaku semakin sesak, kegusaran menghampiri tanpa permisi. Bagaimana ini? Apa aku harus membukakan pintu untuknya? Sepertinya aku belum sanggup untuk bertatap muka. Namun, jika tidak cepat kubuka, yang ada dia akan berpikira
‘Hah! Dia ‘kan ….’“Mbak Salma lihat apa? Fokus banget,” celetuk Bu Ningrum tiba-tiba, membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya. Untung saja aku memakai cadar, jadi dia tidak melihat wajahku yang memerah karena malu.“Eh, enggak ada, Bu. Lagi lihat warga sini ternyata banyak juga, ya,” jawabku sekenanya sambil menenangkan hati. “Oh, begitu … jadi di komplek ini memang banyak warganya, Mbak. Kalau dibanding komplek sebelah sih masih jauh banyak warga di komplek sini. Tapi orangnya baik-baik kok, Mbak. Percaya deh,” tutur Bu Ningrum dengan tersenyum.“Iya, Bu. Saya percaya kok. Alhamdulillah juga saya dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Bu Ningrum ini,” balasku juga dengan tersenyum.“Ah, Mbak Ifah bisa aja,” celetuknya dengan tersipu, dan aku hanya bisa tersenyum di balik cadar.“Bapak dan Ibu sekalian, perkenalkan, nama saya Afifurrahman, panggil saja Afif atau Rahman. Saya tinggal di sini bersama adik perempuan saya yang tadi pagi mengundang Bapak dan Ibu, namanya N
Sudah satu minggu aku tinggal jauh dari suami dan juga orang tua. Rumah kontrakan sederhana ini menjadi saksi bisu perjalanan kisah hidupku dalam mencari kebenaran. Selama satu Minggu ini, aku belum bisa menemukan cara untuk mendapatkan informasi dan petunjuk, padahal uang sisa penjualan kalung kemarin sudah sangat menipis. Gegas aku membuka gawai, mencari apakah ada yang bisa aku lakukan untuk dapat menghasilkan uang penyambung hidup. (Menghasilkan uang dari rumah) Kira-kira seperti itulah pencarianku lewat beranda suatu aplikasi video yang sudah sangat terkenal di kalangan ibu-ibu komplek kami dulu dengan sapaan Mbak Yu tub* Ada banyak video yang sudah berbaris rapi dari atas hingga bawah. Scroll naik dan turun, memilih dan mencari apa ada yang cocok denganku yang tengah berbadan dua ini. Hingga satu video aku klik dan tonton. Video tentang menjadi penjual, tetapi tidak perlu menyetok barang. Sepertinya mudah, aku hanya perlu aktif di sosial media, menyebarkan link penjualan k
Aku mematut diri di depan cermin. Dengan memakai cadar dan baju syar'i yang kubeli kemarin, berputar memandang benda yang memantulkan bayangku, untuk memastikan penampilan berubah dari sebelumnya. Ya, aku tengah menyamar, anggap saja begitu. Berbagai keperluan dapur belum kumiliki, karena itu lah aku harus keluar untuk membelinya. Selain itu aku juga berniat melewati gang rumah tempat Mas Hadi tinggal. Siapa tahu aku bisa menemukan petunjuk untuk apa yang tengah kucari.Dengan menjinjing tas yang kupakai membawa bajuku kemarin aku berjalan santai menuju arah perumahan calon mantan suami. Hari ini adalah hari Sabtu, hari di mana dia libur kerja. Jadi, bisa dipastikan dia sekarang ada di rumah.Beberapa warga yang tengah duduk santai di teras rumah melihatku dengan heran, raut wajah mereka terlihat sangat penasaran dengan kehadiranku. Masuk begitu, aku tidak peduli karena tujuanku bukan untuk berkumpul dan mengobrol dengan mereka. Biarlah mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri. “A
“Hei, kamu, Salma ‘kan? Yang kemarin diarak warga?” Seorang ibu-ibu datang menghampiriku yang tengah duduk di pos ronda. Setelah keluar dari kontrakan, aku segera pamit pada Wulan untuk menjauh dari kehidupan Mas Hadi. Berbekal uang pinjaman dari Wulan untuk ongkos pulang kampung, aku berjalan menuju pangkalan ojek terdekat. Meski berat, akan tetapi aku harus kuat. Sebenarnya, Wulan sudah menawarkan diri untuk mengantar ke terminal. Namun, lagi-lagi Bude Ratih melarangnya untuk membantuku. Belum sampai sepuluh menit perjalanan, perutku terasa keram, hingga akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di pos ronda yang tidak jauh dari tempatku berdiri.“Maaf, Bu. Saya telah difitnah,” elakku cepat.Tatapan sinis begitu saja terhunjam dari wanita yang aku saja tidak tahu siapa namanya.“Yang bener, Mbak?” tanyanya lagi seakan tak percaya. “Iya, Bu. Saya berani bersumpah, demi Allah saya tidak melakukan apa yang dituduhkan.” “Jangan asal sumpah, sumpah ya, Mbak. Ingat, kalau b
“Salma?! Apa-apaan, ini? Kenapa kamu berada di rumahku?! … Pergi kamu, aku tidak mau rumahku diinjak pelac*r sepertimu!” Bagai petir menyambar, suara Bude Ratih seolah mengeluarkan dengung di telinga. Meski sebelumnya aku sudah dapat menebak, tetapi nyatanya hatiku belum siap kembali mendengar cemooh dan umpatannya.Wulan berusaha masuk dengan melewati wanita berdaster itu. Namun, tenaganya kalah kuat dari sang ibu. “Kenapa kamu ajak dia ke sini? Mau dapat sial kamu, Hah?!” Bentak Bude Ratih pada anak gadisnya. Wulan hanya terdiam memandangi ibunya. Pandangan yang sulit untuk kuartikan. Sekejap kemudian, sekuat tenaga dia menarik lengan Bude Ratih untuk keluar kamar.“Bentar ya, Sal. Aku ngomong sama Ibu dulu.” Wulan berpamitan padaku sambil menarik lengan ibunya.“Iya, Lan,” jawabku singkat karena masih syok dengan umpatan Bude Ratih yang menyebutku sebagai pelacur. Ya Allah … sehina itu kah hamb