Dominica berdiri didepan pintu kamar Juan dengan raut wajah ragu. Ia bimbang, apakah harus menemui putranya atau tidak.
"Bagaimana jika dia sedang istirahat dan tak ingin diganggu?" gumam Dominica, "tapi, aku sangat mengkhawatirkan kondisinya."
Beberapa kali Dominica mengulurkan tangannya hendak mengetuk pintu, namun setiap kali tangannya hampir menempel di pintu ia menariknya.
Jika bukan karena sikap putranya yang sedikit tidak menyukai dirinya, mungkin saat ini Dominica sudah berlari heboh untuk melihat kondisi putranya.
Rasa bersalah tiba-tiba menyeruak dalam dadanya, sedemikian rupa sehingga membuat dadanya sesak. "Jika saja kau mengetahui kebenarannya, nak," batin Dominica sedih.
CKLEK!
Dominico tersentak di kursinya mendengar Juan mengatakan ibunya terus mendatanginya dalam mimpi setiap malam. Sebab hal itu pun terjadi padanya, semenjak kematian istrinya hampir setiap malam Gianna selalu hadir di mimpinya.Dan selalu sama. Gianna memakai pakaian putih kusam dengan rambut kusut dan wajah sedih mengibakan. Mulut wanita itu bergerak-gerak seperti mengucapkan sesuatu, namun tidak ada suara yang keluar dari tenggorokkannya.Dominica selalu menangis tiap kali Gianna hadir dalam mimpinya. Rasa bersalah dan menyesal menumpuk kian dalam, menyesakkan dadanya. Menyesal karena menyebabkan wanita yang dicintainya ikut terlibat dalam masalahnya. Bersalah karena tidak mampu melindungi Gianna tercinta.Dominica selalu menyimpan rapat mimpi itu, ia tak pernah menceritakannya pada siapapun. Bahkan Angelo yang merup
Franco menarik nafas panjang, raut wajahnya kelihatan cukup kesal dengan sikap Luciano tadi. Orazio yang sedari tadi memperhatikan keributan antara ayah dan anak itu tak berkomentar sama sekali."Dia terlalu dimanja. Salahku," sesal Franco pada dirinya sendiri.qKemudian ia kembali ke tempat duduknya semula, namun wajahnya murung. Minatnya untuk melanjutkan percakapan bisnis dengan Orazio telah hilang."Jika anda ingin menunda pembicaraan bisnis kita, tidak mengapa, tuan Franco. Anda kelihatan lelah," ucap Orazio berempati."Tidak. Aku tidak apa-apa, Orazio. Hanya… aku tak tahu lagi bagaimana cara mengendalikan putraku satu-satunya itu," keluh Franco murung."Semenjak kematian ibunya, aku selalu memanjakannya. Ap
"Jika bukan karena mama dan mafioso Klan Maximo, aku tidak akan pernah ingin kembali!" ketus Juan."Kau adalah pemimpin klan ini papa. Klan terbesar di negara kita! Lantas, mengapa kau seperti ini?! Apakah ada sesuatu yang tidak aku ketahui, papa?" selidik Juan menatap tajam sang ayah.Dominica menarik nafas dalam-dalam lalu berkata, "tidak, nak. Tidak ada satupun yang papa sembunyikan darimu.""Alasanku tidak memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi pada mamamu, adalah karena… permintaan mamamu sendiri," lanjut Dominica.Ekspresi Juan seketika berubah, "apa maksud perkataanmu, papa?" tanyanya tak mengerti."Sebelum meninggal, mama
Franco keluar dari mobilnya dengan raut wajah bimbang. Selama beberapa detik pria yang sudah mulai berumur namun tubuhnya masih sangat tegap itu berdiri menatap rumah mewah milik Dominica Maximo dengan tatapan ragu."Selamat pagi, tuan Marchetti. Selamat datang di kediaman tuan Maximo."Angelo muncul dari dalam rumah dengan senyum hangat menyambut Franco Marchetti."Oh, Angelo. Terima kasih atas sambutanmu" balas Franco tersenyum.Ia lalu melangkah mendekati Angelo dan menyambut uluran tangan pria itu. Keduanya bersalaman hangat, seolah tak ada ketegangan di antara keduanya."Silahkan, tuan Marchetti. Tuan Maximo telah menunggu anda di ruang kerjanya," ajak Angelo ramah."Apakah a
"Cobalah. Aku ingin melihatnya," tantang Dominica dengan santai. Ia sama sekali tidak terintimidasi oleh ancaman Franco.Sebab ia sendiri tidak menganggap Franco sebagai musuhnya. Ia selalu menganggap Franco sebagai keluarganya, adik iparnya. Walau apapun yang dilakukan pria itu.Franco menatapnya dengan mata penuh kebencian. Ia muak melihat bagaimana pria itu bersikap sangat tenang, seolah-olah tidak ada rasa bersalah sedikitpun."Baiklah. Aku akan menunjukkan padamu bahwa Angelo dapat berpihak padaku," putus Franco geram.Atmosfir ruangan itu mulai terasa panas oleh sikap Franco yang sangat memusuhi Dominica. Namun saat Franco hendak membuka mulutnya kembali, terdengar suara ketukan di pintu yang mengurungkan niatnya.
Juan yang mulai mencium tanda bahaya segera memerintahkan Angelo dengan isyarat wajahnya untuk menenangkan sang ayah, sementara dirinya terus berusaha membujuk sang paman."Paman Franco, ayolah… aku ingin sekali berbincang-bincang dengan paman. Sebab sudah cukup lama kita tidak bertemu," bujuk Juan lagi.Sementara itu, Angelo telah berada di belakang Dominica membisikkan sesuatu ke telinga pemimpin Klan Maximo itu. Entah apa yang dibisikkan Angelo, tapi sepertinya cukup ampuh.Setelah terlihat berpikir sejenak, akhirnya ekspresi Dominica melembut. Sorot matanya tak lagi tajam menatap Franco Marchetti."Juan, tolong kau temani pamanmu. Papa ingin istirahat di kamar," ucap Dominica tiba-tiba seraya bangkit dari duduknya.
Dominica berdiri mematung dengan gigi gemeretak. Ia menahan dirinya agar tidak melontarkan makian atau kalimat yang dapat memperburuk keadaan.Tapi tentu saja Dominica tidak bisa hanya diam saja sementara Juan menelan bulat-bulat apa yang disampaikan sang paman. Tidak hanya itu, Angelo yang berdiri di depannya pun sama shocknya dengan Juan."Pembelaan apalagi yang akan kau ucapkan, Dominica?" tanya Franco dengan nada sinis. "Kali ini tidak akan kubiarkan kau lolos. Aku akan segera merebut Klan Maximo dan menyingkirkanmu selamanya!" ancam Franco berapi-api.Setelah itu tanpa berpamitan pada Juan, Franco berlalu dengan langkah panjang-panjang meninggalkan ruang kerja Dominica.Sepeninggal Franco, atmosfir ruangan terasa sangat tegang sekaligus panas. Dominica berdiri memat
Dominica berhenti, kemudian tanpa menoleh ia berkata sedih, "selama kau belum memiliki kepercayaan padaku, akan sia-sia semua ucapanku."Kemudian ia melanjutkan langkahnya meninggalkan ruangan tersebut dengan rasa perih di dada.Angelo yang sedang duduk seketika bangkit begitu melihat Dominica keluar dari pintu yang terbuka. Ia berdiri namun tak berkata apa-apa. Hanya matanya yang menyiratkan pertanyaan."Angelo, aku ingin istirahat. Aku sangat lelah," ucap Dominica pelan."Baik, tuan. Aku dan Sanzio akan mengurus bisnis hari ini. Silahkan anda beristirahat dengan tenang," balas Angelo.Dominica berjalan dengan langkah diseret. Pria itu terlihat sangat lelah dan sangat tua. Angelo tiba-tiba merasa iba melihat sang pemimpin Kl