Pernikahan antara Warno dan si gadis kota yang dimaksud tempo hari, terlaksana dengan lancar. Sayangnya, Nyimas Sekar tidak bisa ikut hadir pada acara tersebut, karena kondisi kesehatan yang semakin memburuk. Warti dan Sutrisno lah yang hadir. Namun, doa restu selalu mengiringi langkah Warno.
Warno yang sudah resmi menikahi gadis kota itu lebih memilih tinggal di rumah istrinya. Anak tertua itu terpaksa meninggalkan keluarga di desa. Pekerjaan Warno sebagai seorang akuntan lah yang memaksa dirinya tinggal di kota. Sementara Warti meminta izin suaminya untuk tinggal sementara di rumah sang ibu untuk mengurus Nyimas Sekar yang sedang sekarat.
âNduk, sepertinya ibumu sudah tidak kuat.â
âApa maksudnya, Bu?â tanya Warti yang tidak mengerti.
âMaksudku, usia ibu tidak akan lama lagi, Nduk. Kamu tidak perlu repot mengurus ibu seperti ini.â
âBu, lagian aku nggak keberatan harus merawat ibu sampai akhir hayat, kok.â
âSyukurlah. Kamu memang anak yang shalihah, Warti.â
âWarti, tolong ambil kotak di dalam lemari. Ibu hamper saja lupa memberimu hal penting.â
Warti tanpa bertanya perihal kotak yang dimaksud oleh ibunya, langsung mengambil benda tersebut. Sebuah kotak perhiasan mungil berwarna merah memang tersimpan rapi di dalam lemari. Ketika jemari lentiknya hendak membuka isi kota itu, ia mengurungkan niatnya dan kembali menutup kotak cantik tersebut.
âBu, ini kotak merah yang ibu maksudkan.â
âIya betul, Warti.â
âBu, kalau boleh tahu, memangnya isinya apa?â Warti memberanikan dirinya bertanya kepada sang ibu.
âSebenarnya, ibu ingin memberikan perhiasan ini sama Sutrisno.â
âKalau boleh tahu buat apa, Bu?â
âUsianya masmu Sutrisno kan sudah hamper 23 tahun. Usia segitu seharusnya dia sudah menikah. Ibu hanya ingin memberikan perhiasan-perhiasan ini kepada masmu.â
âOh begitu. Untung saja ya, Bu Mas Sutrisno sedang tidak ada di rumah. Kalau saja Mas Sutrisno mendengar kabar akan dikasih hadiah, apalagi perhiasan pastinya akan melunjak minta yang lebih.â
âHush! Kamu jangan ngomong begitu. Meskipun masmu yang satu itu lumayan gila harta, gitu-gitu juga masmu, to.â
âHe he he. Iya, Bu.â
âBu, sebenarnya aku sangat bahagia sekali. Coba tebak kenapa?â Warti melempar kalimat kepada ibunya yang cukup mengherankan.
âCoba cerita, memangnya kenapa? Apa jangan-jangan dapat hadiah dari suamimu?â
âKalau soal hadiah, jangan lupa bagikan juga sama saudara suamimu, yo.â
âSebenarnya bukan soal hadiah, Bu. Tapi, bayiku pada kehamilan yang keenam bulan ini rasanya sudah nendang-nendang, Bu.â
âLho bagus to. Artinya, bayimu nanti sangat sehat, aktif, pintar, dan cerdas.â
âMakasih banyak, Bu. Aku benar-benar bersyukur memiliki ibu seperti ibu. Aku sangat mencintai ibuku yang satu ini. Kalau boleh sama Mas Wanto, aku ingin tinggal lebih lama di rumah ini, Bu.â
âKamu jangan begitu, Warti. Jika kamu tinggal di rumah ini, bagaimana kamu bisa merawat suamimu?â
âLagi-lagi ibu benar.â
âIbumu sudah banyak pengalaman, Ti Warti. Ibumu ini sudah mengalami asam manis garam kehidupan. Paling tidak, kamu melayani suamimu dengan baik. Buat suamimu selalu senang.â Nyimas Sekar menyunggingkan senyum sangat pucat.
âBu âŚ.â Panggil Warti dengan suara sedikit bergetar.
âAda apa, Nduk Warti?â
âBu, bukankah kita sebagai istri juga membutuhkan kebahagiaan tersendiri?â
âSangat tepat sekali! Lalu, masalahnya apa, Nduk?â
âBu, saya memang akan merawat Mas Wanto secara baik. Tapi, aku juga membutuhkan perhatian dari Mas Wanto.â
âLho, memangnya Wanto suamimu nggak pernah perhatian sama kamu atau gimana, War?â
âBu, kami setelah menikah memang sangat bahagia. Tapi, Mas Wanto memang belum pernah membelikan baju atau mengajak liburan.â
âSudah, tidak perlu dipikirkan. Mungkin uang hasil dari kerja suamimu memang tidak cukup. Belajar dari kehidupan pernikahan orang tuamu, Warti. Ibumu ini tidak pernah meminta atau mengharapkan sesuatu barang yang mewah kepada bapakmu.â
âMemang benar, Bu. Tapi âŚ.â
âSudah, tidak apa-apa. Kamu masih bisa melakukan hal menyenangkan lainnya.â
Warti memeluk Nyimas Sekar. Warti memahami harus menyadari realitas yang ada.
***
Berjalannya waktu, Nyimas Sekar sudah kembali ke tempat peristirahatan terakhir yang paling nyaman. Ya, usianya sudah tiba untuk kembali ke sisi Tuhan. Warti yang tengah hamil 8 bulan tidak menangis histeris. Wanita itu hanya mengelus-ngelus perutnya yang membuncit. Wanita yang dinilai tabah ketika ibunya meninggal, hanya tersenyum pahit dan menjawab, âsemua sudah digariskan oleh Tuhan.â
Begitu pula pernikahan Sutrisno dengan anak seorang dermawan yang membangun masjid desa pun sudah digariskan oleh Tuhan begitu apik. Para manusia hanya menjalankan lakonnnya masing-masing.
âMas Sutrisno, sebelum ibu meninggal, aku dititipkan sesuatu buat pernikahan Mas Sutrisno.â
âApa itu, Warti?â
Warti langsung mengeluarkan sebuah kotak yang dibaluti oleh beludru merah.
âIni, Mas. Buka aja.â
âWah. Ibu pastinya seneng ya sudah membelikan perhiasan ini buat kita?â
âSebenarnya perhiasan ini buat Mas Sutrisno saja.â
âMungkin ibu memang punya alasan sendiri yang tidak pernah kita ketahui.â
âBetul, Mas.â
âSebenarnya masmu ini punya rencana ingin renovasi rumah.â
âAku dukung sepenuhnya, Mas.â
âPastinya istri Mas Sutrisno tambah senang, ya.â
âAku berdoanya gitu, Warti. Kamu juga ya selalu bahagia. Semoga anakmu nanti sukses.â
âIya. Anakmu juga yo, Mas semoga sukses, bahagia, dan selalu sehat.â
âKita memang harus saling mendoakan.â
âOh iya, Warti. Rencananya kamu nanti akan lahiran di rumah ini atau di rumah suamimu?â Sebenarnya pertanyaan dari Sutrisno hanya berbasi-basi saja. Namun, Warti tetap menjawab dengan baik.
âKarena di rumah ini sudah tidak ada ibu ataupun bapak yang nggak bisa membantuku mengurus bayiku. Aku lebih milih melahirkan di rumah suami saja, Mas.â
âSiapa yang nantinya membantu mengurus bayimu di sana?â
âSebenarnya masih ada kakaknya Mas Sutrisno yang sudah menikah dan punya anak masih sering main ke sana, Mas.â
âBaguslah biar kamu di sana nggak ditelantarkan begitu saja.â
âLho, lho, lho. Sebentar, Mas. Maksudnya ini gimana bisa bilang begitu, Mas?â
âJika nggak ada orang yang perhatian sama kamu, selain suamimu. Gimana nanti kamu bisa merawat anakmu kalau nggak belajar sama orang lain yang sudah punya pengalaman merawat anak?â
âMas Sutrisno memang benar. Aku memang harus belajar sama orang lain soal merawat anak. Aku senang ada adik iparku yang membantuku soal merawat anak nantinya.â
âAku memang selalu benar. Ha ha ha ha.â
âTapi, Mas, aku pernah dengar dari orang lain kalau lelaki itu selalu salah. Sementara wanita saja yang selalu benar.â
âEnak saja! Aku nggak bisa terima, dong. Kata siapa?â
âTadi aku sudah bilang bahwa kalimat tersebut dari orang lain.â
âAwas ya kamu. Kalau saja kamu nggak lagi hamil tua, kamu bakalan aku gelitikin.â
Sebenarnya, manusia memang membutuhkan manusia lain untuk membantu kelemahan-kelemahannya. Jika semua kebutuhannya sudah tercukupi, pasti akan menjadi manusia yang baik dalam segala hal.
***
Hari demi hari berlalu begitu saja. Anis sudah bisa melayani pembeli di toko pakaian Aro.âAnis, aku seneng banget bulan ini kita mendapat banyak sekali pesanan baju. Jadi, aku bisa menggajimu dengan bonus.ââWah, makasih banyak ya, Ro.â Anis tersenyum manis yang membuat Aro membatin, âternyata kalau dilihat-lihat Anis cantik juga.ââAro?â Anis mengguncang-guncang tubuh Aro.âEh eh, iya, Nis. Maaf ya aku malah jadi melamun. He he he.ââIya nggak apa-apa, Ro. Takutnya kalau kamu melamun gini nanti kesambet, lho.ââYeee malah bercanda.âAnis dan Aro tenggelam dalam gelak tawa. Tiba-tiba saja dari lubang hidung Anis keluar cairan merah. Anis mimisan.âKamu kenapa, Nis?â tanya Aro dengan nada khawatir.âNggak tahu nih, Ro tiba-tiba aja mimisan. Sebelumnya nggak pernah gini. Mana aku sedang hamil.ââKamu harus periksa ke dokter, Nis.ââGimana sama kerjaanku, Ro?ââUdah. Kamu nggak usah mikirin tentang kerjaan. Oh ya, Tomo bawa ponsel, nggak?ââTomo nggak bawa ponsel kalau kerja, Ro. Memang
Matahari mulai menyembul dari ufuk timur. Setelah sarapan nasi dengan sambal goreng tempe, Anis segera mengantar Putri ke sekolah. Tomo seperti biasa pergi bekerja membangun rumah di desa sebelah. Pukul 07.05 WIB Anis selesai mengantar Putri ke sekolah, lalu menghentikan mesin motor di depan rumah Aro.âKamu ke sini kok pagi banget sih, Nis?â tanya Aro yang baru selesai membuka toko pakaian.âIya nih, Ro. Aku tadi habis mengantar Putri ke sekolah.ââWah iya. Katanya kamu mau jadi karyawan di tokoku ya, Nis?â tanya Aro yang duduk-duduk di dalam toko. Anis kemudian duduk-duduk sambil menjawab dengan suara parau, âIya nih, Ro. Aku bingung nyari uang tambahan untuk biaya lahiran nanti.ââSelamat juga ya atas kehamilanmu. Memangnya kamu nggak apa-apa bekerja dalam keadaan hamil begini?ââNggak apa-apa kok, Ro. Uang dari pekerjaannya Tomo yang sebagai kuli bangunan nggak cukup buat biaya lahiran nanti.ââJadi begitu. Mulai hari ini kamu sudah bisa bekerja kok, Nis. Ohya, suamimu tahu apa ng
Anis teringat akan sesuatu. Ia terlambat datang bulan. Lalu ia menghitung tanggal terkahir datang bulan.âJangan-jangan aku hamil.âUntuk memastikan kebenaran, ia membeli tespek di apotik terdekat. Setelah dilakukan tes sederhana, Anis terkejut melihat hasilnya. Ia positif hamil. Anis tersenyum bahagia.Ia membagikan kebahagiaannya melalui akun FB.âTomo,â ucap Anis sambil melingkarkan lengannya ke punggung Tomo.âIya, kenapa, Nis?ââHari ini aku sangat bahagia.ââBahagia kenapa?â Tomo melepaskan pelukannya dengan pelan.âKamu tahu nggak kalau aku sedang hamil.ââApa? Kamu hamil? Kita bakal punya anak lagi dong.ââIya. Putri bakal punya adik.ââJadi, kamu muntah-muntah waktu kemarin ternyata hamil toh.ââIya. Kamu bahagia kan?ââIya. Aku bahagia banget.ââTapi, dari mana nyari uang tambahan buat biaya lahiran nanti? Juga uang tambahan buat anak kedua kita? Aku bingung.ââKamu tenang ya, Nis. Aku akan nyari pekerjaan tambahan.ââMemangnya mau kerja apa?ââEntahlah. Kita lihat saja nant
Anis terpaksa menghentikan aktivitasnya yang sedang menyapu. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil nama Tomo, âTomo, kamu udah selesai apa belum mandinya?ââIya bentar lagi kok,â sahut Tomo dari balik pintu kamar mandi.Selesai mandi, Tomo bertanya kepada Anis, âmengapa kamu teriak kaya gitu? Ada apa? Apa kamu udah kebelet pipis?ââEnggak kok, Tom. Aku cuman mau bilang aja tadi kamu dicariin sama Diki,â jawab Anis.âAda apa memangnya? Nunggu aku selesai mandi kan bisa. Kenapa harus teriak gitu?ââYa maaf. Nanti malam Diki ada acara bancaan. Kamu diundang ke acara bancaan.â Anis nyengir bagai kuda yang tidak berdosa. Ia memasang wajah kuyu di depan Tomo. Lelaki ganteng itu manyun.âYa sudah kalau gitu. Iya aku pasti datang kok.âAnis tersenyum menyeringai. Tomo membalas dengan senyuman pahit. Kemudian Anis ke kamar mengambil ponsel pintarnya. Lalu mengirim pesan WA kepada Aro.[Aro, gimana kandunganmu sehat?][Sehat kok, Nis. Alhamdulillah.][Alhamdulilla
Anis mencuci piring lalu mengelapnya agar cepat kering. Hari semakin siang. Anis melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia segera mengenakan jilbab biru tua yang tersampir di kursi kamar. Hampir saja lupa, Anis mengambil ponsel pintarnya.Tomo belum pulang kerja. Ia harus menjemput Putri yang pulang sekolah. Namun, ia mematikan mesin motornya di depan rumah Aro.âAnis, ada apa?â tanya Aro sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.âEnggak ada apa-apa kok, Ro. Aku lagi nunggu Putri pulang sekolah kok. Kamu nggak keberatan kan aku nunggu Putri di rumahmu?â jawab Anis.âTenang aja, Nis. Nggak masalah kok.ââOh ya, Ro ngomong-ngomong kamu sedang hamil ya?ââIya nih Nis. Alhamdulillah banget diberikan rezeki oleh Allah berupa janin yang akan menjadi anak.ââUdah berapa bulan kamu hamil, Ro?ââUdah tiga bulan ini, Nis.ââWah.ââUdah jam 12 siang ya, Ro. Cepat banget.ââIya Nis.ââYa udah ya Ro aku mau jemput Putri.ââIya, Nis. Hati-hati.âAnis pun menjemput Putri di sekolah. L
Demi mengurangi rasa bosan yang menggelayut di hati. Anis mengambil ponsel pintarnya yang berada di kamar. Ternyata ada pesan dari Widya. Sudah lama sekali Widya tidak mengirim pesan.[Hai Anis. Kamu apa kabar?][Kabarku baik, Wid. Kamu sendiri gimana kabarnya?][Kabarku juga baik, Nis. Ohya, sekarang kamu kerja di mana, Nis?][Aku jadi reseller sih, Wid di rumah. Kamu kalau ingin beli koleksi pakaianku boleh aja.][Wah, berarti kamu punya penghasilan sendiri dong.][Ngomong-ngomong sekarang kamu kerja di mana, Wid?][Aku di rumah aja kok, Nis. Bantu-bantu bisnis suami.][Suami? Kamu udah nikah ya, Wid?][Iya, Nis. Udah hampir dua tahun kok.][Selama itu kamu nggak ngabarin aku ya, Wid.][He he. Maaf ya, Nis. Tapi sekarang kamu udah punya anak kan, Nis?][Anakku udah besar lho, Wid.][Wah iyakah?][Iya, Wid. Udah sekolah SD.][Wah nggak kerasa ya waktu begitu cepat berlalu.][Begitulah. Ngomong-ngomong kamu nikah sama orang mana, Wid?][Nikah sama pacarku saat masih kerja di Jakarta k