Share

Bab 5

Pernikahan antara Warno dan si gadis kota yang dimaksud tempo hari, terlaksana dengan lancar. Sayangnya, Nyimas Sekar tidak bisa ikut hadir pada acara tersebut, karena kondisi kesehatan yang semakin memburuk. Warti dan Sutrisno lah yang hadir. Namun, doa restu selalu mengiringi langkah Warno.

Warno yang sudah resmi menikahi gadis kota itu lebih memilih tinggal di rumah istrinya. Anak tertua itu terpaksa meninggalkan keluarga di desa. Pekerjaan Warno sebagai seorang akuntan lah yang memaksa dirinya tinggal di kota. Sementara Warti meminta izin suaminya untuk tinggal sementara di rumah sang ibu untuk mengurus Nyimas Sekar yang sedang sekarat.

“Nduk, sepertinya ibumu sudah tidak kuat.”

“Apa maksudnya, Bu?” tanya Warti yang tidak mengerti.

“Maksudku, usia ibu tidak akan lama lagi, Nduk. Kamu tidak perlu repot mengurus ibu seperti ini.”

 “Bu, lagian aku nggak keberatan harus merawat ibu sampai akhir hayat, kok.”

“Syukurlah. Kamu memang anak yang shalihah, Warti.”

“Warti, tolong ambil kotak di dalam lemari. Ibu hamper saja lupa memberimu hal penting.”

Warti tanpa bertanya perihal kotak yang dimaksud oleh ibunya, langsung mengambil benda tersebut. Sebuah kotak perhiasan mungil berwarna merah memang tersimpan rapi di dalam lemari. Ketika jemari lentiknya hendak membuka isi kota itu, ia mengurungkan niatnya dan kembali menutup kotak cantik tersebut.

“Bu, ini kotak merah yang ibu maksudkan.”

“Iya betul, Warti.”

“Bu, kalau boleh tahu, memangnya isinya apa?” Warti memberanikan dirinya bertanya kepada sang ibu.

“Sebenarnya, ibu ingin memberikan perhiasan ini sama Sutrisno.”

“Kalau boleh tahu buat apa, Bu?”

“Usianya masmu Sutrisno kan sudah hamper 23 tahun. Usia segitu seharusnya dia sudah menikah. Ibu hanya ingin memberikan perhiasan-perhiasan ini kepada masmu.”

“Oh begitu. Untung saja ya, Bu Mas Sutrisno sedang tidak ada di rumah. Kalau saja Mas Sutrisno mendengar kabar akan dikasih hadiah, apalagi perhiasan pastinya akan melunjak minta yang lebih.”

“Hush! Kamu jangan ngomong begitu. Meskipun masmu yang satu itu lumayan gila harta, gitu-gitu juga masmu, to.”

“He he he. Iya, Bu.”

“Bu, sebenarnya aku sangat bahagia sekali. Coba tebak kenapa?” Warti melempar kalimat kepada ibunya yang cukup mengherankan.

“Coba cerita, memangnya kenapa? Apa jangan-jangan dapat hadiah dari suamimu?”

“Kalau soal hadiah, jangan lupa bagikan juga sama saudara suamimu, yo.”

“Sebenarnya bukan soal hadiah, Bu. Tapi, bayiku pada kehamilan yang keenam bulan ini rasanya sudah nendang-nendang, Bu.”

“Lho bagus to. Artinya, bayimu nanti sangat sehat, aktif, pintar, dan cerdas.”

“Makasih banyak, Bu. Aku benar-benar bersyukur memiliki ibu seperti ibu. Aku sangat mencintai ibuku yang satu ini. Kalau boleh sama Mas Wanto, aku ingin tinggal lebih lama di rumah ini, Bu.”

“Kamu jangan begitu, Warti. Jika kamu tinggal di rumah ini, bagaimana kamu bisa merawat suamimu?”

“Lagi-lagi ibu benar.”

“Ibumu sudah banyak pengalaman, Ti Warti. Ibumu ini sudah mengalami asam manis garam kehidupan. Paling tidak, kamu melayani suamimu dengan baik. Buat suamimu selalu senang.” Nyimas Sekar menyunggingkan senyum sangat pucat.

“Bu ….” Panggil Warti dengan suara sedikit bergetar.

“Ada apa, Nduk Warti?”

“Bu, bukankah kita sebagai istri juga membutuhkan kebahagiaan tersendiri?”

“Sangat tepat sekali! Lalu, masalahnya apa, Nduk?”

“Bu, saya memang akan merawat Mas Wanto secara baik. Tapi, aku juga membutuhkan perhatian dari Mas Wanto.”

“Lho, memangnya Wanto suamimu nggak pernah perhatian sama kamu atau gimana, War?”

“Bu, kami setelah menikah memang sangat bahagia. Tapi, Mas Wanto memang belum pernah membelikan baju atau mengajak liburan.”

“Sudah, tidak perlu dipikirkan. Mungkin uang hasil dari kerja suamimu memang tidak cukup. Belajar dari kehidupan pernikahan orang tuamu, Warti. Ibumu ini tidak pernah meminta atau mengharapkan sesuatu barang yang mewah kepada bapakmu.”

“Memang benar, Bu. Tapi ….”

“Sudah, tidak apa-apa. Kamu masih bisa melakukan hal menyenangkan lainnya.”

Warti memeluk Nyimas Sekar. Warti memahami harus menyadari realitas yang ada.

***

 Berjalannya waktu, Nyimas Sekar sudah kembali ke tempat peristirahatan terakhir yang paling nyaman. Ya, usianya sudah tiba untuk kembali ke sisi Tuhan. Warti yang tengah hamil 8 bulan tidak menangis histeris. Wanita itu hanya mengelus-ngelus perutnya yang membuncit. Wanita yang dinilai tabah ketika ibunya meninggal, hanya tersenyum pahit dan menjawab, “semua sudah digariskan oleh Tuhan.”

Begitu pula pernikahan Sutrisno dengan anak seorang dermawan yang membangun masjid desa pun sudah digariskan oleh Tuhan begitu apik. Para manusia hanya menjalankan lakonnnya masing-masing.

“Mas Sutrisno, sebelum ibu meninggal, aku dititipkan sesuatu buat pernikahan Mas Sutrisno.”

“Apa itu, Warti?”

Warti langsung mengeluarkan sebuah kotak yang dibaluti oleh beludru merah.

“Ini, Mas. Buka aja.”

“Wah. Ibu pastinya seneng ya sudah membelikan perhiasan ini buat kita?”

“Sebenarnya perhiasan ini buat Mas Sutrisno saja.”

“Mungkin ibu memang punya alasan sendiri yang tidak pernah kita ketahui.”

“Betul, Mas.”

“Sebenarnya masmu ini punya rencana ingin renovasi rumah.”

“Aku dukung sepenuhnya, Mas.”

“Pastinya istri Mas Sutrisno tambah senang, ya.”

“Aku berdoanya gitu, Warti. Kamu juga ya selalu bahagia. Semoga anakmu nanti sukses.”

“Iya. Anakmu juga yo, Mas semoga sukses, bahagia, dan selalu sehat.”

“Kita memang harus saling mendoakan.”

“Oh iya, Warti. Rencananya kamu nanti akan lahiran di rumah ini atau di rumah suamimu?” Sebenarnya pertanyaan dari Sutrisno hanya berbasi-basi saja. Namun, Warti tetap menjawab dengan baik.

“Karena di rumah ini sudah tidak ada ibu ataupun bapak yang nggak bisa membantuku mengurus bayiku. Aku lebih milih melahirkan di rumah suami saja, Mas.”

“Siapa yang nantinya membantu mengurus bayimu di sana?”

“Sebenarnya masih ada kakaknya Mas Sutrisno yang sudah menikah dan punya anak masih sering main ke sana, Mas.”

“Baguslah biar kamu di sana nggak ditelantarkan begitu saja.”

“Lho, lho, lho. Sebentar, Mas. Maksudnya ini gimana bisa bilang begitu, Mas?”

“Jika nggak ada orang yang perhatian sama kamu, selain suamimu. Gimana nanti kamu bisa merawat anakmu kalau nggak belajar sama orang lain yang sudah punya pengalaman merawat anak?”

“Mas Sutrisno memang benar. Aku memang harus belajar sama orang lain soal merawat anak. Aku senang ada adik iparku yang membantuku soal merawat anak nantinya.”

“Aku memang selalu benar. Ha ha ha ha.”

“Tapi, Mas, aku pernah dengar dari orang lain kalau lelaki itu selalu salah. Sementara wanita saja yang selalu benar.”

“Enak saja! Aku nggak bisa terima, dong. Kata siapa?”

“Tadi aku sudah bilang bahwa kalimat tersebut dari orang lain.”

“Awas ya kamu. Kalau saja kamu nggak lagi hamil tua, kamu bakalan aku gelitikin.”

Sebenarnya, manusia memang membutuhkan manusia lain untuk membantu kelemahan-kelemahannya. Jika semua kebutuhannya sudah tercukupi, pasti akan menjadi manusia yang baik dalam segala hal.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status