Share

Bab 4

Author: Aiko Arawati
last update Huling Na-update: 2021-09-23 17:40:28

Pada akhirnya, Warti menyerah dengan keadaan. Perempuan itu menerima lamaran dari anak pedagang kaya di desanya. Lelaki itu bernama Wanto yang memiliki tubuh kurus dengan kulit hitam legam, tetapi wajahnya manis. Wanto bekerja sebagai petani sawah di desa. Pekerjaan suaminya tidak pernah membuat Warti merasa minder.

Beberapa hari setelah pernikahan, Warti memutuskan untuk belajar menjahit. Wanita itu hanya bingung harus mendapatkan uang tambahan darimana. Maka, jalan satu-satunya yaitu menerima pesanan jahitan. Wanita yang berasal dari kalangan priyayi itu memang benar-benar beruntung bisa mendapatkan banyak pesanan menjahit aneka baju dan dress cantik-cantik.

Tak lama kemudian, nama Warti sebagai penjahit cukup terkenal. Lalu, ia mendapatkan kabar dari ibunya bahwa wanita yang sudah melahirkannya ke dunia itu sedang mengalami sakit cukup parah. Kabarnya, Nyimas Sekar sedang mengalami sakit dada. Wanita tua itu membutuhkan anak-anaknya untuk sekadar berada di sampingnya.

“Bu, Warti sudah ada di sini,” ucap Warti sambil duduk di tepi ranjang. Sebuah ranjang bekas yang menjadi tempat peristirahatan Raden Mas Cokro untuk terakhir kalinya.

“Nduk, to-to-tolong ambilkan air hangat. Ibumu ini ingin minum.”

Warti justru menuangkan sesendok gula pasir ke dalam air hangat. Gula tersebut larut ke dalam air tersebut. Ibunya meminum air buatan anaknya, lalu mengembangkan senyum tipis. Warti atau kedua kakaknya yang sudah berada di rumah itu pun tidak mengetahui bahwa senyum tipis itu merupakan senyum terakhir dari Nyimas Sekar.

Tiga hari lamanya, Warti menginap di rumah ibunya untuk menemani hari-hari terakhir sang ibu. Pekerjaannya sebagai tukang rias pengantin pun berhenti.

“Warti. Sekarang kamu jadi penjahit cukup terkenal. Ibu senang kamu mendapatkan kebahagiaan yang selama ini kamu cita-citakan. Kambing-kambing yang dulu kita rawat, kemudian tumbuh besar sudah berhasil terjual. Hasil uang itu pun buat biaya pernikahanmu. Ibu masih ingat gimana masmu Sutrisno memberikan hasil penjualan kambing itu buat dirimu.”

Ada rasa pahit, tetapi bukan berasal dari obat-obatan atau jamu. Melainkan, Warti sudah merasakan akan kehilangan sosok ibunya untuk selamanya. Begitu pula dengan kakaknya bernama Sutrisno ikut merasakan kesedihan luar biasa ketika mendengar kalimat itu meluncur dari bibir sang ibu. Lelaki bertubuh jangkung itu hanya mengusap air mata yang keluar sedikit dari sudut mata elangnya.

“Bu, Sutrisno minta maaf yo kalau ada salah. Sutrisno juga minta maaf sering merepotkan ibu. Ibu jangan khawatir kalau rumah ini akan aku jadikan tempat tinggal. Aku nggak akan menjual rumah peninggalan bapak.”

Nyimas Sekar yang ingin bangkit dari tidurnya, dibantu oleh Sutrisno. Tangannya yang keriput, tetapi masih putih bersih mengusap lembut wajah anak lelakinya yang bertubuh jangkung itu.

“Namanya orang pasti ada salahnya. Jadi ibumu ini sudah memaafkanmu sejak lama. Kamu jangan khawatir.”

Sayup-sayup terdengar jelas isak tangis dari Warti. Wanita yang sedang mengandung 6 bulan itu merasa sesak mendengar petuah keramat dari sang ibu.

“Sudah, sudah, Warti Cah Ayu. Jangan menangis lagi. Ibu hanya ingin bersama kalian. Ibu ingin menghabiskan sisa umur ini bersama kalian. Ibu hanya ingin mengingat kenangan-kenangan yang bahagia bersama kalian.”

“Iya, Bu. Ibu kalau ingin cerita, cerita aja. Kami siap menjadi pendengar yang baik. He he he.”

Ternyata, kebiasaan Warti yang suka bercanda memang tidak pernah hilang hingga sekarang.

“Kamu lho, Ti. Ibu sedang sakit begini kamu malah bercanda,” celetuk Sutrisno yang merasa tidak terima jika sang adik membuat bahan candaan di tengah situasi ibunya yang sedang sekarat.

“Nggak apa-apa Warti sering bercanda. Malahan ibu bisa seneng tersenyum.” Sesekali ibunya membenarkan posisi syal yang melingkar di lehernya sendiri.

“Bu, apakah ibu ingin melepaskan syalnya?” tanya Sutrisno yang mengira ibunya ingin melepaskan syal.

“Bukan, ibu hanya ingin membenarkan syal ini saja.”

“Oh ya, ibu katanya ingin menceritakan kenangan indah bersama kami dan sama bapak.”

“Kamu memang masih pintar, War.” Nyimas Sekar tersenyum tulus, hingga mampu membuat wajah Warti menunduk dalam.

Gelak tawa dari keluarga Priyayi itu terdengar sampai sudut ruangan. Cukup ampuh sedikit melupakan rasa sakit yang diderita oleh ibunya. Kini, Nyimas Sejar mulai serius menceritakan kenangannya yang sangat berkesan menjalani hidup. Sang ibu hanya bercerita mengenai hal indah saja.

“Dulu, pertama kali ibumu ini mengenal bapak kalian sewaktu ada acara pasar malam di sekitar Menara Kudus. Aku masih ingat ingin membeli kembang di sekitaran jembatan. Ada satu pemuda tampan yang melihat-lihat bunga di toko yang sama. Ibu ingin membeli bunga angger sama vasnya, ternyata ingin dibeli juga oleh pemuda tampan tersebut. Apakah kalian tahu? Tiba-tiba saja pemuda tampan itu membayar vas serta bunganya dan diberikan pada ibumu ini. Ibu tidak pernah menyangka sama sekali kalau pemuda tampan itu merupakan seseorang yang menemani ibumu hingga akhir hayat. Ibumu juga tidak pernah mengetahui kalau bapakmu seorang dari kalangan Priyayi.” Nyimas Sekar membuka memori ingatannya dengan lelehan air mata.

Sementara ketiga anaknya mematung mendegarkan cerita lama yang tidak pernah membosankan.

“Selama ibu menjadi istri dari seorang priyayi, aku tidak pernah menuntut suamiku membelikan hal-hal yang menurut sebagain orang adalah kemewahan. Jika ibu ingin membeli baju, ibu hanya membeli dari uang hasil keringat sendiri selama menjadi perias pengantin. Ibu bahkan tidak pernah meminta diajak untuk sekadar makan-makan di restoran mahal. Bapakmu sendiri yang justru sering mengajak ibumu untuk makan-makan di restoran mahal. Ibu tidak pernah membayangkan akan hidup sebagai seorang istri priyayi dari Keraton Solo. Justru bapakmu ikhlas hidup sederhana bersama ibu di desa ini. Kalian tentu masih ingat bagaimana bapakmu menjual semua asset sawah dan tanah hanya untuk bertahan hidup. Bapak kalian tidak tidak pernah meminta uang atau harta dari keluarganya atau saudaranya yang berada di Keraton Solo.” Kedua sudut mata Nyimas Sekar mengalirkan buliran bening.

 “Bu, Warti juga ingat ibu masih sering mencuci pakaian kami dan mencuci piring. Aku paham, pekerjaan ibu sebagai perias pengantin memang sangat berat.”

“Tapi ibu menjalaninya dengan bahagia.”

Uhuuk!! Batuk yang keluar dari mulut Nyimas Sekar tidak mengeluarkan riak lendir atau darah. Dengan sigap Warti memberikan air minum agar kondisi tubuh Nyimas Sekar kembali stabil.

“Bu, Warno hampir lupa ingin mengatakan hal penting kepada ibu,” ucap anak pertama itu yang bernama Warno. Sikapnya memang lebih formal jika dibandingkan dengan adiknya yang bernama Sutrisno. Warno ini memilik kumis yang cukup tebal–yang sudah menggambarkan sosok seorang anak dari keluarga priyayi.

“Iya, ada apa, Warno?” tanya Nyimas Sekar dengan nada sangat pelan.

“Iyo. Mas Warno ini tiba-tiba saja merusak suasana!” Warti cukup kesal dengan hal yang sebenarnya bukan masalah. Begitulah Warti memang sangat keras kepala.

“Bu, Warno ingin menyampaikan hal penting. Saya akan segera menikah sama gadis kota, Bu. Warno sama dia sudah mengenal lama. Tapi, selama itu Warno tidak pernah menceritakannya kepada ibu. Waktu itu Warno belum mantap ingin menikahinya. Namun, Warno sekarang yakin akan menikah dengannya. Warno mengatakan hal ini ingin mendapatkan doa dan restu dari ibu dan adik-adik tercinta.”

“Lho, Mas. Apakah calonnya Mas Warno sangat cantik?” tanya Warti.

“Tentu saja dia merupakan gadis tercantik yang pernah masmu temui sebelumnya.”

“Alhamdulillah. Ibu akan merestui apapun keputusanmu dan pilihanmu, War.” Salah satu tangan ibunya yang keriput mengusap pelan punggung tangan anaknya yang bernama Warno.

“Makasih banyak, Bu.”

Detik berganti menjadi hari-hari yang tidak terasa oleh anak-anak manusia. Namun, begitulah perjalanan takdir dan kehidupan. Semua memang sesuai dengan waktu.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih   Bab 55

    Hari demi hari berlalu begitu saja. Anis sudah bisa melayani pembeli di toko pakaian Aro.“Anis, aku seneng banget bulan ini kita mendapat banyak sekali pesanan baju. Jadi, aku bisa menggajimu dengan bonus.”“Wah, makasih banyak ya, Ro.” Anis tersenyum manis yang membuat Aro membatin, ‘ternyata kalau dilihat-lihat Anis cantik juga.’“Aro?” Anis mengguncang-guncang tubuh Aro.“Eh eh, iya, Nis. Maaf ya aku malah jadi melamun. He he he.”“Iya nggak apa-apa, Ro. Takutnya kalau kamu melamun gini nanti kesambet, lho.”“Yeee malah bercanda.”Anis dan Aro tenggelam dalam gelak tawa. Tiba-tiba saja dari lubang hidung Anis keluar cairan merah. Anis mimisan.“Kamu kenapa, Nis?” tanya Aro dengan nada khawatir.“Nggak tahu nih, Ro tiba-tiba aja mimisan. Sebelumnya nggak pernah gini. Mana aku sedang hamil.”“Kamu harus periksa ke dokter, Nis.”“Gimana sama kerjaanku, Ro?”“Udah. Kamu nggak usah mikirin tentang kerjaan. Oh ya, Tomo bawa ponsel, nggak?”“Tomo nggak bawa ponsel kalau kerja, Ro. Memang

  • Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih   Bab 54

    Matahari mulai menyembul dari ufuk timur. Setelah sarapan nasi dengan sambal goreng tempe, Anis segera mengantar Putri ke sekolah. Tomo seperti biasa pergi bekerja membangun rumah di desa sebelah. Pukul 07.05 WIB Anis selesai mengantar Putri ke sekolah, lalu menghentikan mesin motor di depan rumah Aro.“Kamu ke sini kok pagi banget sih, Nis?” tanya Aro yang baru selesai membuka toko pakaian.“Iya nih, Ro. Aku tadi habis mengantar Putri ke sekolah.”“Wah iya. Katanya kamu mau jadi karyawan di tokoku ya, Nis?” tanya Aro yang duduk-duduk di dalam toko. Anis kemudian duduk-duduk sambil menjawab dengan suara parau, “Iya nih, Ro. Aku bingung nyari uang tambahan untuk biaya lahiran nanti.”“Selamat juga ya atas kehamilanmu. Memangnya kamu nggak apa-apa bekerja dalam keadaan hamil begini?”“Nggak apa-apa kok, Ro. Uang dari pekerjaannya Tomo yang sebagai kuli bangunan nggak cukup buat biaya lahiran nanti.”“Jadi begitu. Mulai hari ini kamu sudah bisa bekerja kok, Nis. Ohya, suamimu tahu apa ng

  • Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih   Bab 53

    Anis teringat akan sesuatu. Ia terlambat datang bulan. Lalu ia menghitung tanggal terkahir datang bulan.“Jangan-jangan aku hamil.”Untuk memastikan kebenaran, ia membeli tespek di apotik terdekat. Setelah dilakukan tes sederhana, Anis terkejut melihat hasilnya. Ia positif hamil. Anis tersenyum bahagia.Ia membagikan kebahagiaannya melalui akun FB.“Tomo,” ucap Anis sambil melingkarkan lengannya ke punggung Tomo.“Iya, kenapa, Nis?”“Hari ini aku sangat bahagia.”“Bahagia kenapa?” Tomo melepaskan pelukannya dengan pelan.“Kamu tahu nggak kalau aku sedang hamil.”“Apa? Kamu hamil? Kita bakal punya anak lagi dong.”“Iya. Putri bakal punya adik.”“Jadi, kamu muntah-muntah waktu kemarin ternyata hamil toh.”“Iya. Kamu bahagia kan?”“Iya. Aku bahagia banget.”“Tapi, dari mana nyari uang tambahan buat biaya lahiran nanti? Juga uang tambahan buat anak kedua kita? Aku bingung.”“Kamu tenang ya, Nis. Aku akan nyari pekerjaan tambahan.”“Memangnya mau kerja apa?”“Entahlah. Kita lihat saja nant

  • Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih   Bab 52

    Anis terpaksa menghentikan aktivitasnya yang sedang menyapu. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil nama Tomo, “Tomo, kamu udah selesai apa belum mandinya?”“Iya bentar lagi kok,” sahut Tomo dari balik pintu kamar mandi.Selesai mandi, Tomo bertanya kepada Anis, “mengapa kamu teriak kaya gitu? Ada apa? Apa kamu udah kebelet pipis?”“Enggak kok, Tom. Aku cuman mau bilang aja tadi kamu dicariin sama Diki,” jawab Anis.“Ada apa memangnya? Nunggu aku selesai mandi kan bisa. Kenapa harus teriak gitu?”“Ya maaf. Nanti malam Diki ada acara bancaan. Kamu diundang ke acara bancaan.” Anis nyengir bagai kuda yang tidak berdosa. Ia memasang wajah kuyu di depan Tomo. Lelaki ganteng itu manyun.“Ya sudah kalau gitu. Iya aku pasti datang kok.”Anis tersenyum menyeringai. Tomo membalas dengan senyuman pahit. Kemudian Anis ke kamar mengambil ponsel pintarnya. Lalu mengirim pesan WA kepada Aro.[Aro, gimana kandunganmu sehat?][Sehat kok, Nis. Alhamdulillah.][Alhamdulilla

  • Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih   Bab 51

    Anis mencuci piring lalu mengelapnya agar cepat kering. Hari semakin siang. Anis melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia segera mengenakan jilbab biru tua yang tersampir di kursi kamar. Hampir saja lupa, Anis mengambil ponsel pintarnya.Tomo belum pulang kerja. Ia harus menjemput Putri yang pulang sekolah. Namun, ia mematikan mesin motornya di depan rumah Aro.“Anis, ada apa?” tanya Aro sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.“Enggak ada apa-apa kok, Ro. Aku lagi nunggu Putri pulang sekolah kok. Kamu nggak keberatan kan aku nunggu Putri di rumahmu?” jawab Anis.“Tenang aja, Nis. Nggak masalah kok.”“Oh ya, Ro ngomong-ngomong kamu sedang hamil ya?”“Iya nih Nis. Alhamdulillah banget diberikan rezeki oleh Allah berupa janin yang akan menjadi anak.”“Udah berapa bulan kamu hamil, Ro?”“Udah tiga bulan ini, Nis.”“Wah.”“Udah jam 12 siang ya, Ro. Cepat banget.”“Iya Nis.”“Ya udah ya Ro aku mau jemput Putri.”“Iya, Nis. Hati-hati.”Anis pun menjemput Putri di sekolah. L

  • Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih   Bab 50

    Demi mengurangi rasa bosan yang menggelayut di hati. Anis mengambil ponsel pintarnya yang berada di kamar. Ternyata ada pesan dari Widya. Sudah lama sekali Widya tidak mengirim pesan.[Hai Anis. Kamu apa kabar?][Kabarku baik, Wid. Kamu sendiri gimana kabarnya?][Kabarku juga baik, Nis. Ohya, sekarang kamu kerja di mana, Nis?][Aku jadi reseller sih, Wid di rumah. Kamu kalau ingin beli koleksi pakaianku boleh aja.][Wah, berarti kamu punya penghasilan sendiri dong.][Ngomong-ngomong sekarang kamu kerja di mana, Wid?][Aku di rumah aja kok, Nis. Bantu-bantu bisnis suami.][Suami? Kamu udah nikah ya, Wid?][Iya, Nis. Udah hampir dua tahun kok.][Selama itu kamu nggak ngabarin aku ya, Wid.][He he. Maaf ya, Nis. Tapi sekarang kamu udah punya anak kan, Nis?][Anakku udah besar lho, Wid.][Wah iyakah?][Iya, Wid. Udah sekolah SD.][Wah nggak kerasa ya waktu begitu cepat berlalu.][Begitulah. Ngomong-ngomong kamu nikah sama orang mana, Wid?][Nikah sama pacarku saat masih kerja di Jakarta k

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status