Share

Bab 4

Pada akhirnya, Warti menyerah dengan keadaan. Perempuan itu menerima lamaran dari anak pedagang kaya di desanya. Lelaki itu bernama Wanto yang memiliki tubuh kurus dengan kulit hitam legam, tetapi wajahnya manis. Wanto bekerja sebagai petani sawah di desa. Pekerjaan suaminya tidak pernah membuat Warti merasa minder.

Beberapa hari setelah pernikahan, Warti memutuskan untuk belajar menjahit. Wanita itu hanya bingung harus mendapatkan uang tambahan darimana. Maka, jalan satu-satunya yaitu menerima pesanan jahitan. Wanita yang berasal dari kalangan priyayi itu memang benar-benar beruntung bisa mendapatkan banyak pesanan menjahit aneka baju dan dress cantik-cantik.

Tak lama kemudian, nama Warti sebagai penjahit cukup terkenal. Lalu, ia mendapatkan kabar dari ibunya bahwa wanita yang sudah melahirkannya ke dunia itu sedang mengalami sakit cukup parah. Kabarnya, Nyimas Sekar sedang mengalami sakit dada. Wanita tua itu membutuhkan anak-anaknya untuk sekadar berada di sampingnya.

“Bu, Warti sudah ada di sini,” ucap Warti sambil duduk di tepi ranjang. Sebuah ranjang bekas yang menjadi tempat peristirahatan Raden Mas Cokro untuk terakhir kalinya.

“Nduk, to-to-tolong ambilkan air hangat. Ibumu ini ingin minum.”

Warti justru menuangkan sesendok gula pasir ke dalam air hangat. Gula tersebut larut ke dalam air tersebut. Ibunya meminum air buatan anaknya, lalu mengembangkan senyum tipis. Warti atau kedua kakaknya yang sudah berada di rumah itu pun tidak mengetahui bahwa senyum tipis itu merupakan senyum terakhir dari Nyimas Sekar.

Tiga hari lamanya, Warti menginap di rumah ibunya untuk menemani hari-hari terakhir sang ibu. Pekerjaannya sebagai tukang rias pengantin pun berhenti.

“Warti. Sekarang kamu jadi penjahit cukup terkenal. Ibu senang kamu mendapatkan kebahagiaan yang selama ini kamu cita-citakan. Kambing-kambing yang dulu kita rawat, kemudian tumbuh besar sudah berhasil terjual. Hasil uang itu pun buat biaya pernikahanmu. Ibu masih ingat gimana masmu Sutrisno memberikan hasil penjualan kambing itu buat dirimu.”

Ada rasa pahit, tetapi bukan berasal dari obat-obatan atau jamu. Melainkan, Warti sudah merasakan akan kehilangan sosok ibunya untuk selamanya. Begitu pula dengan kakaknya bernama Sutrisno ikut merasakan kesedihan luar biasa ketika mendengar kalimat itu meluncur dari bibir sang ibu. Lelaki bertubuh jangkung itu hanya mengusap air mata yang keluar sedikit dari sudut mata elangnya.

“Bu, Sutrisno minta maaf yo kalau ada salah. Sutrisno juga minta maaf sering merepotkan ibu. Ibu jangan khawatir kalau rumah ini akan aku jadikan tempat tinggal. Aku nggak akan menjual rumah peninggalan bapak.”

Nyimas Sekar yang ingin bangkit dari tidurnya, dibantu oleh Sutrisno. Tangannya yang keriput, tetapi masih putih bersih mengusap lembut wajah anak lelakinya yang bertubuh jangkung itu.

“Namanya orang pasti ada salahnya. Jadi ibumu ini sudah memaafkanmu sejak lama. Kamu jangan khawatir.”

Sayup-sayup terdengar jelas isak tangis dari Warti. Wanita yang sedang mengandung 6 bulan itu merasa sesak mendengar petuah keramat dari sang ibu.

“Sudah, sudah, Warti Cah Ayu. Jangan menangis lagi. Ibu hanya ingin bersama kalian. Ibu ingin menghabiskan sisa umur ini bersama kalian. Ibu hanya ingin mengingat kenangan-kenangan yang bahagia bersama kalian.”

“Iya, Bu. Ibu kalau ingin cerita, cerita aja. Kami siap menjadi pendengar yang baik. He he he.”

Ternyata, kebiasaan Warti yang suka bercanda memang tidak pernah hilang hingga sekarang.

“Kamu lho, Ti. Ibu sedang sakit begini kamu malah bercanda,” celetuk Sutrisno yang merasa tidak terima jika sang adik membuat bahan candaan di tengah situasi ibunya yang sedang sekarat.

“Nggak apa-apa Warti sering bercanda. Malahan ibu bisa seneng tersenyum.” Sesekali ibunya membenarkan posisi syal yang melingkar di lehernya sendiri.

“Bu, apakah ibu ingin melepaskan syalnya?” tanya Sutrisno yang mengira ibunya ingin melepaskan syal.

“Bukan, ibu hanya ingin membenarkan syal ini saja.”

“Oh ya, ibu katanya ingin menceritakan kenangan indah bersama kami dan sama bapak.”

“Kamu memang masih pintar, War.” Nyimas Sekar tersenyum tulus, hingga mampu membuat wajah Warti menunduk dalam.

Gelak tawa dari keluarga Priyayi itu terdengar sampai sudut ruangan. Cukup ampuh sedikit melupakan rasa sakit yang diderita oleh ibunya. Kini, Nyimas Sejar mulai serius menceritakan kenangannya yang sangat berkesan menjalani hidup. Sang ibu hanya bercerita mengenai hal indah saja.

“Dulu, pertama kali ibumu ini mengenal bapak kalian sewaktu ada acara pasar malam di sekitar Menara Kudus. Aku masih ingat ingin membeli kembang di sekitaran jembatan. Ada satu pemuda tampan yang melihat-lihat bunga di toko yang sama. Ibu ingin membeli bunga angger sama vasnya, ternyata ingin dibeli juga oleh pemuda tampan tersebut. Apakah kalian tahu? Tiba-tiba saja pemuda tampan itu membayar vas serta bunganya dan diberikan pada ibumu ini. Ibu tidak pernah menyangka sama sekali kalau pemuda tampan itu merupakan seseorang yang menemani ibumu hingga akhir hayat. Ibumu juga tidak pernah mengetahui kalau bapakmu seorang dari kalangan Priyayi.” Nyimas Sekar membuka memori ingatannya dengan lelehan air mata.

Sementara ketiga anaknya mematung mendegarkan cerita lama yang tidak pernah membosankan.

“Selama ibu menjadi istri dari seorang priyayi, aku tidak pernah menuntut suamiku membelikan hal-hal yang menurut sebagain orang adalah kemewahan. Jika ibu ingin membeli baju, ibu hanya membeli dari uang hasil keringat sendiri selama menjadi perias pengantin. Ibu bahkan tidak pernah meminta diajak untuk sekadar makan-makan di restoran mahal. Bapakmu sendiri yang justru sering mengajak ibumu untuk makan-makan di restoran mahal. Ibu tidak pernah membayangkan akan hidup sebagai seorang istri priyayi dari Keraton Solo. Justru bapakmu ikhlas hidup sederhana bersama ibu di desa ini. Kalian tentu masih ingat bagaimana bapakmu menjual semua asset sawah dan tanah hanya untuk bertahan hidup. Bapak kalian tidak tidak pernah meminta uang atau harta dari keluarganya atau saudaranya yang berada di Keraton Solo.” Kedua sudut mata Nyimas Sekar mengalirkan buliran bening.

 “Bu, Warti juga ingat ibu masih sering mencuci pakaian kami dan mencuci piring. Aku paham, pekerjaan ibu sebagai perias pengantin memang sangat berat.”

“Tapi ibu menjalaninya dengan bahagia.”

Uhuuk!! Batuk yang keluar dari mulut Nyimas Sekar tidak mengeluarkan riak lendir atau darah. Dengan sigap Warti memberikan air minum agar kondisi tubuh Nyimas Sekar kembali stabil.

“Bu, Warno hampir lupa ingin mengatakan hal penting kepada ibu,” ucap anak pertama itu yang bernama Warno. Sikapnya memang lebih formal jika dibandingkan dengan adiknya yang bernama Sutrisno. Warno ini memilik kumis yang cukup tebal–yang sudah menggambarkan sosok seorang anak dari keluarga priyayi.

“Iya, ada apa, Warno?” tanya Nyimas Sekar dengan nada sangat pelan.

“Iyo. Mas Warno ini tiba-tiba saja merusak suasana!” Warti cukup kesal dengan hal yang sebenarnya bukan masalah. Begitulah Warti memang sangat keras kepala.

“Bu, Warno ingin menyampaikan hal penting. Saya akan segera menikah sama gadis kota, Bu. Warno sama dia sudah mengenal lama. Tapi, selama itu Warno tidak pernah menceritakannya kepada ibu. Waktu itu Warno belum mantap ingin menikahinya. Namun, Warno sekarang yakin akan menikah dengannya. Warno mengatakan hal ini ingin mendapatkan doa dan restu dari ibu dan adik-adik tercinta.”

“Lho, Mas. Apakah calonnya Mas Warno sangat cantik?” tanya Warti.

“Tentu saja dia merupakan gadis tercantik yang pernah masmu temui sebelumnya.”

“Alhamdulillah. Ibu akan merestui apapun keputusanmu dan pilihanmu, War.” Salah satu tangan ibunya yang keriput mengusap pelan punggung tangan anaknya yang bernama Warno.

“Makasih banyak, Bu.”

Detik berganti menjadi hari-hari yang tidak terasa oleh anak-anak manusia. Namun, begitulah perjalanan takdir dan kehidupan. Semua memang sesuai dengan waktu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status