Setelah mendapat sedikit perawatan dari gurunya, Cio San merasa lebih baik. Selama 3 hari, gihunya merawatnya dengan memberi obat-obatan dari ramu-ramuan rebusan daun. Pahit sekali rasanya. Tapi Cio San merasa pahitnya obat itu masih kalah pahit dengan sikap gihunya. Selama merawatnya 3 hari itu, Tan Hoat tidak pernah menyapa atau berbicara dengan Cio San sama sekali. Untuk menanyakan kabarnya saja tidak. Tan Hoat cuma meraba nadi di pergelangan tangan Cio San untuk mengetahui kondisi kesehatannya.
Cio San mencoba memecah kebuntuan dengan mengajak gihunya berbicara, namun cuma dibalas dengan anggukan atau gelengan. Walaupun begitu, Cio San tetap berusaha tersenyum kepada gihunya dan bersikap selalu hormat kepadanya.
Setelah 3 hari dirawat, pada pagi hari ke empat, Cio San merasa tubuhnya sudah pulih sepenuhnya. Merasa bosan selama 3 hari di kamar terus, Cio San memutuskan untuk keluar biliknya. Suasana pagi itu sangat cerah. Terdengar suara murid-murid Bu Tong-pay yang sedang berlatih.
Cio San berjalan sebentar merasakan cahaya matahari di pagi yang indah itu. Nyaman rasanya. Ia menarik nafas sebentar, mencoba melatih ilmu pernafasan tingkat 5 nya. Ia mengembangkan kedua tangannya ke depan. Menekuk sedikit lututnya. Inilah gerakan pembuka dari Thay Kek Kun. Gerakannya mengalir, kesamping, melangkah ringan ke depan. Melihat gerakan-gerakan ini, orang awam pasti mengira dia sedang menari. Memang Thay Kek Kun ini terlihat mengalun pelan dan gemulai.
Seperti orang menari.
Cio San pun sendiri seperti menikmati gerakan-gerakan itu. Ia menutup matanya dan bergerak dengan indah. Seluruh tubuhnya seperti dituntun untuk bergerak. Bukan ia yang menggerakkan tubuhnya, melainkan seperti dituntun sebuah ombak atau angin.
Ia merasa nikmat sekali. Perasaannya seperti dibawa terbang. Ia sudah mulai merasa mabuk dan terbang ke dunia lain. Sudah dilupakannya gerakan apa yang sedang dilakukan, serta entah berapa jurus yang sudah ia lakukan.
Perasaan hati yang riang karena ia telah sembuh total, suasana pagi yang indah, sinar matahari yang cerah, sejuknya udara pegunungan, kicau burung diatas pohon, dan semua rahmat Tuhan di alam ini seperti membuai Cio San. Ia seperti menjadi tidak sadar atas gerakannya sendiri. Entah sudah jurus keberapa! Entah ia sedang melakukan apa! Ia tidak tahu sekarang berada dimana!
Ia seperti terbang, ia seperti bermimpi!
Ia bahkan tidak sadar ada orang berdiri dihadapannya. Bahkan bisa dibilang, Cio San kini sudah tidak tahu lagi berada di mana dan sedang melakukan apa.
Terasa seluruh tubuhnya semakin segar. Ada kehangatan aneh yang timbul di beberapa bagian tubuhnya. Ada tenaga baru yang terkumpul di perutnya, ada tenaga di kedua tangannya, ada tenaga di kedua kakinya. Perasaan seperti ini baru pertama kali ia rasakan. Tenaga yang terkumpul di seluruh tubuhnya, tiba-tiba mulai mendesak untuk keluar.
Ada apa ini?
Mengapa sekarang seluruh tenaga ini mulai mendesaknya?
Cio San mulai merasa dadanya sesak. Gerakannya mulai kacau. Ia mulai tersadar lagi. Ah, ia kini sedang berada di halaman depan bilik para murid.Ia sedang melakukan gerakan dasar pernafasan. Lalu kenapa kini dadanya sesak?
Saat kesadarannya mulai pulih, ketika itulah terdengar teriakan,
“Salurkan hawa panas di perut ke kedua tangan.... Jangan menahan nafas. Tutup ‘pintu belakang’ jangan sampai ada tenaga yang bocor. Dorong tenaga itu keluar.....!”
Seketika itu juga …
Blarrr…!!!
Sekeliling Cio San seperti terasa bergetar. Pohon besar yang berada di sebelahnya terasa bergetar dan bergoyang-goyang.
Cio San mulai melihat ke sekeliling.
Ada gihunya, Tan Hoat, berdiri di hadapannya.
Cio San seperti baru terbangun dari tidur dan mimpi indah. Namun bangunnya itu seperti orang disiram air. Seperti orang gelagapan. Cio San baru mulai menyadari keadaan sekitarnya.
Gihunya sedang berdiri di hadapannya, dengan tatapan mata yang aneh.
“Dari siapa kau mempelajari ilmu silat Thay Kek Kun?”, katanya menyelidik.
“Teecu.. teecu.. tidak mengerti...,” kata Cio San terbata-bata.
“Gerakanmu itu tadi adalah Thay Kek Kun jurus ke-8. Siapa yang mengajarkannya kepadamu?” Pandangan mata gihunya sungguh menusuk hatinya.
“Teecu...., ah..., teecu.., tidak ada yang mengajarkannya kepada teecu, Gihu. Teecu hanya mencoba melatih pernafasan tingkat ke-5... Tahu-tahu teecu seperti lupa diri. Tahu-tahu, sepertinya tubuh teecu bergerak sendiri, dan teecu tak tahu lagi teecu ada dimana. Lalu tahu-tahu seperti ada tenaga yang timbul... lalu.. lalu teecu mendengar suara guru yang menuntun teecu....”
“Benarkah? Aku ‘kan sama sekali belum mengajarimu ilmu itu...” Gihunya sendiri juga heran, lalu melanjutkan, “Atau apakah suhu-suhu yang lain pernah mengajarimu?”
“Tidak pernah, Gihu...,” jawab Cio San.
“Atau apakah kau mencuri belajar dari murid-murid tingkat 4?” tanya gurunya lagi.
“Demi Tuhan, tidak, Gihu. Teecu ingat betul dulu Gihu mengingatkan kalau mencuri belajar adalah perbuatan yang hina. Teecu tidak mungkin melakukannya...,” jawab Cio San.
“Selama ini, aku mendengar dari suhu-suhu yang lain bahwa tingkat ilmu silatmu mengalami kemajuan yang sedikit sekali. Malahan ada yang bilang bahwa silatmu tidak maju-maju. Itupun sudah aku perhatikan sendiri tanpa harus menerima laporan suhu yang lain. Lalu bagaimana bisa kau menguasai jurus ke-8 Thay Kek Kun? Padahal untuk bisa belajar Thay Kek Kun saja, kau harus menamatkan pelajaran pernafasan yang sampai tingkat 15. Sampai tingkat berapa ilmu pernafasanmu?” tanya Tan Hoat cepat.
“Ba.. baru.. sampai tingkat 5, Gihu,” jawab Cio San sambil menunduk.
“Coba tunjukkan padaku, pernafasan tingkat 5 mu,” perintah Tan Hoat.
Cio San mulai melakukan gerakan. Sama indahnya dengan gerakan-gerakan yang tadi ia buat. Namun kini ia memusatkan perhatian untuk melakukan gerakan ini sebaik-baiknya. Tapi tidak sampai berapa lama, ia merasa nafasnya sesak. Ada rasa sempit di dadanya. Hal ini berbeda dengan perasaan dorongan tenaga yang tadi sempat dirasakannya. Seketika Cio San merasa kepalanya pening. Ia lalu berhenti. Keringat dingin mengucur deras dari dahinya.Tan Hoat memegang nadi di pergelangan tangannya. Denyut itu agak sedikit kacau. Sang gihu berkerut dahinya.“Tingkat 5 pernafasan saja belum kau kuasai, tapi kau sudah bisa mengeluarkan jurus ke-8 Thay Kek Kun. Aneh...,” ia seperti berbicara kepada diri sendiri.“Apa yang tadi kau lakukan sehingga bisa melakukan gerakan-gerakan jurus itu?” tanyanya.“Teecu hanya bergerak seenaknya saja. Tidak memikirkan macam-macam. Teecu keluar kamar dengan perasaan riang karena sudah sembuh. Teecu menikmati suasana pagi yang segar dan harumnya bunga-bunga di pagi hari. L
Waktu makan siang pun datang. Cio San membantu A Liang menata piring-piring dan masakan. Mereka juga dibantu oleh beberapa murid Bu Tong lain. Maklum, jumlah seluruh murid Bu Tong ada sekitar 1000an lebih.Letak meja-meja di ruang makan Bu Tong diatur berdasarkan tingkatan. Setiap tingkatan mempunyai posisi sendiri-sendiri. Begitu juga posisi meja para anggota ‘15 Naga Muda’. Cio San pun makan di situ juga. Cuma bedanya, kalau seluruh anggota ‘Naga Muda’ makan dengan riang dan bertegur sapa, Cio San makan dengan diam dan sepi. Memang, tidak ada orang yang menganggapnya ada. Apalagi mengajaknya berbicara.Hanya Beng Liong yang mau duduk di dekatnya dan berbicara padanya. Beng Liong ini adalah anggota ‘15 Naga Muda’ yang paling tua umurnya. Sekitar 18 tahun. Dia ini juga adalah anggota yang paling berbakat, paling tampan, dan paling gagah. Semua orang suka padanya. Ia punya tutur-kata yang sangat sopan dan halus. Ia juga ramah dan sama sekali tidak sombong. Walaupun ilmunya paling hebat
Begitu pintu dibuka, nampaklah ruang ketua itu. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu sempit. Ruangan ini biasanya dipakai sebagai ruang tugas Ciangbunjin. Tempat ia menerima tamu atau memberi perintah. Intinya, ruang ini dipakai sebagai ruang resmi kepala Bu Tong-pay.“Teecu, Cio San menghadap, Ketua.” Sambil berkata begitu, Cio San mengatup tangan di depan dada.Sambil tersenyum, Lau-ciangbunjin berkata, “Sudahlah, jangan terlalu banyak aturan.”Cio San mengangguk hormat.Ternyata di dalam ruangan ini, Lau-ciangbunjin tidak sendirian. Ada 4 orang disebelahnya. Dua di kiri dan dua di kanan. Keempat orang ini adalah Penasehat Utama Ketua Bu Tong-pay. Mereka dari angkatan ke 2. Wajah mereka angker. Cio San mengenal nama-nama orang ini.Cou Leng, berdagu panjang, dengan jenggot yang semakin membuat wajahnya terlihat lebih panjang.Yo Han, bertubuh tinggi besar, matanya selalu tertutup, dan bibirnya selalu berkomat-kamit.Yo Ang, kakak dari Yo Han, tapi justru tubuhnya kecil. Tata
Cio San telah selesai membuntal pakaian-pakaiannya. Begitu keluar dari biliknya, Tan Hoat telah berada di depan pintu menantinya. Berbeda dengan beberapa hari akhir-akhir ini, wajah Tan Hoat sudah tidak seketus belakangan ini.Tan Hoat sambil tersenyum berkata, “Sudah siap? Aku akan mengantarmu ke pondok bambu.”“Sudah, Gihu. Tapi ‘anak’ ingin berpamitan dengan beberapa orang terlebih dahulu. Bolehkah?”“Pergilah. Aku menanti di pohon Yang Liu, dekat kolam gedung utama. Jangan lama-lama, takutnya kita telat berangkat dan kemalaman.”“Terima kasih, Gihu.” Sambil berkata begitu, ia memberi hormat dan segera bergegas.Pertama-tama, ia mencari Liang-lopek. Orang tua ini memang selalu akrab dengannya. Kesukaan baru Cio San, yaitu belajar masak, memang harus tertunda dulu. Padahal ia senang sekali mempelajari kemampuan baru ini.Cio San menemukan Liang-lopek sedang beberes di dapur belakang.“Ah kau.., bagaimana? Sudah bertemu Ciangbunjin? Apa kata beliau?” tanya Liang-lopek.“Sudah, Lopek.
Setelah dari tempat Liang-lopek, Cio San menuju ke ruang latihan utama, tempat biasanya para ‘15 Naga Muda’ berlatih. Karena saat ini memang masih jam istirahat, ruangan itu masih sepi. Namun sesuai dugaan Cio San, masih ada satu orang yang berlatih disana. Siapa lagi kalau bukan Beng Liong.Remaja tampan dan gagah ini, memang tidak pernah melewatkan waktu tanpa berlatih silat. Ia bersilat sendirian. Memainkan jurus-jurus dasar Bu Tong-pay. Namun gerakannya terlihat mantap dan lincah. Peluh mengalir di sekujur tubuhnya yang bertelanjang dada. Di umur yang baru sekitar 18an tahun, tubuh Beng Liong terlihat tegap dan gagah.Melihat keseriusan Beng Liong dalam berlatih, Cio San sungkan mengganggunya. Ia hanya berdiri di belakang Beng Liong. Melihat gerakan-gerakan silatnya. Memang sungguh hebat sekali. Pantas saja kalau Beng Liong dianggap sebagai ‘15 Naga Muda’ yang paling berbakat.Merasa ada orang di belakangnya, Beng Liong menyelesaikan gerakannya. Ia berbalik lalu tersenyum kepada C
Bagian tertinggi Bu Tong-san ternyata sangat indah. Di sebelah kanan, sungai dan hutan. Di sebelah kiri, tebing-tebing bebatuan. Tan Hoat menjelaskan bahwa tebing-tebing itu sangat berbahaya, dan mewanti-wanti Cio San untuk berhati-hati jika berada di sekitar tebing itu.Pondok bambu itu sendiri juga berdiri tepat dibawah sebuah tebing tinggi. Jika menaiki tebing itu, yang tingginya sekitar 10 meter, maka seseorang akan berada di tempat tertinggi Bu Tong-san.Di dalam pondok, ternyata suasananya bersih sekali. Ada dipan bambu dan sebuah tikar diatasnya. Di sebelah dipan, ada meja kecil dan sebuah kursi. Ada juga sebuah tungku perapian yang berguna untuk memasak atau membuat api unggun sebagai penghangat tubuh. Ada juga lampu minyak, beserta minyaknya.Sampai saat ini, Cio San baru sadar bahwa hukumannya ini tidak main-main. Ia akan hidup sendirian di sini selama 3 bulan. Rasanya seram juga. Dalam hati, ia bergidik, namun sebisa mungkin ia menutupinya dari gihunya itu.Tan Hoat rupanya
Setelah malam, Cio San memutuskan untuk melatih ilmu pernafasannya yang sudah tertinggal jauh dari kawan-kawan seperguruan. Memang ia sangat terlambat, namun itu semua bukan karena kekurangpahamannya, melainkan karena organ-organ dalam tubuhnya yang bekerja kurang sempurna sehingga latihan-latihan itu gagal semua.Cio San pun mengerti dan paham hal ini. Ia sampai pada kesimpulan bahwa mungkin saja cara latihan yang diajarkan di Bu Tong-pay ini ditujukan kepada mereka yang memiliki organ-organ sehat dan normal, sehingga tidak cocok bagi orang yang seperti dia.Kesimpulan Cio San ini sebenarnya sungguhlah tepat. Karena pada dasarnya, ilmu silat itu harus dicocokkan dengan kemampuan fisik seseorang. Jika seseorang yang fisiknya tinggi, maka ada ilmu silat khusus yang membuat orang itu mampu memaksimalkan kelebihan fisiknya. Begitu juga jika orang itu pendek, atau kekar, dan lain-lain. Selalu ada ilmu silat yang lebih cocok bagi keadaan orang tersebut.Hal inilah yang melahirkan berbagai
Setelah beristirahat beberapa lama, Beng Liong pamit karena waktu istirahat sudah akan habis. Mereka berpisah, dan Beng Liong berjanji untuk sering mengunjungi Cio San. Begitu menuruni gunung, terlihat gerakan Beng Liong sangat lincah dan cepat sekali.“Wah, Liong-heng ternyata semakin hebat saja. Rupanya ia sudah mulai mempelajari ilmu meringankan tubuh Bu Tong-pay,” kata Cio San dalam hati.Hari berganti hari, Cio San terus berlatih silat Bu Tong-pay. Namun sambil berlatih silat, otaknya terus-mengingat-ingat tulisan yang ia pelajari dari dalam buku. Pada awalnya, nafasnya terengah-engah dan cepat merasa letih. Tapi ia terus memaksakan diri. Sedikit demi sedikit, rasa terengah-engah itu hilang, bahkan terasa ada kekuatan baru yang muncul perlahan-lahan.Cio San tidak pernah menyangka bahwa saat ia berlatih silat sambil mengingat-ingat tulisan di dalam buku itu, sebenarnya ia telah berhasil menggabungkan ilmu silat Bu Tong-pay dan pengetahuan tentang tubuh manusia.Saat ilmu Bu Tong-