Hingga akhirnya, pada suatu hari, dalam keadaan tak sadar, aku keluar rumah lalu menari di tengah jalan dengan telanjang bulat dan mengenakan pakaian dalam saja. Ya Allah sungguh memalukan. Orang - orang menceritakan padaku. Sungguh saat itu aku tak sadar. Cukup lama aku menari hingga orang - orang di jalan langsung mengambilku dan memberikan aku baju. Suamiku kaget bukan kepalang. Anak - anakku memelukku.
Suamiku bilang aku menari gerakan Jaipong persis seperti aku pentas dulu. Gemulai tangan dan liukkan tubuhku masih sama. Aku tertawa lepas sembari sesekali menyibakkan rambut panjangku. Aku memang gila. Tapi saat itu, suamiku menangis pilu. Aku terlihat lepas tak memiliki beban. Aura penari yang dulu ada terasa bersinar bagaikan panggung megah dengan ribuan penonton. Aku berjalan kesana kemari mengikuti tempo lagu yang kubuat sendiri.
Ketika aku dimasukkan kembali ke rumah, tubuhku memberontak. Seolah tak mau berhenti menari dan tertawa. Bahkan ketika suamiku memanggil dokter, mereka tak kuasa menahan amukan amarahku. Teriakkanku semakin menjadi.
“Biarkan aku menari...biarkan...kau mau melarangku? Sini... aku tangkap ha ha ha. Ayo nari bareng aku yuk.” ujarku sambil tertawa
“Mama... sadar ma. Istigfar ma. Ya Allah.” Perkataan anak – anakku tak kugubris. Mereka hanya menangis dengan penuh ketakutan. Terlihat kepanikan suamiku dengan memanggil dimulai dari ketua RT sampai dokter kenalannya. Aku yakin malu yang kuterima keluargaku membuat mereka terguncang.
"Lusi...ini aku Edi. Sadar ma. sadar. masih ada anak - anak Ma. Jangan begini. Kita bicara di dalam ya" suamiku nampak mengelus - elus halus kepalaku sambil menangis.
Semakin orang memegangku maka semakin kencang aku berlari, menari dan tertawa lepas. Seolah semua orang yang menontonku adalah pemujaku dahulu.
Suamiku bercerita saat aku menari di jalan, banyak mata memandang haru padaku. Mereka menangis melihatku. Bahkan tetangga terdekatku tidak mengetahui kisah hidupku dulu sebagai seorang penari. Mereka memelukku sekuat tenaga. Ucapan doa tulus agar aku segera sadar keluar dari mulut mereka yang menyayangiku. Suamiku menangis menahan sakit. Seumur hidup baru merasakan mendapat tamparan keras kenyataan yang luar biasa.
Kejadian yang sangat menghebohkan tentang aku menari telanjang sepanjang jalan rumahku terus menjadi perbincangan. Bahkan harian surat kabar setempat meliput berita ini. Walau namaku disamarkan. Namun terbayang rasa malu keluarga di masa mendatang. Sungguh kejadian yang takkan kulupakan.
Keesokan harinya aku tetap tak berubah. Malah ocehan bicaraku yang makin ngawur membuat keluarga memutuskan memasukkanku ke rumah sakit jiwa. Sikapku yang selalu tertawa sambil menari dengan rambut panjang terurai membuat keluargaku ketakutan. Tak terbayang perasaan anakku melihat ibunya gila. Terlebih dua anakku balita yang masih membutuhkanku. Rumah yang dahulu penuh canda tawa menjadi tragedi. Semua orang mendatangiku. Suamiku yang terlihat gagah berubah menjadi sosok diam tanpa kata. Hanya rasa malu dan bingung melihat keadaanku. Jujur akupun tidak mengingat mengapa aku seperti itu. Emosiku yang labil ditambah tak ada perlindungan dari keluarga membuatku tak kuat menahan beban.
Sejak saat itu, aku dimasukkan ke salah satu rumah sakit jiwa di pusat kota. Dr. Wira, Sp.KJ adalah dokter psikiater yang menanganiku. Pada hari pertama, aku dimasukkan ke dalam suatu kamar putih yang cukup besar. Lorong panjang yang kulalui menambah kesan sepi rumah sakit.
“Penderita gangguan jiwa berat terlebih dahulu mendapatkan perawatan di ruang intensif. Di ruang intensif, penderita gangguan jiwa mendapatkan perawatan selama kurang lebih satu minggu. Pasien yang masuk ke dalam ruang intensif tersebut merupakan pasien yang masih gelisah, cenderung mengamuk dan emosinya belum terkontrol,” ujar Dokter Wira meyakini suamiku. Rumah sakit akan melakukan pengawasan terhdap pasien di ruang intensif tersebut, serta obat yang lebin intensif. Selanjutnya, pasien akan mendapatkan perawatan di ruangan intermediet, sudah dapat bersosialisasi dan berinteraksi, namun masih perlu pengarahan dari petugas. Biasanya perawatan di ruang ini berlangsung dua pekan. Salah satu pemeriksaan pengobatanku adalah pemeriksaan fisik. Dokter akan memberikan perawatan sesuai diagnosa kondisi mental seseorang dengan pemeriksaan fisik terlebih dahulu. Wawancara dengan dokter adalah tahapan yang kulewati karena bicaraku yang tak terarah. Hanya mungkin s
Dua minggu berlalu, hampir setiap hari suamiku mampir ke rumah sakit. Terkadang hanya melihat wajahku saja dari balik jendela lalu Edi pulang kembali. Percuma saja menengokku. Aku takkan mengenali keluargaku. Aku hanya bisa tertawa, menari dan tersenyum. Kegiatanku hanya berjemur, mandi, makan dan berdiam diri di kamar. Kesadaranku belum pulih. Sesekali dokter memberikan semangat untukku mengingat kenangan indah. Namun yang muncul hanyalah tangisan dan teriakanku. Mungkin karena di tahun terakhir aku hidup, aku merasakan depresi teramat dalam. Sehingga kenangan indah tidak pernah muncul dalam ingatanku.“Minum obatnya dulu ya bu. Ibu suka lauk apa. Nanti saya buatkan.” ujar perawat padaku.“Dengan lantang kujawab aku suka makanan pedas.”“Wah, ibu keren. Ibu sudah mengingat sedikit ya.”Oh ya aku ingat aku pernah makan bersama di meja makan bersama anak – anakku. Meja itu berwarna coklat tua dan diberikan taplak h
Saat kondisi psikisku sudah sembuh, aku belum diperkenankan pulang oleh dokter. Beliau masih memantau perkembangan lebih lanjut. Jujur akupun merasakan belum siap kembali bersama keluargaku. Bayangan malu dan takut terulang kembali wajar aku rasakan. Namun suamiku mencoba meyakiniku dengan berjanji melakukan yang terbaik.Langkah awal suamiku akan lakukan adalah pindah ke rumah baru. Edi berpikiran dengan lingkungan dan suasana baru akan membuat kondisi mentalku cepat pulih. Tetangga baru takkan mengenali kejadian yang pernah aku lalui. Walau aku tak merasa malu pernah menjadi pasien rumah sakit jiwa. Guru ngajiku selalu mengatakan hal postif.“Memangnya kau mencuri? Kenapa harus malu! Malulah pada Allah. Mohon tobat karena kita kurang bersyukur, kurang iman, kurang ibadah dan banyak lagi kekurangan kita. Daripada mengorek terus kesalahan di masa lalu. Maka habiskanlah sisa hidupmu dengan banyak ibadah untuk menutupi kekuranganmu di masa lalu. Tetangga adalah cct
Hari itu tiba..Setelah enam bulan berobat di rumah sakit. Aku bisa menghirup udara luar. Angin semilir begitu ringan menyentuh tubuhku. Dengan ditemani suami dan anak – anakku, aku berjalan pasti menatap masa depan. Merekalah penolong dan pelindungku dikala kujatuh.“Ma, sini aku bawakan tas mama.”“Aku saja ma..”“hu hu gitu aja berebut. Kalau mau kalian gendong mama berani ga?” celetuk anak sulungku diikuti tawa renyah adik - adiknya.“Mau saja aku. Tapi kalau sudah besar ha ha..” mereka pun saling berlarian diiringi cekikikan tawa seluruh keluarga. Ada – ada saja tingkah polah mereka. Inilah yang aku rindukan saat ku tinggal di rumah sakit.Perkataan suamiku bahwa dia menyesali semua perbuatannya, membuatku merasa beruntung. Dia tidak tahu apa yang dilakukannya membuatku terluka. Dia berjanji bila aku sudah keluar dari rumah sakit, aku boleh menari lagi.Setel
"Kembang kembang tanjung... kembang tanjung... " Alunan musik sunda mengiringi anak - anak menari jaipong adalah hal yang sangat aku nikmati. Lekukan tubuh sang penari mengikuti tempo lagu terasa menyejukkan batinku yang selama ini gersang. Semenjak kudirikan sanggar, otomatis kesibukanku sebagai guru tari mengisi hari - hari indahku. Terlebih muridku semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Aku selalu mensyukuri tiap detik dalam hidupku. Suami dan anak - anakku adalah penyemangatku berkarya. "Maaa.. ade pengen liburan dong ma hari Sabtu. Mama sibuk terus! " celoteh anak bungsuku. Kupeluk erat tubuhnya sembari kucium kening dengan penuh kasih sayang. "Nanti ya de. Mama janji kalau sudah ada pelatih yang bantu mama. Mama akan temani ade liburan. " "Janji ya maa... " "Iya sayang.." ucapku lirih. Suamiku yang berada di sebelahku hanya melirik ke arahku. Namun herannya, dia tidak berkomentar seperti biasanya. Terbersit pikiran aneh d
Tepat satu tahun bergelut dengan tari, kejiwaanku semakin membaik. Hari yang kujalani lebih bergejolak kurasakan. Setiap pagi adalah warna baru dalam hidupku. Aroma kopi dengan semilir angin jelas sekali menambah semangat jiwaku memulai hari. Anak - anak yang beranjak dewasa, membuat langkah kakiku lebih ringan menata hari. Ide di kepalaku menumpuk. Banyak sekali impian yang harus kuwujudkan. Aku harus berusaha selama Tuhan memberikanku umur. Aku tidak tahu berapa lama lagi umurku. Namun tekadku bulat. Takkan ada lagi yang menghalangiku menari di sisa hidupku. "Ma, aku mau sarapan roti bakar keju ya. Kalau ade pengen nasi goreng." ucap anak ketigaku. "Siap.Lalu mas mau apa? " tanyaku sambil tersenyum manis. "Sempet ga mama masaknya kalau mas minta?. Kalau sarapan mas mau nasi goreng saja. Hanya dari kemarin mas pengen makan dengan makanan kesukaanku. " "Rendang ya mas?aku usahakan ya mas. " "Aku mau rendang yang
Gaung sanggar Lusi tempatku berkarya mulai menapakkan sayapnya. Undangan dari berbagai instansi, sekolah, acara pernikahan bahkan sampai istana presiden menjadi langganan pemakai jasa anak - anak didikku. Jadwal padat selalu terisi tidak saja di hari libur, namun hari biasapun jadwal padat menambah jam terbang pengalaman anak - anak menari. Aku selaku pendiri dan penikmat seni sangat puas dengan hasil yang kucapai. Cara mengajarku yang kujalani dari hati menambah nilai positif kemajuan sanggar. "Putar nak... putar ke kiri hentakan kaki lalu tangan lekukan dua kali ya.. " ujarku pada anak didikku sambil kupraktekan tarianku. "Baik bu Lusi... " Jumlah murid yang berlatih di sanggar Lusi adalah lima puluh orang. Jumlah ini insyaAllah kuyakin semakin bertambah karena minat dan kemajuan sanggarku. Jenis tari di tempatku memang hanya tari jaipong. Aku belum sempat mencari guru tari lain selain Jaipong. Tarian Jaipong sangat aku kuasai karena
Tawaran beasiswa yang kuterima selalu terngiang di telingaku. Bayangan akan pengalaman baru dalam hidup selalu menghantuiku. Aku adalah tipe orang yang selalu haus akan ilmu. Terlebih pada dunia yang aku cintai. Tari adalah hidupku. Aku takkan pernah lagi meninggalkannya. Segala rintangan akan aku hadapi. Termasuk restu suamiku. Aku tahu aku salah. Aku harus menurut apapun perkataan suamiku. Karena dalam ajaranku, restu suami adalah wajib aku kantongi. Bahkan keluar rumah harus seijin suami. Aku tak menampik bahwa selama ini aku selalu menjalani kewajiban sebagai istri. Bahkan sampai aku dimasukkan ke rumah sakit jiwa adalah salahsatu bukti ketaatanku pada suami. Aku takut sekali membantahnya. "Bagaimana mas? apa mas tetap tidak memperbolehkanku? " "Kau sudah tahu jawabanku. Tak usah kamu tanya kembali. " Entah apa yang memberanikanku selalu bertanya berulang kali perihal kesempatanku kuliah keluar negeri. Aku tak mau melewatkan kesempatan ini.