Share

Bab 4.Aku menari telanjang di Jalan

Hingga akhirnya, pada suatu hari, dalam keadaan tak sadar, aku keluar rumah lalu menari di tengah jalan dengan telanjang bulat dan mengenakan pakaian dalam saja. Ya Allah sungguh memalukan. Orang - orang menceritakan padaku. Sungguh saat itu aku tak sadar. Cukup lama aku menari hingga orang - orang di jalan langsung mengambilku dan memberikan aku baju. Suamiku kaget bukan kepalang. Anak - anakku memelukku.

Suamiku bilang aku menari gerakan Jaipong persis seperti aku pentas dulu. Gemulai tangan dan liukkan tubuhku masih sama. Aku tertawa lepas sembari sesekali menyibakkan rambut panjangku. Aku memang gila. Tapi saat itu, suamiku menangis pilu. Aku terlihat lepas tak memiliki beban. Aura penari yang dulu ada terasa bersinar bagaikan panggung megah dengan ribuan penonton. Aku berjalan kesana  kemari mengikuti tempo lagu yang kubuat sendiri.

Ketika aku dimasukkan kembali ke rumah, tubuhku memberontak. Seolah tak mau berhenti menari dan tertawa.  Bahkan ketika suamiku memanggil dokter, mereka tak kuasa menahan amukan amarahku. Teriakkanku semakin menjadi.

“Biarkan aku menari...biarkan...kau mau melarangku? Sini... aku tangkap ha ha ha. Ayo nari bareng aku yuk.” ujarku sambil tertawa 

“Mama... sadar ma. Istigfar ma. Ya Allah.” Perkataan anak – anakku tak kugubris. Mereka hanya menangis dengan penuh ketakutan. Terlihat kepanikan suamiku dengan memanggil dimulai dari ketua RT sampai dokter kenalannya. Aku yakin malu yang kuterima keluargaku membuat mereka terguncang.

"Lusi...ini aku Edi. Sadar ma. sadar. masih ada anak - anak Ma. Jangan begini. Kita bicara di dalam ya" suamiku nampak mengelus - elus halus kepalaku sambil menangis. 

Semakin orang memegangku maka semakin kencang aku berlari, menari dan tertawa lepas. Seolah semua orang yang menontonku adalah pemujaku dahulu.

Suamiku bercerita saat aku menari di jalan, banyak mata memandang haru padaku. Mereka menangis melihatku. Bahkan tetangga terdekatku tidak mengetahui kisah hidupku dulu sebagai seorang penari. Mereka memelukku sekuat tenaga. Ucapan doa tulus agar aku segera sadar keluar dari mulut mereka yang menyayangiku. Suamiku menangis menahan sakit. Seumur hidup baru merasakan mendapat tamparan keras kenyataan yang luar biasa.

Kejadian yang sangat menghebohkan tentang aku menari telanjang sepanjang jalan rumahku terus menjadi perbincangan.  Bahkan harian surat kabar setempat meliput berita ini. Walau namaku disamarkan. Namun terbayang rasa malu keluarga di masa mendatang. Sungguh kejadian yang takkan kulupakan.

Keesokan harinya aku tetap tak berubah. Malah ocehan bicaraku yang makin ngawur membuat keluarga memutuskan memasukkanku ke rumah sakit jiwa. Sikapku yang selalu tertawa sambil menari dengan rambut panjang terurai membuat keluargaku ketakutan. Tak terbayang perasaan anakku melihat ibunya gila. Terlebih dua anakku balita yang masih membutuhkanku. Rumah yang dahulu penuh canda tawa menjadi tragedi. Semua orang mendatangiku. Suamiku yang terlihat gagah berubah menjadi sosok diam tanpa kata. Hanya rasa malu dan bingung melihat keadaanku. Jujur akupun tidak mengingat mengapa aku seperti itu. Emosiku yang labil ditambah tak ada perlindungan dari keluarga membuatku tak kuat menahan beban. 

Sejak saat itu, aku dimasukkan ke salah satu rumah sakit jiwa di pusat kota. Dr. Wira, Sp.KJ adalah dokter psikiater yang menanganiku. Pada hari pertama, aku  dimasukkan ke dalam suatu kamar putih yang cukup besar. Lorong panjang yang kulalui menambah kesan sepi rumah sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status