Berawal dari kekecewaan yang terus menerus kupendam. Tak ada tempat mengadu dan bersandar. Suamiku selalu pulang larut malam kemudian paginya dia harus berangkat ke kantor. Bahkan kedua anakku sibuk sekolah. Tinggal dua anak balita yang menemani hari – hariku. Perhatian yang mas Edi berikan ketika kami memadu kasih tak pernah kudapatkan setelah menikah. Bahkan ketika semua keluarga berlibur di akhir pekan. Aku masih harus berjibaku mengerjakan pekerjaan rumah.
“Mas, anak – anak pengen berenang katanya mas.”
“Sudahlah. Nanti saja kalau dari sekolah ikutnya. Menghabiskan uang saja. Lebih baik pakai beli beras!” ucap suamiku bila meminta ijin agar sekali – kali mengajak anak – anak keluar bersama. Nyaliku pun menciut untuk kesekian kali. Apalagi bila aku ijin shopping bersama, gumamku. Kembali kutelan pil pahit dalam relung hati terdalamku.
Pernah aku mencoba menonton acara televisi bersama. Saat itu sedang menayangkan acara tarian pembukaan SEA GAMES.
“Wah, cantik sekali tariannya ya mas. Beruntung sekali mereka bisa bertemu presiden. Jadi ingat dulu ya.”
“Pindahkan saja channelnya. Malas aku nontonnya. Tetap saja ujung – ujungnya perempuan harus ke dapur. Percuma mau berkarir setinggi apapun karena kodrat mereka adalah wanita.”
“Tapi mas...” suaraku mengecil tanpa pantas kudebat.
Maka seperti itulah, setiap kali ada keinginan aku menari, selalu aku urungkan niat. Padahal aku ingin memiliki sanggar tari sendiri dan kembali menari. Tapi sudahlah....aku sudah tahu jawaban suamiku.
Aku memang wanita yang tidak begitu suka dandan. Semenjak kuliah sampai bekerjapun aku selalu berdandan sederhana. Kecuali ketika pentas di panggung. Maka wajahku harus dipoles sedemikian cantik untuk menunjangku menari.
Namun entah mengapa sudah beberapa hari, aku malas sekali berdandan. Wajahku kubiarkan polos tanpa bedak. Rambutku yang panjang terurai kubiarkan tak tertata. Malas sekali aku sisir. Suami dan anak – anakku bahkan tidak memperlihatkan keadaanku. Perasaan tak dibutuhkan makin menguasaiku. Aku merasakan aku hanyalah sebutir debu diantara ribuan pasir di pantai. Aku bagaikan pembantu yang harus selalu mencuci, memasak, menyetrika, membersihkan rumah bahkan menjadi budak seks bagi suamiku. Astaghfirullah hal'adzim ucapku dalam hati.Perlahan, aku sering menangis dalam sujud malamku. Sepuluh tahun sudah pernikahanku. Tak ada yang berubah. Bahkan perangai suamiku makin merajalela. Aturan yang dibuatnya membuatku bagaikan burung dalam sangkar.
“Cantik ga mama?” tanyaku pada anak sulungku sambil tertawa memandang cermin.
“Ihhh mama serem banget. Mana rambut mama panjang gitu. Kaya kuntilanak tau ma.” Ucapnya.
“Ya emang mama mirip kuntilanak hi hi. ” tanpa sadar aku menjawab dengan santai.
Tapi aku ingat saat itu yang ada di otakku adalah rasa depresi teramat dalam. Kejenuhan hidup sudah di ambang batas. Tak tahu lagi arah yang akan kuambil. Tak ada yang berani memelukku. Tak ada yang mau mendengarkanku. Aku hanyalah angin lalu bagi mereka. Bahkan anak - anakku yang balita hanya memerlukan air susuku saja. Setelah mereka puas, mereka akan meninggalkanku. Pikiran – pikiran yang buruk terus menghantuiku. Aku merasakan kehilangan yang teramat besar. Aku merindukan keberadaanku. Aku rindu orang memujaku. Aku rindu orang mengelu – elukan namaku dan memandangiku sebagai seorang wanita seutuhnya.
Berawal tidak suka berdandan lagi, perlahan kini pakaian yang kukenakan tak kuperdulikan. Pernah aku hanya memakai atasan tanpa celana panjang berada di dalam rumah. Aku pun tak perduli memakai daster bolong di rumah. Padahal dulu, aku selalu menjahit rapi bila ada dasterku yang bolong. Sampai seperti itupun, orang rumah tidak ada yang perduli padaku. Mereka hanya menertawaiku menganggap aku lupa. Rasa tersisihkan tak terelakkan. Aku seperti menunggu bom waktu yang siap meledak.
“Makanya ma..jangan masak terus. Jadi pikun kan...” anak - anakku menertawaiku. Aku yang merasa sensitif malah menangis karena kecewa tak ada yang perduli. Perasaan tak dihargai makin menjadi di benakku. Tingkat batas kesabaranku sudah tak kuat kutanggung sendiri.
Hari demi hari di negara orang membuatku merasakan seolah hidup kembali. Aktivitas yang biasa kulakukan seperti mengatur menu makanan, menyetrika pakaian bahkan menyuapi anak - anakku tak kulakukan disini. Sejenak aku bisa melupakan rutinitas yang kadang membuatku jenuh. Aku tak pernah membayangkan aku bisa mencium aroma koridor sekolah dengan jejeran kantin kembali. Lalu lalang mahasiswa penuh tawa dengan impian masa depan yang ingin rasanya kubisikan bahwa dunia tak seindah itu. *** Sanggar Lusy yang aku tinggalkan di Indonesia masih terus berjalan. Aku percayakan pada tanteku untuk mengelola. Anak - anakku tumbuh sangat cepat dengan baik. Prestasi yang mereka torehkan di sekolah menambah kebahagiaan menjadi seorang ibu. Kadang terlintas di pikiran aku ingin Mas Edy kembali. Namun, bayangan mas melarangku sekolah dan mengembangkan semua yang aku punya untuk menari kembali membuatku ciut. Jujur aku masih mencintai Edy. Aku takut psikologiku terganggu kembali bila aku stress. Apalagi
Hari yang tak kuduga telah tiba. Hari yang tidak pernah terbesit dalam hidupku. Aku yang notabene hanya ibu rumah tangga dan mantan pasien rumah sakit jiwa bisa menapakkan kakiku di negara Australia. Walau beban pikiranku masih seputar keadaan rumah tanggaku, namun aku akui perjalanan hidupku sangat aku nikmati. Tuhan telah banyak memberikan kenikmatan luar biasa yang harus aku syukuri. Aku harus melakukan yang terbaik demi negara, keluarga dan orang - orang yang selalu mendukungku. Aku mengambil pascasarjana Master of dance di The University of Melbourne karena sesuai dengan visiku dalam berkarya. *** Australia adalah negara yang memiliki iklim sedang dan hangat. Sehingga aku bisa beradaptasi dengan cepat. Sedangkan untuk masalah tempat tinggal, banyak pilihan bagi pejuang beasiswa sepertiku. Ada yang memilih tinggal di sebuah shared house dengan biaya per minggu 115-130 AUD, semua sudah termasuk listrik, air, internet dan banyak pilihan tempat tinggal lainnya, term
Kepergian suamiku yang tiba - tiba menyisakan perih yang teramat dalam. Aku merasakan pergolakan batin yang luar biasa. Hampir saja kubatalkan semua rencanaku. Namun apa yang akan terjadi padaku? Aku takut jiwaku terguncang kembali. Kestabilan emosiku harus kujaga dengan sangat baik. Aku harus membuat hidupku kembali ceria, menyenangkan dan tertata. Bukan karena aku egois. Tapi karena aku takut merepotkan keluargaku bila jiwaku memberontak kembali. Ya... Semoga langkah awal keputusan aku kuliah ke luar negeri adalah benar. Terlepas aku belum menemukan keberadaan suamiku."Tante Dita dan Om Pras. Aku titip anak - anakku. Tiada yang dapat membalas semua kebaikan kalian pada kami. ""Iya ndo. Kamu sudah kami anggap anak sendiri. Anak - anakmu adalah anakku juga. Tidak usah sungkan - sungkan ya. Kamu belajar yang benar disana. Ambil ilmu sebanyak - banyaknya disana. Masalah suamimu, semoga suatu saat kalian bertemu ya. "Kalimat demi kalimat yang mengantarkan keperg
Seruput kopi di pagi hari yang biasanya menyenangkan, kali ini terasa pahit di tenggorokanku. Angin semilir kurasakan menampar wajahku. Mataharipun ikut takut menatapku. Aku merasa menjadi wanita paling tidak berharga. Sejak aku mengatakan akan tetap pergi, mas tidak menampakkan batang hidungnya sekalipun. Mobil yang biasanya mas pakaipun tak terlihat. Aku sudah mencarinya di setiap sudut rumah. Baju - baju masih tersimpan rapi di lemari. Barang berhargapun masih tampak lengkap. Tak mungkin mas pergi begitu saja. Aku yakin dia hanya sebentar. "De, ade lihat ayah? " "Ga ma. Dari pagi ade ga lihat. Kenapa mah? " "Ga ada apa - apa de."ucapku sambil menahan sesak. Bagaimanapun aku sangat tak menginginkan semua ini. Aku tak mau berpisah dengan suamiku. Aku masih sangat mencintainya. Aku tetap menghormati suamiku sebagai ayah terbaik bagi anak - anakku. Perlahan air mataku menetes seperti buih. Aku bingung harus bagaimana. Aku ingin teriak sekencang - kencang
Tenggat waktu jawaban beasiswa itu hanya dua minggu. Masih banyak waktu tersisa untukku meyakinkan kembali suamiku. Hari kelima sudah berlalu. Pikiranku mulai kosong. Semua yang kulakukan serba salah. Aku banyak melamun sendiri. Aku tahu aku salah. Namun inilah diriku. Dibalik kesabaranku selama ini, ada sikap ambisi yang kumiliki. Aku tak menampik dengan segala kemauanku yang keras, aku selalu diliputi perasaan bersalah. Aku tahu aku berambisi, tetapi aku tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan melayani keluargaku dengan maksimal. Aku selalu tidur tepat pukul sembilan malam lalu akan bangun tepat pukul empat subuh. Bukan karena apa - apa. Aku harus memasak dan mencuci agar aku bisa mengajar di siang hari. Pengorbananku rasanya sudah cukup. Aku selalu menomorsatukan keluarga. Namun ada kalanya sesekali keinginanku sebagai seorang manusia, suami dan anak - anakku memahaminya."Ma... dimana baju pramukaku? ""Memangnya ini hari Selasa ya nak? ""Iya mam
Tawaran beasiswa yang kuterima selalu terngiang di telingaku. Bayangan akan pengalaman baru dalam hidup selalu menghantuiku. Aku adalah tipe orang yang selalu haus akan ilmu. Terlebih pada dunia yang aku cintai. Tari adalah hidupku. Aku takkan pernah lagi meninggalkannya. Segala rintangan akan aku hadapi. Termasuk restu suamiku. Aku tahu aku salah. Aku harus menurut apapun perkataan suamiku. Karena dalam ajaranku, restu suami adalah wajib aku kantongi. Bahkan keluar rumah harus seijin suami. Aku tak menampik bahwa selama ini aku selalu menjalani kewajiban sebagai istri. Bahkan sampai aku dimasukkan ke rumah sakit jiwa adalah salahsatu bukti ketaatanku pada suami. Aku takut sekali membantahnya. "Bagaimana mas? apa mas tetap tidak memperbolehkanku? " "Kau sudah tahu jawabanku. Tak usah kamu tanya kembali. " Entah apa yang memberanikanku selalu bertanya berulang kali perihal kesempatanku kuliah keluar negeri. Aku tak mau melewatkan kesempatan ini.