“Penderita gangguan jiwa berat terlebih dahulu mendapatkan perawatan di ruang intensif. Di ruang intensif, penderita gangguan jiwa mendapatkan perawatan selama kurang lebih satu minggu. Pasien yang masuk ke dalam ruang intensif tersebut merupakan pasien yang masih gelisah, cenderung mengamuk dan emosinya belum terkontrol,” ujar Dokter Wira meyakini suamiku.
Rumah sakit akan melakukan pengawasan terhdap pasien di ruang intensif tersebut, serta obat yang lebin intensif. Selanjutnya, pasien akan mendapatkan perawatan di ruangan intermediet, sudah dapat bersosialisasi dan berinteraksi, namun masih perlu pengarahan dari petugas. Biasanya perawatan di ruang ini berlangsung dua pekan.
Salah satu pemeriksaan pengobatanku adalah pemeriksaan fisik. Dokter akan memberikan perawatan sesuai diagnosa kondisi mental seseorang dengan pemeriksaan fisik terlebih dahulu.
Wawancara dengan dokter adalah tahapan yang kulewati karena bicaraku yang tak terarah. Hanya mungkin sesekali dokter Wira dan perawat menyapa dengan ramah padaku.
“Halo ibu. Siapa namanya? Saya pakaikan baju hangat dulu ya biar ga kedinginan. Di luar hujan loh!” perawat mencoba menyapaku.
Aku hanya tersenyum mengangguk. Kurasakan kedamaian di hatiku. Sudah lama aku tidak merasakan kasih sayang. Di rumah sakit, aku merasakan mereka perduli padaku. Bahkan aku disuapi dan diajak berjalan keluar menghirup udara pagi.
"Saya orang gila bu dokter ha ha.." ucapku sambil tertawa.
"Eh ga boleh ngomong gitu. Bu Lusi bukan orang gila. Tapi orang beneran. Seorang istri soleh, ibu yang menyayangi anaknya dan wanita mandiri yang cantik." jawab perawat menghiburku.
Begitulah hari - hari yang kujalani. Dengan kesabaran mereka, lama - lama aku bisa menerima keberadaanku sendiri.
"Halo bu Lusi cantik bagaimana kabarnya?" Dr. Wira menyapaku.
"Baik dok. Aku adalah wanita soleh." jawabku.
"Wah keren sekali bu Lusi sudah bisa afirmasi terhadap diri sendiri. "
Aku selalu diingatkan oleh perawat bahwa aku harus mengatakan hal yang baik - baik. Tidak boleh mengatakan yang buruk. Afirmasi adalah penegasan positif untuk diri kita sendiri agar membangun pribadi yang positif juga.
Selanjutnya, jika pasien telah menunjukkan perubahan signifikan, maka pasien dapat mengikuti rangkaian kegiatan di ruangan rehabiltasi mental. Pasien mengikuti serangkaian kegiatan kemandirian, diajarkan berkebun, bertani, pertukangan dan mendapatkan siraman rohani sesuai dengan agama yang dianut.
“Selama pasien mengikuti kegiatan di ruang rehabilitasi mental, pihak keluarga dari pasien sesekali diundang untuk melihat aktifitas yang dilakukan, tujuannya jika sudah keluar, dapat memperlakukannya seperti yang dilakukan di RSJ. Penderita gangguan kejiwaan ini bisa kumat kembali jika salah dalam penanganannya.” Dokter Wira menambahkan.
Total masa perawatan yang dilakukan itu mencapai 42 hari dan diharapkan tuntas mengatasi gangguan jiwa pasien, hingga mereka siap kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat.
Agar perawatanku lebih akurat, tes tambahan seperti tes laboratorium dengan mengambil sampel darah dan urin. Hasil fisik dan laboratoriumku semua berkhir baik. Keesokan harinya dokter menyarankan tes MRI, CT Scan untuk kemungkinan gangguan syaraf.
“Malam pak Edi.”
“Malam dok. Bagaimana dok hasil pemeriksaan istri saya?” tanya suamiku.
“Sementara ini menunjukan hasil yang baik sekali. Tes laboratorium dan saraf semua berfungsi sangat baik. Saya yakin tidak ada masalah dengan kesehatan istri anda. Saat ini saya akan terus memantau kondisi psikis istri anda.” Dr Wira kembali meyakinkan suamiku bahwa semua baik. Lalu mengapa aku bisa menjadi gila?
Saat aku menjalani perawatan di rumah sakit. Suamikulah yang merawat anak – anakku. Orangtua aku dan suamiku telah tiada. Maka otomatis hanya kamilah yang mengurus buah hati kami. Suamiku menyewa satu pembantu untuk menangani kegiatan rumah tangga. Air mata Edi, suamiku, selalu terjatuh tatkala mengingat sudut rumahku yang penuh kenangan.
“Ayah, aku bosan masakan bibi. Aku ingin masakan mama.”
“Aku juga ayah tidak ada yang menguncir rambutku kalau aku sekolah. Aku rindu mama.” Anak keduaku mencoba menyaut.
“Aku sepi sekali bila menonton tv tidak ditemani mama. Biasanya kita tertawa bersama nonton kartun kesukaanku.” Semua anak tak henti membicarakanku. Bahkan suamiku selalu menahan sedih tatkala mengingat perlakuan kasarnya dan larangan yang sering mampir di telingaku. Terbayang banyak sekali kesalahan melalaikan kasih sayang yang seharusnya aku terima. Rasanya ingin mengulang waktu kebersamaan dan mengganti kembali dengan keceriaan.
“Aku akan membahagiakan istriku kelak. Aku akan mewujudkan impiannya untuk berlibur dengan anak – anakku. Akan kusayangi dia sepenuhnya. Aku gagal menjadi seorang suami. Jika memang menari adalah keinginan terbesarnya maka akan aku relakan hidupku demi impiannya. Ya Allah... sembuhkanlah istriku seperti sediakala. Maafkan atas segala kesalahan yang telah aku perbuat.” untaian doa panjang terurai dari suamiku yang kuyakin tulus menyayangiku.
Dua minggu berlalu, hampir setiap hari suamiku mampir ke rumah sakit. Terkadang hanya melihat wajahku saja dari balik jendela lalu Edi pulang kembali. Percuma saja menengokku. Aku takkan mengenali keluargaku. Aku hanya bisa tertawa, menari dan tersenyum. Kegiatanku hanya berjemur, mandi, makan dan berdiam diri di kamar. Kesadaranku belum pulih. Sesekali dokter memberikan semangat untukku mengingat kenangan indah. Namun yang muncul hanyalah tangisan dan teriakanku. Mungkin karena di tahun terakhir aku hidup, aku merasakan depresi teramat dalam. Sehingga kenangan indah tidak pernah muncul dalam ingatanku.“Minum obatnya dulu ya bu. Ibu suka lauk apa. Nanti saya buatkan.” ujar perawat padaku.“Dengan lantang kujawab aku suka makanan pedas.”“Wah, ibu keren. Ibu sudah mengingat sedikit ya.”Oh ya aku ingat aku pernah makan bersama di meja makan bersama anak – anakku. Meja itu berwarna coklat tua dan diberikan taplak h
Saat kondisi psikisku sudah sembuh, aku belum diperkenankan pulang oleh dokter. Beliau masih memantau perkembangan lebih lanjut. Jujur akupun merasakan belum siap kembali bersama keluargaku. Bayangan malu dan takut terulang kembali wajar aku rasakan. Namun suamiku mencoba meyakiniku dengan berjanji melakukan yang terbaik.Langkah awal suamiku akan lakukan adalah pindah ke rumah baru. Edi berpikiran dengan lingkungan dan suasana baru akan membuat kondisi mentalku cepat pulih. Tetangga baru takkan mengenali kejadian yang pernah aku lalui. Walau aku tak merasa malu pernah menjadi pasien rumah sakit jiwa. Guru ngajiku selalu mengatakan hal postif.“Memangnya kau mencuri? Kenapa harus malu! Malulah pada Allah. Mohon tobat karena kita kurang bersyukur, kurang iman, kurang ibadah dan banyak lagi kekurangan kita. Daripada mengorek terus kesalahan di masa lalu. Maka habiskanlah sisa hidupmu dengan banyak ibadah untuk menutupi kekuranganmu di masa lalu. Tetangga adalah cct
Hari itu tiba..Setelah enam bulan berobat di rumah sakit. Aku bisa menghirup udara luar. Angin semilir begitu ringan menyentuh tubuhku. Dengan ditemani suami dan anak – anakku, aku berjalan pasti menatap masa depan. Merekalah penolong dan pelindungku dikala kujatuh.“Ma, sini aku bawakan tas mama.”“Aku saja ma..”“hu hu gitu aja berebut. Kalau mau kalian gendong mama berani ga?” celetuk anak sulungku diikuti tawa renyah adik - adiknya.“Mau saja aku. Tapi kalau sudah besar ha ha..” mereka pun saling berlarian diiringi cekikikan tawa seluruh keluarga. Ada – ada saja tingkah polah mereka. Inilah yang aku rindukan saat ku tinggal di rumah sakit.Perkataan suamiku bahwa dia menyesali semua perbuatannya, membuatku merasa beruntung. Dia tidak tahu apa yang dilakukannya membuatku terluka. Dia berjanji bila aku sudah keluar dari rumah sakit, aku boleh menari lagi.Setel
"Kembang kembang tanjung... kembang tanjung... " Alunan musik sunda mengiringi anak - anak menari jaipong adalah hal yang sangat aku nikmati. Lekukan tubuh sang penari mengikuti tempo lagu terasa menyejukkan batinku yang selama ini gersang. Semenjak kudirikan sanggar, otomatis kesibukanku sebagai guru tari mengisi hari - hari indahku. Terlebih muridku semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Aku selalu mensyukuri tiap detik dalam hidupku. Suami dan anak - anakku adalah penyemangatku berkarya. "Maaa.. ade pengen liburan dong ma hari Sabtu. Mama sibuk terus! " celoteh anak bungsuku. Kupeluk erat tubuhnya sembari kucium kening dengan penuh kasih sayang. "Nanti ya de. Mama janji kalau sudah ada pelatih yang bantu mama. Mama akan temani ade liburan. " "Janji ya maa... " "Iya sayang.." ucapku lirih. Suamiku yang berada di sebelahku hanya melirik ke arahku. Namun herannya, dia tidak berkomentar seperti biasanya. Terbersit pikiran aneh d
Tepat satu tahun bergelut dengan tari, kejiwaanku semakin membaik. Hari yang kujalani lebih bergejolak kurasakan. Setiap pagi adalah warna baru dalam hidupku. Aroma kopi dengan semilir angin jelas sekali menambah semangat jiwaku memulai hari. Anak - anak yang beranjak dewasa, membuat langkah kakiku lebih ringan menata hari. Ide di kepalaku menumpuk. Banyak sekali impian yang harus kuwujudkan. Aku harus berusaha selama Tuhan memberikanku umur. Aku tidak tahu berapa lama lagi umurku. Namun tekadku bulat. Takkan ada lagi yang menghalangiku menari di sisa hidupku. "Ma, aku mau sarapan roti bakar keju ya. Kalau ade pengen nasi goreng." ucap anak ketigaku. "Siap.Lalu mas mau apa? " tanyaku sambil tersenyum manis. "Sempet ga mama masaknya kalau mas minta?. Kalau sarapan mas mau nasi goreng saja. Hanya dari kemarin mas pengen makan dengan makanan kesukaanku. " "Rendang ya mas?aku usahakan ya mas. " "Aku mau rendang yang
Gaung sanggar Lusi tempatku berkarya mulai menapakkan sayapnya. Undangan dari berbagai instansi, sekolah, acara pernikahan bahkan sampai istana presiden menjadi langganan pemakai jasa anak - anak didikku. Jadwal padat selalu terisi tidak saja di hari libur, namun hari biasapun jadwal padat menambah jam terbang pengalaman anak - anak menari. Aku selaku pendiri dan penikmat seni sangat puas dengan hasil yang kucapai. Cara mengajarku yang kujalani dari hati menambah nilai positif kemajuan sanggar. "Putar nak... putar ke kiri hentakan kaki lalu tangan lekukan dua kali ya.. " ujarku pada anak didikku sambil kupraktekan tarianku. "Baik bu Lusi... " Jumlah murid yang berlatih di sanggar Lusi adalah lima puluh orang. Jumlah ini insyaAllah kuyakin semakin bertambah karena minat dan kemajuan sanggarku. Jenis tari di tempatku memang hanya tari jaipong. Aku belum sempat mencari guru tari lain selain Jaipong. Tarian Jaipong sangat aku kuasai karena
Tawaran beasiswa yang kuterima selalu terngiang di telingaku. Bayangan akan pengalaman baru dalam hidup selalu menghantuiku. Aku adalah tipe orang yang selalu haus akan ilmu. Terlebih pada dunia yang aku cintai. Tari adalah hidupku. Aku takkan pernah lagi meninggalkannya. Segala rintangan akan aku hadapi. Termasuk restu suamiku. Aku tahu aku salah. Aku harus menurut apapun perkataan suamiku. Karena dalam ajaranku, restu suami adalah wajib aku kantongi. Bahkan keluar rumah harus seijin suami. Aku tak menampik bahwa selama ini aku selalu menjalani kewajiban sebagai istri. Bahkan sampai aku dimasukkan ke rumah sakit jiwa adalah salahsatu bukti ketaatanku pada suami. Aku takut sekali membantahnya. "Bagaimana mas? apa mas tetap tidak memperbolehkanku? " "Kau sudah tahu jawabanku. Tak usah kamu tanya kembali. " Entah apa yang memberanikanku selalu bertanya berulang kali perihal kesempatanku kuliah keluar negeri. Aku tak mau melewatkan kesempatan ini.
Tenggat waktu jawaban beasiswa itu hanya dua minggu. Masih banyak waktu tersisa untukku meyakinkan kembali suamiku. Hari kelima sudah berlalu. Pikiranku mulai kosong. Semua yang kulakukan serba salah. Aku banyak melamun sendiri. Aku tahu aku salah. Namun inilah diriku. Dibalik kesabaranku selama ini, ada sikap ambisi yang kumiliki. Aku tak menampik dengan segala kemauanku yang keras, aku selalu diliputi perasaan bersalah. Aku tahu aku berambisi, tetapi aku tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan melayani keluargaku dengan maksimal. Aku selalu tidur tepat pukul sembilan malam lalu akan bangun tepat pukul empat subuh. Bukan karena apa - apa. Aku harus memasak dan mencuci agar aku bisa mengajar di siang hari. Pengorbananku rasanya sudah cukup. Aku selalu menomorsatukan keluarga. Namun ada kalanya sesekali keinginanku sebagai seorang manusia, suami dan anak - anakku memahaminya."Ma... dimana baju pramukaku? ""Memangnya ini hari Selasa ya nak? ""Iya mam