Kepergian suamiku yang tiba - tiba menyisakan perih yang teramat dalam. Aku merasakan pergolakan batin yang luar biasa. Hampir saja kubatalkan semua rencanaku. Namun apa yang akan terjadi padaku? Aku takut jiwaku terguncang kembali. Kestabilan emosiku harus kujaga dengan sangat baik. Aku harus membuat hidupku kembali ceria, menyenangkan dan tertata. Bukan karena aku egois. Tapi karena aku takut merepotkan keluargaku bila jiwaku memberontak kembali. Ya... Semoga langkah awal keputusan aku kuliah ke luar negeri adalah benar. Terlepas aku belum menemukan keberadaan suamiku.
"Tante Dita dan Om Pras. Aku titip anak - anakku. Tiada yang dapat membalas semua kebaikan kalian pada kami. ""Iya ndo. Kamu sudah kami anggap anak sendiri. Anak - anakmu adalah anakku juga. Tidak usah sungkan - sungkan ya. Kamu belajar yang benar disana. Ambil ilmu sebanyak - banyaknya disana. Masalah suamimu, semoga suatu saat kalian bertemu ya. "Kalimat demi kalimat yang mengantarkan kepergHari yang tak kuduga telah tiba. Hari yang tidak pernah terbesit dalam hidupku. Aku yang notabene hanya ibu rumah tangga dan mantan pasien rumah sakit jiwa bisa menapakkan kakiku di negara Australia. Walau beban pikiranku masih seputar keadaan rumah tanggaku, namun aku akui perjalanan hidupku sangat aku nikmati. Tuhan telah banyak memberikan kenikmatan luar biasa yang harus aku syukuri. Aku harus melakukan yang terbaik demi negara, keluarga dan orang - orang yang selalu mendukungku. Aku mengambil pascasarjana Master of dance di The University of Melbourne karena sesuai dengan visiku dalam berkarya. *** Australia adalah negara yang memiliki iklim sedang dan hangat. Sehingga aku bisa beradaptasi dengan cepat. Sedangkan untuk masalah tempat tinggal, banyak pilihan bagi pejuang beasiswa sepertiku. Ada yang memilih tinggal di sebuah shared house dengan biaya per minggu 115-130 AUD, semua sudah termasuk listrik, air, internet dan banyak pilihan tempat tinggal lainnya, term
Hari demi hari di negara orang membuatku merasakan seolah hidup kembali. Aktivitas yang biasa kulakukan seperti mengatur menu makanan, menyetrika pakaian bahkan menyuapi anak - anakku tak kulakukan disini. Sejenak aku bisa melupakan rutinitas yang kadang membuatku jenuh. Aku tak pernah membayangkan aku bisa mencium aroma koridor sekolah dengan jejeran kantin kembali. Lalu lalang mahasiswa penuh tawa dengan impian masa depan yang ingin rasanya kubisikan bahwa dunia tak seindah itu. *** Sanggar Lusy yang aku tinggalkan di Indonesia masih terus berjalan. Aku percayakan pada tanteku untuk mengelola. Anak - anakku tumbuh sangat cepat dengan baik. Prestasi yang mereka torehkan di sekolah menambah kebahagiaan menjadi seorang ibu. Kadang terlintas di pikiran aku ingin Mas Edy kembali. Namun, bayangan mas melarangku sekolah dan mengembangkan semua yang aku punya untuk menari kembali membuatku ciut. Jujur aku masih mencintai Edy. Aku takut psikologiku terganggu kembali bila aku stress. Apalagi
Sebut saja namaku Lusi. Aku adalah mantan penari Jaipong di kota kelahiranku, Jogja. Badanku langsing, gemulai indah tanganku dan tubuhku yang lentur serta sanggul tertata rapi selalu membius setiap mata di setiap panggung yang mengundangku. Suara riuh penonton diikuti decak kagum atas penampilanku membuat aku bisa menari sampai melanglang buana ke luar negeri. Hingga tiba saatnya aku menikah. Suamiku, sebut saja namanya Edi. Dia lelaki yang sangat baik. Dia mencukupi semua kebutuhanku. Tapi hanya satu yang kusesali. Dia melarangku menari. Semua harus kutinggalkan. Aku pun terpaksa menuruti keinginannya. Hingga tahun demi tahun selalu kupendam sedih. Tapi aku tak berani menyatakan keinginanku ingin menari kembali walau hanya satu kali. Aku sangat rindu dengan riuh suara penonton. Aku rindu musik gamelan mengalun merdu. Arghhh Sungguh sangat menyiksaku. “Cantik sekali mama...” ujar anak bungsuku. “Iya donk! ...mama siapa dulu.” akupun menggoda balik. "Ini yang memakai kebaya merah
Aku adalah wanita yang lembut. Tak pernah sekalipun aku marah apalagi membantah. Pernah satu kali aku menjawab suamiku dengan mengatakan alasan aku melakukan hal yang tidak disukai suamiku. Namun apa yang terjadi? Dia membanting pintu keras sekali sambil matanya menatapku tajam. Aku hanya bisa menangis di kamar.“Lalu kamu maunya apa? Pakai ojek saja kalau tidak bisa menjemput anak – anak. Kalau memang alasanmu cape!”“Bukan mas, aku ingin kamu tahu pekerjaan rumahku banyak mas. Kalau aku telat menjemput harusnya kamu ngerti mas.” ucapku dengan suara bergetar menahan tangis.Begitulah suamiku bila harus berdebat. Dia tidak akan mendengarkan beribu alasan kalau memang tidak sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Padahal aku hanya ingin dipeluk dan disayangi.Sepuluh tahun sudah aku berumah tangga. Aku tak menampik aku bahagia dengan tingkah lucu keempat anakku. Di luar semua yang kurasakan dengan larangan suamiku. Aku masih ber
Berawal dari kekecewaan yang terus menerus kupendam. Tak ada tempat mengadu dan bersandar. Suamiku selalu pulang larut malam kemudian paginya dia harus berangkat ke kantor. Bahkan kedua anakku sibuk sekolah. Tinggal dua anak balita yang menemani hari – hariku. Perhatian yang mas Edi berikan ketika kami memadu kasih tak pernah kudapatkan setelah menikah. Bahkan ketika semua keluarga berlibur di akhir pekan. Aku masih harus berjibaku mengerjakan pekerjaan rumah. “Mas, anak – anak pengen berenang katanya mas.” “Sudahlah. Nanti saja kalau dari sekolah ikutnya. Menghabiskan uang saja. Lebih baik pakai beli beras!” ucap suamiku bila meminta ijin agar sekali – kali mengajak anak – anak keluar bersama. Nyaliku pun menciut untuk kesekian kali. Apalagi bila aku ijin shopping bersama, gumamku. Kembali kutelan pil pahit dalam relung hati terdalamku. Pernah aku mencoba menonton acara televisi bersama. Saat itu sedang menayangkan acara tarian pembukaan SEA GAMES.
Hingga akhirnya, pada suatu hari, dalam keadaan tak sadar, aku keluar rumah lalu menari di tengah jalan dengan telanjang bulat dan mengenakan pakaian dalam saja. Ya Allah sungguh memalukan. Orang - orang menceritakan padaku. Sungguh saat itu aku tak sadar. Cukup lama aku menari hingga orang - orang di jalan langsung mengambilku dan memberikan aku baju. Suamiku kaget bukan kepalang. Anak - anakku memelukku.Suamiku bilang aku menari gerakan Jaipong persis seperti aku pentas dulu. Gemulai tangan dan liukkan tubuhku masih sama. Aku tertawa lepas sembari sesekali menyibakkan rambut panjangku. Aku memang gila. Tapi saat itu, suamiku menangis pilu. Aku terlihat lepas tak memiliki beban. Aura penari yang dulu ada terasa bersinar bagaikan panggung megah dengan ribuan penonton. Aku berjalan kesana kemari mengikuti tempo lagu yang kubuat sendiri.Ketika aku dimasukkan kembali ke rumah, tubuhku memberontak. Seolah tak mau berhenti menari dan tertawa. Bahkan ketika sua
“Penderita gangguan jiwa berat terlebih dahulu mendapatkan perawatan di ruang intensif. Di ruang intensif, penderita gangguan jiwa mendapatkan perawatan selama kurang lebih satu minggu. Pasien yang masuk ke dalam ruang intensif tersebut merupakan pasien yang masih gelisah, cenderung mengamuk dan emosinya belum terkontrol,” ujar Dokter Wira meyakini suamiku. Rumah sakit akan melakukan pengawasan terhdap pasien di ruang intensif tersebut, serta obat yang lebin intensif. Selanjutnya, pasien akan mendapatkan perawatan di ruangan intermediet, sudah dapat bersosialisasi dan berinteraksi, namun masih perlu pengarahan dari petugas. Biasanya perawatan di ruang ini berlangsung dua pekan. Salah satu pemeriksaan pengobatanku adalah pemeriksaan fisik. Dokter akan memberikan perawatan sesuai diagnosa kondisi mental seseorang dengan pemeriksaan fisik terlebih dahulu. Wawancara dengan dokter adalah tahapan yang kulewati karena bicaraku yang tak terarah. Hanya mungkin s
Dua minggu berlalu, hampir setiap hari suamiku mampir ke rumah sakit. Terkadang hanya melihat wajahku saja dari balik jendela lalu Edi pulang kembali. Percuma saja menengokku. Aku takkan mengenali keluargaku. Aku hanya bisa tertawa, menari dan tersenyum. Kegiatanku hanya berjemur, mandi, makan dan berdiam diri di kamar. Kesadaranku belum pulih. Sesekali dokter memberikan semangat untukku mengingat kenangan indah. Namun yang muncul hanyalah tangisan dan teriakanku. Mungkin karena di tahun terakhir aku hidup, aku merasakan depresi teramat dalam. Sehingga kenangan indah tidak pernah muncul dalam ingatanku.“Minum obatnya dulu ya bu. Ibu suka lauk apa. Nanti saya buatkan.” ujar perawat padaku.“Dengan lantang kujawab aku suka makanan pedas.”“Wah, ibu keren. Ibu sudah mengingat sedikit ya.”Oh ya aku ingat aku pernah makan bersama di meja makan bersama anak – anakku. Meja itu berwarna coklat tua dan diberikan taplak h