Share

Keluarga dan Kerinduan

Kim Tae Ho menepati janjinya. Setelah sarapan, dia segera mengetuk paviliun Samiya.

Tok-tok-tok

Ceklek!

Terlihat seorang wanita cantik berada di dekat pintu.

“Ayo kita pergi! Jangan lupa bawa pakaian untuk dua hari,” kata Kim Tae Ho setelah Samiya membukakan pintu.

Meski tidak tahu akan ke mana, Samiya segera bergegas mengemasi pakaiannya untuk dibawa berliburan. Pagi itu ia mengenakan baju kaus dilapisi dungarees berbahan jeans, dipadu dengan mantel panjang yang menutupi lekuk tubuhnya. Kerudung cerah berwana putih dengan motif bunga pink menambah pancaran kecantikan wajahnya.

Sepanjang perjalanan, mereka bercerita berbagai hal untuk menghilangkan rasa bosan. Cerita tentang masa kanak-kanak mereka, bagaimana Kim Tae Ho mengawali karir, hingga pekerjaan Samiya saat di Indonesia.

Tae Ho tidak menyangka jika dulunya Samiya seorang gadis tomboi.

“Sewaktu di sekolah dasar, aku selalu berpenampilan seperti anak laki-laki. Mungkin karena teman-temanku kebanyakan laki-laki pada saat itu,” cerita Samiya.

“Kapan kamu mulai berubah? Maksudku mengubah penampilanmu seperti sekarang?”

“Hm, sewaktu aku masuk di sekolah menengah pertama. Saat itulah aku mulai menutup auratku. Tapi saat itu aku masih belum terbiasa menggunakan rok.” Kenangnya sambil tertawa kecil. “Perlahan-lahan, aku mulai tahu bahwa seorang wanita seharusnya terlihat seperti wanita.”

Pria itu tertawa mendengar kisah masa kecil Samiya yang jauh dari bayangannya. Samiya kecil dengan Samiya dewasa memang sangat jauh berbeda.

Mereka terdiam sesaat. Kim Tae Ho melihat sekilas ke arah Samiya yang sedang menatap lurus ke depan.

“Oh ya Miya, kamu tadi malam bernyanyi dengan bagus sekali. Kamu benar-benar sangat menghayatinya. Aku terbawa perasaan ketika mendengarkannya. Apakah itu isi hatimu saat ini?” Dia kembali melihat sekilas ke arah Samiya.

Samiya terdiam sesaat, menjepit bibir dan tersenyum.

“Bukankah saat bernyanyi kita harus berusaha menjiwai lagu yang dibawakan?”

Sesuai tebakan Kim Tae Ho, Samiya tidak akan mau jujur dan mengatakan apa yang sedang disembunyikannya. Pria itu lalu mengalihkan pandangan dan kembali fokus mengemudi. Dia tidak mau memaksanya untuk bercerita.

Mobil terus melaju ke daerah yang dituju. Sampai saat itu juga Tae Ho belum memberitahu ke mana mereka akan pergi. Tiga jam perjalanan telah ditempuh, akhirnya mobil sport berwarna biru tua itu masuk ke sebuah pekarangan rumah yang sederhana.

“Ayo kita turun,” ajak Tae Ho setelah mematikan mesin mobil.

“Kita sekarang di mana?” Samiya melihat keadaan sekitar dengan raut wajah kebingungan.

Tae Ho lalu keluar dari mobil. Sejurus kemudian, ia sudah membuka pintu tempat Samiya duduk.

“Silakan turun, Nona. Nanti kamu akan mengetahui saat ini kita sedang di mana.”

Meski belum mendapatkan jawaban, Samiya turun dari mobil. Dia terlihat mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah itu. Sebuah rumah yang tidak terlalu besar dan memiliki halaman yang dipenuhi dengan berbagai macam tumbuhan.

Terlihat bunga sakura musim dingin yang daunnya sudah mulai bermekaran di musim dingin, pohon cemara berukuran kecil, bunga camelia berwarna merah muda dan jenis bunga lainnya. Halaman bagian depan rumah itu ditutupi rumput yang terawat dan juga batu-batu kecil.

Selang beberapa menit kemudian, terlihat seorang wanita paruh baya membukakan pintu rumah. Dia lalu tersenyum melihat Kim Tae Ho dan Samiya datang.

Aigo, uri adeul (oh, anakku),” sambut wanita itu memeluk Tae Ho sambil menepuk-nepuk punggungnya.

Eomma ...” Tae Ho membalas pelukan dari ibunya.

Wanita berusia 60 tahun itu masih terlihat segar dan kuat. Walau rambutnya sudah mulai memutih, tapi kecantikannya masih terpancar.

Samiya terlihat gugup saat mengetahui Tae Ho membawanya ke rumah orang tuanya. Dia kembali merasa seperti orang asing di tengah keluarga yang belum dikenalnya.

Oppa!!” Terdengar suara seorang gadis yang dalam hitungan detik melompat ke tubuh Tae Ho.

“Ya ampun, So Eun berat badanmu naik berapa kilo?” ledek Tae Ho setelah adiknya, Kim So Eun, turun dari gendongannya.

Kim So Eun langsung menekuk wajah dengan bibir maju ke depan, setelah diledek kakaknya. Gadis itu mengalihkan pandangan ke arah seorang wanita berkerudung yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, dengan cekatan matanya memberikan kode kepada Tae Ho.

Eomma, Geunyeo-neun Samiya (Ibu, kenalkan ini Samiya).” Tae Ho memperkenalkan Samiya kepada ibunya.

Samiya tersenyum dan membungkukkan tubuh ke arah Nyonya Kim.

“Ini yang namanya Samiya? Aku pernah melihatmu di televisi, tapi tidak terlalu jelas. Ternyata kamu cantik sekali, Nak,” puji ibu Tae Ho menatap Samiya dan meraih tangannya.

“Mari masuk.” Nyonya Kim mempersilakan Samiya masuk.

Eonnie ...,” sambut So Eun sok akrab sambil memeluk Samiya.

Gadis itu memerhatikan Samiya dengan saksama.

“Waah, matamu indah sekali,” pujinya ketika melihat mata Samiya yang lebih besar dari matanya.

“Ayo duduk sini,” kata So Eun sambil menarik tangan Samiya menuju sofa yang terletak di ruang tamu.

Keluarga Kim memang hangat dan penuh kasih sayang, apalagi Kim So Eun yang selalu ceria. Tuan Kim adalah seorang pensiunan pegawai negeri sipil yang dulu bekerja di dinas sosial, sedangkan Nyonya Kim hanya ibu rumah tangga biasa. Tidak ada di antara mereka yang mempunyai bakat seni, kecuali Kim Tae Ho. Entah dari mana ia mewarisi jiwa seni sehingga bisa menjadi artis seperti sekarang.

Setelah beberapa menit berada di rumah itu, Samiya menyadari pikirannya salah. Dia tidak diperlakukan seperti orang asing di sana. Keluarga itu begitu hangat dan tidak menganggapnya sebagai orang asing. Tiba-tiba wanita itu jadi merindukan keluarganya di kampung.

Tak lama kemudian ayah Kim Tae Ho keluar dari kamar. Rupanya Tuan Kim sedang berganti pakaian di kamar. Pria yang saat ini telah menginjak usia 68 tahun itu masih terlihat gagah dengan rambut putih yang menghiasi kepalanya.

Tae Ho lalu memperkenalkan Samiya kepada ayahnya.

“Terima kasih telah merawat anak saya selama di Seoul dengan baik,” ucap ayah Tae Ho kepada Samiya.

Samiya tersenyum dan menundukkan kepala. Menjaga Kim Tae Ho sudah menjadi bagian dari pekerjaannya.

“Itu sudah menjadi kewajiban saya, Pak.” Samiya tersenyum.

Canda tawa menghiasi pertemuannya dengan keluarga Tae Ho.

Tiba waktunya makan siang, ibu Tae Ho memasak Kim Chi, Bulgogi, Gimbab, dan Tteokbokki.

Sebelum makan, Samiya melirik ke arah Tae Ho untuk memastikan apakah makanan yang disajikan bisa dimakannya.

“Tae Ho sudah menyuruh Ibu membeli peralatan baru untuk memasak makanan ini. Dagingnya juga ibu ganti dengan daging sapi. Jadi kamu tidak usah khawatir,” jelas ibu Tae Ho yang paham arti tatapan Samiya.

Samiya jadi salah tingkah. “Terima kasih atas pengertiannya, Nyonya.”

Aigo, Samiya. Eommeoni (ibu), panggil saja eomeo-ni, jangan panggil Nyonya,” sela Nyonya Kim tersenyum.

“Sudahlah, ayo makan. Nanti makanannya keburu dingin. Jalmeogo (ayo makan),” ujar Tuan Kim.

Jal Meoggesseumnida (Mari makan),” sahut yang lain serentak.

Selesai makan siang, mereka lalu berbincang-bincang tentang berbagai hal. Orang tua Kim Tae Ho ingin tahu lebih banyak tentang Samiya, mereka menanyakan tentang keluarganya di kampung, Samiya dulu kuliah di mana, dan lain-lain.

***

“Malam ini kamu bisa tidur dengan So Eun,” ucap Tae Ho setelah selesai makan malam.

“Betul, Eonni. Tidur denganku saja ya? Aku akan sangat senang ditemani tidur oleh wanita cantik sepertimu. Lagian aku juga penasaran dengan rambutmu, berapa panjangnya, warnanya, atau jangan-jangan eonni botak.” Kim So Eun terlihat antusias.

Tiba-tiba sebuah jitakan mendarat di kening So Eun.

“Ish, kau ini!” Tae Ho terlihat kesal kepada adiknya.

Oppa!!” So Eun lalu mengejar kakaknya.

Samiya hanya bisa tertawa melihat keakraban kakak beradik itu, sambil berlalu ke kamar So Eun.

Hajiman, Eonnie (tapi, Kakak), aku yakin, kau pasti sangat cantik tanpa kerudungmu,” goda So Eun.

Samiya langsung ber-istighfar karena terkejut tiba-tiba So Eun sudah bergelayut manja sambil memegang lengannya.

Mereka bersama-sama masuk ke kamar bernuansa biru muda itu, walau ukurannya tergolong kecil tapi kamar itu memberikan kesan mewah. Selera dekorasi So Eun patut diacungi jempol. Dia memilih perabot yang cocok untuk kamarnya. Keahlian mendekorasi ruangan didapatkan dari jurusan yang tengah diambilnya saat ini, desain interior.

So Eun memutuskan untuk tidur belakangan. Dia begitu penasaran dengan Samiya. Gadis itu sudah terlanjur kagum dengannya sejak awal bertemu tadi siang.

Menurut So Eun, ia bukanlah perempuan sembarangan. Gadis itu berpikir, Samiya adalah perempuan yang cantik, santun, dan terhormat. Berbeda sekali dengan perempuan-perempuan lain yang pernah ditemuinya.

Samiya meminta izin meminjam kamar mandi untuk berganti pakaian.

“Boleh aku ke kamar mandi untuk berganti pakaian?” Samiya terlihat memegang pakaian ganti.

“Tentu boleh. Silakan, Eonnie,” jawab So Eun.

Setelah berganti pakaian, Samiya lalu keluar dengan menggunakan baju tidur lengan panjang, bermotif kartun dan terlihat kerudung instan menutupi kepala. Melihat itu So Eun merasa kecewa, karena gadis itu tadinya sangat berharap bisa melihat Samiya melepaskan kerudung yang menutupi rambutnya.

Menyadari kekecewaan So Eun, Samiya kemudian bertanya, “Kenapa?”

“Aku pikir bisa melihat Eonnie melepaskan penutup kepala. Tapi ternyata tidak.” Kim So Eun memberikan tatapan kecewa.

Samiya menggeleng pelan dan tersenyum.

“Maaf telah membuatmu kecewa. Seorang muslimah tidak boleh auratnya terlihat oleh orang yang bukan mahramnya.”

Mahram? Apa itu mahram?” tanya So Eun lagi.

Mahram itu orang yang boleh melihat aurat seorang wanita, seperti orang tua, dan saudara kandung,” jelas Samiya ringkas dengan bahasa sederhana agar mudah dimengerti oleh So Eun.

“Jadi karena itulah Oppa dan aku tidak boleh melihatmu tanpa kerudung?”

Samiya menganggukkan kepala. Diskusi mereka terus berlanjut hingga larut malam. Gadis itu menanyakan berbagai hal tentang kebiasaan Samiya dan lainnya.

***

Keesokan pagi setelah selesai sarapan, Kim Tae Ho mengajak Samiya ke tempat wisata terkenal di Daegu yang bernama Apsan Park. Sebuah taman terletak di gunung Apsan yang memiliki tinggi 600 meter. Letak Apsan Park berdekatan dengan dua gunung lainnya, Sanseong-san dan Daedeok-san.

Selain melihat keindahan pemandangan alam di wilayah Namgu dengan berjalan kaki, para wisatawan juga bisa menggunakan cable car untuk menikmati indahnya kota Daegu dari ketinggian.

Tempat wisata itu dikelilingi pepohonan hijau yang sejuk dipandang mata. Melihat hijaunya Apsan Park, Samiya jadi teringat dengan kampung halamannya yang juga masih hijau, ditumbuhi dengan pohon-pohon tinggi. Ah begitu rindu ia dengan kampung halaman, sehingga tanpa sadar matanya mulai berkaca-kaca.

“Kenapa, Miya? Kamu menangis?” tanya Tae Ho menyadari air mulai membasahi mata Samiya.

Samiya menunduk dan menyeka air mata yang mulai membasahi pipi.

“Melihat indahnya alam ini, membuatku teringat keindahan kota tempatku dibesarkan. Rindu ini sungguh tidak bisa dibendung.”

“Bulan depan kamu bisa melepaskan rindu dengan keluargamu, bersabarlah,” hibur Tae Ho.

Samiya lalu tersenyum. Satu bulan terasa begitu lama baginya. Dia ingin bulan ini bisa segera berlalu dengan cepat.

Mereka berdua kembali melangkahkan kaki menuju tempat lainnya. Sesaat kemudian Kim Tae Ho dan Samiya sudah sampai di Apsan Observatory, sebuah tempat ketinggian untuk melihat keindahan alam secara keseluruhan.

Begitu hebatnya Allah, Sang Maha Pencipta, yang menjadikan langit dan bumi agar bisa dikelola oleh manusia dengan baik. Jika tidak, maka banjir dan longsor bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, karena ulah manusia yang tidak bisa merawat alam.

Samiya terlihat sangat menikmati pemandangan alam yang terpampang di hadapan. Senyum terlihat mengembang di bibirnya. Tae Ho hanya bisa melihat wanita itu tersenyum, sehingga ia menyadari itulah senyum terindah yang pernah dilihatnya.

Selama ini, Kim Tae Ho memang jarang melihat lekat Samiya, sehingga terlambat menyadari betapa menariknya wanita itu. Tidak hanya sifatnya yang baik, tapi wajahnya yang juga cantik. Kecantikan alami yang dimiliki seorang wanita sederhana.

Deg-Deg!

Deg-Deg!

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status