Share

BAB 3

last update Last Updated: 2025-11-05 18:45:51

“Tolong bantu aku, Ra, tolong … andai aku menikahinya, itu terjadi karena terpaksa.” Ammar menatap Zahra yang mengusap air mata di wajah basahnya. “Tolong ingat kebaikanku selama lima tahun pernikahan kita. Apa pernah sekali saja aku melalaikan kewajiban sebagai seorang suami dan Ayah? Apa pernah aku menyakiti perasaanmu dan anak-anak? Dalam setiap urusan, kalian selalu aku utamakan.”

“Aku ingat semua kebaikanmu, Mas. Aku akui Mas suami yang memenuhi semua standar yang diimpikan oleh seorang istri. Ini hanya masalah hati … dan aku tidak siap untuk berbagi.” Tangisan Zahra mengencang saat Ammar berdiri dan menariknya ke dalam pelukan. Sakit. Dia tahu mereka sama-sama tersakiti karena keadaan ini.

“Kita keluar, Mas.” Zahra mengurai kedekatan. Dia mengalihkan pandangan karena kalau bertatapan dengan suaminya, Zahra tahu dia akan menangis lagi. “Kasihan anak-anak. Ini hari mereka bersama kita. Rika dan Riko pasti sudah menunggu-nunggu agar bisa seharian bermain dengan papa dan mamanya.” Zahra berlalu tanpa menunggu jawaban. Dia mengoleskan riasan tipis untuk menyamarkan sembab sehabis menangis.

Senin sore, Zahra yang baru saja pulang kerja terkejut melihat keberadaan mertuanya di rumah. Biasanya, setiap kali akan menginap, Mela selalu mengabari lebih dulu. Kadang, malah dia atau Ammar sekalian yang menjemput sekalian pulang kerja. Dia meremas tas di tangan. Dalam hati, wanita yang mengenakan jilbab biru itu sudah bisa menduga kenapa mertuanya ada di rumah secara tiba-tiba.

“Kamu mandi dulu. Tadi, Mama sudah masak sop ayam kampung sama kentang mustofa kesukaan kamu.” Mela mengulas senyum saat Zahra mencium tangannya. Dia menunjuk ke arah piring kosong di atas meja sebelum melanjutkan berbicara. “Rika sama Riko sudah makan barusan. Mama kasih sisa lauk mereka tadi siang, masih banyak. Mama tawari sop ayam tadi nggak doyan.”

Zahra mengangguk. Dia memang sengaja masak banyak untuk lauk makan siang dan malam anaknya biar pas pulang kerja tidak harus menyiapkan makanan dulu untuk mereka. Meski menggunakan jasa pengasuh, untuk makanan Rika dan Riko, Zahra selalu menyempatkan waktu untuk mengurusnya sendiri.

“Terima kasih ya, Ma.” Zahra tersenyum sambil mengelus kepala anaknya sebelum akhirnya beranjak menuju kamar. Dia mengambil ponsel dari dalam tas dan melihat aplikasi pesan sebelum mandi. Tadi siang, Ammar mengabari akan pulang terlambat karena diminta lembur. Wanita itu menghela napas panjang saat membaca ulang pesan dari suaminya. Dia tahu, ini pasti rencana lelaki itu agar dia bisa bicara berdua saja dengan mertuanya.

Lima belas menit berlalu, Zahra sudah terlihat segar. Dia melangkah menuju dapur. Seperti yang sudah dia duga, makan malam sudah terhidang di atas meja. Wanita itu mengalihkan pandangan ke seluruh penjuru dapur dan setiap sisi rumah yang bisa dijangkau mata, rapi, pasti mertuanya yang sudah membereskan semuanya tadi. Seperti biasa, setiap kali menginap, Mela selalu mengambil alih urusan dapur dan kerapihan rumah.

“Ma, tidak perlu repot-repot. Kami pakai jasa orang untuk merapikan rumah setiap dua hari sekali. Kalau nyapu dan ngepel, Zahra sempatkan malam hari setelah anak-anak tidur atau pagi hari sebelum berangkat kerja.” Zahra pernah bicara pada mertuanya beberapa tahun yang lalu. Meski mengiyakan, tapi Mela tetap saja melakukan pekerjaannya setiap disana hingga akhirnya Zahra dan Ammar membiarkan saja.

“Ma, aku sama Mas Ammar biasa beli makan kalau capek mau masak untuk makan malam. Aku juga selalu sedia ayam ungkep dan ikan marinasi, biar langsung goreng kalau mau makan. Sambel juga selalu stok di kulkas, tinggal panaskan saja. Mama disini karena kangen sama cucu, biar main sama mereka saja. Aku jadi tidak enak hati kalau Mama jadi mengerjakan semua.”

Lagi.

Meski Mela mengiyakan ucapan menantunya beberapa tahun yang lalu, wanita itu tetap saja masak untuk makan malam mereka. Akhirnya, Zahra dan Ammar pun tidak bicara lagi. Yang penting, Mela tidak kecapean dan kerasan, mereka membiarkan.

“Azizah minggu depan berangkat KKN.” Mela memecah lamunan Azizah yang masih berdiri menatap hidangan di meja makan. Dia mengelus bahu menantunya dan duduk, mengisikan nasi ke piring.

“KKN dimana, Ma?” Azizah tersenyum melihat Mela mengambilkan nasi serta lauk pauk lengkap untuknya makan. Mertuanya tidak pernah membeda-bedakan perlakuan pada dirinya dan dua anak perempuannya yang lain. Dia bahkan jauh lebih dekat dengan Mela dan kedua adik Ammar daripada suaminya sendiri.

“Desa Pabangbon, Bogor. Mama juga baru dengar nama desa itu.”

Zahra mengangguk mendengar ucapan mertuanya. Dia mulai menyendok makanan. Wanita itu melirik ke arah ruang tamu saat mendengar suara anaknya yang tertawa-tawa, dijaga oleh pengasuh mereka.

“Zahra, terima kasih karena selama ini sudah berbesar hati berbagi rezeki dengan kedua adikmu. Tanpa keridhoanmu sebagai istri, belum tentu Azizah bisa sampai di tahap ini. Begitu juga dengan Anisa, belum tentu bisa sekolah di tempat yang diinginkannya.” Mela menatap menantunya dengan mata berkaca-kaca.

“Mama bicara apa? Sudah sewajarnya saudara saling membantu. Lagipula, sebelum kami menikah, Mas Ammar memang sudah seperti itu dan dia tidak menutupinya. Jadi, aku juga tidak keberatan saat menerima pinangannya karena semua sudah dijelaskan sejak awal.”

Mela mengangguk mendengar ucapan menantunya. Wanita itu menghela napas panjang, meletakkan sendok dan menatap Zahra yang sudah menghabiskan makan malamnya.

“Maaf … maaf kalau karena harus membantu biaya kuliah Azizah dan biaya sekolah Anisa, kamu jadi banyak menekan keinginan untuk membeli sesuatu, atau menahan diri untuk berlibur ketempat yang kalian mau.”

Zahra menutup wajah dengan kedua tangan. Dia tidak bisa menahan tangis melihat mertuanya mulai terisak.

Takut.

Rasa itu mulai merayap di hatinya karena tahu betul kemana pembicaraan ini akan bermuara.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kita yang Terluka   BAB 107

    “Rika? Riko?” Azizah berteriak senang saat melihat keponakannya. Dia langsung menggamit adiknya agar mendekati dua bocah yang sudah berteriak-teriak kesenangan melihat Tante mereka. “Kalian sama siapa kesini?” Dia kembali bertanya sambil mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Zahra atau Kakek dan Nenek mereka.“Rika dan Riko sama saya, Dik ….” Indra yang baru saja membayar baju dan sepatu di kasir mengangguk sopan pada Azizah dan Anisa. Dia memperhatikan Rika dan Riko yang terlihat sangat akrab dengan mereka. “Tadi pergi sama Zahra juga, tapi orangnya sedang ada yang dicari dulu, jadi anak-anak saya yang jaga.” Lelaki itu langsung menjelaskan saat melihat dua wanita muda di hadapannya saling berpandangan.“Tante Jijah, Papa mana? Papa kok kerjanya sibuk banget sih, sampai tidak sempat ngajak kami main. Rika kangen sama Nenek. Kami sudah lama tidak menginap di rumah Nenek juga.” Rika menggandeng tangan Azizah yang masih memperhatikan Indra. “Tante Jijah dan Tante Nica ngapain di mal

  • Kita yang Terluka   BAB 106

    “Maksudmu?” Ammar menautkan alis melihat Adelia yang tertawa sambil berurai air mata. Lelaki itu menggeleng saat Adelia memukuli kasur. Dia memilih memakai baju karena tadi keluar dari kamar mandi masih menggunakan handuk. “Lama-lama kamu bisa gila kalau terus-terusan seperti itu!” Ammar menyalakan ponsel dan memilih duduk di sofa, enggan mendekati Adelia yang sedetik menangis, sedetik kemudian tertawa kencang.“Kamu yang membuat aku gila seperti ini, Mas!” Adelia melemparkan bantal ke arah Ammar. Andai saja dia bisa berjalan, sudah dia hampir lelaki itu membenturkan kepala Ammar ke dinding agar otaknya bisa berpikir. Istri mana yang tidak akan gila saat melihat suaminya seperti mayat hidup karena menangisi pernikahan wanita lain? Apalagi, selama kehamilan dia tidak merasa mendapat perhatian sedikitpun.Padahal, mudah saja membuat Adelia senang. Dia bukan tipe wanita manja seperti yang pernah dituduhkan Ammar. Adelia terbiasa mandiri meski dia merupakan anak tunggal. Sebelum menikah,

  • Kita yang Terluka   BAB 105

    Di tempat berbeda, Zahra duduk termenung di halaman belakang. Sesekali, lamunannya buyar saat mendengar suara tawa Riko dan Rika yang sedang ‘membantu’ Zaldy membersihkan aquarium. Kegiatan itu memang paling mereka sukai karena bisa memegang tanaman dan batu-batu hias yang tadinya tersusun indah di dalam sana.“Coba kamu telpon Ammar, Ra.” Anis duduk dan menghampiri putrinya. Tadi malam, Zahra sudah menceritakan tentang pembicaraannya dengan Indra beberapa hari yang lalu. Kemungkinan, mereka akan pindah ke rumah Indra setelah acara resepsi pernikahan dilaksanakan. “Kalian harus bicara. Bagaimanapun juga, Ammar itu papanya Riko dan Rika. Apalagi, dia tidak pernah melalaikan kewajibannya. Kamu tidak bisa membawa anak-anak begitu saja tanpa persetujuannya.”Zahra menutup wajah dengan kedua tangan. Dia jelas tidak akan bisa membiarkan Riko dan Rika tinggal bersama Ibu dan bapaknya agar Ammar bisa nyaman kalau mau menemui mereka. Akan tetapi, Zahra juga tidak bisa memaksakan kehendak pada

  • Kita yang Terluka   BAB 104

    Novita menghela napas panjang berkali-kali untuk menenangkan diri saat duduk di ruang tamu rumah orang tua Pandu. Wanita itu meremas jari tangannya yang saling bertaut. Dia melirik ke arah Devi yang terlihat lebih tenang. Padahal, selama beberapa hari ke belakang mereka berdua kalang kabut karena tidak ada kejelasan mengenai kelanjutan rencana pernikahan yang waktunya sudah semakin dekat.“Sebelum Mas Pandu berangkat ke Jepang, hubungan kami masih baik-baik saja, Om, Tante.” Novita menghapus air matanya. Dia melirik ke arah Pandu yang sejak tadi duduk dengan tenang, seolah memang sudah siap menghadapi hari ini. “Tapi … sejak bertemu dengan Mbak Adelia saat menjenguk Mama di rumah sakit, Mas Pandu jadi berubah. Puncaknya, saat kembali ke Jepang, kami tidak ada komunikasi sama sekali.”Orang tua Pandu menghela napas panjang. Sejujurnya, mereka sudah mengetahui tentang alasan Pandu. Keduanya juga setuju kalau anaknya ingin membatalkan pernikahan. Bukannya apa-apa, mereka sudah bisa melih

  • Kita yang Terluka   BAB 103

    “Rika kangen Papa, Om.” Rika mengusap matanya yang basah. Sudah hampir tiga minggu, Ammar tidak datang. Papanya bahkan tidak mengangkat telepon dari mereka. “Biasanya, sepulang kerja, Papa sering mampir. Sabtu dan minggu juga sering datang, ajak Rika dan Riko jalan-jalan.” Rika menunduk. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menyembunyikan suara isakannya yang tidak bisa lagi ditahan.Indra terdiam beberapa saat mendengar ucapan Rika. Dia memang tidak memaksakan kedua anak sambungnya mengganti panggilan padanya. Kalau Rika dan Riko nyaman memanggilnya Om, Indra tidak apa-apa. Dia bukan tipe orang yang ribet harus sesuai dengan aturan ini dan itu menurut pandangan orang lain. Setelah banyak perjalanan hidup yang dia jadikan pelajaran, Indra mementingkan kenyamanan diri dan orang-orang yang dia sayangi daripada memikirkan pandangan orang diluar sana.“Coba Om telpon Papa ya? Barangkali Papa sibuk sekali makanya belum menemui Rika lagi.” Indra mengusap kepala Rika yang masih

  • Kita yang Terluka   BAB 102

    Ammar mengempaskan badannya ke sofa. Hampir saja dia terjatuh karena terpeleset bantal yang dilemparkan oleh istrinya. Lelaki itu memejamkan mata sambil memijat kepalanya yang terasa berat. Dia baru tahu kalau patah hati rasanya semenyakitkan ini. Memikirkan Zahra sudah tidak mungkin menjadi miliknya lagi membuat Ammar tidak bisa berpikir jernih. Ucapan Adelia di sela-sela tangis bahkan tidak masuk ke dalam otaknya sama sekali.Di tempat berbeda, Anis tersenyum lebar saat Indra memberikan bungkusan berisi sate maranggi. Wanita itu bersyukur sekali, dua kali memiliki menantu, keduanya sama-sama baik dan pandai menempatkan diri. Meski dia akui antara Ammar dan Indra jelas berbeda, tapi keduanya punya cara tersendiri dalam bersikap hormat dan sopan pada mertua.“Jangan suka membanding-bandingkan orang.” Zaldy bicara pelan saat mereka hanya berdua saja di dapur, menikmati sate yang dibawakan oleh Indra meski tadi sudah makan. Sementara Rika dan Riko lebih tertarik menempel pada Zahra kare

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status