LOGIN“Tolong bantu aku, Ra, tolong … andai aku menikahinya, itu terjadi karena terpaksa.” Ammar menatap Zahra yang mengusap air mata di wajah basahnya. “Tolong ingat kebaikanku selama lima tahun pernikahan kita. Apa pernah sekali saja aku melalaikan kewajiban sebagai seorang suami dan Ayah? Apa pernah aku menyakiti perasaanmu dan anak-anak? Dalam setiap urusan, kalian selalu aku utamakan.”
“Aku ingat semua kebaikanmu, Mas. Aku akui Mas suami yang memenuhi semua standar yang diimpikan oleh seorang istri. Ini hanya masalah hati … dan aku tidak siap untuk berbagi.” Tangisan Zahra mengencang saat Ammar berdiri dan menariknya ke dalam pelukan. Sakit. Dia tahu mereka sama-sama tersakiti karena keadaan ini. “Kita keluar, Mas.” Zahra mengurai kedekatan. Dia mengalihkan pandangan karena kalau bertatapan dengan suaminya, Zahra tahu dia akan menangis lagi. “Kasihan anak-anak. Ini hari mereka bersama kita. Rika dan Riko pasti sudah menunggu-nunggu agar bisa seharian bermain dengan papa dan mamanya.” Zahra berlalu tanpa menunggu jawaban. Dia mengoleskan riasan tipis untuk menyamarkan sembab sehabis menangis. Senin sore, Zahra yang baru saja pulang kerja terkejut melihat keberadaan mertuanya di rumah. Biasanya, setiap kali akan menginap, Mela selalu mengabari lebih dulu. Kadang, malah dia atau Ammar sekalian yang menjemput sekalian pulang kerja. Dia meremas tas di tangan. Dalam hati, wanita yang mengenakan jilbab biru itu sudah bisa menduga kenapa mertuanya ada di rumah secara tiba-tiba. “Kamu mandi dulu. Tadi, Mama sudah masak sop ayam kampung sama kentang mustofa kesukaan kamu.” Mela mengulas senyum saat Zahra mencium tangannya. Dia menunjuk ke arah piring kosong di atas meja sebelum melanjutkan berbicara. “Rika sama Riko sudah makan barusan. Mama kasih sisa lauk mereka tadi siang, masih banyak. Mama tawari sop ayam tadi nggak doyan.” Zahra mengangguk. Dia memang sengaja masak banyak untuk lauk makan siang dan malam anaknya biar pas pulang kerja tidak harus menyiapkan makanan dulu untuk mereka. Meski menggunakan jasa pengasuh, untuk makanan Rika dan Riko, Zahra selalu menyempatkan waktu untuk mengurusnya sendiri. “Terima kasih ya, Ma.” Zahra tersenyum sambil mengelus kepala anaknya sebelum akhirnya beranjak menuju kamar. Dia mengambil ponsel dari dalam tas dan melihat aplikasi pesan sebelum mandi. Tadi siang, Ammar mengabari akan pulang terlambat karena diminta lembur. Wanita itu menghela napas panjang saat membaca ulang pesan dari suaminya. Dia tahu, ini pasti rencana lelaki itu agar dia bisa bicara berdua saja dengan mertuanya. Lima belas menit berlalu, Zahra sudah terlihat segar. Dia melangkah menuju dapur. Seperti yang sudah dia duga, makan malam sudah terhidang di atas meja. Wanita itu mengalihkan pandangan ke seluruh penjuru dapur dan setiap sisi rumah yang bisa dijangkau mata, rapi, pasti mertuanya yang sudah membereskan semuanya tadi. Seperti biasa, setiap kali menginap, Mela selalu mengambil alih urusan dapur dan kerapihan rumah. “Ma, tidak perlu repot-repot. Kami pakai jasa orang untuk merapikan rumah setiap dua hari sekali. Kalau nyapu dan ngepel, Zahra sempatkan malam hari setelah anak-anak tidur atau pagi hari sebelum berangkat kerja.” Zahra pernah bicara pada mertuanya beberapa tahun yang lalu. Meski mengiyakan, tapi Mela tetap saja melakukan pekerjaannya setiap disana hingga akhirnya Zahra dan Ammar membiarkan saja. “Ma, aku sama Mas Ammar biasa beli makan kalau capek mau masak untuk makan malam. Aku juga selalu sedia ayam ungkep dan ikan marinasi, biar langsung goreng kalau mau makan. Sambel juga selalu stok di kulkas, tinggal panaskan saja. Mama disini karena kangen sama cucu, biar main sama mereka saja. Aku jadi tidak enak hati kalau Mama jadi mengerjakan semua.” Lagi. Meski Mela mengiyakan ucapan menantunya beberapa tahun yang lalu, wanita itu tetap saja masak untuk makan malam mereka. Akhirnya, Zahra dan Ammar pun tidak bicara lagi. Yang penting, Mela tidak kecapean dan kerasan, mereka membiarkan. “Azizah minggu depan berangkat KKN.” Mela memecah lamunan Azizah yang masih berdiri menatap hidangan di meja makan. Dia mengelus bahu menantunya dan duduk, mengisikan nasi ke piring. “KKN dimana, Ma?” Azizah tersenyum melihat Mela mengambilkan nasi serta lauk pauk lengkap untuknya makan. Mertuanya tidak pernah membeda-bedakan perlakuan pada dirinya dan dua anak perempuannya yang lain. Dia bahkan jauh lebih dekat dengan Mela dan kedua adik Ammar daripada suaminya sendiri. “Desa Pabangbon, Bogor. Mama juga baru dengar nama desa itu.” Zahra mengangguk mendengar ucapan mertuanya. Dia mulai menyendok makanan. Wanita itu melirik ke arah ruang tamu saat mendengar suara anaknya yang tertawa-tawa, dijaga oleh pengasuh mereka. “Zahra, terima kasih karena selama ini sudah berbesar hati berbagi rezeki dengan kedua adikmu. Tanpa keridhoanmu sebagai istri, belum tentu Azizah bisa sampai di tahap ini. Begitu juga dengan Anisa, belum tentu bisa sekolah di tempat yang diinginkannya.” Mela menatap menantunya dengan mata berkaca-kaca. “Mama bicara apa? Sudah sewajarnya saudara saling membantu. Lagipula, sebelum kami menikah, Mas Ammar memang sudah seperti itu dan dia tidak menutupinya. Jadi, aku juga tidak keberatan saat menerima pinangannya karena semua sudah dijelaskan sejak awal.” Mela mengangguk mendengar ucapan menantunya. Wanita itu menghela napas panjang, meletakkan sendok dan menatap Zahra yang sudah menghabiskan makan malamnya. “Maaf … maaf kalau karena harus membantu biaya kuliah Azizah dan biaya sekolah Anisa, kamu jadi banyak menekan keinginan untuk membeli sesuatu, atau menahan diri untuk berlibur ketempat yang kalian mau.” Zahra menutup wajah dengan kedua tangan. Dia tidak bisa menahan tangis melihat mertuanya mulai terisak. Takut. Rasa itu mulai merayap di hatinya karena tahu betul kemana pembicaraan ini akan bermuara.“Jelaskan pada istrimu kalau kamu harus menemani Adelia terapi. Dia harus mengerti kalau suaminya harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Lagipula, tidak setiap minggu kamu menemani Adelia terapi. Weekend lainnya kamu masih bisa menghabiskan waktu bersama anak dan istrimu. Jadi, segera kemari, Ammar. Kami sudah berbaik hati menunggu pertanggungjawabanmu sampai selama ini.”Ammar menghela napas panjang saat telepon dimatikan secara sepihak dari seberang sana. Selama ini, dia memang selalu menemani Adelia setiap kali terapi, seperti yang diinginkan oleh keluarga wanita itu. Dia bukannya lupa kalau hari ini jadwal terapi Adelia. Akan tetapi, dia sudah berjanji pada Zahra akan mengantar istrinya itu menginap ke rumah orangtuanya.“Aku bisa berangkat sendiri kalau Mas mau kesana. Lagipula, aku sepertinya harus mulai belajar melakukan semuanya sendiri agar tidak kaget saat kita berpisah nantinya.”“Kamu bicara apa, Yang?” Ammar langsung menyimpan ponsel. Dia tidak menyadari kalau Adelia
“Astaghfirullahaladzim, jangan begini, Ma.” Zahra langsung meraih tubuh mertuanya yang berlutut memeluk kakinya. “Kita semua ada di posisi sulit. Aku tidak menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi. Kita semua jelas tidak mau berada pada posisi ini.” Mela memeluk Zahra erat. Tubuh wanita itu gemetar karena menahan tangis. Dia tidak mau sampai kedua cucunya yang asyik bermain mendengar pembicaraannya dengan Zahra.“Kecelakaan itu terjadi bukan atas kehendak Mas Ammar. Sudah jalannya harus begitu. Kalaupun kelak jodoh antara aku dan Mas Ammar selesai, itu semua terjadi bukan karena kesalahan siapapun. Ini hanya tentang hati dan aku tidak siap menjalani poligami. Mas Ammar yang memutuskan dan aku berhak pula memilih jalan yang kuinginkan. Jadi, berhenti menyalahkan diri karena ini bukan salah Mama.”Kedua wanita itu bertangisan. Sakit benar terjebak dalam keadaan yang tidak diinginkan. Zahra yang menyudahi terlebih dahulu. Dia tidak mau terus menangis. Cukup sudah beberapa waktu ke bel
“Ammar beruntung sekali memiliki istri sepertimu. Tidak semua suami bisa mendapatkan istri yang bisa berbesar hati membiarkan suaminya membiayai hidup saudaranya.” Mela mengusap air mata di wajahnya. Dia menggigit bibir melihat bahu Zahra yang bergetar.“Aku juga beruntung sekali memiliki Mas Ammar sebagai suami, Ma. Terlebih lagi, aku beruntung memiliki Mama sebagai mertua.” Zahra bicara dengan suara serak. Dia menatap mertuanya dengan wajah yang penuh linangan air mata. “Berkat didikan Mama, Mas Ammar menjadi sosok suami yang pengertian dan penuh kasih sayang. Bukan hanya masalah nafkah lahir dan batin, mengurus anak, membantu mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan dia juga memperlakukan aku sangat baik. Dalam rentang lima tahun pernikahan kami, dalam ingatanku tidak pernah satu kalipun Mas Ammar meninggikan suara saat berbicara meski dalam keadaan kesal.”“Kalian beruntung karena saling memiliki.” Mela menatap Zahra. Dia tersenyum di antara tangis saat Zahra meraih tangannya yang mul
“Tolong bantu aku, Ra, tolong … andai aku menikahinya, itu terjadi karena terpaksa.” Ammar menatap Zahra yang mengusap air mata di wajah basahnya. “Tolong ingat kebaikanku selama lima tahun pernikahan kita. Apa pernah sekali saja aku melalaikan kewajiban sebagai seorang suami dan Ayah? Apa pernah aku menyakiti perasaanmu dan anak-anak? Dalam setiap urusan, kalian selalu aku utamakan.”“Aku ingat semua kebaikanmu, Mas. Aku akui Mas suami yang memenuhi semua standar yang diimpikan oleh seorang istri. Ini hanya masalah hati … dan aku tidak siap untuk berbagi.” Tangisan Zahra mengencang saat Ammar berdiri dan menariknya ke dalam pelukan. Sakit. Dia tahu mereka sama-sama tersakiti karena keadaan ini.“Kita keluar, Mas.” Zahra mengurai kedekatan. Dia mengalihkan pandangan karena kalau bertatapan dengan suaminya, Zahra tahu dia akan menangis lagi. “Kasihan anak-anak. Ini hari mereka bersama kita. Rika dan Riko pasti sudah menunggu-nunggu agar bisa seharian bermain dengan papa dan mamanya.” Z
“Jangan hanya memikirkan kondisi istri dan anak-anakmu, mereka sehat dan tanpa kekurangan apapun. Lihat anakku, dia lumpuh dan ditinggalkan tunangannya karena kesalahanmu. Jadi, nikahi anakku!”Ammar meremas kemudi kencang mengingat ucapan Ammar saat memintanya menikahi Adelia pertama kali. Sepanjang perjalanan pulang, wajah Gunawan yang terus mendesaknya agar menikahi Adelia dan wajah istri serta kedua anak mereka berlarian di kepala.“Papa pulaaaang ….”Ammar tersenyum lebar saat melihat putrinya yang berusia empat tahun berlarian menyambut di depan pintu. Dia mengangkat anaknya tinggi-tinggi hingga membuat gadis kecil yang rambutnya dikepang dua itu tertawa-tawa kesenangan.“Pappa … Pa … Pa … Pappaaaa ….”“Ayo, ayo, Riko kesini ….” Ammar tertawa melihat anaknya yang baru lancar berjalan semingguan ini berjalan dengan sedikit limbung ke arahnya. Dia lalu mengangkat bayi berusia tiga belas bulan itu juga, membuat kedua anaknya tertawa-tawa.“Rika, Riko, ayo jangan gelendotan sama Pap
“Aku tidak peduli dengan istrimu. Yang terpenting, nikahi anakku!” Lelaki yang mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam menatap Ammar dengan pandangan tajam. Dia membenarkan kacamata dan menghela napas panjang. Ini kali ketiga mereka bertemu dan dia jelas tidak mau ada tawar menawar lagi.“Tidak ada kata damai! Kamu harus bertanggung jawab karena sudah membuat anakku lumpuh. Kamu sendiri mengakui kalau kecelakaan itu terjadi murni karena kelalaianmu dalam mengemudi. Jadi, tidak ada pembicaraan lain lagi untuk urusan ini. Jangan datang lagi menemuiku kecuali untuk untuk membicarakan pernikahanmu dengan anakku. Atau … jeruji besi menunggumu untuk mempertanggungjawabkan kesalahanmu!”Ammar menghela napas panjang, berusaha memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak. Aroma cairan pembersih lantai khas rumah sakit memenuhi penciumannya. Suara televisi yang menyala sayup-sayup terdengar saat mereka terdiam, sengaja dikecilkan saat dia masuk ke ruangan ini sekitar lima belas menit yang







