LOGIN“Jangan hanya memikirkan kondisi istri dan anak-anakmu, mereka sehat dan tanpa kekurangan apapun. Lihat anakku, dia lumpuh dan ditinggalkan tunangannya karena kesalahanmu. Jadi, nikahi anakku!”
Ammar meremas kemudi kencang mengingat ucapan Ammar saat memintanya menikahi Adelia pertama kali. Sepanjang perjalanan pulang, wajah Gunawan yang terus mendesaknya agar menikahi Adelia dan wajah istri serta kedua anak mereka berlarian di kepala. “Papa pulaaaang ….” Ammar tersenyum lebar saat melihat putrinya yang berusia empat tahun berlarian menyambut di depan pintu. Dia mengangkat anaknya tinggi-tinggi hingga membuat gadis kecil yang rambutnya dikepang dua itu tertawa-tawa kesenangan. “Pappa … Pa … Pa … Pappaaaa ….” “Ayo, ayo, Riko kesini ….” Ammar tertawa melihat anaknya yang baru lancar berjalan semingguan ini berjalan dengan sedikit limbung ke arahnya. Dia lalu mengangkat bayi berusia tiga belas bulan itu juga, membuat kedua anaknya tertawa-tawa. “Rika, Riko, ayo jangan gelendotan sama Papa dulu.” Zahra yang baru selesai masak untuk makan siang melambaikan tangan pada kedua anaknya. Dia memanggil pengasuh yang sudah bekerja pada mereka sejak dari dia melahirkan anak pertama dulu karena Zahra juga bekerja. “Mbak, tolong ajak main Rika sama Riko dulu ya? Aku mau bicara dengan Mas Ammar.” Zahra bicara sopan pada wanita yang usianya terpaut lima tahun lebih muda darinya. Biasanya, setiap libur kedua anak itu akan menghabiskan waktu penuh bersama mereka. Zahra memberikan waktu istirahat dua hari kepada pengasuh anaknya agar fit kembali selama lima hari kerja kedepan. “Bagaimana, Mas?” Zahra mengikuti suaminya yang berjalan menuju kamar. Dia menghela napas panjang, perasaannya tidak enak karena melihat wajah kusut Ammar yang biasanya selalu ceria saat ada di rumah. Selama ini, mereka memang sepakat tidak akan membawa masalah apapun di luar saat pulang agar bisa menikmati waktu dengan kedua anak mereka. Ammar duduk di kasur. Dia menatap istrinya yang ikut duduk di sebelahnya. Lelaki itu menggeleng. Matanya terasa panas saat melihat wajah istrinya yang langsung muram seketika. “Keluarga Adelia tidak mau tawar menawar lagi, Yang. Tidak ada kata damai kecuali aku menikahi Adelia. Pilihannya hanya dua, setuju dengan permintaan mereka atau masuk penjara.” Ammar mengusap wajah kasar. Dia meraih tangan istrinya yang terasa sedikit basah karena berkeringat dingin. Zahra menekan dada. Buntu. Mereka menemui jalan buntu. “Aku tidak siap dipenjara, Yang.” Ammar meraih bahu istrinya agar menghadap padanya. Aduh … mata bening itu basah hingga membuat perasaannya teremas-remas. “Kalau hanya memikirkan aku saja, tidak akan seberat ini, tapi, bagaimana dengan biaya pengobatan Ibu yang harus rutin kontrol setiap bulannya? Biaya kuliah Azizah? Biaya sekolah Anisa? Nafkah untukmu dan anak-anak?” Zahra terisak mendengar ucapan suaminya yang putus asa. Minggu kemarin, dia dengan tegas menolak saat Ammar mengatakan diminta menikahi Adelia. Minggu ini, Ammar mencoba mengajak bicara lagi dan hasilnya tetap seperti semula. Zahra tahu Ammar dalam posisi sulit. Dia juga mengerti kalau suaminya terjepit. Namun, dia jelas tidak mau diduakan. Meski awalnya karena terpaksa, tidak menutup kemungkinan kedepan Ammar akan membagi hati pada istri barunya. “Kalau Mas Ammar mau menikahi wanita itu sebagai bentuk pertanggungjawaban, silahkan. Aku tidak melarang. Tapi, lepaskan aku. Aku tidak bisa hidup dimadu.” Zahra mengusap air matanya yang mengalir. Bukan dia egois tidak memikirkan kedua anaknya. Namun, Zahra tidak mau sampai mengorbankan hati dan kesehatan mentalnya andai Ammar benar-benar mendua meski terpaksa. Lagipula, masalah nafkah dia tidak risau. Posisi Zahra di kantor sudah cukup strategis dan gajinya lebih dari mencukupi. “Yang ….” Ammar duduk di lantai. Dia tidur di pangkuan istrinya. “Kalau aku dipenjara, aku pasti dipecat. Kamu tahu sendiri kalau aku ini tulang punggung keluarga. Sejak Bapak meninggal sepuluh tahun yang lalu, aku memikul tanggung jawabnya sebagai anak lelaki tertua. Apalagi, sejak Ibu mulai sakit-sakitan enam tahun yang lalu, semua bertumpu padaku.” Suara Ammar tercekat, sesak memenuhi dada. Zahra menengadah agar air matanya tidak kembali tumpah. Membayangkan akan berpisah dari Ammar saja sudah sakit, apalagi kalau benar-benar kejadian nanti. Ammar suami yang baik dan pengertian. Lelaki itu juga figur Ayah yang berperan banyak dalam pengasuhan buah hati mereka. Meski menanggung biaya hidup orangtua dan kedua adiknya, tapi Ammar tidak pernah mengabaikan kebutuhan Zahra dan kedua anak mereka. “Aku tidak bisa hidup dengan berbagi suami, Mas.” Zahra menghela napas panjang saat suaranya terdengar bergetar. Sakit sekali baginya membayangkan orang yang dia cinta akan menikahi wanita lainnya. “Bukan menentang syariat, tapi aku sudah bisa membayangkan sakitnya andai menjalani poligami. Sesama saudara kandung saja bisa saling cemburu karena merasa kasih sayang orang tua berat sebelah, apalagi ini perasaan wanita yang pasti ingin dicintai dan disayangi oleh pasangannya. Mas berdosa kalau menikahi, tapi mengabaikannya. Sementara, aku tidak sanggup melihat suamiku memberikan perhatian pada wanita lainnya.” “Aku harus bagaimana, Yang? Beri tahu aku harus bagaimana dan aku akan melakukannya. Aku tidak mau kehilangan kamu, tapi aku juga tidak bisa mengorbankan Ibu dan kedua adikku.” Ammar mendongak bertepatan dengan air mata Zahra jatuh tepat di atas wajahnya. “Aku tidak tahu, Mas. Satu yang pasti, kalau kamu menikahinya, maka aku akan mundur dari pernikahan kita.”“Jelaskan pada istrimu kalau kamu harus menemani Adelia terapi. Dia harus mengerti kalau suaminya harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Lagipula, tidak setiap minggu kamu menemani Adelia terapi. Weekend lainnya kamu masih bisa menghabiskan waktu bersama anak dan istrimu. Jadi, segera kemari, Ammar. Kami sudah berbaik hati menunggu pertanggungjawabanmu sampai selama ini.”Ammar menghela napas panjang saat telepon dimatikan secara sepihak dari seberang sana. Selama ini, dia memang selalu menemani Adelia setiap kali terapi, seperti yang diinginkan oleh keluarga wanita itu. Dia bukannya lupa kalau hari ini jadwal terapi Adelia. Akan tetapi, dia sudah berjanji pada Zahra akan mengantar istrinya itu menginap ke rumah orangtuanya.“Aku bisa berangkat sendiri kalau Mas mau kesana. Lagipula, aku sepertinya harus mulai belajar melakukan semuanya sendiri agar tidak kaget saat kita berpisah nantinya.”“Kamu bicara apa, Yang?” Ammar langsung menyimpan ponsel. Dia tidak menyadari kalau Adelia
“Astaghfirullahaladzim, jangan begini, Ma.” Zahra langsung meraih tubuh mertuanya yang berlutut memeluk kakinya. “Kita semua ada di posisi sulit. Aku tidak menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi. Kita semua jelas tidak mau berada pada posisi ini.” Mela memeluk Zahra erat. Tubuh wanita itu gemetar karena menahan tangis. Dia tidak mau sampai kedua cucunya yang asyik bermain mendengar pembicaraannya dengan Zahra.“Kecelakaan itu terjadi bukan atas kehendak Mas Ammar. Sudah jalannya harus begitu. Kalaupun kelak jodoh antara aku dan Mas Ammar selesai, itu semua terjadi bukan karena kesalahan siapapun. Ini hanya tentang hati dan aku tidak siap menjalani poligami. Mas Ammar yang memutuskan dan aku berhak pula memilih jalan yang kuinginkan. Jadi, berhenti menyalahkan diri karena ini bukan salah Mama.”Kedua wanita itu bertangisan. Sakit benar terjebak dalam keadaan yang tidak diinginkan. Zahra yang menyudahi terlebih dahulu. Dia tidak mau terus menangis. Cukup sudah beberapa waktu ke bel
“Ammar beruntung sekali memiliki istri sepertimu. Tidak semua suami bisa mendapatkan istri yang bisa berbesar hati membiarkan suaminya membiayai hidup saudaranya.” Mela mengusap air mata di wajahnya. Dia menggigit bibir melihat bahu Zahra yang bergetar.“Aku juga beruntung sekali memiliki Mas Ammar sebagai suami, Ma. Terlebih lagi, aku beruntung memiliki Mama sebagai mertua.” Zahra bicara dengan suara serak. Dia menatap mertuanya dengan wajah yang penuh linangan air mata. “Berkat didikan Mama, Mas Ammar menjadi sosok suami yang pengertian dan penuh kasih sayang. Bukan hanya masalah nafkah lahir dan batin, mengurus anak, membantu mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan dia juga memperlakukan aku sangat baik. Dalam rentang lima tahun pernikahan kami, dalam ingatanku tidak pernah satu kalipun Mas Ammar meninggikan suara saat berbicara meski dalam keadaan kesal.”“Kalian beruntung karena saling memiliki.” Mela menatap Zahra. Dia tersenyum di antara tangis saat Zahra meraih tangannya yang mul
“Tolong bantu aku, Ra, tolong … andai aku menikahinya, itu terjadi karena terpaksa.” Ammar menatap Zahra yang mengusap air mata di wajah basahnya. “Tolong ingat kebaikanku selama lima tahun pernikahan kita. Apa pernah sekali saja aku melalaikan kewajiban sebagai seorang suami dan Ayah? Apa pernah aku menyakiti perasaanmu dan anak-anak? Dalam setiap urusan, kalian selalu aku utamakan.”“Aku ingat semua kebaikanmu, Mas. Aku akui Mas suami yang memenuhi semua standar yang diimpikan oleh seorang istri. Ini hanya masalah hati … dan aku tidak siap untuk berbagi.” Tangisan Zahra mengencang saat Ammar berdiri dan menariknya ke dalam pelukan. Sakit. Dia tahu mereka sama-sama tersakiti karena keadaan ini.“Kita keluar, Mas.” Zahra mengurai kedekatan. Dia mengalihkan pandangan karena kalau bertatapan dengan suaminya, Zahra tahu dia akan menangis lagi. “Kasihan anak-anak. Ini hari mereka bersama kita. Rika dan Riko pasti sudah menunggu-nunggu agar bisa seharian bermain dengan papa dan mamanya.” Z
“Jangan hanya memikirkan kondisi istri dan anak-anakmu, mereka sehat dan tanpa kekurangan apapun. Lihat anakku, dia lumpuh dan ditinggalkan tunangannya karena kesalahanmu. Jadi, nikahi anakku!”Ammar meremas kemudi kencang mengingat ucapan Ammar saat memintanya menikahi Adelia pertama kali. Sepanjang perjalanan pulang, wajah Gunawan yang terus mendesaknya agar menikahi Adelia dan wajah istri serta kedua anak mereka berlarian di kepala.“Papa pulaaaang ….”Ammar tersenyum lebar saat melihat putrinya yang berusia empat tahun berlarian menyambut di depan pintu. Dia mengangkat anaknya tinggi-tinggi hingga membuat gadis kecil yang rambutnya dikepang dua itu tertawa-tawa kesenangan.“Pappa … Pa … Pa … Pappaaaa ….”“Ayo, ayo, Riko kesini ….” Ammar tertawa melihat anaknya yang baru lancar berjalan semingguan ini berjalan dengan sedikit limbung ke arahnya. Dia lalu mengangkat bayi berusia tiga belas bulan itu juga, membuat kedua anaknya tertawa-tawa.“Rika, Riko, ayo jangan gelendotan sama Pap
“Aku tidak peduli dengan istrimu. Yang terpenting, nikahi anakku!” Lelaki yang mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam menatap Ammar dengan pandangan tajam. Dia membenarkan kacamata dan menghela napas panjang. Ini kali ketiga mereka bertemu dan dia jelas tidak mau ada tawar menawar lagi.“Tidak ada kata damai! Kamu harus bertanggung jawab karena sudah membuat anakku lumpuh. Kamu sendiri mengakui kalau kecelakaan itu terjadi murni karena kelalaianmu dalam mengemudi. Jadi, tidak ada pembicaraan lain lagi untuk urusan ini. Jangan datang lagi menemuiku kecuali untuk untuk membicarakan pernikahanmu dengan anakku. Atau … jeruji besi menunggumu untuk mempertanggungjawabkan kesalahanmu!”Ammar menghela napas panjang, berusaha memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak. Aroma cairan pembersih lantai khas rumah sakit memenuhi penciumannya. Suara televisi yang menyala sayup-sayup terdengar saat mereka terdiam, sengaja dikecilkan saat dia masuk ke ruangan ini sekitar lima belas menit yang







