LOGIN“Ammar beruntung sekali memiliki istri sepertimu. Tidak semua suami bisa mendapatkan istri yang bisa berbesar hati membiarkan suaminya membiayai hidup saudaranya.” Mela mengusap air mata di wajahnya. Dia menggigit bibir melihat bahu Zahra yang bergetar.
“Aku juga beruntung sekali memiliki Mas Ammar sebagai suami, Ma. Terlebih lagi, aku beruntung memiliki Mama sebagai mertua.” Zahra bicara dengan suara serak. Dia menatap mertuanya dengan wajah yang penuh linangan air mata. “Berkat didikan Mama, Mas Ammar menjadi sosok suami yang pengertian dan penuh kasih sayang. Bukan hanya masalah nafkah lahir dan batin, mengurus anak, membantu mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan dia juga memperlakukan aku sangat baik. Dalam rentang lima tahun pernikahan kami, dalam ingatanku tidak pernah satu kalipun Mas Ammar meninggikan suara saat berbicara meski dalam keadaan kesal.” “Kalian beruntung karena saling memiliki.” Mela menatap Zahra. Dia tersenyum di antara tangis saat Zahra meraih tangannya yang mulai keriput. “Azizah sudah semester enam, insya Allah tidak sampai dua tahun lagi Ammar akan lepas kewajiban setelah dia lulus. Setiap hari, setiap malam, Mama selalu mendoakan agar kuliahnya lancar dan cepat selesai agar tidak merepotkan kalian terus-terusan.” Tangis Mela kembali terdengar. “Sudah lah, Ma, tidak usah dibahas lagi.” Zahra memeluk mertuanya. Perasaannya gelisah. Kalau dia berpisah dengan Ammar, dia bukan hanya akan kehilangan suaminya, tapi juga kehilangan mertua dan adik ipar yang sudah dia anggap sebagai keluarga sendiri. Zahra menghela napas panjang. Bayangan wajah Azizah dan Anisa menari di pelupuk mata. Dia yang anak tunggal sangat senang saat pertama kali Ammar mengenalkannya pada kedua adiknya. Sejak pertama berjumpa, mereka langsung cocok. Zahra bahkan tahu siapa saja mantan pacar kedua adik iparnya. Dia juga lebih kenal dan dekat dengan teman-teman kedua adik iparnya dibandingkan dengan Ammar dan Mela. Saat dia melahirkan Riko setahunan yang lalu, kedua adik iparnya yang menyiapkan acara aqiqah. Azizah dan Anisa bahkan mendekor ruangan sendiri bersama teman-temannya, mencarikan katering yang murah dan enak, usaha teman-temannya sesama mahasiswa. Juga fotografer yang murah, tapi hasil jepretannya jempolan, teman kuliah Azizah juga. Berada di tengah-tengah keluarga Ammar tidak membuat Zahra merasa posisinya sebagai menantu. Dia malah merasa kalau dirinya adalah anak pertama Mela dan kakak dari kedua iparnya. Kadang, Ammar menyuarakan kecemburuan karena dirinya yang justru lebih dekat dengan mereka. Kalau ada keperluan dan butuh bantuan pun, mertua dan iparnya selalu bicara dengan dirinya untuk dikomunikasikan dengan Ammar. “Ammar sudah bicara dengan Mama ….” Mela melepaskan pelukan Zahra. Dia membingkai wajah menantunya dan menatap mata Zahra lama. Wanita itu menggigit bibir, menahan tangis, saat menghapus air mata Zahra yang kembali mengalir. “Aku … aku tidak mau dimadu, Ma.” Zahra bicara dengan suara bergetar. Dia bisa melihat kabut pekat yang mengandung awan kesedihan di mata mertuanya. “Meski Mas Ammar melakukannya karena terpaksa keadaan, dia tidak punya pilihan, tapi aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berbagi suami.” Mela memegang kedua bahu Zahra. Wanita itu menunduk, isakannya kembali terdengar, lebih kencang dari sebelumnya. Dia mengerti betul perasaan wanita yang sudah memberinya dua orang cucu itu. Tadi malam, Ammar menelpon, menjelaskan keadaannya yang terjepit karena pilihan sulit. Jam dua malam, saat dia akan melaksanakan qiyamul lail, ponselnya berbunyi. Seperti anak kecil yang menangis karena ingin dibelikan sesuatu, Ammar menangis meminta pendapatnya harus bagaimana. “Tidak ada pernikahan yang tanpa ujian, anakku.” Mela kembali berbicara setelah berhasil mengatur emosinya kembali. “Sebagai wanita, Mama mengerti perasaanmu. Namun, coba pikirkan lebih jauh. Rika dan Riko bagaimana kalau kalian berpisah? Mereka pasti akan sangat kehilangan sosok papanya. Meski kalian berusaha menjaga hubungan baik, bersama-sama membesarkan mereka, tapi mereka pasti akan merasakan kehilangan karena biasanya selalu bertemu setiap hari dengan papanya.” Zahra memalingkan wajah, menatap sop ayam kampung yang sudah dingin di atas meja. Dia membayangkan andai kelak benar bercerai, hubungannya yang begitu hangat dengan mertuanya saat ini, pasti akan dingin juga pada masanya. Waktu mampu mengubah segalanya. Apalagi, ada perasaan wanita yang harus mereka jaga, istri yang dinikahi Ammar karena terpaksa. Suara Rika dan Riko kembali terdengar dari dalam sana, entah sedang berebut apa. Pikiran Zahra kalut. Egoiskah jika dia tetap memilih berpisah hingga membuat kedua anaknya kekurangan waktu dengan Papa mereka? “Apa ada yang bisa memastikan perasaan Mas Ammar tidak akan berubah setelah menikahi Adelia, Ma? Mungkin sekarang Mas Ammar berat padaku karena belum menikahi wanita itu. Namun, seiring berjalannya waktu, kita tidak tahu. Apalagi, kalau kelak Adelia punya anak dari Mas Ammar.” Zahra menengadah, menatap langit-langit agar air matanya tidak kembali tumpah. “Andai Mama tidak sakit-sakitan, Ammar tidak akan pusing memikirkan tanggungan untuk biaya sekolah dan kuliah adiknya. Dia juga tidak akan kesulitan mengambil keputusan seperti ini.” Tangis Mella yang sejak tadi tertahan akhirnya pecah sudah. Wanita itu bersandar pada kursi dan memukuli dadanya yang terasa sesak. “Mama jangan begini.” Zahra berdiri dan memeluk tubuh mertuanya erat. Dia ikut sakit melihat wanita itu dikungkung rasa bersalah. “Maafkan Mama karena sudah zalim padamu, Ra ….” Mela melepaskan pelukan menantunya. Tubuhnya merosot ke lantai, bertumpu dengan kedua lutut, berlutut di hadapan Zahra yang membelalak lebar, tidak menyangka Mela akan melakukan itu. “Maafkan Mama karena membuat keadaan menjadi sulit. Mama hanya bisa pasrah dengan semua keputusan yang akhirnya Ammar pilih karena semua kebutuhan bergantung sepenuhnya pada Ammar.” Mela menangis kencang, membayangkan dia harus menukar keharmonisan pernikahan anak pertamanya demi masa depan dua anaknya yang lain.Di tempat berbeda, Zahra duduk termenung di halaman belakang. Sesekali, lamunannya buyar saat mendengar suara tawa Riko dan Rika yang sedang ‘membantu’ Zaldy membersihkan aquarium. Kegiatan itu memang paling mereka sukai karena bisa memegang tanaman dan batu-batu hias yang tadinya tersusun indah di dalam sana.“Coba kamu telpon Ammar, Ra.” Anis duduk dan menghampiri putrinya. Tadi malam, Zahra sudah menceritakan tentang pembicaraannya dengan Indra beberapa hari yang lalu. Kemungkinan, mereka akan pindah ke rumah Indra setelah acara resepsi pernikahan dilaksanakan. “Kalian harus bicara. Bagaimanapun juga, Ammar itu papanya Riko dan Rika. Apalagi, dia tidak pernah melalaikan kewajibannya. Kamu tidak bisa membawa anak-anak begitu saja tanpa persetujuannya.”Zahra menutup wajah dengan kedua tangan. Dia jelas tidak akan bisa membiarkan Riko dan Rika tinggal bersama Ibu dan bapaknya agar Ammar bisa nyaman kalau mau menemui mereka. Akan tetapi, Zahra juga tidak bisa memaksakan kehendak pada
Novita menghela napas panjang berkali-kali untuk menenangkan diri saat duduk di ruang tamu rumah orang tua Pandu. Wanita itu meremas jari tangannya yang saling bertaut. Dia melirik ke arah Devi yang terlihat lebih tenang. Padahal, selama beberapa hari ke belakang mereka berdua kalang kabut karena tidak ada kejelasan mengenai kelanjutan rencana pernikahan yang waktunya sudah semakin dekat.“Sebelum Mas Pandu berangkat ke Jepang, hubungan kami masih baik-baik saja, Om, Tante.” Novita menghapus air matanya. Dia melirik ke arah Pandu yang sejak tadi duduk dengan tenang, seolah memang sudah siap menghadapi hari ini. “Tapi … sejak bertemu dengan Mbak Adelia saat menjenguk Mama di rumah sakit, Mas Pandu jadi berubah. Puncaknya, saat kembali ke Jepang, kami tidak ada komunikasi sama sekali.”Orang tua Pandu menghela napas panjang. Sejujurnya, mereka sudah mengetahui tentang alasan Pandu. Keduanya juga setuju kalau anaknya ingin membatalkan pernikahan. Bukannya apa-apa, mereka sudah bisa melih
“Rika kangen Papa, Om.” Rika mengusap matanya yang basah. Sudah hampir tiga minggu, Ammar tidak datang. Papanya bahkan tidak mengangkat telepon dari mereka. “Biasanya, sepulang kerja, Papa sering mampir. Sabtu dan minggu juga sering datang, ajak Rika dan Riko jalan-jalan.” Rika menunduk. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menyembunyikan suara isakannya yang tidak bisa lagi ditahan.Indra terdiam beberapa saat mendengar ucapan Rika. Dia memang tidak memaksakan kedua anak sambungnya mengganti panggilan padanya. Kalau Rika dan Riko nyaman memanggilnya Om, Indra tidak apa-apa. Dia bukan tipe orang yang ribet harus sesuai dengan aturan ini dan itu menurut pandangan orang lain. Setelah banyak perjalanan hidup yang dia jadikan pelajaran, Indra mementingkan kenyamanan diri dan orang-orang yang dia sayangi daripada memikirkan pandangan orang diluar sana.“Coba Om telpon Papa ya? Barangkali Papa sibuk sekali makanya belum menemui Rika lagi.” Indra mengusap kepala Rika yang masih
Ammar mengempaskan badannya ke sofa. Hampir saja dia terjatuh karena terpeleset bantal yang dilemparkan oleh istrinya. Lelaki itu memejamkan mata sambil memijat kepalanya yang terasa berat. Dia baru tahu kalau patah hati rasanya semenyakitkan ini. Memikirkan Zahra sudah tidak mungkin menjadi miliknya lagi membuat Ammar tidak bisa berpikir jernih. Ucapan Adelia di sela-sela tangis bahkan tidak masuk ke dalam otaknya sama sekali.Di tempat berbeda, Anis tersenyum lebar saat Indra memberikan bungkusan berisi sate maranggi. Wanita itu bersyukur sekali, dua kali memiliki menantu, keduanya sama-sama baik dan pandai menempatkan diri. Meski dia akui antara Ammar dan Indra jelas berbeda, tapi keduanya punya cara tersendiri dalam bersikap hormat dan sopan pada mertua.“Jangan suka membanding-bandingkan orang.” Zaldy bicara pelan saat mereka hanya berdua saja di dapur, menikmati sate yang dibawakan oleh Indra meski tadi sudah makan. Sementara Rika dan Riko lebih tertarik menempel pada Zahra kare
“Mohon maaf sekali, sepertinya belum bisa dalam waktu dekat ini, Mas Indra. Anak saya sedang hamil dan harus bedrest.” Gunawan menoleh ke arah Fatma. Mereka mengangguk bersamaan sebagai kode sudah menyelesaikan makan. “Kami permisi duluan, Mas Indra, Mbak Zahra. Rumah lumayan jauh dari sini, biar bisa keburu tidak maghrib di jalan.” Gunawan menyalami Indra dan Zahra bergantian.“Selamat ….” Fatma bicara dengan suara serak saat bersalaman dengan Zahra. Wanita itu memeluk Zahra erat-erat, meski Zahra tidak membalas pelukannya. Sejujurnya, dia senang melihat wanita itu bisa bangkit kembali dan sudah menemukan tambatan hati lagi. Dia mengelus bahu Zahra sebelum akhirnya melangkah mengikuti suaminya.“Kaget Papa pas tahu Mas Indra kepincut dengan jandanya Ammar. Padahal, kurang apa itu anak-anak teman Papa memperkenalkan anak mereka ke Mas Indra.” Gunawan memperhatikan Zahra dan Indra yang tampak ngobrol santai dari dalam mobil. “Hebat juga wanita keras kepala itu bisa meluluhkan hati Mas
“Aduh … pengantin baru jadi bikin iri, deh. Antar jemput banget nih? Bawaannya pengen nempel mulu kayaknya.” Wilda terkekeh saat Zahra mencubit pinggangnya. Kabar Zahra sudah melangsungkan akad nikah sudah diketahui oleh para rekan kerja. Indra bahkan membelikan nasi kotak untuk makan siang sebagai bentuk syukuran pernikahan. Lelaki itu gerak cepat sepertinya agar semua orang tahu kalau Zahra sudah menjadi Nyonya Indra.“Bagaimana rasanya, Ra? Kamu libur dua tahun, terus langsung disergap duda sepuluh tahun?” suara tawa Wilda berderai, membuat beberapa karyawan yang ada di lobby kantor menoleh ke arah mereka berdua. Dia ikut senang mendengar Zahra akhirnya melabuhkan hati kembali. Sejujurnya, Wilda kasihan sekali melihat Zahra dulu. Temannya itu sempat trauma dengan lawan jenis karena pernikahannya hancur disaat sedang baik-baik saja.“Pasti semalam suntuk kalian lembur ya? Berasa pasangan muda kalian kayaknya karena sama-sama melepas dahaga.” Wilda kembali menggoda karena Zahra memil







