Share

2

Seorang gadis berseragam putih biru terlihat menangis di taman sendirian, kepalanya ia tenggelamkan di kedua lutut yang ia tekuk. Beberapa orang menatapnya penasaran, namun tak ada yang berniat mendekati. Tak lama terlihat seorang cowok berseragam putih abu-abu menghampirinya. Tanpa permisi dudu disamping gadis itu.

"Hei cantik, kenapa nangis?" tanyanya.

Gadis itu sedikit terkejut, ia menoleh kepada sosok cowok itu. Wajah garang dengan luka di sudut bibir membuat gadis itu takut. Ia mundur sedikit mencoba menjauh.

"Jangan takut, Kakak bukan orang jahat." Yah meski wajahnya membuat banyak orang salah paham dan sering kali takut duluan kepadanya, bukan salahnya kan. Sejak lahir sudah begini. Ketika diam saja banyak yang mengira jika ia marah, padahal memang begini dia.

"Kamu kenapa nangis? Kok gak sekolah, bolos ya?" tanya cowok itu mencoba menarik perhatian sang gadis. 

"Kakak juga bolos." Cowok itu tersenyum saat mendapat balasan. Ia mengulurkan tangannya pada gadis itu, mengelus kepalanya pelan. Coba saja ia punya adik perempuan, pasti akan selucu ini. 

"Panji." Gadis itu menatap heran, dia ngomong apa jawabannya apa. Jangan-jangan kakak ini orang gila.

"Nama kakak, Panji. Namamu siapa?" Tidak menyerah, cowok bernama Panji itu kembali mengulang perkataannya.

"Bestari." Gadis itu menjawab saat tak melihat tanda-tanda cowok ini akan berbuat jahat.

"Bestari, nama yang cantik kayak orangnya." Panji kembali mengelus kepala Bestari, ia tersenyum tulus.

Melihat senyum Panji, Bestari sedikit rileks. Ia bahkan sudah berhenti menangis. Tangannya menyentuh luka di sudut bibir Panji yang sedari tadi menarik perhatiannya.

"Ini, kenapa?"

Panji mengerjap-ejap kaget, sedikit tak percaya pada pertanyaan gadis itu. Sedari tadi kan dia yang bertanya. Kenapa malah sekarang balik ditanyai.

"Ini." Tangannya menyentuh luka itu, sedikit meringis saat merasa perih. "Biasa, berantem."

Bestari menggeleng pelan, tangannya kembali mengusap luka itu.

"Kata mama, cowok yang suka berantem itu nakal. Kakak jangan nakal lagi ya." Ia berdiri bertumpu pada lututnya, mendekat pada Panji dan meniup luka itu. Lalu kembali duduk bersila setelahnya.

"Eh." Panji semakin terkejut, tidak pernah merasakan jantungnya berdetak secepat ini, apalagi hanya karena perlakuan sederhana dari seorang gadis berseragam SMP.

"Cuma sekali kok, habis ini gak lagi." Entah apa maksud Panji mengucapkannya, yang tahu dia tidak suka Bestari memandangnya buruk.

"Janji." Bestari mengulurkan jari kelingkingnya. Senyum manisnya membuat perut Panji serasa ada kupu-kupu terbang.

"Janji." Panji membalas jari itu, mengaitkan kedua tangan berbeda ukuran mereka. Sedikit geli saat sadar di usianya yang sebesar ini harus ada adegan janji yang biasanya dilakukan anak kecil. Anehnya ia juga melakukannya.

"Oh iya, kamu kenapa nangis, hm? " Sedari tadi Panji yang bertanya, tapi belum mendapat jawaban.

Wajah Bestari kembali murung, matanya berkaca-kaca siap menangis.

"Eh, eh, jangan nangis dong." Panji panik. Tadi sudah senyum kenapa wajahnya murung lagi.

"Ya udah gak usah cerita, yuk kita beli jajan aja."

Mata Bestari kembali bersinar bahagia mendengar kata jajan. Ia mengangguk semangat.

"Yuk, yuk." Bestari berdiri menepuk roknya yang kotorku karena debu. Dengan semangat empat lima ia menggandeng tangan Panji, teman cowok pertamanya.

Panji tertawa, ternyata perempuan sama saja. Mau anak-anak atau dewasa, kalau mendengar kata jajan pasti semangat.

¤¤¤

Hari-hari Bestari terasa berwarna sejak ada Panji, setiap pulang sekolah selalu ada Panji yang sudah menunggunya di gerbang. Ia bahkan tak jarang di ajak jalan-jalan saat libur sekolah, tidak jauh kadang ke taman kalau tidak ke cafe. Seperti itu saja Bestari sudah senang.

Rasanya Bestari bersyukur dibalik insiden bolosnya ia waktu itu. Kalau ia tidak bolos pasti tidak akan bertemu dengan Panji. Tiak akan pernah merasakan bagaimana punya sosok kakak laki-laki dan seorang teman.

"Hayo, ngelamun apa." Tepukan di pundak mengejutkan Bestari. Ia merengut kesal. Matanya mendelik ke arah Panji yang cengengesan.

"Kaget tahu." Ia memukul pundak Panji pelan. Kekuatan anak SMP kan memang tidak seberapa.

"Maaf deh, nih buat kamu." Panji memberikan es krim rasa coklat pada Bestari yang dengan cepat diterima. Bahkan kini wajah kesal itu berganti dengan senyuman.

"Giliran disogok es krim aja senyum." Tangannya merusak tatanan rambut Bestari, tak peduli jika nanti gadis itu marah.

"Biarin," ucap Bestari ketus.

"Ih jangan diberantakin." Tangannya menepis tangan Panji yang berusaha memegang rambutnya lagi, tidak tahu apa kalau menata rambut itu perlu waktu.

Panji mengangkat tangan tanda menyerah, tidak ingin membuat Bestari semakin kesal. Untuk kesekian kali Panji terpesona, sejak awal bertemu hingga kini, debaran itu tak pernah hilang. Panji mengerti sekarang, ia memang sudah jatuh hati pada sosok gadis kecil di depannya ini. Gadis cerewet yang membuatnya berhenti tawuran. Membuat kedua orang tuanya merasa bahagia atas perubahannya.

"Tari."

"Hm," jawab Bestari acuh. Masih fokus dengan es krimnya.

"Kakak sayang kamu."

Gerakan tangan Bestari terhenti, ia menoleh memfokuskan atensinya pada sosok Panji. Semburat merah muncul di pipinya. Membuat gadia itu terlihat menggemaskan.

"Aku juga sayang Kakak," gumam Bestari berbisik. Malu mengakui jika ia juga menyayangi sosok yang sudah seperti pahlawan untuknya.

Gemas dengan sikap malu-malu Bestari, Panji dengan segera mendekapnya. Memerangkap gadis itu dalam pelukannya. Rasanya seperti ada bunga bermekaran mengelilingi dia. Panji menjadi bucin sekarang, pada anak SMP.

¤¤¤

Tak terasa hubungan tanpa status itu sudah berjalan beberapa bulan, meski tanpa status mereka bisa dibilang mesra, namun masih dalam batas wajar. Panji sadar, Bestari masih seorang anak kecil dibawah umur.

Beberapa minggu ini Panji tidak seperti biasanya, Panji terlihat aneh. Bahkan sering tak fokus ketika diajak bicara, Bestari sadar akan hal itu. Tapi ia pikir mungkin saja Panji tengah memikirkan ujiannya. Dia kan sebentar lagi lulus, otomatis akan kuliah, pasti dia tengah bingung memilih universitas sekarang. Maka Bestari sebagai seorang adik, sahabat dan mungkin juga kekasih mencoba paham, tak bertanya apapun. Mencoba mengerti dan memaklumi. Namun, semakin lama Bestari tidak tahan. Ia rindu Panji.

Panji sering telihat menatapnya lama, seakan ingin mengatakan sesuatu padanya, berulang kali hal itu terjadi, tapi entah kenapa berulang kali juga dia tidak berkata apa-apa. Hari ini puncaknya, Bestari lelah menunggu. Ia ingin mendapatkan jawaban.

Biasanya saat bertemu Panji akan banyak bicara, menceritakan berbagai hal pada Bestari. Tapi hari ini berbeda, dia diam saja. Diam yang tak disukai Bestari.

"Kak." Bestari rasa panggilannya tidak sekeras itu sampai mengejutkan Panji, kecuali jika memang pikiran Panji tidak di sini.

"Kakak sadar gak sih, beberapa minggu terakhir ini Kakak aneh. Bahkan Kakak selalu gak fokus setiap kita ketemu. Kakak, ada masalah. Cerita sama aku."

Panji menggeleng, tersenyum tipis berusaha menenangkan.

"Maaf, beberapa minggu ini Kakak sedikit sibuk."

"Jangan terlalu capek, Kak. Jaga kesehatan, aku gak mau Kakak sakit," pesan Bestari. Tangannya menggenggam tangan Panji erat. Meski tak puas dengan jawaban Panji, Bestari bisa apa.

"Pulang, yuk. Kakak kelihatan capek."

Selama perjalanan pulang hanya ada keheningan, baik Bestari dan Panji sama-sama menikmati momen ini hanya saja dengan suasana hati yang berbeda.

Sesampainya mereka di depan rumah Bestari, Panji terlihat enggan melepaskan genggaman tangan mereka.

"Ini gak mau dilepas, udah sampai loh ini," canda Bestari.

Panji melepas genggaman itu, tapi sebagai gantinya dia malah memeluk Bestari erat. Membuat Bestari tersenyum kecil.

" Kangen banget ya," ucapnya membalas pelukan Panji.

"Iya."

Beberapa menit setelah itu pelukan mereka terlepas, Panji seakan tak rela melepasnya.

"Jaga diri ya, kalau besok kita gak ketemu jangan cari aku." Bestari mengernyit alis bingung, kata-kata Panji seakan dia mau pergi jauh.

"Sampai jumpa kembali, Bestari."

¤¤¤

Hingga kini saat waktu terus bergulir, menit berganti jam, berubah menjadi hari dan hari menjadi bulan, sampai sudah empat tahun berlalu, Bestari masih menunggu. Ia masih saja berharap seseorang yang hingga kini masih ditunggunya itu kembali. Memberi jawaban atas perginya dia tiga tahun lalu tanpa pamit, tanpa kabar dan tanpa kepastian. Bestari ingin tahu kemana dan kenapa dia sebenarnya.

Bodohnya ia, meski sudah jelas ditinggal, namun masih saja mengharapkan. Dan dengan naifnya ia mencintai laki-laki itu segitu besarnya. Berharap suatu hari laki-laki itu datang, dan menemuinya. Memeluknya sembari berkata rindu. Tapi sayang, selama tiga tahun semua itu terasa seperti kehaluan semata, hal sia-sia yang bukan hanya menyita waktu tapi juga jiwa Bestari.

"Kapan kamu kembali, Kak." Tangannya mengusap foto yang dulu mereka ambil sewaktu jalan-jalan di Mall, hanya ini kenangan yang Bestari punya, suatu pengingat bahwa nanti Panji pasti akan kembali.

"Aku kangen kamu, gimana kabar kamu di sana, apa kamu sudah bersama wanita lain." Kadang pemikiran kalau Panji sudah bersama wanita lain sering terlintas dipikiran Bestari, ia takut, bahwa ini hanya bayangan semunya. Harapan tak terbalas.

Air matanya luruh, Bestari mendekap foto itu erat. Di tengah ranjangnya, ditemani cahaya remang rembulan yang dipantulkan melalui jendela, Bestari kembali menangis. Entah untuk yang keberapa kalinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi.

Bibirnya berulang kali menggumam nama Panji dan rindu l, ia berharap segala keluh kesahnya tersampaikan pada dia yang entah di mana.

"Tuhan, jika dia memang tidak akan kembali, maka berikan aku pengganti. Jangan kau biarkan aku terus meratapinya, " gumamnya sebelum terlelap bermimpi masa bahagianya dulu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status