Share

Chapter 2: Istri yang Hilang

Tangan kanan maskulin memegang kain, mengusapkannya pada permukaan meja putih kayu, menyingkirkan bekas dari tumpahan larutan warna putih dan kuning. Ia menuju wastafel sejarak lima langkah. Mengambil telenan, parutan, dan pengaduk yang sedikit berair dari keranjang. Memmindah dan menggantung tiga benda itu dalam sebingkai organisir seperti peralatan dapur lainnya yang punya fungsi saling berhubungan.

Bunyi dua nada singkat ia dengar. Sedetik berikutnya ia dengar lagi bunyi yang sama.

Filan berbalik, melangkah keluar dapur sambil diiringi bunyi yang sama dan menjadi menyebalkan telinganya, “Apa-apaan, sih Lila? Kebanyakan gaje!” sampai di pintu depan. Membuka pintu, arah pandangannya menunduk. Mendapati bocah perempuan dengan poni menutupi seluruh dahi, ia mendekap nampan warna cokelat.

“Kak Filan!” katanya dengan raut yang tidak mengenakkan benak Filan.

“Sherlin?”

“Tolong Kak Lila!” memohon dengan lantang.

 Kejutan degup jantung Filan terasa mengganggu mendengar yang Sherlin katakan. “Ada apa?”

***

Filan mengendarai motor Verza warna merah melintasi sebuah jalan aspal, menyalip beberapa pengendara lain. Mengambil kesempatan terbukanya celah lintasan yang untuk menyalip kendaraan lebih banyak. Hingga berhenti tepat di depan garis penyeberangan di perempatan sewaktu jalurnya dijeda lampu merah.

Sebuah nada berdering ia dengar. Merogoh saku celana sebelah kanan, melihat sebuah nama “Aris” melayang naik turun pada layar ponselnya. 

“What the big deal?” umpat Filan.

Melepas helm, meletakkannya di atas tanki motor, menerima panggilan.

“Hallo!” menyapa dengan kesal.

“Ngapain?” Mendengar sejenak.

“Okey. Tunggu!”

Lanjut menempuh suatu arah, mengambil beberapa belokan. Hingga menghentikan motor di depan mobil SUV putih di area parkir depan minimarket. Mengondisikan motornya, menghampiri seorang laki-laki yang keluar dari mobil.

Perjumpaan yang diawali dengan Filan menerima sebuah ponsel dari Aris. Sebentar Filan melihat ponsel itu, menyalakan layarnya sehingga nampak screen-saver foto dirinya berpose mesra dengan Lila.

“Gimana ceritanya?” tanya Filan yang Aris lihat tidak cukup baik mengondisikan emosinya.

“Tenangin dulu dirimu!” memberi Filan sebotol minuman ringan, memberi kesempatan Filan meneguknya, “ada yang enggak beres di keluarga barumu?”

“Sejauh ini aku lihat baik-baik aja, sampai terjadi hal yang enggak aku ngerti malam ini?”

“Woah? Kalau gitu ... kayaknya aku punya sedikit petunjuk buatmu.”

***

Sepasang mata sedang menatap refleksi pandangannya sendiri lewat kaca spion kecil yang mengantarai jarak dua jog depan dalam mobil. Lewat kaca spion itu juga ia melirik sebagian wajah berkacamata hitam dari kedua pria yang menghimpitnya di tengah. Tangan kirinya meraba tekstur jeans secara perlahan, jemarinya bergerilya menuju saku sementara pandangannya waspada. Selama sedetik sempat berkontak mata dengan pengemudi lewat kaca spion tengah, Lila segera membuang pandangannya ke depan melihat jalan.

Genggaman tangan kiri Lila menarik ponsel keluar dari saku, dengan mengendalikan kecepatan geraknya agar tidak membuat efek suara yang mengundang perhatian dua pria yang mengapitnya. Ibu jari Lila bergerak cepat membuka kunci layar, menjalankan aplikasi Conversay, mencari nama “Husband”, membuat panggilan. Cengkeraman datang tiba-tiba pada lengan kirinya membuat salah satu denyut jantung Lila berdegup mengejutkan dirinya sendiri dari dalam, sedangkan otaknya serasa tersengat.

“Enggak ada izin buat pamitan sama suamimu!” Pria yang mencengkeram lengan Lila itu merebut paksa ponsel, reaksi cepat pria sebelah kanan membekukan Lila dengan ujung revolver yang mengancam tepat di dagunya. 

Genggaman tangan kiri Lila serasa hilang tenaga, membiarkan pria di sebelah kirinya merampas aset pribadinya.

Seorang laki-laki berbadan sedikit berisi keluar dari minimarket sambil menenteng sekantong plastik belanjaannya. Ia berjalan menghampiri mobil SUV putih di parkiran—halaman bangunan. Langkahnya terhenti ketika melihat benda persegi panjang mendarat ke permukaan kabin mesin. Ia segera berbalik badan, mengamati mobil civic hitam yang sedang melintas, sementara dalam pikirannya menghubungkan dengan kejadian mengejutkan barusan. Ia beralih perhatian kepada benda yang jatuh ke atas kabin mesin mobilnya. Mengambil ponsel itu, menyalakan layarnya yang menampilkan foto—ia pikir salah satu dari dua orang berpose mesra itu—pemiliknya sebagai pengunci layar.

***

“Plat nomor BP 789 FMB,” kata Aris, “maaf aku ngerasa perlu tanya. Kalian punya masalah selama jadi nasabah FMB?”

Filan bengong sesaat. “Nasabah ... FMB?” berpikir bahwa Aris lambat menjawab, “apa FMB?”

Filan berpikir Aris sedikit heran mendengar pertanyaan baliknya.

“Kamu beneran enggak tahu FMB?” Aris yakin kesimpulannya benar, “Fresh Money Bank. Perusahaan duit yang aku dengar beberapa kabarnya sering bikin nasabahnya gagal komitmen bayar angsuran, sampai ngambil alih hak kepemilikan jaminan pinjaman mau pun aset-aset pribadi nasabah buat ganti bayar pelunasan.”

Aris memberi waktu lima detik untuk Filan mencerna penjelasannya.

“Selama kenal Lila, aku enggak pernah tahu dia punya hubungan sama angsuran pribadi apa pun. Aku kenal Lila orang yang suka nahan diri dan cukup perhitungan soal pengeluaran,” balas Filan dengan menunjukkan rasa heran bersama pernyataannya yang tidak berhubungan dengan petunjuk Aris.

“Tapi, tapi kalau Lila memang punya masalah tunggakan angsuran atau apa, penculikan udah jelas kriminal,” ungkap Filan menambah kekesalannya sendiri.

“Kalau gitu, kamu harus dapatin jawabannya, segera.”

***

Filan mengendarai motornya menempuh perjalanan. Ingatannya memutar ulang potongan penjelasan Aris.

“Kalau dugaanku benar, kroni FMB itu jalan ke rumah bos mereka. Aku tahu. Jeral Dominarto, punya rumah warna putih, tingkat tiga, paling besar di jalan area Botania Dua. Rumah yang kamu lihat mirip hotel tapi berpagar tembok dan punya pos security yang jaga palang portal.

Filan menghentikan motor di depan palang portal balok panjang. Ia pikir portal itu dikendalikan security yang ada di dalam pos. Palang itu membuka ke atas. Filan menganggukkan kepala kepada seorang security yang dilihatnya tembus dari balik kaca transparan. Ia tidak habis pikir kenapa dipersilakan masuk dengan mudah. Melihat area parkir khusus kendaraan roda dua—tidak jauh dari pos security—Filan mengondisikan motornya di situ. Filan merasa mengerti salah satu peraturan di tempat ia berada saat itu adalah “hanya dengan cara jalan kaki sejauh kurang lebih lima puluh meter” untuk—mengamati struktur luar bangunan besar bertingkat tiga yang area halaman dan tamannya sedang dilalui—menuju rumah bergaya hotel mini.

Filan melalui area parkir khusus kendaraan beroda empat, melihat empat buah mobil setipe yang berjajar. Beberapa saat pengamatannya terfokus pada plat nomor belakang salah satu mobil, BP 789 FMB. Nomor seri yang membuat bagian kerja pasif pikirannya menghubungkan itu dengan potongan ucapan Aris dalam ingatan.

Filan melempar pandang kepada dua pria penjaga sepasang belah pintu rumah, hingga melalui keduanya dengan izin yang mudah. Filan merasa seperti berada dalam rumah terbaik di kota itu, melalui ruangan depan menuju tengah yang dindingnya dihiasi beberapa lukisan, kolam ikan, air mancur dengan lampu berwarna, dan sistem pengairan yang indah dan terkesan natural namun tidak Filan mengerti apa gunanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status