Share

Chapter 1: Hadiah Besar

Dua Mango Chesse Cake ditulis tangan pada latar sticknote warna kuning, yang tertempel pada sebuah papan kolaps styrofoam di dinding. Kepulan asap putih tipis membumbung. Kelembaban asapnya yang panas hampir membasahi sticknote bertuliskan nama sebuah menu di dekat teflon yang mendidihkan larutan kental berwarna putih—yang sedang diaduk dengan adukan berbahan kayu oleh tangan kanan feminin. Masih diaduk, buih pada larutan kental itu semakin banyak bermunculan di permukaannya.

Setengah irisan buah mangga diambil dari bejana alumunium warna perak, sepasang tangan maskulin menjadikannya beberapa potongan memanjang yang lebih kecil menggunakan pisau. Lalu menjadikannya puluhan bagian yang lebih kecil seukuran dadu, saling berjatuhan dari telenan ke dalam wadah pelastik yang kering dan trasnparan.

"Vla mendidih?" Laki-laki tinggi dan sedikit kurus itu berpaling kepada perempuan yang menghadap kompor.

Dilihatnya perempuan itu sedang memperhatikan layar gawainya, sementara tangan kanan mengaduk isi teflon tanpa perhatian.

"Lila!" merasa tidak ditangghapi, “Lila!” panggilnya dengan keras.

Isi kepala perempuan Lila langsung ambyar karena kaget. "Em?! Iy-iya?"

"Vla," sambil menajamkan sorot mata dan menunjuk ke arah teflon dengan ujung mata pisau.

"Em, udah ... mendidih," jawabnya sedikit panik.

Laki-laki itu menghela napas dengan sedikit kesal. "Really?" tampaknya tidak cukup yakin dengan kondisi mendidih yang ia sendiri maksudkan. 

"Udah, Filan," Lila memastikan, sementara Filan mendekat ke sebelah kirinya. Membiarkan laki-laki berjenggot dan berkumis tipis melihat kondisi vla dengan penglihatannya sendiri.

Aroma segar, manis, lembut dan harum merasuk dalam presepsi Filan dalam satu tarikan napas pelan. 

“Kamu ingat gulanya aku bilang berapa?” tanya Filan. 

“Se-,” Lila berpaling dari tatapan mata Filan yang dingin, “seratus lima puluh ... gram,” merasa lidahnya hampir beku kaku.

“Kenapa kamu lebihin?”

“Ta-tadi keleb ... kelebihan, ketuang, kan kecampur mentega gak bisa diambil lagi.”

“Oma Ima gak boleh makan yang terlalu manis.”

“Jadi,” suara Lila pelan, “gimana?”

“Menurutmu gimana?"

Pandangan Lila berpindah-pindah, menghindari kontak mata dengan Filan.

“Buat lagi?”

“Yang ini diapain?”

“Buat kita aja, enggak apa-apa, kan?”

“Lihat yoghurt di kulkas!”

“Emh? Ee, iya,” mengambil tujuh langkah dengan gegas, membuka pintu bawah kulkas. Memeriksa deretan belakang pintunya. “Your Good atau ...?”

“Yomni,” sahut Filan. Memandang Lila yang bergegas kembali kepadanya dengan memberi sebuah botol dengan merk Yomni. 

“Ini yoghurt tawar,” sambil memutar buka tutup botol, lalu menuang larutan kental warna putih dua kali melingkar pada vla yang berbuih, “bisa buat ngurangin rasa manis. Bisa pakai bahan lain seperti cokelat bubuk, jahe, air lemon. Tapi buat lansia lebih sehat pakai yoghurt tawar,” menutup kembali Yomni dan menaruhnya di dekar kompor, “jadi enggak perlu buang waktu, buang bahan, dan bikin orang kelamaan nunggu.”

“Siap,” tanggap Lila sambil mematikan kompor.

“Keju parut.”

Lila mengambil sebatang keju kuning bersama parutan kecil yang dekat dengan jangkauan tangan kanannya, memberikannya kepada Filan.

“Kamu bisa, kan?”

“Kayak kemarin?”

“Ya.”

Lila menjatuhkan parutan keju ke dalam vla.

“Berapa banyak?”

“Suka kamu.”

“Suka aku? Aku juga suka kamu,” candaL ila sambil menjatuhkan parutan keju sebanyak yang ia pikirkan, tidak sampai menipiskan ketebalan keju batang lebih dari dua per tiga ukuran asalnya. Tidak dia lihat bagaimana Filan tersenyum tipis mendengar hal itu.

“Sudah. Apa lagi?”

“Tuang ke loyang plastik! Dikipasin, tunggu lima menit aja.”

Filan mengatur persiapan lain, lalu menumbuk biskuit gandum dengan lesung mini berbahan keramik di dalam bejana kaca transparan, membiarkan Lila menunggui vla dalam loyang lebar dan ceper sedang diterpa angin dari putaran baling-baling mini van.

"Filan! Barusan Sherlin chat, Mango Chesse Cake buat Oma Ima mau yang hangat, yang dingin Sherlin," lapor Lila kepada Filan yang menumbuk biskuit gandum sampai sedikit halus.

“Ya. Kamu blender biji es.”

“Berapa banyak?”

“Segunung.”

Lila sedikit tersentak mendengarnya.

“Ya kira-kira berapa kalau cuma buat segelas?”

“Siap,” jawab Lila dengan nada suara lemah dan seperti menyesal bertanya.

Filan tertawa kecil mendengarnya.

“Enggak usah nangis, dong!”

“Kamu, marahin aku terus.”

“Biar kamu enggak gampang kaget, biar enggak penakut. Masa ditanyain aja, udah kayak terdakwa di persidangan?”

Lila mencampur air dan serpihan biji es ke dalam blender, sambil diam-diam mencuri pandang kepada Filan. Memandangi wajah laki-laki yang berambut lebat dan sedikit ikal itu. Mengamati sorot matanya yang terlihat sinis, wajahnya yang terkesan kuat dan kaku. Perpaduan warna kulit wajah kuning namun tampak memutih dengan ekspresi dingin itu dirasa Lila menawan dan enak dilihat. Lila tidak bisa menahan senyumnya yang otomatis. 

Lalu mereka berdua membuat persiapan lain. Sesekali Lila sambil membagi fokusnya dengan gawai.

"Filan, lihat!" dengan bungah dan tergesa, lalu menyodorkan layar gawai ke dekat muka Filan. Ia berbinar-binar sementara Filan dalam proses menangkap apa yang ia tunjukkan.

"What?!” Filan tercengang, membaca selebaran digital dalam Pictagram, dengan visual yang menarik, terbaca: Congratulation to our couple, Filan Harlen & Amelila Najmi, as Runner-Up of Couple Cooking Contest 2020. 

Filan mendorong gawai itu sedikit menjauh dari mukanya. Jari telunjuknya mengusap layar ke kiri, sehingga menampilkan gambar selebaran lain. Membaca pernyataan. As your reward, please claimed by accept our invitation to you both to attend the champion party in cruise ship Nebula across Barelang River in Batam City. Date at 26th August 2021. Any furture information, please decide your confirmate by replying email we sent to your emal.

 Raut senang mulai memenuhi wajah Filan dengan perlahan. Kebungahannya berpadu dengan yang Lila ungkapkan.

"Filan!” Lila melompat kebungahan seperti anak remaja yang polos.

"Cek emailnya!" kata Filan. Ia mendempet ke sebelah kanan Amelia, sama antusianya membaca email masuk dari Kitcheristic, menyimak isi pesan.

"Tanggal dua enam? Em ...,” pikir Lila menghitung, “lima belas hari ke depan?"

"Hey! Really?” tanggap Filan.

“Eh, itu kan ... hari ulang tahun kamu,” ingat Lila, “wah! Iya. Special date banget!”

“Aku belum selesai baca,” Filan kembali perhati ke isi pesan, “sespesial apa hari itu?” menyimak.

“Gratis akomodasi!” kesan Filan, membuat Lila bereaksi sama.

“Gratis stay di Harison Hotel juga dua hari,” dapatnya Lila.

“Ini info utama,” kata Filan sambil telunjuk kanannya menandai paragraf yang dia maksudkan.

“Reward utama kita naik kapal pesiar Nebula lintas Barelang, tapi kayaknya bukan hadiah liburan,” paham Filan menerjemahkan teksnya.

“Diminta bikin Summer Rosses sebanyak VVIP yang ada di deck teratas?” Lila mengulang baca sebaris kalimat yang dia dapat, hingga yakin tidak salah baca, “dengan bahan yang sudah disiapkan dari Kitcheristic,” lanjutnya menerjemahkan.

“Kayak enggak asyik gitu, deh syarat kompensasinya,” sesal Lila, “hadiah macam apa ini?”

Filan memikirkan pernyataan Lila. “Itu bisa  dua kemungkinan. Kita melayani para VVIP yang enggak terlalu peduli siapa kita dan urusan kita kecuali sebatas kenal dan pelaku hiburan kuliner, atau,” menatap Lila, “kesempatan emas buat kita promosi. Kafe dan nama kita.”

“Maksud kamu, mereka para investor? Parlente? Pegiat kuliner profesional dan ternama?”

“Semoga aja iya."

Satu bunyi notifikasi dari gawai Lila menyela pendengaran mereka berdua. Menampilkan pesan masuk dalam aplikasi Conversay.

“Sherlin nagih,” lapor Lila, “sampai lupa pesanannya.”

Lila mengisikan vla, bergantian selang-seling dengan Filan yang mengisikan remahan biskuit gandum dan potongan dadu buah mangga ke dalam gelas highball prisma asimetris. Potongan mangga yang lebih besar diletakkan sebatas permukaan. Hal serupa mereka lakukan ke dalam gelas saji yang lain, sehingga penampilan keduanya terlihat mirip di atas nampan yang sama.

“Foto dulu!" Lila menjakankan fungsi kamera gawainya, memposisikan landskap, mengatur titik fokus. Mendapatkan gambarnya, “Perfect!” lalu mengambil beberapa foto lagi dengan sudut dan fokus yang berlainan.

“Kamu antar, ya!” kata Filan.

“Barengan, sih!”

“Kamu!”

Lila cemberut.

“Susah pegang nampan berdua.”

Filan lihat hidung dan bibir Lila semakin lancip. “Udah sana! Aku beresin dapur.”

Lila masih begitu sambil memandangi punggung Filan yang beralih perhati mengurus isi meja dapur.

*** 

Di bawah sorotan kuning temaram sinar lampu jalan, Lila berdiri menyangga nampan di depan rumah bertingkat dua bercat hijau tosca. Sebelah dari sepasang pintu kayu warna putih di hadapannya sedang membuka dari dalam. 

"Kak Lila!" anak perempuan yang mengenakan stelan teddy-bear menyapa.

"Mango Chesse Cake pesanan Sherlin!" kata Lila sambil merendahkan nampan, sehingga anak perempuan manis itu tidak perlu berjinjit mengambil dua gelas. "Tahu, kan punya Sherlin yang mana?"

"Ini!" kata Sherlin sambil mengangkat sedikit gelas yang dia pegang dengan tangan kiri. Nampak sepasang lesung pipinya menggemaskan. "Makasih-sayang, kak Lila! Makasih-sayangnya bagi dua sama Kak Filan, ya!"

"Sama-sama—nya juga bagi dua sama Oma Ima, ya!"

"Iya. Good nite, kakak!" kata Sherlin. 

"You too!"

Sherlin menendang pelan sebelah pintu rumahnya dengan kaki kanan, membuat bunyi terdengar "jedar" pelan sewaktu pintunya menutup. Oh, tidak, hanya hampir menutup. Bunyi "jedar" yang lebih keras membuat Lila sedikit berjingkat, selama dua detik sempat menahan tarikan napas. Ia tidak melihat teknik tendangan apa yang Sherlin lakukan untuk menutup dengan paksa.

Lila berbalik badan, secara otomatis menghadap sebuah rumah bertingkat dua yang berpagar teralis warna cokelat. Jaraknya dengan rumah itu hanya diantarai jalan aspal yang sedang dilintasi sebuah mobil civic hitam—berhenti tepat memotong langkah Lila yang hendak menyeberang, sementara tidak ada kendaraan lain yang melintas. 

Sambil mendekap nampan kosong, Lila bergegas melangkah menyimpang ke belakang mobil itu dengan tidak menoleh ke mana pun. Tidak membuat kontak mata dengan pria berstelan blazzer hitam—keluar dari pintu kanan belakang mobil—yang terburu mengimbangi kecepatan langkah Lila. 

"Berhenti!" pria blazzer hitam yang membuat Lila mengikuti ucapannya. Ia melangkah dengan tegas, mendekati wajah Lila yang menoleh perlahan kepadanya. Lila bisa melihat ujung pistol yang mengarah ke keningnya, juga  mengetahui bagaimana pengunci rollrover ditarik ke belakang.

Lila tidak bereaksi apa pun selain berdiri gemetar, meski pria itu mendorong pelipis kirinya dengan ujung rollrover.

“Gara-gara lu, tiap menit hidup gue kena maki dan omelan Jeral. Tiga bulan! Bayangin itu!” suaranya membuat raut ketakutan Lila semakin jelas,  “mulai malam ini, lu akan bertanggungjawab. Selesain masalah lu sama dia,” mencengkeram lengan Lila, menariknya.

“E-eng-enggak!” Lila memberi tarikan yang berlawanan. 

“Gue dikasih pilihan. Bawa lu atau bunuh lu di tempat,” menekan ujung rollrover ke pipi kiri Lilia, “lu pilih mana?”

Lila merasa kehilangan seluruh tenaga, termakan ketakutannya mau pun terbunuh ancaman pria itu. Ia dibawa masuk ke dalam mobil—di belakang. Nampan melayang dan tercampakkan ke aspal sebelum pintu belakang kanan mobil ditutup. 

Dari balik kaca transparan di lantai dua dalam rumah hijau tosca, seorang wanita yang wajahnya terdapat beberapa garis kerutan tampak khawatir ketika memperhatikan—mungkin semua—yang terjadi di dekat lampu jalan depan rumahnya barusan. Memperhatikan mobil civic hitam itu melaju.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status