#30Viola dan Rosi kini tinggal di rumah Pak Adyaksa. Gadis itu masih merasa canggung setiap berinteraksi dengan ayah kandungnya. Viola tidak lagi berjualan donat keliling. Bingung mau melakukan apa, Viola berinisiatif menyirami bunga-bunga di halaman luas rumah keluarga Adyaksa. Ia menikmati momen ketenangan itu sampai suara deru mesin mobil mengalihkan perhatiannya. Sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah. Dari dalamnya, keluar seorang wanita paruh baya dengan pakaian elegan dan seorang gadis seusai Viola yang tampak angkuh. Viola merasakan jantungnya berdebar. Itu Sinta, ibu tiri Varrel. Ia mengenali wanita itu saat berpapasan di rumah sakit dulu. Viola mengeratkan genggamannya pada selang air. Firasatnya tidak pernah salah. Ada sesuatu yang tidak beres dengan wanita berpenampilan sosialita ini. Dari pertemuan pertama mereka di rumah sakit dulu, tatapan Sinta sudah mengintimidasinya. "Heh, kamu pembantu baru di sini, ya?" Suara Sinta terdengar merendahkan. Tatapannya sinis,
#29"Oh, ya, Ibu ingin menanyakan satu hal. Ini tentang ibumu. Ibu dan Dahlia bersahabat sejak kuliah. Sekarang ibumu ada di mana?" Bu Sandra bertanya dengan jantung berdebar. "Ibuku sebenarnya ... belum meninggal, Bu." Viola selama ini selalu mengatakan dia dan Rosi sebagai anak yatim piatu seperti permintaan ibunya. Seorang narapidana mempunyai image kurang baik di masyarakat, Dahlia tak ingin anaknya dikucilkan karena memiliki ibu seorang narapidana. "Di mana Dahlia sekarang, Vio?" tanya Bu Sandra sedikit memaksa. Ia merasa gadis itu menyembunyikan sesuatu. "Ibu ada di ...."Viola menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang berat mengganjal di dadanya, seperti batu besar yang tak bisa ia singkirkan. Matanya panas. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata, tapi ia tahan sekuat tenaga tak membiarkan air matanya jatuh."Ibu ada di ...."Kata-kata itu terputus di ujung lidahnya. Lagi-lagi gadis itu tak sanggup mengatakannya. Mengakui kebenaran berarti menghadapi kembali rasa bersalah ya
#28Perlahan, Viola menggenggam tangan Varrel lebih erat. "Kakak .…" Hanya satu kata itu yang keluar, tapi cukup untuk membuat hati Varrel mencelos. Pemuda itu tersenyum, matanya memanas, diusap kepala adiknya dengan lembut. "Iya, Vio. Kakak di sini. Kakak nggak akan pernah ninggalin kamu lagi." Varrel merengkuh tubuh kurus sang adik ke dalam pelukannya. Air matanya berjatuhan tak terbendung lagi. Kebahagiaan tak terkira karena bisa menemukan juga penyesalan karena terlambat untuk mencari adiknya. Azam yang sejak tadi menyaksikan pertemuan adik dan kakak yang terpisah selama hampir 20 tahun ikut tersenyum haru, hingga menitik air matanya. Pintu terbuka. Semua mata menoleh ke arah pintu, Viola juga. Seorang pria paruh baya melangkah masuk dengan tatapan hati-hati. Viola tercengang. Wajah itu terlihat familiar. Ia ingat pernah melihat pria paruh baya itu duduk di bangku kayu, menikmati nasi uduk Mak Ijah. Tapi, kenapa sekarang dia ada di sini?Lebih membingungkan lagi, Varrel yang
#27Sudah seharian ini Viola terbaring lemah di atas tikar pandan lusuh. Gadis itu sudah tidak sanggup untuk bangun. Tubuhnya semakin panas, wajahnya pucat, dan bibirnya kering. Rosi duduk di sebelah kakaknya dengan raut wajah khawatir dan ketakutan. Hari sudah gelap, lampu belum nyala karena token listrik habis. "Bangun, Ma! Jangan tidur terus," bisik Rosi dengan suara serak. Bocah perempuan berusia 5 tahun itu mengoyang tubuh Viola yang semakin lemah.Air matanya jatuh satu per satu. Rosi tidak tahu harus bagaimana. Ia masih kecil, belum paham cara merawat orang sakit. Di luar gelap, Rosi tidak berani keluar rumah sendirian untuk mencari pertolongan. Viola melarang adiknya keluar malam karena terkadang ada ular karena kontrakan mereka di pinggir kali. Rosi ketakutan Viola akan mati karena dari tadi matanya terpejam, tidak bergerak sama sekali. Ia hanya memiliki Viola seorang di dunia ini. Rosi bingung melihat keadaan Viola. Di luar sudah gelap, ia tak berani keluar untuk meminta
Sejak pertemuannya dengan gadis penjual donat, Pak Adyaksa jadi tidak berselera makan saat makan malam. Terpikir apakah putrinya sudah makan dengan layak atau tengah menahan lapar di luar sana. Perasaan bersalah dan penyesalan terus menghantuinya. "Mas, kok piringnya masih kosong?" tanya Sinta heran. "Aku ambilin nasi, ya?""Nggak usah. Aku lagi nggak selera makan." Pak Adyaksa bangkit dari duduknya lalu melangkah meninggalkan ruang makan menuju ruang kerjanya.Pria yang separuh rambutnya sudah memutih itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi portabel yang empuk. Matanya terpejam dan pertemuannya dengan gadis penjual donat di warung Mak Ijah tergambar jelas di benaknya. Wajah sendu gadis itu terus terbayang-bayang. Pertemuannya dengan gadis penjual donat tak bisa dilupakannya. Di dalam ruang kerjanya Pak Adyaksa duduk termenung lama dengan tatapan kosong. Tangannya menggenggam sebuah foto lama, foto mantan istrinya, Dahlia dengan bayi perempuan dalam gendongannya."Viola kecil
#25Wajah gadis itu sangat mirip dengan seseorang dari masa lalunya. Sorot mata teduhnya, hidung bangir, dan bentuk bibir tipisnya. Semua begitu mirip dengan mantan istrinya, Dahlia. yang ia usir dari rumah dua puluh tahun lalu.Tangan Pak Adyaksa gemetar saat meletakkan sendok. Ia menatap gadis itu lekat-lekat. Dadanya bergemuruh menahan semua perasaan yang membuncah. Gadis penjual donat itu menoleh dan balas menatap pria paruh baya itu dengan kening berkerut. "Pak?" Rizal menyadari perubahan ekspresi majikannya saat menatap Viola. "Bapak kenapa?" tanyanya khawatir. Pak Adyaksa tak menjawab. Matanya masih terkunci pada gadis yang tengah berbicara dengan Mak Ijah. Seolah merasakan tatapan intens itu, gadis yang tengah menyerahkan kotak donat ke Mak Ijah itu menoleh. Tatapan mereka bertemu. Sejenak, waktu terasa berhenti berputar. Gadis itu mengernyit. Ada sesuatu yang aneh dengan pria berjas rapi itu. Baru kali ini ia melihat pelanggan nasi uduk Mak Ijah berpakaian necis seperti i