Share

Kisah Mak Idah

"Orang tua adalah ladang pahala bagi anak-anaknya, betapa rugi orang-orang yang orang tuanya masih lengkap. Namun, tak mendapatkan apa-apa untuk bekalnya di esok dari mereka.

Faiqa Eiliyah


Seperti biasa, setiap habis nganterin Ayub ke TK. Karina pulang buat beres-beres rumah, masak buat makan siang dan nyuci pakaian. Nanti pukul sepuluh dia sudah harus jemput Ayub lagi. Jika terlambat dia bisa manyun sampai seminggu. (Mamanya banget kalau sudah ngambek.) 


Jadi sebisa mungkin Karina harus tiba di sana sebelum putranya pulang atau tiba di sana tak lama setelah dia keluar kelas.


Karina kembali duduk di depan kantin Mak Idah. Menatap wanita tua yang seharusnya sudah rehat di rumah bermain dan bersantai bersama cucu-cucunya itu, tapi masih sibuk bergelut dengan rutinitas demi mencari beberapa lembar rupiah.


Ya, beberapa lembar rupiah, raja dari segala kebutuhan di Dunia. Kadang Karina menatapnya dengan iba, ketika dia masih harus mencuci piring kotor bekas wadah kecap anak-anak yang sudah makan bakwan dan singkong goreng. Membersihkan meja dan halaman kantinnya dari plastik-plastik pembungkus snack dan permen yang selalu bertebaran setiap bocah-bocah TK usai dengan pelajaran mereka.


Seperti hari ini, Mak Idah sudah berbenah karena jam pulang sudah hampir tiba, meski belum sepenuhnya ia bungkus. Karena biasanya saat anak-anak TK pulang pun, masih ada saja yang mampir untuk membeli ini itu. Mungkin takut uangnya mubassir, kalau uang jajannya tak habis. He ... he ....


"Nungguin putranya lagi ya, Nak?" tanyanya mengagetkan Karina.


"Iya, Mak," jawabnya sambil mengulas senyum padanya.


"Capek banget pasti ya, Mak, harus kerja di usia Mak yang sudah setua ini?" tanyanya antara bertanya dan prihatin.


"Mau bagimana lagi, Nak. Dulu Mak sudah banting tulang menyekolahkan anak Mak satu-satunya. Hingga ia jadi seorang yang ber-uang sekarang. Punya rumah dan mobil mewah di Ibu Kota. Hidup bahagia bersama anak-anak dan istrinya, tapi tidak pernah sekali pun ingat akan keadaanku yang sudah jadi janda sedari dia masih kuliah." kenangnya pedih, ia mengusap kasar air matanya. Ada selaksa kecewa yang mengendap di balik tatapannya yang sudah mulai layu.


'Tega sekali anak, Mak Idah ini!' rutuk Karina dalam hati.


"Kenapa Mak, enggak meminta untuk tinggal bersama mereka saja?" saran Karina.


"Mak, sudah pernah mengutarakannya, tapi dia bilang 'Nggak mungkin Mak, aku bawa Mak juga tinggal bersama kami! Ibunya Nilam saja sudah bikin kami repot, apa lagi jika ditambah dengan kehadiran Mak!' " tutur Mak Idah sesekali terisak.


Karina beranjak dari tempat duduk, menghampiri dan memeluk tubuh ringkih itu. Di saat dirinya kadang menangis mengharapkan andai Mamanya masih hidup di Dunia ini dan dia masih punya kesempatan berbakti padanya. Namun, di lain sisi ada seorang anak, yang bahkan tak perduli dengan wanita yang sudah mengandung, melahirkan, dan membesarkannya.


Karina bisa merasakan kepedihan yang dirasakan oleh Mak Idah. Ketika kita begitu mencintai seseorang dan menumpukan semua harapan kita padanya. Namun, di kemudian hari, ternyata orang itu sama sekali tak seperti apa yang kita harapkan. Karina melepaskan Mak Idah dari pelukannya.


"Mak Idah yang sabar, ya, Allah tidak akan membiarkan Mak Idah sendiri di Dunia ini. Semoga anak dan menantu Mak Idah, segera mendapatkan hidayah dari Allah, ya, Mak!" Karina mencoba menguatkan Mak Idah, menularkan energi positif untuk beliau. Dengan harapan agar beliau tetap optimis menjalani hidup ke depannya. Mak Idah mengangguk dengan seulas senyum yang nyaris gagal di sudut bibirnya.


Hingga gemuruh suara anak-anak yang berlarian keluar dari kelasnya, menggema di seluruh penjuru bangunan TK. Karina melihat Ayub yang berlari dengan senyum lebar menampilkan barisan gigi-gigi kecilnya yang putih dan bersih.


"Ibu, Ayub mau lollypop yang bisa nyala!" pintanya begitu sampai di hadapan ibunya. Membuat Karina bingung, bagaimana rupa lollypop yang bisa menyala itu?


"Lollypop yang bisa nyala?" Karina mengulang kalimatnya barusan, "memang ada ya, Mak, lollypop yang bisa menyala?" tanyanya pada Mak Idah, penuh rasa ingin tahu.


"Ini, Nak, bukan lollypopnya yang bisa nyala, tapi pegangannya," ucapnya menerangkan, memperlihatkan lollypop yang di maksud oleh si kecil Ayub.


"Ough, yang ini!" seru Karina membolak-balik lollypop itu, mengamatinya secara intens. Seolah itu adalah sesuatu yang sangat langka.


"Ini harganya berapaan, Mak?"


"Seribu perak dua, Nak," terang Mak Idah.

"Ough, iya saya ambil empat ya, Mak!" pinta Karina.


Mak Idah memberikan empat buah lollypop, setelah Karina memberinya dua lembar uang ribuan.


"Ya, sudah Mak, kami pulang dulu!" pamit Karina meraih tangan kecil putranya dan berjalan dengan bergandeng tangan. Melewati gerbang sekolah, lalu berjalan ke arah selatan.


Melewati penjual siomay yang selalu mangkal di depan TK, tiap jam delapan sampai jam setengah sebelas siang. Karena agak siangan nanti, beliau akan lanjut berjualan ke arah utara. Beberapa kilo meter dari sini, ada Sekolah Menengah Umum.


Karina tau itu, karena dia pernah beberapa kali membeli siomay di situ. Rasanya sangat enak, apalagi bumbu kacangnya, kayak ada aroma-aroma jerut purut dan kencurnya. Setiap kali membeli siomay, Karina selalu banyak tanya, biar Mangnya tidak merasa grogi dilihatin meracik siomay.


"Siomay, Nak Ayub!" tawarnya.


"Enggak, Mang, Ayub lagi makan permen!" jawab si kecil dengan lugas.

                     ***


Karina duduk sambil bermain HP, setelah salat Zuhur dan makan siang bersama Ayub tadi. Sementara Ayub sudah tertidur, saat tengah asyik menonton serial kartun.

Karina membuka-buka beranda sosmednya. Tampak Raka yang mengupload foto dirinya, dengan berlatar suasana dalam restoran. Dia tersenyum manis menatap ke kamera. Penampilannya terlihat sangat berkelas, wajah serta gaya rambutnya semakin mempesona. Mungkin karena tuntutan propesinya sekarang sebagai pengusaha muda.


Karina menatapnya lekat, ada rindu yang hadir membuncah di dalam dadanya, apa lagi karena belakangan ini. Mereka jarang telponan, alasannya karena dia sibuk. Ketika malam pun masih sibuk memeriksa pemasukan hari itu dan uang modal yang akan diputar kembali besoknya. Memisahkan gaji karyawan dan yang lain-lainnya.


Ketika dia sudah selesai, itu sudah tengah malam, dia butuh istirahat dan tidur agar bisa cepat-cepat bangun esok hari buat mulai bekerja lagi.


'Kamu tunggu transferan saja, enggak usah banyak protes, ya. Kakak sangat sibuk ini!' begitulah ucapannya setiap kali Karina mengeluh karena masih ingin bicara padanya melepas rindu.


Karina hanya bisa bersabar, setidaknya ia bisa bersyukur. Karena aku tidak jadi penghalang suaminya untuk berbakti pada Orang tuanya. Meskipun pada akhirnya, hatinya yang harus merana. Kadang Karina harus kembali mengingat Mak Idah' yang harus sendirian di usia senjanya, pasti rasanya sangat sukar.


"Ya, Allah, berilah hidayah-Mu untuk anak dan menantu Mak Idah'. Aamiin ...." bisiknya sambil menengadahkan tangan ke atas.


Karina kembali menatap layar HP, menatap wajah tampan suaminya di sana. Dia mengetikkan komentar di foto itu.


[Makin ganteng saja, Rindu!] lalu beranjak ke belakang. Berayun-ayun tak jelas karena hati tengah dirundung jelaga, tak kuat menepis rindu.


Setetes air mata jatuh di pipinya, dia hanya merasa sedikit bingung. Bagaimana mungkin sosok yang dulu begitu mencintai dan tak pernah mau jauh darinya. Kini seolah begitu jauh ... bukan hanya raga, tapi jiwanya juga terasa semakin jauh.


'Betapa rindu ini setiap saat menabuh genderang perang di dalam sana ... tapi engkau tak kunjung berlabuh, basahi bumiku yang semakin gersang karena kemarau yang telah lama melanda ....' lirih batinnya.


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status