Share

Konspirasi Cinta Pertama
Konspirasi Cinta Pertama
Penulis: Faiqa Eiliyah

Perpisahan

"Sejauh apa pun cinta itu melangkah, jika ia masih digariskan untukmu. Maka ia akan kembali ke dalam pelukanmu"

Faiqa Eiliyah

Karina meremas tas yang tergantung di bahu dengan air mata yang masih bercucuran. Dia belum siap berpisah dari sang belahan jiwa. Dua minggu lalu Papa mertuanya menelepon. Meminta agar Raka Pratama Putra, suami Karina menyusul ke Surabaya. Mereka kewalahan mengurus Restoran keluarga yang tiba-tiba diburu peminat kuliner. Restoran elite yang mengusung berbagai makanan khas dari Sulawesi Selatan itu, ternyata memiliki peminat yang cukup banyak di sana. 

Omset dari penjualan sudah mencapai puluhan juta perbulan. Kehadiran Raka yang tak lain adalah putra pertama di keluarga mereka. Akan sangat membantu  menangani lonjakan pengunjung yang semakin hari semakin ramai. Sekalian sebagai peluang untuk Raka, agar bisa belajar usaha dan bisa mendirikan restorannya sendiri suatu hari nanti.

Saat pertama kali Papa mertua Karina mengutarakan hal itu, nampak wanita berkulit putih dengan iris mata yang hitam pekat itu tak bersemangat. Dia seperti susah untuk bernapas. Dia dan suaminya tak pernah terpisah jauh selama enam tahun usia pernikahan mereka.

 Semalam suntuk Karina menangis sambil memeluk suaminya. Ia begitu takut, kalau nanti Raka akan tergoda pada wanita Surabaya yang terkenal cantik-cantik, "Aku nggak mau jauh dari Kakak, aku nggak biasa jauh darimu." Kalimat itu terus-menerus dia ulang.

Hampir seminggu Raka membujuk agar Karina mau mengalah, tapi Karina masih saja belum siap melepas kekasih halalnya pergi jauh. Hingga Papa Pratama Rahardian sendirilah yang bicara langsung dan meminta izin pada Karina. Agar mengizinkan Raka menyusul ke Surabaya untuk membantu mengelola restoran keluarga. 

Dengan berat dan separuh hati, Karina mengalah. Melihat Raka melambaikan tangan di bandara sebelum berangkat, air mata Karina menganak sungai. Dadanya terasa sesak oleh rasa sakit,  terlebih saat buah hati mereka teriak-teriak minta ikut sang Ayah. 

Karina hanya mampu memeluk Ayub dan menghapus air mata yang tak henti mengalir deras. Dia tak mau putra kecilnya tahu, kalau dia sedang terpuruk saat ini.

"Dek, anaknya dibujuk, kasihan!" saran seorang Ibu yang lewat di sekitar mereka.

Karina menunduk menatap Ayub yang tiba-tiba selonjoran di lantai, menjerit-jerit memanggil Raka. Karina sangat mengerti bagaimana perasaan bocah itu. Dia sangat dekat dengan ayahnya.

 Kadang Karina merasa hanya sebuah wayang kulit yang lalu-lalang di sekitar mereka. Ketika mereka telah asyik main bersama. Kadang mereka tidak seperti anak dan ayahnya, tapi sepasang sahabat yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Karina jongkok memeluk Ayub, menyembunyikan putra kecilnya itu dalam dekapan.

'Bagaimana ibu bisa menguatkanmu, Sayang? Kalau saat ini, ibu sendiri juga tengah hancur,' bisik hati kecil Karina. 

Karina bangkit, membawa Ayub pergi dari sana. Kembali ke rumah dengan hati dan rasa yang patah. bukan hanya dia, Ayub putranya juga sedemikian patah. Karena perpisahan itu, yang tak pernah ada dalam agenda hidup mereka.

 Karina sedang rapuh sekarang, terlebih melihat buah hati yang juga terpuruk tanpa sosok sang Ayah. Usianya baru empat tahun, ia tengah menikmati masa-masa terbaik bersama sang Idola yaitu ayahnya.

Karina berjalan menuju taman belakang, menatap dari jauh ayunan tempat favorit mereka berdua. Meskipun ayunan di sana sudah beberapa kali berganti warna dan jenis, rasa kehangatan yang tercipta di atasnya tak pernah sedikit pun berubah. 

Karina menoleh menatap Ayub yang masih terisak di meja makan, "Ayub, lapar?" Karina mendekat, mencium pucuk kepala putranya lalu meraih bocah itu ke dalam pelukan.

"Makan, ya, Sayang! Sekarang Ayah sudah jauh, nggak bisa jagain ibu lagi. Satu-satunya pria di rumah ini yang akan menjaga kita adalah jagoan kecil ibu ini! Terus kalau jagoannya cengeng, siapa dong yang bakal hibur ibu kalau lagi sedih?" bujuk Karina berurai air mata. 

 Ayub mendongak menatap wajah Karina, saat air mata itu membasahi lengannya. Dengan sangat hati-hati, bocah itu naik berdiri di kursi dan menghapus air mata di wajah Karina, "Ayub akan jaga Ibu, Ibu jangan sedih lagi, ya!" bujuknya, membuat tangis Karina semakin menjadi. Meraih bocah kecil itu dan memeluknya erat.

"Baiklah mari kita makan!" ajak Karina kemudian, Ayub mengangguk dan mereka mulai makan dari satu piring yang sama. Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Seolah tengah sibuk dengan pikiran masing-masing.

                            ***

Karina terbangun saat ponsel yang berada tak jauh darinya berdering. Perlahan dia bangun, melepaskan pelukan Ayub di lengannya. Dia melihat dengan lesu nama yang tertera di sana.

"Hallo, Assalamualaikum, Kak?" sapanya dengan nada suara yang begitu lemah.

"Waalaikumussalaam, kakak cuma mau bilang, kalau kakak sudah sampai dengan selamat!" Lapor sang suami di seberang sana.

"Ough, Allhamdulillah!" balas Karina singkat, ia menelan saliva getir.

"Ayub ...?"

"Tidur!" Karina memotong kalimat yang akan diucapkan Raka.

"Kamu masih marah?" tanya Raka dengan nada lemah.

"Enggak, aku sama sekali nggak berhak marah!"

"Sayang," bujuk Raka dengan suara parau dan bergetar.

"Iya, istirahat saja, kamu pasti lelah. Habis perjalanan jauh, kan? Assalamualaikum!" Karina lalu mematikan panggilan itu serta menonaktifkan ponselnya. Dia lalu menangis, sampai lelah.

Karina kembali ke kamar, menatap wajah Ayub yang masih terpulas dengan damai. Seolah tak pernah terjadi apa-apa.

                              ***

Karina meninggalkan Ayub di depan TV setelah selesai makan malam. Kembali ke dapur bergelut dengan peralatan makan yang sudah mereka pakai tadi, sekalian dengan piring kotor tadi siang yang baru sempat dia bersihkan sekarang.

"Ibu, Ayub mau HP ...!" teriak Ayub mengingatkan Karina tentang HP yang tadi dia nonaktifkan.

"Di kamar, Sayang! Tunggu, ibu ambilkan, ya!" ucap Karina segera menyelesaikan pekerjaan yang dia tekuni. Mengatur piring-piring yang sudah bersih, melap tangan pada kain lap yang tergantung di sudut rak piring. 

Berlari keluar melewati Ayub yang tampak bosan memantengi TV dari usai salat Magrib tadi. Jelas dia bosan, kalau nonton sama ayahnya. Dia akan bermanja di pangkuan. Kadang ketika yang dilihatnya film robot atau ada adegan aksi, mereka berdua juga akan melakukan adegan aksi.

 Saling menyerang dan kadang jika sudah lelah Raka akan menangkap tubuh kecil putranya. Dari adegan aksi, beralih ke adegan saling menggelitiki atau apa saja yang bisa mereka lakukan. Hal yang kadang membuat Karina merasa, mereka lupa kalau ada dirinya di sana.

Karina mengaktivkan kembali HP-nya, melihat ada begitu banyak pesan dari Raka. Dia hanya melirik tanpa membuka atau membacanya, rasa kesal masih merajai hati yang tak pernah mau Raka pergi jauh.

Karina melangkah keluar dan meletakkan HP di samping TV, "Ini HP-nya!" Ayub mengangkat kepala menatap Karina, ada senyum menghias di sudut bibir kecil itu.

"Ayub mau main game!" pinta sang bocah yang Karina jawab dengan anggukan kepala dan senyum di bibir.

"Ibu mau salat Isya, Ayub nggak, takut, kan, di sini sendiri?" tanya Karina sambil tetap mengawasi dan menanti reaksi putra kecilnya.

 Sementara Ayub tersenyum dan menggangguk, "Ayub jagoan sekarang, harus jaga Ibu, jadi harus berani!" ucapnya dengan semangat.

"Makasih, jagoan!" ucap Karina jongkok dan mencium kedua belah pipi bocah manis itu. 

Karina masuk wudhu lalu salat isya, selesai salat dan berdoa. Dia membereskan peralatan salat sekalian merapikan dan mengatur tempat tidur. Dia ingin cepat tidur saja malam ini, mungkin karena ini pertama kalinya Raka pergi jauh. Rumah mereka yang selama ini selalu semarak, kini seperti kuburan. Sepi.

Mungkin suatu hari nanti kalau sudah terbiasa, semua akan normal kembali. Karina mempercepat langkah keluar ketika mendengar suara Ayub terisak di sela-sela bibirnya mengoceh. 

"Ayah jahat, Ayah pergi naik pesawat nggak ajak Ayub!" itu kalimat yang terdengar sama-samar oleh Karina.

Sampai di sana Karina tertegun, melihat putranya sedang bertelepon dengan sang Ayah. Karina duduk di sofa, melihat betapa pintar bocah itu berbicara dengan ayahnya di telepon. Selayaknya dua orang dewasa yang tengah menumpahkan isi hati masing-masing.

"Iya, sudah selesai, Ibu ada di belakang. Itu ...." ucap bocah itu menunjuk ke arah Karina, seolah ayahnya bisa melihat ke arah yang dia tunjuk, "iya, tunggu, ya!" ucapnya sambil membawa ponselnya ke pangkuan Karina.

"Ayah mau bicara sama Ibu!"

"Kalau ibunya nolak, boleh?" tanya Karina menanti reaksi putra kecilnya.

Ayub menggeleng dan mengambil kembali ponsel itu, naik ke sofa dan meletakkan di telinga Karina. Karina memeluk dan mencium putranya dengan gemas, "Iya, iya, ibu terima!"

"Halo, Assalamualaikum!" sapa Raka di ujung sana yang membuat rindu itu semakin membuncah.

"Waalaikumussalam!" jawab Karina lirih, "Hem ... ada apa?" 

"Sayang, kakak ke sini buat kerja. Akan tetapi, jika waktu yang kakak punya hanya habis buat memikirkan kemarahanmu, mending kakak pulang bukan?" ucap Raka, membuat Karina merasa bersalah. 

Mungkin Raka juga sebenarnya tidak mau jauh dari mereka. Mungkin Raka juga tersiksa dengan perpisahan ini. Karina menarik napas berat sebelum mengeluarkan kalimat selanjutnya, memikirkan kalimat yang seharusnya dia ucapkan sebagian seorang istri demi menyemangati suaminya, bukan malah membuatnya down seperti tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status