Share

Beratnya Merindu

Author: Faiqa Eiliyah
last update Last Updated: 2021-04-21 09:33:46

"Maafkan aku, Kak! Aku tak bisa jauh darimu. Rindu dan cemburu kadang bagai ribuan perih yang datang menyengat hatiku! Aku tak bisa tanpamu!" lirih Karina disertai tangis, akhirnya.

"Sayang ... percayalah! Kakak akan segera kembali, begitu suaminya Rani tak lagi melaut!" janjinya yang hanya membuat Karina semakin terisak.

"Ya, sudahlah! Mungkin ini takdir yang harus kita jalani bersama! Apa pun yang akan terjadi di depannya. Mungkin itulah takdir-Nya!" ucap Karina pasrah.

"Makasih, Sayang, sudah mau mengerti. Doakan kakak baik-baik di sini!" pinta Raka.

"Akan kulakukan tanpa kakak memintanya!"

"Ya, sudah. Tidurlah! Mana Ayub?"

"Dia sudah tidur," jawab Karina, sambil mengelus wajah Ayub yang terlelap dengan menjadikan pangkuannya bantal yang nyaman untuk meringkuk.

"Kakak juga mau istirahat, tidurlah!" pintanya sebelum memutuskan sambungan telepon dan menutupnya dengan salam.

"Waalaikumussalaam ...." jawab Karina meletakkan HP dengan tak bersemangat.

Karina membangunkan badan Ayub sedikit, lalu menggendongnya ke kamar. Menidurkannya hati-hati lalu beranjak keluar kamar, mengecek semua pintu dan jendela. Sebelum akhirnya dia pun rebah di samping tubuh mungil putranya.

Karina menatap langit-langit kamar yang sudah gelap. Karena lampu sudah dimatikannya, sebelum ia naik ke tempat tidur tadi. Pikiran Karina melayang ke mana-mana, takut kalau kisahnya akan berakhir tragis seperti novel-novel yang kerap ia baca. Suami selingkuh karena adanya waktu dan kesempatan, sementara sekarang ... waktu dan kesempatan itu terbuka sangat lebar untuk suaminya.

Sebutir, dua butir air mata menggelinding keluar dari tepian bola matanya, hingga mengalir deras seperti air keran yang diputar full. Hhhhhh, betapa beratnya rindu itu menyiksa. 

Lamunannya tersentak takkala Ayub mengigau menyebut kata 'Ayah!' dalam tidurnya. Karina yang tadi tidur telentang, menatap langit-langit kamar. Menoleh ke arah malaikat kecil itu, membelai lembut wajah damainya yang begitu tenang.

'Ah, ibu iri padamu, Sayang, andai saja ibu bisa tidur senyenyak dirimu saat ini. Ibu benar-benar sangat mengantuk, tapi, mata ini enggan diajak kompromi,' lirih batinnya yang nelangsa di dalam sana.

                              ***

"Rindu itu seperti sebuah penyakit langka yang tak punya penawar atau obat untuk menyembuhkannya. Kecuali hadirnya sebuah pertemuan"

Faiqa Eiliyah

"Kak, rinduku memanggilmu, jawablah dengan hadirmu!" lirih batin Karina, sambil meremas udara kosong dalam kepal tangannya pagi itu.

Dia mengantar Kaisan ke TK yang tak jauh dari rumah mereka, meninggalkannya di sana bersama Guru-nya untuk belajar. Karina sengaja tak menjaganya karena ia tak mau, putranya tumbuh jadi anak yang manja. Setelah mengantar Ayub ke TK, Karina akan kembali ke rumah dengan segala rutinitas hariannya sebagai seorang Ibu.

Tepat setelah semua pekerjaan rumah selesai, Karina akan kembali ke TK untuk menjemput putranya. Begitulah kegiatannya setiap hari, kecuali hari Minggu dan hari libur lainnya.

"Eh, Nak Karin, jemput putranya, ya?" sapa Mak Idah', penjaga kantin di TK Anugrah tempat Ayub sekolah.

Sambil sibuk melap meja kantin dan menata botol kecap, saus, dan sambal di atas meja.

"Iya, Mak, tumben hari ini lama. Biasanya dia sudah menunggu di sini sebelum saya tiba," jawab Karina melirik wajah Mak Idah.

"Oh, iya, Nak Karin, tadi pagi ada Dokter gigi. Hari ini sepertinya mereka sedang periksa gigi, jadi wajar kalau lama!" tuturnya menerangkan pada Karina yang memang tidak tau, kalau hari ini TK Ayub akan kedatangan Dokter gigi.

"Ough, gitu ya, Mak!" jawab Karina sambil berdiri dan mengintip ke dalam, tapi tak melihat apa pun karena semuanya tertutup tembok bangunan.

Karina terduduk dengan pandangan kosong ... sampai gemuruh suara anak-anak TK yang berhamburan keluar dari kelas membuyarkannya. Karina segera berdiri menatap ke arah ruangan belajar Ayub, menyapu tiap anak yang keluar dari sana dengan netranya. Sampai pandangannya tertumpu pada sosok kecil yang selalu dirindukannya, siapa lagi kalau bukan Ayub Raka Pratama. Putra semata wayangnya yang paling manis.

"Ibu ...!" panggilnya dengan lesu, seperti tak bertenaga sama sekali. Padahal tadi sebelum berangkat, Karina sudah memberinya sarapan roti gandum dan segelas susu coklat kesukaannya.

"Loh, jagoannya ibu kok, lemas, hem?" tanyanya sambil mendekap dan mencium pipi sang buah hati. Seketika Karina panik saat merasakan suhu tubuh Ayub yang sangat panas.

"Sayang, kamu demam?" tanyanya pada Ayub dengan ekspresi panik dan khawatir. Karina buru-buru menggendongnya dan meninggalkan area TK.

"Bu, Karin!" panggil seseorang yang membuat laju langkahnya tertahan. Ia menoleh ke arah sumber suara. Tampak di sana Bu Ningsih, Guru yang mengajar Ayub.

Karina tersenyum dan menunggunya yang dengan terengah, berjalan tergesa menghampiri.

"Iya, Bu, ada apa?" tanya Karina.

"Begini Bu, sepertinya Ayub kaget, Bu. Makanya tiba-tiba suhu badannya tinggi. Tadi begitu ada Dokter masuk ke kelas, wajahnya langsung pucat pasi. Mungkin berpikir kalau dia akan disuntik atau giginya akan dicabut! Padahal saya sudah jelaskan berkali-kali kalau gigi Ayub itu bersih dan sehat. Tidak seperti gigi teman-temannya yang lain, rusak karena kuat jajan coklat, permen, dan es crem!" tuturnya yang mungkin khawatir Karina marah.

"Mungkin memang saatnya demam, Bu," ucap Karina sambil tetap menggendong Ayub, "Ya, sudah, Bu Ningsih, aku harus pulang dan membawanya ke Klinik!" pamitnya pada Bu Ningsih dengan senyum tetap terulas di sudut bibir, meski di wajahnya telah dipenuhi oleh kecemasan yang berlebihan.

Karina menyetop angkot, begitu mereka tiba di jalan raya. Karina naik dengan menunduk, takut kepala Kaisan terantuk di bagian atas pintu angkot.

                              ***

Karina bergegas masuk klinik mengambil nomor antrian, lalu menunggu di kursi yang sudah disediakan. Memeluk Ayub yang suhu tubuhnya terasa semakin panas.

"Apa Ayub dingin?" tanyanya pada putranya yang dijawab dengan gelengan kepala, "Kepala Ayub, berat?" tanyanya sekali lagi.

"Iya," lirih Ayub, sambil semakin meringkuk memeluk perut Karina. Membuat naluri keibuannya terluka, sesak rasanya melihat buah hati terkasih terbaring lemah seperti itu. Wajahnya memerah karena suhu tubuhnya yang terus meningkat.

"Pasien Nomor antrian 102!" Panggil seorang Perawat di sudut pintu.

"Iya, Sus, itu kami!" jawabnya sambil menggendong putranya masuk menemui Dokter. 

Tampak seorang Dokter yang masih sangat muda, mungkin cuma selisih tipis dengan usianya. Sedang duduk santai di atas kursi kebesarannya, sembari menatap ke arah mereka berdua dengan tersenyum. Karina membalasnya dengan senyum dan duduk setelah ia dipersilahkan dengan isyarat tangan oleh sang Dokter.

"Putranya kenapa, Bu?" tanyanya dengan ramah.

"Tiba-tiba demam, Dok, padahal tadi pagi sebelum berangkat ke TK baik-baik saja!" adu Karina.

"Ough, iya, Bu, biasa penyakit memang begitu. Datang kadang tanpa permisi, tapi nggak mau pulang kalau nggak diusir," jawabnya dengan sedikit bercanda dan tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi. Membuatnya terlihat makin cantik.

Dia mulai memeriksa Ayub, memintanya membuka mulut lebar-lebar lalu menyorotkan cahaya senter kecil entah untuk melihat apa di dalam sana. Lalu mengecek kelopak mata dan denyut jantungnya juga.

"Ini resep obatnya, ya, Bu. Ibu bisa bawa ke apotik depan, ingat! Kalau obatnya habis dan panasnya tidak turun, Ibu ke sini lagi. Biar kita cek darah!" terangnya, "Ough iya, kasih minum air putih yang banyak, kalau di sekitar rumah ada jambu biji yang daging buahnya warna merah. Itu bagus diblender buat jus, biar trombositnya naik!" sarannya.

"Iya, Dok, makasih, Assalamu alaikum!" Karina beranjak meninggalkan ruangan yang catnya didominasi dengan warna putih dan hijau itu. Menuju apotik yang letaknya persis di depan ruangan tadi.

Karina menaruh resep obat tadi, di atas keranjang mini yang sudah disiapkan di atas meja depan apotiknya. Lalu kembali duduk di kursi khusus, yang disiapkan untuk pasien yang sedang menunggu obat.

"Anaknya demam juga ya, Kak?" tanya seorang wanita muda yang sudah mengantri lebih dulu di sana.

"Iya, tiba-tiba badannya panas pas saya mau jemput pulang dari TK. Padahal pagi tadi saat aku antar ke TK, masih sehat-sehat saja," terang Karina.

"Anaknya cewek apa cowok?" tanya Karina sembari menatap ke arah bayi yang ada dalam pangkuan wanita muda itu.

"Cewek Kak, usianya baru 11 bulan. Mungkin rindu sama papanya jadi panas!" jawabnya sambil tersenyum.

"Memang papanya ke mana?"

"Berlayar, ke Kalimantan, Kak!" jawabnya antusias, seolah ada kebanggaan tersendiri terpancar di matanya saat menyebutkan kata 'berlayar' tadi.

"Memang rindu bisa bikin panas?" tanya Karina mengingat pengakuan pertama gadis muda yang ada di depannya itu.

"Kata Kakek Neneknya, seh, gitu Kak," ucapnya dengan tersenyum malu.

"Jangan-jangan yang rindu bukan anaknya, tapi mamanya!" goda Karina yang sontak membuatnya terkikik geli.

"Ah, Kakak ini ada-ada saja!"

"Pasien atas nama Mutiara Khalisa Anwar!"

"Eh, duluan, ya Kak, itu nama Anak saya!" pamitnya. Karina hanya mengangguk dan tersenyum simpul.

"Pasien atas nama Ayub Raka Pratama!"

"Ya, saya, Sus!" jawab Karina seraya beranjak mengambil obatnya, "makasih!" ucapnya sebelum keluar meninggalkan klinik.

                           ***

Ayub sudah tertidur setelah makan dan minum obat. Karina melanjutkan pekerjaan yang tadi tertunda karena harus segera menjemput Ayub dan membawanya ke klinik. Di sela-sela rutinitasnya, tiba-tiba HP-nya berdering.

"Halo, Assalamu alaikum!" sapa Karina sembari berjalan menuju kamar.

"Waalaaikumussalaam, bagaimana kabar kalian!" jawab Raka di ujung sana yang membuat Karina tak bisa berkata-kata. Dia merasa begitu merindukan dan membutuhkan suaminya saat ini.

"Sayang, kenapa diam? Kalian baik-baik saja kan?" tanya suaminya dengan nada khawatir.

"I-iya ... a-anu ... itu ... Ayub tiba-tiba demam, tapi sudah kubawa ke klinik, tadi." Karina tergagap karena gugup.

"Jadi, bagaimana keadaannya sekarang?"

"Dia sudah tidur, usai minum obat."

"Kalau dia bangun nanti ... hubungi kakak lagi ya! Kakak harus kembali bekerja!" pamitnya.

"Iya," jawab Karina lemas karena merasa belum puas bicara dengannya.

Karina mengusap air mata yang tumpah, sembari menatapi HP di tangannya. Kembali ke dapur menyelesaikan kembali semua pekerjaan rumah, Salat Zuhur dan tidur, sambil terus menggenggam lembut tangan kecil yang sekarang menjadi tempatnya berpegang. 

Tempatnya membagi duka meski hanya dengan cara menyentuh ataupun memeluknya. Ternyata benar kata Dilan 'RINDU ITU BERAT.' Seberat rindu yang menggayuti jiwa dan hatinya saat ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Konspirasi Cinta Pertama   Kembali Pada Cinta Yang Halal

    Karina duduk di sisi taman menerawang jauh ke masa lalu, masa di mana ketika dia masih berjuang. Bergelut dengan kehidupan, mencari makna dan kemana arah langkah yang akan ditempuh.Tak jauh dari tempatnya duduk, Raka dan Ayub terus berlari memperebutkan bola ke sana ke mari seolah tak pernah lelah. Mereka tertawa lepas, seolah duka tak pernah singgah pada raut wajah itu.Wajah-wajah yang pernah disinggahi rindu yang sangat menyiksa. Mata yang pernah dibanjiri oleh air mata kekecewaan dan penyesalan. Itulah hidup, sejatinya tak ada yang mudah. Semua butuh pengorbanan, perjuangan, dan kesabaran.Tak ada seorang pun manusia yang dilahirkan, bisa memilih jalan dan akhir dari hidupnya sendiri. Karena takdir selalu melenggang mengikuti kehendak SANG Pencipta. Sedang manusia hanya bisa berusaha semampu, sebisa mereka. Karena pinish-nya tetap urusan Allah.Karina pernah begitu mencintai Adnan. Pernah

  • Konspirasi Cinta Pertama   Badai Akhirnya Usai

    Raka dan Ayub tengah tertidur dengan saling memeluk satu sama lain. Mereka begitu damai dalam lelap mereka. Seulas senyum merekah di sudut bibir Karina menatap kedua prianya.'Makasih Tuhan, telah membuka mataku untuk dapat melihat semua kebenarannya sebelum terlambat. Jika tidak, mungkin aku akan jadi manusia yang paling menyesal karena telah salah menilai Kak Raka.' bisik hati Karina. Dia menutup mata merafal syukur pada Sang Pemilik segala dalam hati.Ponsel-nyq berdering, tepat saat akan merebahkan tubuh di samping sang suami. Dia membatalkan niat untuk tidur dan segera beranjak menjauh dari kedua orang yang tengah terlelap itu. Takut suaranya akan mengganggu atau bahkan bisa membangunkan mereka.Dengan perlahan membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali begitu sudah berada di luar. Melangkah menuju halaman belakang dan menjawab panggilan yang sudah berdering dari tadi.Karina menjawab panggila

  • Konspirasi Cinta Pertama   Kembali Menata Hati

    Adnan yang saat itu kebetulan keluar rumah mematung takkala mendapati sosok Karina dari kejauhan. Wanita itu tengah berjalan santai bersama suami dan putranya yang tampan. Mereka perlahan menjauh meninggalkan pekarangan rumah.Sudut bibir Adnan tersungging saat mengingat reaksi kedua Suami-Istri itu, saat tadi dia menggoda mereka tentang Furqon. Adnan begitu menikmati sekelebat kecemburuan yang berkilat di mata Raka setiap kali dia dengan sengaja menggoda Karina."Karin, aku mengikhlaskan kau bahagia dengannya. Bukan karena di hatiku tak ada lagi cintamu, tapi karena aku ingin kau bahagia. Cukup sudah derita kau pikul, cukup beban duka menghimpitmu. Kini saatnya kau tersenyum dan bahagia," bisiknya.Adnan menutup pintu, kembali ke dalam. Semua barang-barang yang akan dia bawa besok, sudah terkemas rapi dalam ransel besar berwarna hitam yang tergeletak di sudut ruangan. Raka terlentang dengan tatapan kosong menerawang jau

  • Konspirasi Cinta Pertama   Nafas Cinta

    Setelah salat Isya, Karina dan Raka kembali ke ayunan di taman belakang, tempat favorit mereka sejak pertama kali mereka berdua menempati rumah itu. Mengulang kembali setiap detik indah yang sempat terenggut paksa oleh jarak dan situasi.Berkali-kali Raka mendekap erat Karina dengan penuh cinta, melepaskan semua kerinduan yang selama ini mengendap di dasar jiwanya. Sama seperti Karina yang tak bisa lepas lagi. Mereka kembali menikmati kebersamaan yang indah di atas ayunan yang menjadi sejarah indah awal mula cinta antara mereka tumbuh.Karina tak lagi segan membiarkan Raka tenggelam dalam kisah Karina tentang Surabaya dan semua yang dia alami di sana. Beberapa kali kilatan amarah terlihat di mata Raka ketika Karina sampai pada kisah tentang Nathan.Karina sangat lega. Lewat sudah duka yang selama ini memayungi rumah tangga mereka. Kini saatnya membuka lembaran baru, menata kembali semua yang sempat terserak di anta

  • Konspirasi Cinta Pertama   Ketegangan Raka Dan Adnan

    Air mata menetes satu persatu luruh menindih ketegaran seorang Karina yang memang berhati selembut kapas, dia menatap Adnan yang juga mulai berkaca. Pria itu pasti sangat menyesal ... telah menyakiti Nayra selama ini meski mungkin tanpa menyadarinya."Aku akan ke Surabaya menyusul Nayra, dia pasti terpuruk sendiri di rumah sebesar itu. Ibu baru saja meninggal dan aku satu-satunya orang yang seharusnya menguatkan, justru menjadi manusia yang paling menyakiti," ucap Adnan penuh penyesalan."Kau tidak salah, Ad. Bukankah selama ini kau tidak tahu dengan perasaan Nayra yang sebenarnya?" ucap Karina berusaha menguatkan Adnan, tak ingin melihat pria itu rapuh di saat-saat seperti ini."Aku telah jadi teman berbagi kepahitan dengannya, tapi aku bahkan tak bisa peka untuk menyadari. Kepahitan yang justru aku sendirilah penyebab dari itu semua." Adnan mulai meracau menyalahkan diri sendiri."Ad, kapan kau aka

  • Konspirasi Cinta Pertama   Konspirasi Nayra

    Sudah sebulan lebih sepasang suami istri itu dilanda perang dingin. Mereka hanya bicara satu sama lain ketika ada Ayub di tengah-tengah mereka atau saat ada orang luar yang datang bertamu.Seperti saat ini, mereka hanya diam dalam sekat ruang yang sama. Karina dengan novel tebal di tangan dan Raka dengan game di Hp-nya. Mereka laksana sepasang merpati terbang rendah yang tak saling menyapa.Suara ketukan dari arah pintu membuat Karina dan Raka yang tengah duduk berjauhan di ruang tamu seketika kompak menatap ke arah yang sama. Karina bangkit membuka pintu, untuk sejenak dia mencoba berdiskusi dengan akal sehatnya. Melihat Adnan berdiri mematung di ambang pintu membuat otak Karina bleng."Adnan, ka, kau ...?" tanya Karina dengan separuh nyawa yang tak lagi menetap.Wanita yang kini tengah mengenakan hijab hijau lemon itu panik bukan main, dia bisa mati berdiri kalau kedua pria ini bertemu. Raka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status