Share

Beratnya Merindu

"Maafkan aku, Kak! Aku tak bisa jauh darimu. Rindu dan cemburu kadang bagai ribuan perih yang datang menyengat hatiku! Aku tak bisa tanpamu!" lirih Karina disertai tangis, akhirnya.

"Sayang ... percayalah! Kakak akan segera kembali, begitu suaminya Rani tak lagi melaut!" janjinya yang hanya membuat Karina semakin terisak.

"Ya, sudahlah! Mungkin ini takdir yang harus kita jalani bersama! Apa pun yang akan terjadi di depannya. Mungkin itulah takdir-Nya!" ucap Karina pasrah.

"Makasih, Sayang, sudah mau mengerti. Doakan kakak baik-baik di sini!" pinta Raka.

"Akan kulakukan tanpa kakak memintanya!"

"Ya, sudah. Tidurlah! Mana Ayub?"

"Dia sudah tidur," jawab Karina, sambil mengelus wajah Ayub yang terlelap dengan menjadikan pangkuannya bantal yang nyaman untuk meringkuk.

"Kakak juga mau istirahat, tidurlah!" pintanya sebelum memutuskan sambungan telepon dan menutupnya dengan salam.

"Waalaikumussalaam ...." jawab Karina meletakkan HP dengan tak bersemangat.

Karina membangunkan badan Ayub sedikit, lalu menggendongnya ke kamar. Menidurkannya hati-hati lalu beranjak keluar kamar, mengecek semua pintu dan jendela. Sebelum akhirnya dia pun rebah di samping tubuh mungil putranya.

Karina menatap langit-langit kamar yang sudah gelap. Karena lampu sudah dimatikannya, sebelum ia naik ke tempat tidur tadi. Pikiran Karina melayang ke mana-mana, takut kalau kisahnya akan berakhir tragis seperti novel-novel yang kerap ia baca. Suami selingkuh karena adanya waktu dan kesempatan, sementara sekarang ... waktu dan kesempatan itu terbuka sangat lebar untuk suaminya.

Sebutir, dua butir air mata menggelinding keluar dari tepian bola matanya, hingga mengalir deras seperti air keran yang diputar full. Hhhhhh, betapa beratnya rindu itu menyiksa. 

Lamunannya tersentak takkala Ayub mengigau menyebut kata 'Ayah!' dalam tidurnya. Karina yang tadi tidur telentang, menatap langit-langit kamar. Menoleh ke arah malaikat kecil itu, membelai lembut wajah damainya yang begitu tenang.

'Ah, ibu iri padamu, Sayang, andai saja ibu bisa tidur senyenyak dirimu saat ini. Ibu benar-benar sangat mengantuk, tapi, mata ini enggan diajak kompromi,' lirih batinnya yang nelangsa di dalam sana.

                              ***

"Rindu itu seperti sebuah penyakit langka yang tak punya penawar atau obat untuk menyembuhkannya. Kecuali hadirnya sebuah pertemuan"

Faiqa Eiliyah

"Kak, rinduku memanggilmu, jawablah dengan hadirmu!" lirih batin Karina, sambil meremas udara kosong dalam kepal tangannya pagi itu.

Dia mengantar Kaisan ke TK yang tak jauh dari rumah mereka, meninggalkannya di sana bersama Guru-nya untuk belajar. Karina sengaja tak menjaganya karena ia tak mau, putranya tumbuh jadi anak yang manja. Setelah mengantar Ayub ke TK, Karina akan kembali ke rumah dengan segala rutinitas hariannya sebagai seorang Ibu.

Tepat setelah semua pekerjaan rumah selesai, Karina akan kembali ke TK untuk menjemput putranya. Begitulah kegiatannya setiap hari, kecuali hari Minggu dan hari libur lainnya.

"Eh, Nak Karin, jemput putranya, ya?" sapa Mak Idah', penjaga kantin di TK Anugrah tempat Ayub sekolah.

Sambil sibuk melap meja kantin dan menata botol kecap, saus, dan sambal di atas meja.

"Iya, Mak, tumben hari ini lama. Biasanya dia sudah menunggu di sini sebelum saya tiba," jawab Karina melirik wajah Mak Idah.

"Oh, iya, Nak Karin, tadi pagi ada Dokter gigi. Hari ini sepertinya mereka sedang periksa gigi, jadi wajar kalau lama!" tuturnya menerangkan pada Karina yang memang tidak tau, kalau hari ini TK Ayub akan kedatangan Dokter gigi.

"Ough, gitu ya, Mak!" jawab Karina sambil berdiri dan mengintip ke dalam, tapi tak melihat apa pun karena semuanya tertutup tembok bangunan.

Karina terduduk dengan pandangan kosong ... sampai gemuruh suara anak-anak TK yang berhamburan keluar dari kelas membuyarkannya. Karina segera berdiri menatap ke arah ruangan belajar Ayub, menyapu tiap anak yang keluar dari sana dengan netranya. Sampai pandangannya tertumpu pada sosok kecil yang selalu dirindukannya, siapa lagi kalau bukan Ayub Raka Pratama. Putra semata wayangnya yang paling manis.

"Ibu ...!" panggilnya dengan lesu, seperti tak bertenaga sama sekali. Padahal tadi sebelum berangkat, Karina sudah memberinya sarapan roti gandum dan segelas susu coklat kesukaannya.

"Loh, jagoannya ibu kok, lemas, hem?" tanyanya sambil mendekap dan mencium pipi sang buah hati. Seketika Karina panik saat merasakan suhu tubuh Ayub yang sangat panas.

"Sayang, kamu demam?" tanyanya pada Ayub dengan ekspresi panik dan khawatir. Karina buru-buru menggendongnya dan meninggalkan area TK.

"Bu, Karin!" panggil seseorang yang membuat laju langkahnya tertahan. Ia menoleh ke arah sumber suara. Tampak di sana Bu Ningsih, Guru yang mengajar Ayub.

Karina tersenyum dan menunggunya yang dengan terengah, berjalan tergesa menghampiri.

"Iya, Bu, ada apa?" tanya Karina.

"Begini Bu, sepertinya Ayub kaget, Bu. Makanya tiba-tiba suhu badannya tinggi. Tadi begitu ada Dokter masuk ke kelas, wajahnya langsung pucat pasi. Mungkin berpikir kalau dia akan disuntik atau giginya akan dicabut! Padahal saya sudah jelaskan berkali-kali kalau gigi Ayub itu bersih dan sehat. Tidak seperti gigi teman-temannya yang lain, rusak karena kuat jajan coklat, permen, dan es crem!" tuturnya yang mungkin khawatir Karina marah.

"Mungkin memang saatnya demam, Bu," ucap Karina sambil tetap menggendong Ayub, "Ya, sudah, Bu Ningsih, aku harus pulang dan membawanya ke Klinik!" pamitnya pada Bu Ningsih dengan senyum tetap terulas di sudut bibir, meski di wajahnya telah dipenuhi oleh kecemasan yang berlebihan.

Karina menyetop angkot, begitu mereka tiba di jalan raya. Karina naik dengan menunduk, takut kepala Kaisan terantuk di bagian atas pintu angkot.

                              ***

Karina bergegas masuk klinik mengambil nomor antrian, lalu menunggu di kursi yang sudah disediakan. Memeluk Ayub yang suhu tubuhnya terasa semakin panas.

"Apa Ayub dingin?" tanyanya pada putranya yang dijawab dengan gelengan kepala, "Kepala Ayub, berat?" tanyanya sekali lagi.

"Iya," lirih Ayub, sambil semakin meringkuk memeluk perut Karina. Membuat naluri keibuannya terluka, sesak rasanya melihat buah hati terkasih terbaring lemah seperti itu. Wajahnya memerah karena suhu tubuhnya yang terus meningkat.

"Pasien Nomor antrian 102!" Panggil seorang Perawat di sudut pintu.

"Iya, Sus, itu kami!" jawabnya sambil menggendong putranya masuk menemui Dokter. 

Tampak seorang Dokter yang masih sangat muda, mungkin cuma selisih tipis dengan usianya. Sedang duduk santai di atas kursi kebesarannya, sembari menatap ke arah mereka berdua dengan tersenyum. Karina membalasnya dengan senyum dan duduk setelah ia dipersilahkan dengan isyarat tangan oleh sang Dokter.

"Putranya kenapa, Bu?" tanyanya dengan ramah.

"Tiba-tiba demam, Dok, padahal tadi pagi sebelum berangkat ke TK baik-baik saja!" adu Karina.

"Ough, iya, Bu, biasa penyakit memang begitu. Datang kadang tanpa permisi, tapi nggak mau pulang kalau nggak diusir," jawabnya dengan sedikit bercanda dan tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi. Membuatnya terlihat makin cantik.

Dia mulai memeriksa Ayub, memintanya membuka mulut lebar-lebar lalu menyorotkan cahaya senter kecil entah untuk melihat apa di dalam sana. Lalu mengecek kelopak mata dan denyut jantungnya juga.

"Ini resep obatnya, ya, Bu. Ibu bisa bawa ke apotik depan, ingat! Kalau obatnya habis dan panasnya tidak turun, Ibu ke sini lagi. Biar kita cek darah!" terangnya, "Ough iya, kasih minum air putih yang banyak, kalau di sekitar rumah ada jambu biji yang daging buahnya warna merah. Itu bagus diblender buat jus, biar trombositnya naik!" sarannya.

"Iya, Dok, makasih, Assalamu alaikum!" Karina beranjak meninggalkan ruangan yang catnya didominasi dengan warna putih dan hijau itu. Menuju apotik yang letaknya persis di depan ruangan tadi.

Karina menaruh resep obat tadi, di atas keranjang mini yang sudah disiapkan di atas meja depan apotiknya. Lalu kembali duduk di kursi khusus, yang disiapkan untuk pasien yang sedang menunggu obat.

"Anaknya demam juga ya, Kak?" tanya seorang wanita muda yang sudah mengantri lebih dulu di sana.

"Iya, tiba-tiba badannya panas pas saya mau jemput pulang dari TK. Padahal pagi tadi saat aku antar ke TK, masih sehat-sehat saja," terang Karina.

"Anaknya cewek apa cowok?" tanya Karina sembari menatap ke arah bayi yang ada dalam pangkuan wanita muda itu.

"Cewek Kak, usianya baru 11 bulan. Mungkin rindu sama papanya jadi panas!" jawabnya sambil tersenyum.

"Memang papanya ke mana?"

"Berlayar, ke Kalimantan, Kak!" jawabnya antusias, seolah ada kebanggaan tersendiri terpancar di matanya saat menyebutkan kata 'berlayar' tadi.

"Memang rindu bisa bikin panas?" tanya Karina mengingat pengakuan pertama gadis muda yang ada di depannya itu.

"Kata Kakek Neneknya, seh, gitu Kak," ucapnya dengan tersenyum malu.

"Jangan-jangan yang rindu bukan anaknya, tapi mamanya!" goda Karina yang sontak membuatnya terkikik geli.

"Ah, Kakak ini ada-ada saja!"

"Pasien atas nama Mutiara Khalisa Anwar!"

"Eh, duluan, ya Kak, itu nama Anak saya!" pamitnya. Karina hanya mengangguk dan tersenyum simpul.

"Pasien atas nama Ayub Raka Pratama!"

"Ya, saya, Sus!" jawab Karina seraya beranjak mengambil obatnya, "makasih!" ucapnya sebelum keluar meninggalkan klinik.

                           ***

Ayub sudah tertidur setelah makan dan minum obat. Karina melanjutkan pekerjaan yang tadi tertunda karena harus segera menjemput Ayub dan membawanya ke klinik. Di sela-sela rutinitasnya, tiba-tiba HP-nya berdering.

"Halo, Assalamu alaikum!" sapa Karina sembari berjalan menuju kamar.

"Waalaaikumussalaam, bagaimana kabar kalian!" jawab Raka di ujung sana yang membuat Karina tak bisa berkata-kata. Dia merasa begitu merindukan dan membutuhkan suaminya saat ini.

"Sayang, kenapa diam? Kalian baik-baik saja kan?" tanya suaminya dengan nada khawatir.

"I-iya ... a-anu ... itu ... Ayub tiba-tiba demam, tapi sudah kubawa ke klinik, tadi." Karina tergagap karena gugup.

"Jadi, bagaimana keadaannya sekarang?"

"Dia sudah tidur, usai minum obat."

"Kalau dia bangun nanti ... hubungi kakak lagi ya! Kakak harus kembali bekerja!" pamitnya.

"Iya," jawab Karina lemas karena merasa belum puas bicara dengannya.

Karina mengusap air mata yang tumpah, sembari menatapi HP di tangannya. Kembali ke dapur menyelesaikan kembali semua pekerjaan rumah, Salat Zuhur dan tidur, sambil terus menggenggam lembut tangan kecil yang sekarang menjadi tempatnya berpegang. 

Tempatnya membagi duka meski hanya dengan cara menyentuh ataupun memeluknya. Ternyata benar kata Dilan 'RINDU ITU BERAT.' Seberat rindu yang menggayuti jiwa dan hatinya saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status