Suara teriakan semakin membahana. Pesawat bergerak liar seperti roller-coaster. Beberapa tas jatuh dari dalam bagasi atas yang terbuka sendiri. Alat bantu pernapasan keluar secara otomatis dari bawah bagasi.
"Aira!" teriak Kai secara insting berusaha berdiri dikala yang lain duduk berusaha memakai sabuk pengaman. Dia berhasil berdiri memegang sandaran kursi Bayu dan penumpang di depan.
Tiba-tiba guncangan berhenti. Lampu yang berkedip liar menyala redup. Penumpang berterima kasih pada Tuhan dengan penuh kelegaan. Suara ping terdengar dan pemberitahuan jika tadi mereka memasuki awan badai memberi petunjuk alasan terjadi insiden tadi.
Aira dan Bayu melepas pelukan mereka, saling mendorong dan mengusap badan, membuat Kai tersenyum kecil.
Karena suara Kai pula Aira dan Bayu sadar jika pemuda itu berdiri di sebelah mereka. Keduanya memandang bingung, membuat situasi canggung.
"Kenapa Kai?" tanya Bayu.
Kai menggaruk kepala
Aira merengek, "Aku ingin melihat bintang. Katanya tengah malam bakal banyak bintang di angkasa." "Pokoknya lo tidur, istirahat. Masih banyak waktu untuk itu." "Siapa yang tahu berapa sisa waktu kita di bumi. Siapa tahu nanti mati." "Gue menyuruh lo istirahat karena gue sayang lo, ngerti?" Aira menggeleng dengan polos memandang balik tanpa dosa. Bayu menghela napas berat, satu tangan melingkar ke leher Aira. Keduanya melangkah pelan menuju kabin. Di dekat pintu kabin terdapat pohon Pine besar dengan dedaunan lebat. Tepat di bawah pohon tumbuh beberapa tanaman liar. Mata Bayu cukup tajam menangkap sesuatu di bawah pohon. Ia pergi ke sana mengambil sekuncup bunga liar kecil warna kuning nan indah. Dia menghampiri Aira, menaruh tangkai bunga ke belakang telinga, hingga mahkota bunga menghias bagian atas telinga Aira. Sontak dada Aira berdebar-debar. Dia terdiam, tertunduk memandang ujung sepatu bot hitam yang dia kenakan. Pe
Keduanya jatuh dengan selamat di tumpukan salju putih empuk. Aira dan Bayu sehat tanpa luka. Mereka saling menghardik menyalahkan lalu Aira melompat-lompat seperti orang sedang senam pagi, bertepuk tangan di atas kepala ke arah kereta gantung. "Tolong! Kami di bawah sini, tolong--" "Jangan teriak-teriak, bego!" teriak Bayu, menarik lengan Aira. "Nanti kalau salju longsor, kita bisa mati tertimbun!" "Sendirinya teriak gitu." Aira kembali melompat-lompat berteriak, hingga sedikit membungkuk memegang punggung. "Aduh, pinggangku aduh aduh, sakit." "Mampus, kena batunya loncat-loncat. Ini semua gara-gara lo maruk masalah duit!" Keluh Bayu, membantu Aira berdiri. "Lah kan kamu juga yang salah, tidak memberi tahu kontrak satu milyar, mana tidak mau 50-50." "Udah deh, tidak usah bertengkar. Kita di mana?" tanya Bayu memandang sekitar. Langit tertutup kabut tebal seputih busa sabun. Salju tipis turun dari langit menambah tebal tumpukan
Sementara itu di Indonesia. Tepat sehari setelah insiden ijab kobul, Cecil duduk di sofa empuk seperti seonggok daging tanpa semangat. Dia bersandar sambil memandang layar HP di tangannya. Raut wajah gadis itu cemberut membaca komentar yang masuk ke dalam IG. [Cewek apaan sih, pansos banget. Tidak diundang datang mengacau ke pesta orang. Tidak lucu! Syukur Bayu tidak jadi menikah sama model beginian. Kalau sampai, waduh, bisa jatuh pamor.] [Pantas Bayu ogah menikah sama kamu, sikapmu seperti Mak Lampir kehilangan otak. Sana, belajar lagi cara pansos yang baik dan benar.] [Kasihan ya, sampai segitunya. Belum menikah saja dulu sudah koar-koar ingin keliling dunia. Eh, sekarang tidak jadi menikah, malah jadi gila. Kasihan kamu. Operasi otak sana, biar waras.] "Bagaimana, sudah bisa menghubungi Bayu?" tanya wanita tambun berkaca mata yang duduk di kursi putar di belakang meja kerja. Alih alih menjawab, Cecil bangkit melempar HP ke dinding. "
Sementara itu di puncak tempat wisata ski. Ana dan yang lain tiba dengan selamat. Gadis itu masuk mengikuti Kai dan beberapa kru yang terlebih dahulu masuk ke sebuah gedung berdinding bahan kayu. Ana melepas jaket tebalnya. Udara di kabin luas penuh pengunjung lumayan hangat. Dalam ruang berdinding kayu suara Kai mendominasi. Ana menyerobot, bergerak dalam keramaian pengunjung menuju lokasi sumber suara. Di sana dia mendapati Kai dan beberapa orang kru bergerombol di depan meja resepsionis. Keberadaan mereka mengundang beberapa pengunjung untuk berbisik-bisik mengomentari. "Tolong, kalian harus menolong Aira! Gadis itu sedang sakit dan sekarang terjatuh di jalur kereta gantung!" ujar Kai memakai bahasa Inggris fasih dengan nada tinggi seperti orang berteriak. "Kalian harus segera mengirim tim pencari ke sana. Kalau perlu pakai helikopter! Aku tak peduli berapa harga yang harus aku bayar, pokoknya kalian harus--" "Tuan tenang saja, kami sudah men
Aira mempersenjatai diri memakai gagang sapu tua lapuk. Dengan mengayun senjata di tangan, dia berhasil membuat hewan-hewan sial itu menjauh. Membuat mereka menjaga jarak dari Bayu. "Ayo maju kalian dasar hewan-hewan kurang ajar! Sini, kenalan sama Mbak Aira!" Sepertinya hewan-hewan itu kurang suka terhadap Aira. Mereka menggeram kencang. Seekor serigala berhasil menggigit ujung gagang sapu hingga membuat Aira panik menarik-narik benda itu. "Wah Bayu! Tolong!" "Katanya mau kenalan tadi," ujar Bayu sembari berusaha membuka pintu yang terkunci. "Bayu, cepat sedikit! Aku tidak bisa menahan hewan-hewan ini lebih lama lagi!" "Sabar! Ini juga usaha!" "Cepat sedikit Bayu!" Aira berteriak histeris ketika seekor serigala menggigit kakinya. Beruntung untung celana yang dia pakai cukup tebal sehingga gigi taring itu tidak terlalu menusuk kulit. Wajah Bayu meringis menahan sakit di mata kaki. Dia berusaha membuka pintu yang seperti
Setelah keluar dari area aman, Kai menoleh ke kiri dan kanan mencoba mencari petunjuk. Dia tidak tahu harus memilih jalan yang mana untuk memulai mencari Aira. Beruntung sebuah mobil mendekatinya. Segera dia membuka kacamata ski, melambai hingga mobil itu berhenti. Kai bertanya kepada pengendara memakai bahasa Inggris. "Permisi Tuan, apa Anda tahu tentang kejadian jatuhnya wisatawan dari kereta gantung?" "Ya, ya, aku mendengar kejadian itu melalui radio," ujar pengendara. Gadis di kursi sebelah bicara. "Oh, jadi karena itu banyak polisi berkumpul di sana?" "Ya, di sana mungkin letak kejadian perkara," jawab pengemudi mobil. "Di mana letak para polisi itu berada?" tanya Kai. "Permisi Nona, bisa beri tahu di mana mereka berkumpul?" Pengemudi mobil menunjuk ke arah tebing Matterhorn yang menjulang tinggi di atas pegunungan. "Ikuti jalur ini Nak. Lalu ketika bertemu jalan buntu belok ke kanan. Lurus saja, ikuti jalan raya N0.39 nanti kamu
Pintu terbuka lebar. Udara dingin berembus menerpa kulit juga membuat api mati. Butiran salju tertiup masuk seperti ombak kecil di pantai menghias lantai kayu. Sosok besar berdiri di depan pintu menebar teror, membuat suara teriakan Aira dan Bayu semakin kencang tanpa koma atau titik. Sosok itu bicara memakai bahasa aneh. Aira semakin erat memeluk Bayu. "Jangan mendekat! Astagfirullah! Setan! Bayu, kamu hapal surat kursi?" "Mana hafal!" "Mampus, kita bakal diculik gendruwo!" "Allahuakbar!" teriak Bayu, matanya melotot seperti hendak keluar. "Do you speak English?" tanya makhluk itu, membuat teriakan Aira dan Bayu sontak terhenti. "Mungkin mereka orang Arab," ujar sosok yang menunggu di depan, berucap memakai bahasa Inggris. Cahaya terang senter menyorot wajah Aira dan Bayu, membuat keduanya menyipit karena silau. "Mereka hanya sepasang muda-mudi, Josh." Perlahan mata mereka mulai terb
Kedua pemuda bertukar pandang dingin seakan ingin saling menerkam. Mereka tidak mau mengalah, hingga Lukman dan Kevin memisahkan mereka. Kevin berkata, "Kai, cukup. Bayu sendiri juga cidera, lihat kakinya." Tongkat membantu Bayu berdiri tegak. Kakinya keseleo. Terdapat kantung panda di bawah mata tanda jika dia lelah. Kai melepas cengkeraman pada jaket Bayu. "Maaf. Aku khawatir pada kalian berdua. Mana Aira?" Dengan memakai bahasa Inggris Bayu meminta tolong Nenek untuk mengantar Kai menuju rumah. Ana memutuskan ikut Kai, sementara Bayu dan yang lain pergi menuju pub. Sesekali cahaya kuning keemas-emasan dari lampu penerangan menyinari trotoar berselimut salju. Udara dingin semakin terasa ketika mereka semakin jauh dari pub. "Banyak rumah kosong, ya?" tanya Ana sembari memandang banyak gedung gelap di sekitar mereka. Nenek tertawa kecil. Beliau menceritakan kepada Kai dan Ana apa yang dia ceritakan