Rencana pernikahan tersebar luas di dunia maya. Bahkan sering muncul di TV, iklan tentang acara keluarga Bayu. Aira menjadi buah bibir di tempatnya nge-kost.
"Wah, bakal jadi istri orang kaya nih, uang kontraknya dinaikkan tidak, ya?" goda induk semang, seorang wanita tua ramah berbadan gendut.
"Jangan Bi," sahut Aira tertawa kecil memberi amplop berisi uang untuk Bibi. "Satu tahun lagi saya akan kembali. Ini uang sewa saya untuk dua tahun ke depan, sekalian ada uang hadiah untuk Bibi, permisi."
Bibi bingung dengan tutur kata Aira, dia bengong seperti kodok melihat hujan.
Beberapa hari berlalu. Hari pernikahan Aira dan Bayu tiba. Acara diadakan dalam ballroom luas hotel bintang lima di kawasan kota Surabaya. Tentu ini hari super spesial bagi Aira juga Bayu.
Sekarang Mei dan Diah menemani Aira di ruang dandan.
"Tidak sangka, dulu kalian saling benci," ujar Diah. "Eh, sekarang malah nikah."
Mei mewakili Aira untuk menjawab, "Sengaja mereka settingan."
Kalimat settingan membuat Aira menoleh. Ingin dia meremas mulut Mei, tapi tidak bisa. Dia paham Mei hanya bercanda dan lagi Aira sedang dirias, mana bisa bergerak.
Diah dan Mei mengobrol panjang membahas masalah Bayu dan Aira di kampus. Keduanya mengenang bagaimana kejadian tampar satu dan dua. Setelah puas tertawa, Diah memilih pergi untuk melihat situasi di ballroom.
Mei menoleh ke kursi Rias. "Ra, Om sudah kamu kasih tahu belum tentang hari pernikahan, kok tidak kelihatan." Maksud dengan om, adalah bapak Aira.
"Belum, kenapa?"
"Kamu bercanda, kan?"
Aira tak menjawab, fokus memandang cermin rias.
"Eh, jadi serius belum tahu?" Mei melotot menarik turun Kacamata memandang Aira. "Ih, jawab dong."
Aira mengangguk, tak bisa bicara karena takut merusak make-up.
"Ya ampun Aira, ini pernikahan kamu, bagaimana mungkin tidak memberi tahu Om? Nanti bagaimana kalau beliau tahu? Bisa marah besar, loh!"
Setelah mendapat kode anggukan dari ahli rias, barulah Aira berbalik badan memandang Mei. Ia menjawab, "Aku tahu ini tidak benar, tapi ...."
"Tapi?"
"Takut."
"Takut? Takut kenapa?"
"Banyak hal. Bapak sedang dinas di tempat konflik. Nanti kalau pikiran tidak fokus ke pekerjaan, bagaimana? Lagipula kalau beliau sampai tahu aku menikah karena--" Aira sadar jika banyak ahli rias di sekitar, ia enggan bicara tentang kawin kontrak. "Pasti bapak bakal marah."
"Ya tetap saja harusnya beri tahu."
Mei menghampiri Aira, mengagumi gaun kebaya warna putih gold dengan motif bunga yang sahabatnya itu pakai. Gaun begitu indah, di bagian pundak dan dada atas sedikit tembus pandang, tapi tertutup oleh kerudung satin putih gading nan lembut.
"Kamu cantik Aira. Aku tidak sangka, cewek tomboy, barbar, burik sepertimu bisa jadi seperti ini."
"Banyak bacot."
Mei cekikikan karena reaksi Aira. "Sekali tomboy tetap saja tomboy. Aira, malam ini jadwalnya ijab kobul, kan?"
"Ho o, langsung pesta. Besok bulan madu. Kenapa? Mau ikut?"
"Yang jadi wakilmu, siapa?"
Pundak Aira naik turun. "Entah. Wali Hakim kali."
Mei menghela napas. "Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, masak Wali Hakim."
"Ya keluargaku cuma bapak, Mei. Yang lain jauh banget." Nada bicara Aira terdengar pilu.
Keluarga Ibu menyalahkan bapak atas kematian Ibu dan menjauh. Bapak sendiri anak yatim piatu. Memikirkan itu mata Aira berkaca-kaca. Sekarang dia tega tidak memberi tahu beliau akan pernikahan ini.
Mei merangkul dari belakang. "Maaf, omonganku tidak peka. Dah jangan menangis, nanti make-up-mu luntur."
"Santai saja, ini cuma kelilipan, kok."
"Tidak usah sedih. Pakai Wali Hakim juga tidak salah." Mei berbisik, "Kan cuma kontrak."
Kalimat kontrak membuat Aira sadar jika pernikahan ini palsu, bukan pernikahan sakral. Dengan beranggapan begitu ia mencoba membuat tenang hati, mengusir risau yang semakin merebak.
Setelah selesai dirias, Aira dan Mei menuju ballroom hotel, tempat ijab kobul akan dilaksanakan. Mereka berhenti di depan pintu besar putih. Aira berdebar-debar. Walau ini hanya pernikahan kontrak tapi apa yang menanti di balik pintu?
Mei menggenggam telapak tangan Aira. "Jangan takut. Kalau ada apa-apa salahkan Bayu seperti biasa."
"Tumben."
"Antara idola dan sahabat, aku memilih sahabat. Nanti bulan madu aku ikut, ya."
"Dasar modus."
"Ra. Misal nanti Bapakmu datang, terus bilang tidak sah, gitu gimana?"
"Tidak mungkin, bapak di Timur Tengah mana bisa--"
"Youtube mah tidak kenal wilayah, selama masih di bumi--bercanda Ra, duh, gitu aja dipikirkan."
Aira cemberut memandang wajah cerah Mei. Mendengar suara cekikikan seperti ringkik kuda membuat tambah geram sampai meremas tangan. "Tidak lucu."
"Biar, we."
Dari balik pintu terdengar nama mempelai wanita dipanggil. Kode telah diberi dan dua pengawal membuka pintu secara perlahan serempak.
Sontak cahaya terang menyilaukan membuat mata Aira menutup sejenak. Semakin biasa mata dengan cahaya. Dia menuju panggung, menemui calon suami.
Aira gagal berkedip memandang Bayu berbeda dari yang biasa dilihat. Rambut disisir ke belakang membuatnya lebih tampan. Ia memakai setelan jas putih, penampilan itu membuatnya terlihat gagah. Bayu sendiri tak berkedip memandang Aira.
"Ra, sepertinya dia bakal memperpanjang kontrak jadi seumur hidup, deh," goda Mei.
"Berisik." Beda di ucapan beda dalam hati. Aira tersenyum kecil.
Tiba-tiba suara piring pecah membuat Aira dan beberapa pengunjung menoleh.
" Kai?" gumam Aira. Ia hendak ke sana, tapi teringat posisinya tak memungkinkan.
Kai memandang balik sejenak, lalu merapikan serpihan piring dibantu Kevin dan pelayan. Raut wajahnya murung, membuat Aira bingung.
"Apa mungkin dia menyukai diriku, terus cemburu?" gumam Aira.
"Bicara sama siapa, sih?" tanya Mei, tak mendapat jawab dari Aira. Mereka lanjut melangkah menuju tujuan.
Di atas panggung Bayu membantu Aira menaiki anak tangga terakhir dengan mengulurkan tangan. Begitu gentle perlakuan Bayu mengecup punggung tangan Aira.
"Lo cantik banget."
Keduanya bergandengan tangan menghampiri wanita kurus anggun. Walau penuh uban, kulit kendur, wanita itu memiliki senyum manis, tingginya sama dengan Aira. Beliau menyambut menantu dengan peluk hangat.
"Syukurlah. Syukurlah. Terima kasih Nak Aira, berkat kamu Bayu terbebas dari jerat setan."
Kedua alis Aira terangkat kaget. Dia menjawab dengan senyum dan anggukan, saking bingungnya harus apa.
"Ibu, jangan begitu, tidak baik," keluh Bayu.
Ibu tak peduli pada anak lelakinya, ia mencubit pipi Aira dengan gemas. "Banyak hal yang harus kita bicarakan, Nak. Sekarang persiapkan dirimu untuk ijab kobul, ya."
"Iya Tante."
"Jangan panggil Tante, panggil Ibu, ya."
"Baik Bu."
Aira dan Bayu bergandengan menuju tengah panggung. Terpancar ketegangan di raut wajah mereka berdua. Walau ini hanya pernikahan palsu tetap saja banyak mata memandang, membuatnya gagal konsentrasi.
Mereka duduk lesehan bersebelahan menghadap penghulu dan wakil hakim. Sebuah meja berkaki pendek memisah mereka.
"Untuk mempelai perempuan, diwakili oleh Wali Hakim," ujar Pak Kiai, mempersilahkan Bayu untuk bersalaman dengan Wali Hakim, seorang pria gendut berjas hitam.
Aira bisa mendengar napas Bayu tak beraturan. Ternyata Bayu juga bisa deg-deg-an. Sebuah layar besar di belakang wali menampilkan kalimat ijab qobul yang harus diucapkan oleh Bayu.
"Jelas lancar," gumam Aira, memancing lirik tajam dari Bayu yang membuatnya langsung tertunduk.
Wali memakai mic bicara dengan santai. "Saya nikahkan engkau Ananda Bayu Anggara bin Murad Syahril, dengan Ananda Aira Damayanti binti Abdul Hamid dengan mas kawin seperangkat alat sholat, Al-Quran, emas batangan dua kilogram, sebuah mobil Yariz dan uang satu juta rupiah, dibayar tunai."
Bayu membaca tulisan di layar dengan lancar. "Saya terima nikahnya Aira Damayanti binti Abdul Hamid dengan mas kawin seperangkat alat sholat, Al-Quran, emas batangan dua kilogram, sebuah mobil Yariz dan uang satu juta rupiah, dibayar tunai."
Wali tersenyum kepada Bayu, "Sah?"
"Tidak sah! Pernikahan ini tidak sah!"
Semua tamu undangan menoleh ke arah sumber suara. Beberapa wartawan langsung mengerumuni sosok itu. Kamera mereka merekam semua yang terjadi. Bayu dan Aira bertukar pandang. Mereka tak tahu siapa yang berani merusak hari besar mereka. Mungkin setan.
Banyak orang berkumpul di taman kompleks mengerumuni para idola. Mereka rerata ibu-ibu muda dan para gadis meminta tanda tangan, foto bersama, atau sekedar berjabat tangan. Situasi seperti di pasar malam ini terjadi karena kehadiran Bayu, Kai, Kevin, Aira, dan Lukman. Pamor mereka tidak meredup sedikit pun walau sekarang sudah berkeluarga. Di tengah mereka hadir tiga bocah kecil yang aktif membuat gaduh suasana. Vega anak Bayu dan Aira. Altair anak Kai dan Ana, Deneb putra dari Kevin dan Mei. Ketiganya bermain bersama anak-anak di taman dengan penuh keceriaan tanpa kenal penderitaan dunia. "Vega, ngapain?" tanya Altair sambil melihat Vega yang sedang menyodok-nyodok sesuatu di bawah pohon. Melihat benda apa yang menjadi mainan membuat dia melangkah mundur. "Ih, itu kan eek kucing! Jorok!" "Iya tahu." Dengan piawainya Vega mengangkat eek itu memakai kayu lalu menjejalkan pada Altair. "Alta, ini bagus buat lulur mukamu. Sini, jangan kabur!" "Mama!" Alta
Aira buru-buru membuka pintu. Dia tidak sempat mengintip dari gorden karena mendengar suara yang sering dia dengar sebelumnya. "Sebentar, ini sedang buka kunci." Pintu dibuka. Aira tersentak melihat Ibu duduk di kursi teras bergelimang air mata. Asep yang sembari tadi menggedor pintu, langsung membungkuk menyambut Aira. Bukan hanya mereka, di Kai, Ana, Shion, Kevin, Mei, Lukman, dan Sasa, turut serta. "Kamu yang sabar, Aira," ucap Kai, memeluk Aira dengan erat. "Bayu--" "Ada apa sih?" tanya Aira. "Apa ada yang ulang tahun? Kok pada kumpul di sini?" Semua bertukar pandang heran. Mereka saja bingung, apalagi Aira? Dia benar-benar tidak tahu menahu tentang isi kepala para tamu. "Mana Bayu, Nak?" tanya Ibu, dengan kaki sempoyongan berdiri memeluk Aira. Wajah beliau seperti pakaian yang baru dicuci belum kering. "Bayu? Di dalam Bu--" Belum selesai Aira bicara, Ibu merangsak maju hingga nyaris jatuh. D
Dahulu sebelum menikahi Bayu, Aira 'hobi' bersih-bersih. Dari kecil dia terbiasa menyapu dan mencuci piring. Akan tetapi beberapa bulan terakhir dia hidup dalam mimpi yang menjadi kenyataan. Dia tidak perlu melakukan itu semua, cukup duduk santai dan bersenang-senang. Sekarang ketika menyapu, punggungnya sakit dan capek. Seminggu berlalu tapi dia belum menemukan kembali apa yang menjadi 'hobi'-nya dulu. "Waduh, Bu Angga, rajin sekali," tegur seorang ibu tetangga sebelah, baru pulang dari mengajar. Dia guru di SMP sekitar. "Ini Bu, ada sedikit jajan, tadi anak-anak sedang praktek tata-boga." Aira tentu berterima kasih atas perhatian itu. Dengan senyum mereka alami ia menerima kantung plastik putih berisi bungkusan sop sayur. Tetangga berlaku baik karena aura positif dari Bayu dan Aira. Mungkin juga faktor face dan rumor yang Aira sebar berpengaruh pada mereka. Kisah tentang pernikahan dini, di mana Bayu si miskin nekat menikahi Aira tanpa persetu
"Pijat yang benar." Ibu menepuk-nepuk pundaknya, sembari duduk di atas bantal. "Iya Nek--" "Nek?" Ibu menoleh menangkap senyum mal-malu Ana. "Kamu ini, panggil Ibu, mengerti?" Ana mengangguk ketika Ibu kembali fokus ke TV. Gadis itu tersenyum lembut pada Kai yang duduk bersila kaki di sebelah Ibu. Siang ini Kai memperkenalkan Ana kepada Ibu asuhnya itu sebagai calon istri. Ketiganya duduk santai di paviliun belakang rumah. Selain itu dia punya tujuan lain hadir di sini. "Sekarang nyaris seminggu Bibi menghukum Bayu dan Aira," ujar Kai. "Mereka menderita Bi, tinggal di rumah bedeng macam itu. Apa Bibi tega membiarkan Bayu dan Aira hidup susah?" Dua hari sekali Kai datang dan memohon hal yang sama. Namun, Ibu tetap santai menikmati pijatan Ana. Sesekali beliau bersendawa tanda jika merasa nyaman. Beliau juga dilanda dilema. Walau diam, tapi diam-diam Ibu juga khawatir kepada Bayu dan Aira. Bagaimana pun Bayu anak kesayanganny
Seperti semut mengerumuni gula, empat preman mengerumuni motor Riko. Mereka tidak memberi kesempatan Riko untuk memacu motor."Minggir, aku sibuk mau menjemput pelanggan," ujar Riko."Sombong!" bentak seorang preman gendut. "Lagak kamu sudah seperti orang penting.""Penting dia bro," sahut preman kedua. "Habis bebas dari penjara dengan bersyarat dan jaminan, kan sekarang wajib lapor atau saudaranya bakal membayar uang kompensasi."Suara tawa mereka membahana seperti supporter di stadion bola. Salah satu dari mereka mendorong kepala Riko. Satu lagi mengambil kunci motornya. Mereka sengaja ingin memancing supaya Riko marah dan menghajar mereka."Aduh, kasihan Mas Riko." Darmi hanya bisa memandang. Bisa apa dia, sendirinya berdagang di sini dan wilayah ini kekuasaan mereka."Kok Mas Riko tidak melawan?" tanya Bayu, mengamati lelaki tangguh di atas motor."Kalau melawan, nanti bakalan langsung dipenjara. Mas Riko bebas bersyarat. Sa
Sebagai kepala keluarga tentu Bayu yang membuka pintu. Empat ibu-ibu berwajah judes menanti. Melihat wajah tampan yang keluar, Judes mereka mereda dan sekarang senyum-senyum sendiri. "Maaf, ada apa ya, Bu?" tanya Bayu dengan ramah. Aira yang kebelet kepo pun nongol dari belakang Bayu. Senyumnya muncul, menggeser Bayu hingga mereka berdiri bersebelahan di pintu yang sempit. "Maaf Nak, ini sudah malam," ucap Ibu gendut dengan ramah. "Benar, sudah jam sebelas malam. Mohon suaranya dikecilkan, ya. Besok anak-anak sekolah, bising enggak bisa tidur," timpa Ibu kurus. "Kami tahu kok, pengantin baru, kan?" Ibu berbadan pendek menyambung. Tentu Bayu dan Aira menjadi sungkan. Mereka saling senggol, tertunduk dengan cengiran mereka yang khas, kecil, dibuat-buat. "Ingat, kita tinggal bersebelahan." Ibu yang lumayan muda menunjuk ke kiri dan kanan. Rumah mereka memang hanya terpisah tembok, bisa dikatakan suara kentut pun pasti bisa tetangg
Pindahan Bayu dan Aira cukup simpel. Mereka hanya membawa pakaian, peralatan kuliah, laptop, dan uang saku dari Ibu. Pagi hari mereka tiba di kontrakan yang dimaksud. Rumah petak sederhana. Lantai hanya dioles semen. Dinding bata tiada diberi cat. Langit-langit pun tak ada. Dari dalam bisa melihat pondasi atap. Dan aroma di sini lumayan pengap, berdebu. Hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi pun nyaris menyatu dengan dapur. Perabotan yang ada hanya satu kasur dan satu lemari dengan TV tabung tua berdiri gagah di dekat kipas putar kecil. "Bagaimana? Rumah ini masih lebih bagus dari tempatku dulu tinggal. Kalian harus membayar uang listrik sendiri, uang air, dan mulai bulan depan membayar uang sewa. Jadi usahakan hemat." ucap Asep, menaruh kunci ke telapak tangan Aira. "Motor Vespa milikmu. Selamat tinggal." Dia berbalik hendak pergi. Akan tetapi Bayu menarik lengan Asep. "Sampai kapan kami harus tinggal di sini?" "Sampai Ibumu puas." Asep
Suara jangkrik menjadi musik merdu menemani mereka saat ini, tiada suara lain. Aira dan Bayu duduk bersila kaki di atas bantal. Mereka menanti Ibu di paviliun belakang rumah yang dikelilingi taman. Bayu menggenggam telapak tangan Aira. "Apapun yang terjadi aku tidak akan pernah menandatangani surat itu. Semoga kamu juga demikian." Aira mengangguk kecil. Dia menggenggam telapak tangan Bayu. "Asal kamu nanti berani bersumpah tidak akan menemui Cecil dan wanita lain, aku siap Mas." Bayu tersenyum lembut. "Mas? Oh Tuhan, panggilan mesranya Mas? Darling kek, hooney gitu, Mas, terdengar ndeso." "Ah, sudah lah." Dengan kasar Aira menarik tanggannya. "Youtuber sial, hobi banget sih merusak suasana." Bayu terkekeh melihat reaksi cemberut Aira. Dia hanya bercanda tadi. "Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Tahu tidak, alasan kenapa kamu aku pilih untuk menikah kontrak?" "Aku cantik, manis--" "Karena aku yakin tidak
Cahaya matahari masuk melalui kaca jendela besar di dinding sisi kiri menerpa ibu yang duduk di kursi kerja. Beliau sibuk mengetik sesuatu di komputer. Suara ketukan di pintu membuat dia berhenti sejenak. "Siapa?" "Ini saya Nyonya, Asep." "Masuk Sep." Pria berjas hitam masuk ke ruang kerja, berdiri dalam posisi instirahat di tempat. Setelah diberi kode gerak tangan Ibu, dia duduk di kursi berlengan. "Bagaimana, ada hasil?" tanya Ibu. Asep menaruh beberapa stopmap ke meja kerja. "Menurut para detektif yang saya kerahkan, terjadi perselingkuhan antara orang tua Nona Aira dan Tuan Kai. Menurut para detektif, kematian Ibu Nona Aira karena kebakaran di tempatnya bekerja ada hubungan dengan--" "Cukup, lewati bagian itu," ujar Ibu. Asep berdeham. "Setelah kejadian itu Kai memang sangat terpukul dan merasa bertanggung jawab untuk merawat Aira. Walau umur mereka hanya terpaut beberapa tahun, tapi dia berhasil melakukannya de