"Jika pihak kedua memutuskan kontrak secara sepihak maka harus mengganti denda sebesar 2M."
Zira terbelalak dengan mata membola sempurna setelah membaca sanksi pembatalan kontrak. "Konyol. Ini namanya pemerasan," gumamnya kesal sekaligus tidak percaya. Aidan kembali ke meja makan dengan membawa dua gelas kopi, lalu menyerahkan satu gelas kepada Zira. "Apa ruginya kamu ikut filmku?" tanyanya dengan nada tenang namun penuh tantangan. Zira berdecih. "Tidak ada untungnya juga aku main filmmu." "Oh, jadi kamu lebih senang adikmu masuk penjara?" Aidan menatapnya dengan seringaian puas. "Dengan kamu ikut filmku, kamu bisa tinggal di sini dan juga menghasilkan uang. Kariermu juga bisa meningkat di Indonesia." Zira meremas map merah di tangannya lebih kuat. Hatinya berkecamuk antara marah dan putus asa. Apa yang ada di pikiran adiknya sampai-sampai bisa menandatangani perjanjian seperti itu? "Pikirkan baik-baik! Jangan lupa nanti siang kamu harus datang ke Studio AB," ucap Aidan lembut tapi tegas sebelum kembali naik ke lantai dua. Zira terdiam, berpikir dalam-dalam. Ia sudah menolak film Aidan ketika Braga menghubunginya bulan lalu. Bagaimana bisa ia bekerja dengan orang yang sudah membuatnya terluka begitu dalam hingga ia melarikan diri bertahun-tahun? Namun sekarang karena ulah adiknya, ia terpaksa harus bergabung di film Aidan. Genji berkata pelan bahkan nyaris berbisik. "Bukannya tujuan Kakak pulang ke Indonesia karena ingin melanjutkan karier di sini? Menurutku film Bang Aidan adalah peluang yang bagus. Bahkan, banyak para aktris yang rela menyerahkan tubuhnya demi peran dalam film." "Diam! Ini semua gara-gara kebodohanmu!" Zira membentak keras, lalu bangkit dari kursi dengan kasar. Ia melangkah menuju taman belakang, duduk di ayunan sambil membuka aplikasi perbankan di ponselnya. Saat melihat saldo yang hanya tinggal satu digit, ia tak bisa menahan umpatan, "Arghhh! Sial! Bagaimana aku bisa menyewa kontrakan jika cuma segini?" Ia terpikirkan satu nama yang mungkin bisa membantunya terlepas dari Aidan. Ia pun segera mencari kontak sang ibu dan melakukan panggilan. "Ma...," panggilnya dengan suara lesu. "Zizi, kebetulan sekali kamu telpon. Ini desainernya sedang survei restoran. Terima kasih, ya sayang sudah bantu mengembangkan restoran. Mama yakin setelah ini, semua akan kembali membaik. Nanti Mama akan mengirim rancangan desainnya," ucap sang Mama penuh semangat. "Oh iya, kamu telpon Mama ada apa?" Belum juga Zira menjawab, ibunya kembali berbicara. "Mama senang kamu memutuskan tinggal di Jakarta menemani Genji. Adikmu itu sering berpikiran pendek, dia masih belum dewasa. Kamu harus bersabar dan terus bimbing dia ya. Apalagi Genji sudah lama menunda skripsinya. Mama titip Genji, ya sayang?" Zira tersenyum kecut, "iya, Ma." Ia pun menutup panggilan. "Genji memang berpikir pendek," gumamnya sambil menghela napas panjang. *** "Kamu sudah mengambil keputusan?" tanya Aidan saat Zira memasuki ruang kerjanya. Zira berjalan mendekat ke arah Aidan yang sedang duduk di depan komputer. Dengan tatapan serius, ia letakkan dua map yang sebelumnya pria itu berikan. "Aku setuju tapi aku juga mengajukan syarat." Aidan tersenyum tipis. "Apa syaratmu?" Zira duduk lalu menyerahkan selembar kertas kepada Aidan. "Aku ingin kita membuat garis batas," ucapnya tegas. "Ini peraturan yang harus kamu taati selama aku tinggal di sini." Aidan membaca isi peraturan itu dengan alis yang sedikit terangkat, matanya menyipit sejenak. "Aku tidak masalah dengan peraturanmu, tapi... tidak boleh membawa lawan jenis ke rumah... tidakkah itu berlebihan?" "Oh, kamu biasa bawa wanita untuk tidur di rumahmu?" Zira berkata pedas. Aidan menatap lembut Zira sambil berkata, "cuma kamu wanita yang pernah tidur di kamarku." Mendadak hati Zira berdesir saat mendengar pengakuan Aidan, tapi ingatan akan sikap dingin Aidan di masa lalu memaksanya untuk terus mawas diri. "Tidak bawa ke rumah tapi ke kamar hotel," ucapnya dengan nada menyindir. Aidan tertawa kecil. "Tuduhan tanpa bukti itu namanya fitnah." Zira mencebik, memutar malas bola matanya. "Satu lagi yang paling penting. Aku tetap ingin memakai kamar kemarin. Jadi, malam ini kamu harus sudah memindahkan barang-barangmu," ucapnya tegas. "Oke! Tidak masalah," jawab Aidan dengan senyum yang sulit diartikan oleh Zira. "Aku senang kamu betah di sana." Zira menatap dalam ke mata Aidan, mencoba mencari tahu maksud ucapan pria itu. Ia merasa senang tapi sekaligus khawatir. *** Dengan mengenakan kaos crop top, kemeja terurai dan celana jeans ketat, Zira berjalan penuh percaya diri memasuki lobby Studio AB. Namun, ia sedikit kebingungan karena tidak ada siapapun di lobby, hingga suara seorang pria menyambutnya. "Zira! Selamat datang!" Braga, dengan langkah cepat yang hampir seperti berlari, mendekati Zira. Wajahnya berseri, terlihat jelas kebahagiaan dan antusiasme yang terpancar. Zira tersenyum lembut, sedikit terkejut oleh sambutan hangat itu. "Anda, Pak Braga?" "Panggil Braga saja. Kita seumuran," ucap pria yang suka berpenampilan formal itu. Zira mengangguk lalu mengulurkan tangan. "Zira Ceisya, cukup panggil Zizi." Setelah berjabat tangan, Braga mengarahkan Zira ke ruang meeting, di mana Aidan, Jerry, dan Cita sedang menunggu. "Aidan, Jerry, Cita! Reina kita sudah tiba!" serunya sambil membuka pintu ruang meeting. Jerry bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Zira dengan senyum lebar. "Akhirnya, kamu di sini. Tidak sia-sia usaha Aidan menyusulmu ke Tiongkok." Zira terkejut dengan fakta yang diutarakan Jerry. Ia menatap ke arah Aidan yang sedang berjalan mendekatinya. "Jadi itu alasannya kenapa kemarin kami bisa satu pesawat. Tapi ia tidak datang menemuiku, lalu ke mana?" tanya Zira dalam hati. Aidan mengulurkan tangan kepada Zira, "terima kasih sudah bersedia ikut proyek film ini." Lalu menoleh sekilas ke Cita. "Ini Cita, penulis naskah utama bersama Jerry." Zira menahan gejolak yang bergemuruh di dada. Dengan kemampuan aktingnya, ia tersenyum semanis mungkin, menjabat tangan Aidan dan Cita bergantian. Mereka lalu duduk kembali dengan posisi Zira berhadapan dengan Aidan. Zira mendengarkan penjelasan Braga, tapi pikirannya tidak ada di sana. Sekali waktu ia melirik Aidan, ternyata pria tersebut tengah menatapnya begitu dalam. Ia menjadi semakin terganggu dengan hal itu. "Bagaimana, Zi?" tanya Braga di akhir penjelasan membuat Zira kembali sadar. Zira menggigit bibir pelan, menimbang. "Braga, setelah saya membaca naskahnya, saya lebih tertarik memerankan Alexa." Tatapan Zira berubah serius. "Karakter itu lebih pas buatku." Braga menoleh pada Aidan, yang sejak tadi diam mendengarkan. "Aidan?" Aidan menarik napas, tatapannya dingin seperti biasa. "Karakter Alexa memang lebih sesuai dengan Zizi. Wajahnya pas untuk Reina, tapi karakternya lebih kuat di Alexa." Braga terdiam, memandang Jerry dan Cita yang juga mengangguk setuju. "Baiklah," akhirnya Braga tersenyum, mengulurkan tangan. "Alexa is yours." "Selamat datang di dunia Aidan Balangga, The cruel director," timpal Jerry dengan senyum lebar. Zira mengernyit, tersenyum canggung. "Yes, he's so cruel," ucapnya dalam hati. ***Zira menghela napas panjang, merebahkan tubuhnya di atas ranjang queen size. Sambil memandang langit kamar, ia pun berpikir akan pertanyaan Remi.Ia sadar betul kalau pria itu akan senang mengetahui jika hubungannya dengan Aidan sudah mulai membaik. Namun, bagaimana jika kedua pria itu bertemu? Akankah tetap baik-baik saja?Letih yang menyergap perlahan mengalihkan beban pikiran wanita itu. Matanya semakin redup dan mimpi pun datang menyambut.Dalam tidurnya, ia melihat seorang anak kecil tersenyum padanya. Ia pun menghampiri anak tersebut, tapi ketika tangannya hendak meraih pundak si anak kecil, tiba-tiba senyum itu menghilang bersamaan dengan fakta ia hanya sendirian di taman bunga itu.Tanpa sadar, air mata menetes dari sudut matanya. Ia merasakan luka dan perih yang teramat sangat. Saat itulah, matanya kembali terbuka. Zira menangis sendirian dalam kamar. Terakhir kali ia memimpikan anak kecil itu 2 tahun lalu, dan sekarang mimpi itu kembali hadir."Eden," gumamnya penuh kesedih
Sudah 3 minggu, Zira beserta tim film melakukan syuting di Surabaya. Hari ini mereka akan pindah lokasi ke Bali. Rombongan kru film memilih menggunakan bus dan kapal penyeberangan, sedangkan para artis ada yang memilih naik pesawat. Zira sendiri memilih naik kapal bersama kru, meskipun harus berlama-lama duduk di mobil saat menuju pelabuhan Ketapang. Ia ingin merasakan semilir angin laut.Zira berjalan perlahan menaiki tangga menuju bagian atas kapal. Ia tersenyum tipis saat tiba di anak tangga terakhir. Dilihatnya Aidan sedang berdiri di salah satu sisi kapal sambil memejamkan mata. Ia pun perlahan mendekati pria tersebut."Tidak istirahat?"Zira terkejut lalu terkekeh pelan, "bagaimana kamu tahu?"Aidan membuka mata, menoleh dengan senyum lembut. "Aku hafal aromamu," ucapnya menggoda."Sekarang, kamu pandai menggoda orang ya."Sang sutradara tersenyum, merapikan anak rambut wanitanya yang terurai. Menatap mata Zira dengan penuh kasih sayang. Rasa rindu yang mendalam, suasana yang me
Suara baku hantam di gedung tua membahana, menciptakan suasana yang mencekam di tengah malam. Dengan napas terengah-engahnya, seorang perempuan berlari menghindar dari kejaran anak buah Demon. Desingan peluru menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah sumber suara. Di bawah sana, seorang pria muda tergeletak bersimbah darah. Wajah perempuan itu mendadak pucat pasi. Teman klubnya bernasib naas di tangan Demon.Setitik air mata menetes dari sudut matanya. Apakah pria itu yang akan menjadi saudara iparnya kelak? Tidak. Ia harus menyelamatkan Reina. Tangannya mengepal kuat, dengan kecepatan penuh ia kembali berlari hingga suara sang sutradara menghentikan aksinya."Cut!"Aidan tersenyum puas melihat akting Zira dan juga para stuntman. "Kerja bagus semua. Kita istirahat 15 menit."Zira berjalan mendekat ke arah sang sutradara. Duduk di sebelahnya sambil melihat layar monitor."Bagaimana?"Aidan menunjuk layar, "memuaskan. Kamu bisa menyampaikan kemarahan sekaligus takut bersamaan.""Bena
"Mama,"Kompak, Zira dan Aidan memanggil wanita baya di depan mereka."Itu Tante, cewek penggoda, pelakor," ucap Soraya cukup keras dengan senyum culas.Wanita baya itu berjalan mendekat ke arah Zira. Soraya makin tersenyum lebar membayangkan sebuah tamparan mendarat di pipi wanita yang sudah merebut Aidan darinya. Namun, apa yang ia lihat sungguh di luar prediksi, wanita baya itu malah memeluk Zira dengan erat. Mulutnya pun melongo, ingin protes tapi ucapan tegas menghentikannya."Kamu tidak perlu mengantarku lagi, Soraya. Putriku sudah kembali.""Hah," Soraya terhenyak. "I ... ya, Tante." Ia pun kembali ke kamarnya dengan seribu tanya.Sementara itu, Zira menunduk dengan perasaan campur aduk. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Luna, ibunya Aidan dengan cara yang canggung."Mama kangen sama kamu," ucap wanita baya itu dengan lembut.Zira terdiam, bingung harus menjawab seperti apa. Ada perasaan malu dan juga bersalah.Aidan yang menyadari keterkejutan Zira, mendekati sang ibu. "M
"Hapus photonya!" Genji menatap tajam wanita cantik yang beberapa hari terakhir ini sering membuat masalah dengannya.Lala membalas tatapan Genji dengan tak kalah sengit. Tidak ada ketakutan dari sorot matanya. Mencibir dan mendengus kasar, lalu berkata, "kalau aku tidak mau menghapusnya, kamu mau apa?"Genji mendekatkan wajah ke telinga sang artis, berkata pelan tapi penuh penekanan. "Aku bisa menghancurkan kariermu. Hanya dalam hitungan detik semua orang akan tahu wujud aslimu."Ia kembali menatap sang wanita dengan seringaian sinis. Aura intimidasi menguar dari tubuhnya. "Bagaimana jika orang-orang tahu seorang Camilla Safea, artis dengan julukan peri tak bersayap tega melukai wanita lain karena cemburu?"Lala bergetar, refleks kakinya mundur selangkah. "Kamu bicara apa?"Genji mengeluarkan ponsel, memutar video dan menunjukkan ke wanita itu. "Sudah paham di mana posisimu sekarang?"Sang artis menatap video dengan tubuh bergetar. Ia tidak menyangka ada seseorang yang merekam tindak
Jam sudah menunjuk angka 9, sudah larut untuk berkeliaran di jalan. Badannya pun terasa sangat lelah, merindukan kasur. Namun, ia tidak bisa mengabaikan undangan makan malam Braga begitu saja. Beruntung kali ini sang adik bersedia menemani tanpa drama. Zira berjalan memasuki restoran mewah dengan langkah ragu. Ia menatap penampilannya yang tidak sesuai dengan kemewahan restoran. Ya, setelah selesai syuting dirinya memang langsung menuju restoran tanpa mengecek lebih dulu seperti apa tempat yang dipilih Braga."Hai!" sapanya saat tiba di tempat duduk sang Produser.Braga tersenyum senang melihat kedatangan wanita yang sudah ditunggunya. "Sulit mencari restorannya? Duduklah."Zira duduk sambil berkata, "aku seperti alien di planet asing.""Santai saja, kamu tetap cantik," ucap Braga merayu dengan senyum lebar.Zira tersenyum canggung, lebih ke merasa mual. Dirinya memang bukan tipe wanita yang suka mendengar pujian fisik.Tidak berselang lama, makanan pun datang. Suasana restoran sudah