Langit sore Jakarta menguning pucat ketika ponsel Alya bergetar di meja kerjanya. Ia menatap layar sebentar—nama Tama terpampang jelas di sana. Jantungnya berdebar aneh. Biasanya Tama hanya mengirim pesan singkat atau menelepon kalau ada urusan penting.Dengan ragu, ia mengangkat panggilan itu.“Alya, malam ini ikut aku makan malam.”“Makan malam?” Suaranya terdengar gugup.“Ya. Sama keluargaku. Anggap saja ... pertemuan bisnis. Kamu datang sebagai sekretarisku.”“Sekretaris?” Alya menelan ludah. “Mas ... apa nggak berisiko?”“Kalau kamu nggak nyaman, bilang. Tapi, aku butuh kamu di sana. Ada hal yang harus kulihat dari dekat, dan kamu ... kamu satu-satunya orang yang bisa kubawa tanpa bikin kecurigaan terlalu besar.”Alya terdiam. Bayangan bertemu keluarga Tama, termasuk Ranti, membuat perutnya mengeras. Tapi, di sisi lain, bagian dari dirinya ingin melihat seperti apa dunia Tama di luar gedung kantor dan apartemen ini. Dunia yang selama ini seperti tembok tinggi yang tak bisa ia mas
Langit Jakarta kembali mendung sore itu. Dari balik kaca jendela apartemen, Alya menatap lalu lintas yang padat. Lampu-lampu kendaraan memantul di jalan basah, berbaur dengan aroma hujan yang baru saja reda. Suasana kota seakan-akan mencerminkan isi hatinya, penuh riuh, tapi terasa sesak.Sudah beberapa hari sejak Tama menyatakan tekadnya untuk bercerai dari Ranti. Kata-kata itu masih terngiang di kepala Alya, membangkitkan harapan sekaligus ketakutan. Ia tahu keputusan itu bukan hal kecil. Perceraian bukan hanya soal dua orang, tapi soal keluarga, reputasi, bahkan masa depan perusahaan.Dan di tengah badai itu, dirinya menjadi pusat perhatian yang tak pernah ia inginkan.Alya duduk di sofa, memeluk bantal. Sesekali ia menatap foto ibunya di meja. Sejak ibunya pergi, ia merasa kehilangan tempat pulang, kehilangan pegangan. Namun, anehnya, kehadiran Tama perlahan memberi ruang untuk percaya lagi.Namun, setiap kali ia mulai merasa tenang, rasa bersalah kembali menghantam. Ia mencintai
Hujan baru saja reda ketika suara ketukan terdengar di pintu apartemen Alya. Malam itu, apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu kota berpendar lembut dari balik jendela, tapi kehangatannya tak sanggup mengusir resah di dada Alya.Ia membuka pintu dengan hati-hati. Di depan pintu, seorang kurir berdiri, memegang amplop cokelat tebal.“Untuk Ny. Alya Nur Azzahra?”Alya mengangguk. Tangannya sedikit bergetar saat menerima amplop itu. Setelah kurir pergi, ia menutup pintu perlahan.Amplop itu berat, bukan karena isinya, tapi karena firasat buruk yang langsung menelannya.Dengan napas yang tidak stabil, ia membuka amplop itu. Mata Alya membesar ketika membaca kepala surat di dalamnya:SOMASIDari: Kantor Hukum Wijaya & RekanAtas nama: Ranti WidyasariAlya terduduk di sofa. Kata-kata di surat itu menusuknya seperti ratusan jarum."Dengan ini, klien kami menegur Anda secara resmi atas tindakan perselingkuhan dengan suami sah klien kami, Tn. Tama Wiratama. Anda diminta untuk
Hujan mulai turun lagi malam itu. Rintiknya membasahi kaca jendela apartemen yang kini jadi rumah Alya, rumah yang tak pernah benar-benar ia minta, tapi kini sudah menjadi satu-satunya tempatnya kembali. Lampu-lampu Kota Jakarta memantulkan cahaya buram di genangan air, seolah-olah menambah kesenduan malam.Alya duduk sendirian di ruang tamu, membiarkan dirinya tenggelam dalam diam. Cangkir teh di meja telah mendingin, tak disentuh sejak satu jam yang lalu. Di pangkuannya, selimut tipis menutupi kaki, tapi tak mampu menghangatkan perasaan yang makin lama makin membeku.Tama belum pulang. Katanya ada rapat dengan investor, dan Alya tidak pernah berani bertanya lebih jauh. Sejak ibunya meninggal, komunikasi mereka memang sedikit berubah. Lebih tenang. Lebih manusiawi, bahkan Tama sering menginap di apartemen yang Alya tempati. Namun, tetap berjarak. Seolah-olah ada tembok yang berdiri di antara mereka, entah siapa yang membangunnya.Alya mengalihkan pandangan ke foto kecil di meja, foto
Pagi itu, langit Jakarta masih mendung. Matahari seolah-olah enggan menampakkan wajahnya, tertutup awan kelabu yang menggantung berat. Alya berdiri di depan kaca apartemennya, menatap jalanan yang basah karena hujan dini hari tadi. Tangannya masih membungkus cangkir kopi hangat yang belum sempat ia teguk. Matanya sayu, tapi kali ini bukan karena tangis, melainkan karena hampa. Sepi yang sunyi.Hidupnya kini tak lagi sama. Tak ada lagi panggilan masuk dari rumah sakit. Tak ada lagi jadwal kunjungan untuk menjenguk ibu. Tak ada lagi rasa panik tiap ponsel berdering.Yang tersisa hanyalah keheningan. Dan ... kehadiran Tama yang mulai berubah. Sedikit demi sedikit.Malam itu setelah pemakaman, Tama memang menunjukkan sisi yang belum pernah Alya lihat. Untuk pertama kalinya, pria itu menunjukkan empati. Bahkan kelembutan yang selama ini tersembunyi di balik wajah dingin dan sikap dominannya. Tapi, seperti embun di ujung pagi, semua masih terasa rapuh. Belum jelas apakah perasaan itu nyata
Langit Jakarta masih kelabu saat Alya melangkah keluar dari halte Transjakarta dan menyeberangi halaman rumah sakit. Angin berembus pelan, membawa aroma hujan yang belum tuntas dari semalam. Hari itu, wajahnya tak lagi menyimpan amarah, tak juga harapan. Hanya letih. Letih yang begitu pekat, menyesaki tiap sudut dadanya.Ketika ia memasuki ruang rawat inap ibunya, suasana tampak lebih sunyi dari biasanya. Suster yang biasa tersenyum padanya hanya menunduk pelan. Langkah Alya makin perlahan, firasat buruk mulai menggelayut dalam pikirannya.Namun, saat membuka pintu kamar 305, senyum ibunya menyambutnya. Meski wajahnya pucat dan tubuhnya lebih kurus dari hari sebelumnya, senyum itu tetap hangat. Senyum yang selama ini menjadi alasan Alya bertahan."Ibu kelihatan lebih baik hari ini," ujar Alya, duduk di sisi ranjang.Ibunya tersenyum, mengelus tangan Alya perlahan. "Mungkin karena lihat kamu datang, Nak."Alya menggenggam tangan ibunya erat-erat. "Maaf ya, Bu. Alya belum bisa sering di