LOGINPENCARIAN EKSKLUSIF
Posisi: Asisten Pribadi Eksekutif (Kontrak 3 bulan, NDA Ketat)
Kualifikasi: Mampu menahan tekanan, loyalitas mutlak, bersedia bekerja di luar jam normal.
Gaji: 10x Standar Pasar.
Wawancara Terbuka: Pukul 09.00 di Lobi Utama, SKYLINE TOWER.
Zara menatap nama gedung itu: SKYLINE TOWER. Monolit kaca dan baja setinggi seratus lantai yang mendominasi cakrawala kota. Markas besar Dirgantara Group, perusahaan properti dan teknologi paling tertutup di Asia. Orang-orang berbisik bahwa CEO-nya, Giovano Axel Dirgantara, adalah seorang jenius yang tak kenal ampun, yang menghancurkan pesaing hanya dengan satu panggilan telepon.
Itu adalah dunia yang seharusnya tidak pernah ia sentuh. Tapi dengan lutut yang nyaris ambruk karena kelelahan, rasa sakit, dan keputusasaan finansial, Zara mengambil keputusan. Ia harus mengambil risiko ini.
PAGI HARI DI SKYLINE TOWER
Zara mengenakan satu-satunya setelan kerjanya yang layak, kainnya terasa tipis dan murahan dibandingkan dengan marmer dingin di lobi utama. Nama perusahaannya terukir dengan tajam pada lempengan perunggu: DIRGANTARA GROUP.
Lobi itu senyap, luas, dan menekan. Sebuah simfoni arsitektur yang menjeritkan kekuasaan.
Zara melangkah cepat menuju meja resepsionis, fokusnya tertuju pada permohonan yang harus ia ajukan sebelum keberaniannya menguap. Ia terlalu fokus pada garis tebal karpet untuk melihat siapa pun yang ada di sekitarnya.
Tiba-tiba, ada yang menghantamnya. Keras. Padat. Bukan beton, melainkan kombinasi kain wol mahal dan otot baja.
Zara tersentak. Ranselnya meluncur dari bahunya. Kakinya kehilangan pijakan, dan ia nyaris jatuh ke lantai.
Sebuah tangan, besar dan sedingin es, mencengkeram erat lengannya, menahannya tetap tegak. Cengkeraman itu terasa menyakitkan dan otoritatif.
Zara mendongak, napasnya terperangkap di tenggorokan.
Ia melihat sepasang sepatu pantofel kulit mengilat. Kemudian, setelan yang terlihat seperti bayangan yang dijahit. Dan akhirnya, wajah itu. Rahang yang tegas, mata tajam dan gelap seperti malam yang tidak memiliki bulan, serta ekspresi yang sepenuhnya tanpa kesabaran. Aura kemarahan yang tenang memancar dari pria itu.
Suara pria itu, dalam dan lambat, membelah keheningan lobi yang mahal. Suara itu lebih dingin daripada marmer di bawah kaki Zara.
"Siapa kamu?" Matanya menyipit, mengunci mata Zara.
Cengkeraman di lengan Zara mengencang selama sepersekian detik, mengingatkannya pada besi dingin. Pria itu tidak hanya menahan tubuhnya, tetapi juga seluruh perhatian Zara, dan mungkin seluruh lobi yang sunyi itu.
Zara menelan ludah, mencium aroma sandalwood dan vetiver yang tajam—parfum mahal yang berteriak ‘puluhan juta’. Ia bisa melihat garis-garis halus pada kain jasnya yang seratus persen wol. Detail itu menusuknya: perbedaan antara kain murahan miliknya dan kekuatan tak tertandingi di hadapannya.
Mata pria itu, hitam pekat seperti biji obsidian, memindai wajah Zara. Itu bukan tatapan ketertarikan; itu adalah tatapan analisis, seperti seorang kontraktor yang mengevaluasi struktur yang rusak.
“Aku bertanya, siapa kamu?” ulangnya, nadanya sedikit menurun, membuatnya lebih mengancam.
Zara merasakan air mata yang dikeringkan oleh penghinaan Sella dan Daren kembali memanas di matanya, tapi ia memaksanya mundur. Ia telah bersumpah untuk tidak menunjukkan kelemahan lagi. Ia menegakkan bahu, melepaskan lengannya dari cengkeraman Giovano dengan gerakan halus dan terkontrol.
“Saya Zara, Pak. Saya di sini untuk wawancara terbuka posisi Asisten Pribadi Eksekutif. Saya minta maaf karena menghalangi jalan Anda.”
Pria itu mendengus singkat, ekspresi di wajahnya tidak berubah, tetap sedingin patung marmer. Ia melirik tas usang di kaki Zara dan kemudian kembali ke wajahnya.
"Wawancara? Posisi itu sudah diisi sejak lima menit lalu," katanya dengan senyum mengejek yang hanya mencapai sudut bibirnya. "Dan kamu terlambat tiga puluh menit. Apalagi, kamu terlihat... tidak mampu."
Zara merasakan denyutan tajam di pelipisnya. Ia bisa saja mundur, menundukkan kepala, dan pergi. Tapi ingatan akan obat bibinya dan janji pada dirinya sendiri membuat darahnya mendidih dengan keberanian yang putus asa.
"Saya mungkin terlambat, Pak," balas Zara, suaranya mantap meskipun jantungnya berdebar kencang. Ia mempertahankan kontak mata yang ia tahu pasti sangat menantang bagi pria seperti ini. "Tapi itu karena saya harus berjalan kaki dari ujung kota. Jika Anda menilai kemampuan seseorang dari ketepatan waktu untuk wawancara terbuka—yang notabene tidak terikat—Anda mungkin kehilangan orang yang rela melakukan apa saja untuk pekerjaan ini. Dan mengenai penampilan." Zara melihat ke bawah, kemudian kembali menatapnya. "Penampilan saya adalah cerminan gaji terakhir saya."
Keheningan melayang. Giovano tidak langsung merespons. Dia hanya memiringkan kepalanya sedikit. Zara bisa melihat kilatan ketertarikan yang tidak diinginkan di mata gelap itu, seperti percikan api di lautan es.
"Ikuti aku," perintah Giovano, berbalik tanpa menunggu jawaban.
Ia membawanya melewati lorong-lorong berkarpet tebal menuju lift pribadi yang terbuat dari emas gelap. Di dalam lift, ia menekan tombol paling atas, 100.
"Kamu tahu siapa aku?" tanyanya, suaranya tenang, menghadap pantulan mereka di dinding cermin.
"Giovano Axel Dirgantara. CEO Dirgantara Group. Reputasi Anda mendahului Anda, Pak," jawab Zara jujur.
"Bagus. Jadi kamu tahu bahwa waktuku adalah uang," katanya. Pintu lift terbuka, memperlihatkan sebuah ruang kantor yang terasa seperti langit.
Giovano bergerak menuju meja kerjanya yang terbuat dari kayu hitam solid. Zara memperhatikan, ia tidak duduk. Ia berdiri, memaksanya untuk tetap berdiri pula.
"Duduk, Zara. Kita perlu bicara bisnis. Lupakan pekerjaan Asisten Pribadi."
Zara duduk di tepi kursi kulit mahal, sementara Giovano bersandar di mejanya, melipat tangan di dada.
"Aku punya masalah sederhana yang membutuhkan solusi... tidak konvensional," katanya, melirik Zara dari atas ke bawah. "Keluarga dan Dewan Direksi menekanku untuk menikah. Aku membutuhkan peredam bising, seseorang yang tidak akan menjadi masalah. Aku butuh tunangan palsu."
"Apa artinya ini bagi kita? Di depan umum?" tanya Zara, suaranya tercekat, matanya mencari jawaban di wajah Giovano.Giovano melangkah maju, menjembatani jarak di antara mereka. Ia tidak menjawab, tetapi rahangnya mengeras, urat di lehernya menegang. Ini bukan lagi soal bisnis; ini adalah pertarungan pribadi."Mereka mengira ini adalah taktik usang: menikah, lalu menceraikannya. Kita harus mengubah kontrak itu. Kita harus membuktikan kepada setiap mata yang menonton bahwa kita... nyata," desisnya.Giovano mencondongkan tubuhnya ke depan, bisikannya dipenuhi beban yang baru, "Aku tidak punya pilihan selain mempercayai orang luar. Seseorang yang tidak terikat secara internal pada Dirgantara Group. Seseorang yang tidak punya alasan untuk mengkhianatiku. Zara." Ia menyebut namanya dengan desakan mentah, "Jadilah tunangan sejatiku, untuk saat ini. Aku butuh kamu."Ketakutan dingin karena sewa dan hutang yang tertunda terasa remeh dihadapannya. Zara merasakan jantungnya berdebar, bukan kare
Giovano tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menempatkan dirinya di antara Zara dan Daren. Ia melingkarkan lengannya di pinggang Zara, menariknya erat-erat, hampir posesif. Pemandangan itu adalah tampilan dominasi yang nyata."Lepaskan tanganmu dari tunanganku," kata Giovano kepada Daren, suaranya pelan dan mengancam, seolah sedang memperingatkan hama. "Jika aku melihatmu di sekitar Zara lagi, aku akan pastikan kamu tidak akan pernah lagi bekerja di kota ini."Daren, yang hanya bisa melihat tatapan membunuh Giovano, memucat dan mundur.Zara, yang gemetar karena trauma masa lalunya, merasakan perlindungan dari Giovano. Pelukan di pinggangnya bukan lagi hanya akting; itu adalah perisai."Aku baik-baik saja," bisik Zara, setelah Daren pergi.Giovano tidak menjawab. Ia hanya terus memegang Zara, pandangannya mengamati kerumunan. Mereka berdua berdiri seperti itu untuk waktu yang lama, terlalu dekat, terlalu intens, seolah-olah mereka adalah satu-satunya dua orang yang tersisa di dunia itu.
Bibir Giovano berhenti hanya sejengkal di atas bibir Zara, cukup dekat hingga Zara bisa merasakan kehangatan napasnya yang beraroma mint dan tembaga, cukup dekat hingga kecanggungan yang tersisa dari penghinaan Adhi Hadikusumo mencair menjadi antisipasi yang memalukan.Namun, sebelum sentuhan itu terwujud, Giovano menarik diri. Gerakannya cepat, klinis, dan tegas, seolah ia baru saja menghindari sengatan listrik."Cukup," bisiknya, suaranya kembali menjadi es yang terukir tajam. Giovano tidak pernah melepaskan senyum palsunya, wajahnya tetap ramah untuk kerumunan yang menonton, tetapi matanya—matanya dingin dan marah. "Kalian sudah melihat buktinya, Adhi Hadikusumo. Jika ada pertanyaan lebih lanjut, Anda bisa bertanya kepada pengacara saya."Ia menarik Zara menjauh tanpa menunggu jawaban, tangannya di pinggang Zara kini terasa seperti belenggu yang dingin.Di lift, menuju private lounge Giovano, keheningan itu memekakkan telinga. Udara di antara mereka berderak seperti kabel listrik y
Giovano merasakan ketegangan itu. "Dia tunanganku," katanya tanpa emosi kepada Elva. "Dia akan pindah malam ini. Pastikan ruang sayap barat disiapkan. Dan Elva, ingat aturannya. Loyalitas mutlak."Elva mengangguk kaku, sorot matanya yang tidak percaya sedikit melunak, digantikan oleh kepatuhan dingin. "Tentu, Tuan Gio."Giovano memimpin Zara ke lorong panjang yang dihiasi karya seni abstrak mahal, tanpa sempat memandang kembali apakah Zara mengikutinya. "Ruangan ini adalah sayap pribadiku. Jangan pernah masuk tanpa izin." Ia menunjuk pintu kayu gelap. "Kamarmu ada di seberang."Zara mengangguk, mencoba mencatat semua aturan tak terucapkan yang melayang di udara."Satu hal lagi." Giovano berhenti di ambang pintu kamar Zara. Ia bersandar di kusen pintu, menatap Zara dengan intensitas yang membuat Zara merasakan sensasi sentuhan yang sama seperti di lobi tadi pagi. "Di tempat ini, kamu adalah tunanganku. Ini adalah bisnis. Di mata publik, kita sedang jatuh cinta. Di balik pintu ini, kamu
Zara tertegun. Butuh beberapa detik baginya untuk memproses kata-kata itu. "Saya tidak mengerti, Pak."Giovano menyeringai. "Sederhana. Aku akan membayar semua hutang yang kamu miliki, tanpa batas. Aku akan memberimu gaji bulanan sepuluh kali lipat dari gajimu saat ini. Aku akan memberimu kartu kredit dengan batas yang cukup untuk membeli seluruh butik di sini."Zara menghitung. Uang itu akan melunasi biaya obat bibinya, melampaui uang sewa, dan bahkan cukup untuk memulai hidup baru. Jumlahnya tak terbayangkan."Sebagai imbalannya." Giovano melanjutkan, nadanya berubah profesional. "Kamu akan tinggal di penthouse-ku. Kamu akan berpura-pura menjadi tunanganku, bahkan istriku di acara-acara publik, selama enam bulan ke depan. Kamu akan melakukan persis seperti yang kuperintahkan, di mana pun, kapan pun."Zara merasa pusing. Ini gila. Ini adalah kisah Cinderella yang dijual dengan kontrak."Mengapa saya?" Zara bertanya, memaksa suaranya terdengar netral. "Mengapa bukan model? Atau aktris
PENCARIAN EKSKLUSIFPosisi: Asisten Pribadi Eksekutif (Kontrak 3 bulan, NDA Ketat)Kualifikasi: Mampu menahan tekanan, loyalitas mutlak, bersedia bekerja di luar jam normal.Gaji: 10x Standar Pasar.Wawancara Terbuka: Pukul 09.00 di Lobi Utama, SKYLINE TOWER.Zara menatap nama gedung itu: SKYLINE TOWER. Monolit kaca dan baja setinggi seratus lantai yang mendominasi cakrawala kota. Markas besar Dirgantara Group, perusahaan properti dan teknologi paling tertutup di Asia. Orang-orang berbisik bahwa CEO-nya, Giovano Axel Dirgantara, adalah seorang jenius yang tak kenal ampun, yang menghancurkan pesaing hanya dengan satu panggilan telepon.Itu adalah dunia yang seharusnya tidak pernah ia sentuh. Tapi dengan lutut yang nyaris ambruk karena kelelahan, rasa sakit, dan keputusasaan finansial, Zara mengambil keputusan. Ia harus mengambil risiko ini.PAGI HARI DI SKYLINE TOWERZara mengenakan satu-satunya setelan kerjanya yang layak, kainnya terasa tipis dan murahan dibandingkan dengan marmer di







