LOGIN
Napas Zara tercekat, seolah ada tak kasat mata yang meremas tenggorokannya. Udara dingin yang berat, bercampur aroma debu dan parfum asing, menusuk paru-parunya. Matanya memerah, sudut-sudutnya terasa panas seperti terbakar, namun pandangannya membeku pada pemandangan di ruang tengah apartemennya—tempat yang separuh sewanya ia bayar, separuh jiwanya ia curahkan.
Di sana, di sofa kulit abu-abu yang mereka pilih bersama, Daren, kekasihnya, tampak santai merapikan simpul dasi sutra yang sedikit longgar. Di sebelahnya, duduk Sella, sahabat karib Zara sejak masa SMP, yang sedang mengancingkan kembali blus kremnya. Ada seulas senyum tipis di bibir Sella, senyum yang di mata Zara terasa seperti taburan pecahan kaca.
Daren sama sekali tidak menunjukkan kepanikan. Ia justru menghela napas panjang, seolah baru saja menyelesaikan tugas yang menjengkelkan. Ia menatap Zara, pandangannya dingin, tanpa jejak rasa bersalah atau kejutan.
"Kamu sudah pulang. Baguslah. Kami baru saja selesai. Duduklah." Nada suara Daren datar, memecah keheningan yang mematikan di antara mereka.
Zara tidak bergerak. Bibirnya bergetar, tetapi bukan karena ingin menjerit. Itu adalah getaran menahan amuk, karena ia tidak akan memberikan kepuasan pada mereka dengan menjadi histeris. Ia memfokuskan pandangannya pada Sella.
"Sella... kamu?" Suaranya serak, nyaris tak terdengar, sebuah bisikan yang memohon penolakan.
Sella mendongak. Senyum samar itu menghilang, digantikan oleh tatapan yang entah mengapa, terasa lebih dingin dan menghakimi daripada tatapan Daren. "Maaf, Zara. Tapi, jujur saja... aku sudah lelah berpura-pura kasihan padamu."
Zara merasakan tinju dingin menghantam ulu hatinya. Ia kembali menoleh ke arah Daren.
Suaranya sedikit lebih keras, matanya menuntut kejelasan yang menyakitkan. "Sejak kapan, Daren? Sejak kapan kalian berdua menjadikan apartemen ini sebagai panggung sandiwara menjijikkan kalian?"
Daren berdiri. Ia memasukkan tangan ke saku celananya dengan gerakan santai, terlalu santai, yang membuat darah Zara mendidih.
"Sejak aku sadar kamu tidak akan pernah bisa memberiku apa yang Sella tawarkan."
Zara terdiam, ucapan yang meluncur begitu mudah dari bibir Daren terasa dingin dan mematikan. Pandangannya kosong dari sisa-sisa kasih sayang. Yang ia lihat bukan lagi kekasih, melainkan seorang mitra bisnis yang baru saja membatalkan kontraknya dengan cara paling kotor.
"Uang sewaku, perabotan itu, dan sisa isi rekening bankku. Kembalikan segera, Daren, atau bersiaplah menghadapi semua ini di pengadilan." Suaranya meninggi, menantang dengan keyakinan yang sebenarnya rapuh.
"Pengadilan?" Daren tertawa, tawa dingin yang mengiris. Ia menatap tajam Zara. "Kita belum menikah. Apa yang mau kamu tuntut? Tidak ada yang memaksamu. Dan ya, apartemen ini atas namaku. Sekarang. Silakan kamu pergi dari sini." Daren dengan kejam mengambil kunci dari tangan Zara.
Air mata Zara, yang tadinya tercekik di tenggorokan, kini mengalir tanpa suara. Aliran hangat itu segera membelah riasan tipis yang kering di pipinya, meninggalkan jejak basah pada bedak yang retak. Pandangannya tidak terangkat dari satu detail: noda lipstik merah anggur yang buram, yang bukan miliknya, menempel tepat di kerah kemeja Daren.
Jari-jari Zara mencengkeram roknya hingga buku-buku jarinya memutih. Hanya satu kata yang lolos dari bibirnya yang kaku, hampir seperti bisikan, bukan pertanyaan: "Kenapa, Daren?"
Daren tidak bergeming. Ia berdiri tegak, bayangan tubuhnya yang besar jatuh di lantai marmer, seolah-olah ia sudah menjadi entitas asing.
"Sejujurnya, kamu terlalu membosankan, dan kampungan. Jalan yang kamu ambil terlalu landai, sementara aku harus berlari mendaki. Kita sudah terpisah lajunya. Kamu hanya akan menjadi jangkar bagi karirku."
Kalimat itu menampar telinga Zara, suaranya jauh lebih tajam daripada tamparan fisik. Napasnya tertahan, seolah paru-parunya tidak lagi berfungsi.
Kata-kata Daren selanjutnya menyusul, dingin dan mematikan, seperti es yang dilemparkan ke wajahnya. "Sella lebih menarik dan anggun."
Mendengar nama itu, Zara mengepal erat, rasa pahit memenuhi rongga mulutnya. "Aku menyesal telah menginvestasikan waktu, uang, dan seluruh emosiku pada aset yang ternyata sangat mudah busuk sepertimu."
DUA JAM KEMUDIAN
Zara berdiri di pinggir jalan yang lembap, di bawah cahaya kuning lampu jalan yang berkedip-kedip, seolah ikut meragukan nasibnya. Di samping kakinya, teronggok satu tas jinjing kain usang berwarna merah marun dan ransel penuh dengan barang-barang seadanya—seluruh sisa hidupnya.
Suhu udara turun drastis, tapi Zara menolak untuk gemetar. Jari-jarinya menggenggam erat gagang tas jinjing, buku-buku jarinya memutih—satu-satunya indikator dari badai kemarahan dan kepedihan yang berputar di dalam dadanya. Ia tidak memohon. Ia tidak menangis di depan mereka. Ia hanya mengangguk, mengambil barang-barangnya, dan pergi. Pelajaran dari masa kecilnya saat ia harus berebut sisa makanan, telah mengukir satu prinsip di dirinya: Jangan pernah tunjukkan kelemahanmu pada orang lain
Zara mengeluarkan ponsel lamanya, layarnya retak. Hanya ada tujuh belas ribu rupiah di rekening banknya. Uang sewa kamar kos—jika ia bisa mendapatkannya—jatuh tempo besok. Lebih buruk lagi, bibinya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, membutuhkan tebusan obat yang mahal minggu depan. Zara hanya punya satu malam.
Di antara notifikasi tak penting, ada satu iklan kecil yang dikirimkan ke surelnya oleh agensi yang tidak ia kenal. Iklannya ringkas, namun muatannya terasa berat. Sebuah entitas tanpa nama, tanpa basa-basi menawarkan jalan keluar yang dramatis.
"Apa artinya ini bagi kita? Di depan umum?" tanya Zara, suaranya tercekat, matanya mencari jawaban di wajah Giovano.Giovano melangkah maju, menjembatani jarak di antara mereka. Ia tidak menjawab, tetapi rahangnya mengeras, urat di lehernya menegang. Ini bukan lagi soal bisnis; ini adalah pertarungan pribadi."Mereka mengira ini adalah taktik usang: menikah, lalu menceraikannya. Kita harus mengubah kontrak itu. Kita harus membuktikan kepada setiap mata yang menonton bahwa kita... nyata," desisnya.Giovano mencondongkan tubuhnya ke depan, bisikannya dipenuhi beban yang baru, "Aku tidak punya pilihan selain mempercayai orang luar. Seseorang yang tidak terikat secara internal pada Dirgantara Group. Seseorang yang tidak punya alasan untuk mengkhianatiku. Zara." Ia menyebut namanya dengan desakan mentah, "Jadilah tunangan sejatiku, untuk saat ini. Aku butuh kamu."Ketakutan dingin karena sewa dan hutang yang tertunda terasa remeh dihadapannya. Zara merasakan jantungnya berdebar, bukan kare
Giovano tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menempatkan dirinya di antara Zara dan Daren. Ia melingkarkan lengannya di pinggang Zara, menariknya erat-erat, hampir posesif. Pemandangan itu adalah tampilan dominasi yang nyata."Lepaskan tanganmu dari tunanganku," kata Giovano kepada Daren, suaranya pelan dan mengancam, seolah sedang memperingatkan hama. "Jika aku melihatmu di sekitar Zara lagi, aku akan pastikan kamu tidak akan pernah lagi bekerja di kota ini."Daren, yang hanya bisa melihat tatapan membunuh Giovano, memucat dan mundur.Zara, yang gemetar karena trauma masa lalunya, merasakan perlindungan dari Giovano. Pelukan di pinggangnya bukan lagi hanya akting; itu adalah perisai."Aku baik-baik saja," bisik Zara, setelah Daren pergi.Giovano tidak menjawab. Ia hanya terus memegang Zara, pandangannya mengamati kerumunan. Mereka berdua berdiri seperti itu untuk waktu yang lama, terlalu dekat, terlalu intens, seolah-olah mereka adalah satu-satunya dua orang yang tersisa di dunia itu.
Bibir Giovano berhenti hanya sejengkal di atas bibir Zara, cukup dekat hingga Zara bisa merasakan kehangatan napasnya yang beraroma mint dan tembaga, cukup dekat hingga kecanggungan yang tersisa dari penghinaan Adhi Hadikusumo mencair menjadi antisipasi yang memalukan.Namun, sebelum sentuhan itu terwujud, Giovano menarik diri. Gerakannya cepat, klinis, dan tegas, seolah ia baru saja menghindari sengatan listrik."Cukup," bisiknya, suaranya kembali menjadi es yang terukir tajam. Giovano tidak pernah melepaskan senyum palsunya, wajahnya tetap ramah untuk kerumunan yang menonton, tetapi matanya—matanya dingin dan marah. "Kalian sudah melihat buktinya, Adhi Hadikusumo. Jika ada pertanyaan lebih lanjut, Anda bisa bertanya kepada pengacara saya."Ia menarik Zara menjauh tanpa menunggu jawaban, tangannya di pinggang Zara kini terasa seperti belenggu yang dingin.Di lift, menuju private lounge Giovano, keheningan itu memekakkan telinga. Udara di antara mereka berderak seperti kabel listrik y
Giovano merasakan ketegangan itu. "Dia tunanganku," katanya tanpa emosi kepada Elva. "Dia akan pindah malam ini. Pastikan ruang sayap barat disiapkan. Dan Elva, ingat aturannya. Loyalitas mutlak."Elva mengangguk kaku, sorot matanya yang tidak percaya sedikit melunak, digantikan oleh kepatuhan dingin. "Tentu, Tuan Gio."Giovano memimpin Zara ke lorong panjang yang dihiasi karya seni abstrak mahal, tanpa sempat memandang kembali apakah Zara mengikutinya. "Ruangan ini adalah sayap pribadiku. Jangan pernah masuk tanpa izin." Ia menunjuk pintu kayu gelap. "Kamarmu ada di seberang."Zara mengangguk, mencoba mencatat semua aturan tak terucapkan yang melayang di udara."Satu hal lagi." Giovano berhenti di ambang pintu kamar Zara. Ia bersandar di kusen pintu, menatap Zara dengan intensitas yang membuat Zara merasakan sensasi sentuhan yang sama seperti di lobi tadi pagi. "Di tempat ini, kamu adalah tunanganku. Ini adalah bisnis. Di mata publik, kita sedang jatuh cinta. Di balik pintu ini, kamu
Zara tertegun. Butuh beberapa detik baginya untuk memproses kata-kata itu. "Saya tidak mengerti, Pak."Giovano menyeringai. "Sederhana. Aku akan membayar semua hutang yang kamu miliki, tanpa batas. Aku akan memberimu gaji bulanan sepuluh kali lipat dari gajimu saat ini. Aku akan memberimu kartu kredit dengan batas yang cukup untuk membeli seluruh butik di sini."Zara menghitung. Uang itu akan melunasi biaya obat bibinya, melampaui uang sewa, dan bahkan cukup untuk memulai hidup baru. Jumlahnya tak terbayangkan."Sebagai imbalannya." Giovano melanjutkan, nadanya berubah profesional. "Kamu akan tinggal di penthouse-ku. Kamu akan berpura-pura menjadi tunanganku, bahkan istriku di acara-acara publik, selama enam bulan ke depan. Kamu akan melakukan persis seperti yang kuperintahkan, di mana pun, kapan pun."Zara merasa pusing. Ini gila. Ini adalah kisah Cinderella yang dijual dengan kontrak."Mengapa saya?" Zara bertanya, memaksa suaranya terdengar netral. "Mengapa bukan model? Atau aktris
PENCARIAN EKSKLUSIFPosisi: Asisten Pribadi Eksekutif (Kontrak 3 bulan, NDA Ketat)Kualifikasi: Mampu menahan tekanan, loyalitas mutlak, bersedia bekerja di luar jam normal.Gaji: 10x Standar Pasar.Wawancara Terbuka: Pukul 09.00 di Lobi Utama, SKYLINE TOWER.Zara menatap nama gedung itu: SKYLINE TOWER. Monolit kaca dan baja setinggi seratus lantai yang mendominasi cakrawala kota. Markas besar Dirgantara Group, perusahaan properti dan teknologi paling tertutup di Asia. Orang-orang berbisik bahwa CEO-nya, Giovano Axel Dirgantara, adalah seorang jenius yang tak kenal ampun, yang menghancurkan pesaing hanya dengan satu panggilan telepon.Itu adalah dunia yang seharusnya tidak pernah ia sentuh. Tapi dengan lutut yang nyaris ambruk karena kelelahan, rasa sakit, dan keputusasaan finansial, Zara mengambil keputusan. Ia harus mengambil risiko ini.PAGI HARI DI SKYLINE TOWERZara mengenakan satu-satunya setelan kerjanya yang layak, kainnya terasa tipis dan murahan dibandingkan dengan marmer di







